Bagaimana Sepakbola Diterima dalam Anarkisme: Wawancara dengan Gabriel Kuhn


 
BERIKUT INI adalah terjemahan wawancara yang dilakukan oleh FREEDOM: Anarchist Media, Publishing, and Bookshop dengan Gabriel Kuhn, seorang anarkis dan mantan pesepakbola semi-profesional asal Austria yang pernah menggagas pamflet Anarchist Football (Soccer) Manual bersama kolektif Alpine Anarchist Productions dan menerbitkan buku—bersama PM Press—berjudul Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics, tentang sepakbola, anarkisme, dan olahraga di dalam dunia yang lebih baik daripada hari ini.

Wawancara ini pernah dimuat di situs FREEDOM pada tahun 2011.

*

Freedom (F): Apakah ada sesuatu yang ‘anarkistik’ secara intrinsik perihal sepakbola?

Gabriel Kuhn (GK): Saya tergoda untuk mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang anarkistik secara intrinsik perihal apa pun. Jika anarki begitu mudahnya, maka kita akan memiliki lebih banyak dari yang dapat dimiliki saat ini. Namun, saya berpikir bahwa hampir semua hal memiliki potensi anarkistik, dan potensi inilah yang harus ditunjukkan oleh para anarkis. Hal ini juga berlaku dalam sepakbola. Jika Anda mampu menjinakkan karakter kompetitifnya, maka sepakbola dapat menjadi permainan yang indah dalam upaya membangun sebuah masyarakat yang ideal. Jika Anda fokus pada peran sepakbola sebagai permainan massa, maka hal itu dapat berfungsi sebagai media untuk menantang penguasa. Jika Anda merangkul keindahan dan sukacita yang ada di dalam sepakbola, maka berarti Anda menolaknya sebagai industri. Saya akan mengatakan bahwa esensi dalam Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics sedang mencoba untuk memperkuat dimensi radikal—atau anarkistik—dari sepakbola.

F: Bagaimana sepakbola bisa diterima di dalam anarkisme? Bagaimana kita bisa mengetahui ciri-ciri hubungan anarkisme dan sepakbola secara historis?

GK: Awalnya, ada begitu banyak skeptisisme dalam gerakan anarkis. Argumen “opium-untuk-massa” bergitu kuat, baik itu di Eropa maupun di Amerika Latin. Hal ini berjalan cukup baik hingga dekade ‘30an. Ada teks dalam Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics yang pernah diterbitkan pada tahun 1920an oleh anarko-sindikalis Jerman. Teks itu, pada dasarnya, menyalahkan sepakbola karena dianggap mengganggu para pekerja dari pengorganisasian politik. Namun tuduhan itu tidak memiliki data dan bukti yang cukup jelas. Salah satu pelopor sepakbola di Amerika adalah aktivis Industrial Workers of the World (IWW) kelahiran Belanda bernama Nicolaas Steelink. Dan selama Revolusi Spanyol, pertandingan sepakbola secara rutin diselenggarakan oleh anarkis di Catalunya.
Hari ini, sepakbola mungkin masih dipandang secara skeptis oleh beberapa kalangan anarkis, namun secara keseluruhan saya pikir pandangan tersebut mulai berubah. Khususnya di Amerika Utara, sepakbola telah menjadi olahraga yang sangat populer dalam lingkar anarkis. Saya kira hal ini merupakan internasionalisme yang menarik. Jangan lupa bahwa pembawa acara talkshow konservatif Amerika Serikat, seperti Glenn Beck, masih menganggap bahwa sepakbola sebagai “hal yang kurang Amerika” selama Piala Dunia 2010. Di Eropa dan Amerika Latin, semakin banyak penggemar sepakbola dari kalangan anarkis yang mulai menampakkan diri. FC St. Pauli memiliki dampak yang besar. Sejak sekelompok squatter, punk, dan anarkis ‘mengambilalih’ tribun stadion FC St. Pauli pada pertengahan 1990an, hal ini semakin memudahkan anarkis di seluruh dunia untuk berhubungan secara positif dengan sepakbola. Tentu saja saya menyambut perkembangan ini. Sepakbola memainkan peran yang cukup besar dalam tatanan masyarakat di seluruh dunia, dan sangat penting jika suara-suara anarkis juga hadir di sana.

F: Dari manakah persepsi bahwa sepakbola disebut sebagai ’22 penderita kretin mengejar benjolan kulit’ berasal? Apakah memang selalu demikian sebutannya? Bagaimana hal itu mampu melindungi kelas pekerja?

GK: Sejak sepakbola menjadi populer sebagai olahraga massa, sepakbola harus menanggung ejekan dari para elite budaya. Hal ini berlaku juga untuk setiap fenomena budaya pop. Ada juga kesombongan intelektual, biasanya sering diungkapkan dalam bentuk penghinaan umum untuk latihan dan permainan fisik. Tidak perlu dikatakan lagi bahwa sikap seperti itu sedikit konyol. Jangan biarkan hal seperti itu mengganggu kita. Siapa yang peduli dengan apa yang dipikirkan oleh para intelektual dan elite budaya? Alasan mengapa sepakbola begitu populer dalam lingkup kelas pekerja sebenarnya sangat sederhana. Sepakbola merupakan permainan sederhana yang tidak memerlukan banyak peralatan. Dapat dikatakan bahwa sepakbola bisa dimainkan di mana saja dan kapan saja. Sepakbola juga menawarkan karakter khas yang sangat demokratis. Selama lebih dari 100 tahun, sepakbola telah menjadi salah satu dari bidang sosial di mana perbedaan kelas tidak perlu diterjemahkan ke dalam kerugian bagi masyarakat miskin dan kurang mampu. Perkembangan pesepakbola jauh lebih bergantung pada sumber daya ekonomi daripada perkembangan pemain tenis atau pemain golf. Kurangnya pendidikan formal juga tidak serta-merta memberikan Anda kewenangan yang lebih sedikit untuk membahas starting line-up dan taktik tim nasional Inggris, misalnya. Aspek-aspek ini sedikit-banyak memberikan sebuah peran global yang tidak tertandingi kepada sepakbola sebagai permainan rakyat.

F: Bagaimana kapitalisme bisa mengambilalih sepakbola… apakah hal itu bisa dihindari?

GK: Mungkin hal itu tidak terelakkan, dalam arti bahwa kapitalisme telah (dan akan selalu) mengambilalih segala sesuatu yang menjanjikan profit. Kapitalisme tidak pernah benar-benar bisa dibedakan dari sepakbola. Jika melihat asal-usul dari banyak klub sepakbola terkemuka pada akhir abad ke-19, mereka sudah dieksploitasi oleh para pemilik perusahaan dan pabrik, setidaknya untuk gengsi. Jadi komersialisasi yang semakin meningkat yang kita saksikan pada abad ke-20 bukanlah hasil dari suatu kekuatan yang ada di luar sepakbola melainkan dari logika intrinsik dalam sepakbola.
Selama 20 tahun terakhir, komersialisasi telah mengambil keuntungan dari momentum tertentu. Sepakbola telah menjadi sebuah spektakel yang tidak diramalkan sebelumnya, sejak Willie dijual sebagai maskot resmi Piala Dunia di Inggris pada tahun 1966. Liga Champions Eropa, Piala Dunia, kontrak televisi bernilai miliaran dolar, selebritis sepakbola, dan industri kejam yang bahkan tidak pernah berhenti sedetik pun untuk menjual jersey yang disponsori oleh korporat kepada fans sepakbola merupakan ekspresi nyata dari komersialisasi sepakbola. Hal ini menyulitkan upaya untuk meradikalisasi fans sepakbola.
Bagi saya, respons yang diberikan haruslah dua kali lebih besar. Dalam pertandingan sepakbola profesional, kita harus mengampanyekan perlawanan menentang eksploitasi terhadap fans dan pesepakbola—dan saya tidak sedang membicarakan tentang pesepakbola kaya yang jumlahnya hanya 0,5% dari seluruh pesepakbola profesional, melainkan juga tentang puluhan ribu pesepakbola profesional yang hidup dalam kondisi sulit, terutama pesepakbola migran asal Afrika. Dalam dunia sepakbola, pada umumnya, adalah penting untuk mendukung inisiatif akar-rumput yang tidak hanya menjanjikan sukacita dalam suara politis dan lingkungan non-komersial, melainkan juga untuk menciptakan peluang bagi pengorganisasian masyarakat dan aktivisme politik harian yang lebih efektif.

F: Dapatkah Anda memberikan contoh?

GK: Saya pikir salah satu contoh terbaik adalah Easton Cowboys and Cowgirls SC yang berasal dari Kota Bristol di Inggris. Easton Cowboys and Cowgirls SC telah berhasil membentuk aliansi lokal—di mana hanya bisa diimpikan oleh banyak organisasi politik—dan membangun koneksi global yang diterjemahkan langsung ke dalam kerja nyata solidaritas internasional. Ada sebuah tulisan yang sangat bagus tentang Easton Cowboys and Cowgirls SC yang ditulis oleh Roger Wilson yang saya sertakan juga dalam buku Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics—saya benar-benar menganjurkan agar semua orang membacanya!

F: Mengapa sepakbola menjadi macho… apakah memang seperti itu adanya?

GK: Sepakbola perempuan menjadi sangat populer selama Perang Dunia I, terutama di Inggris. Pada tahun 1920, tim sepakbola perempuan terbaik pada saat itu, Dick Kerr’s Ladies FC, bertanding melawan rival utama mereka, St. Helen’s Ladies, di Goodison Park di Kota Liverpool yang disaksikan sekitar 53.000 orang. Setelah itu, FA (Federasi Sepakbola Inggris) secara resmi melarang perempuan bermain bola, yang akhirnya diikuti oleh beberapa federasi sepakbola di negara-negara Eropa lainnya. Sejumlah besar aturan yang melarang perempuan bermain sepakbola tidak dihapus sebelum dekade ‘70an. Hal ini membikin perkembangan sepakbola perempuan menjadi terhambat selama 50 tahun dan otomatis mengubah sepakbola hanya menjadi urusan lelaki. Larangan ini mungkin menjadi bab yang paling memalukan dalam sejarah sepakbola serta mencerminkan struktur patriarkal yang sudah mengakar dan menghantui permainan sepakbola sejak awal. Untungnya, hal tersebut mulai berubah dalam 20 tahun terakhir—perlahan namun pasti. Meski begitu masih banyak yang harus dilakukan, baik dalam hal mengembangkan teknis sepakbola perempuan dan juga menghilangkan seksisme dalam sepakbola. Dari segi heteronormativity, perjuangan baru saja dimulai. Hal ini akan menjadi pertarungan yang panjang, namun sangat penting untuk menyingkirkan homofobia dari sepakbola.

F: Perubahan tersebut berasal dari mana?

GK: Seperti biasanya, gerakan sosial telah menjadi faktor penting. Kelompok yang telah lama (dipaksa) keluar dari dunia sepakbola mulai menuntut tempat mereka: perempuan, masyarakat non-kulit putih, gay dan lesbian, penyandang cacat, dan lain-lain. Faktor lainnya adalah bentuk penindasan telah menjadi lebih fleksibel. Kelompok sosial tradisional yang dulunya dipinggirkan sekarang ini dirayu untuk menjadi konsumen. Hal ini terlihat dari kecenderungan untuk mengubah stadion sepakbola menjadi pusat perbelanjaan raksasa. Ini merupakan perkembangan yang tidak memiliki dimensi progresif tertentu karena membikin sejumlah orang untuk merasa nyaman dalam lingkungan yang tidak menyambutnya sebelumnya. Namun, bentuk-bentuk peningkatan inklusi tersebut juga diimbangi dengan bentuk-bentuk baru dari pengucilan, terutama dalam bidang ekonomi. Yang kita perlukan saat ini adalah perubahan sosial yang terpisah dari kepentingan kapital.

F: Apakah saat ini ada tim/klub sepakbola terkenal yang berideologikan politik ‘sayap-kiri’?

GK: Dengan melihat cara sepakbola profesional bekerja saat ini, saya berpikir Anda tidak akan bisa menjadi major/mainstream dan memiliki ideologi politik ‘sayap-kiri’ secara bersamaan. Ada beberapa klub besar—Barcelona mungkin menjadi contoh yang paling menonjol—yang memperjuangkan nilai-nilai seperti kemandirian, kesadaran sosial, dan demokrasi partisipatif. Namun, uang dan kekuasaan masih terlibat, tuntutan kesuksesan, gagasan yang meresahkan tentang loyalitas dan persaingan—semua ini saya anggap bukanlah nilai-nilai inti dari politik ‘sayap-kiri’, yaitu keadilan dan solidaritas. Namun ini tidak membikin elemen progresif menjadi kurang berharga, dan juga hal ini bukan berarti bahwa para anarkis tidak bisa menikmati  sepakbola di level tertinggi. Tantangannya adalah untuk meningkatkan dimensi politik ‘sayap-kiri’ yang sudah ada sekarang ini dan untuk menentang siapa saja yang melestarikan suatu sistem politik dan ekonomi yang tidak adil.

F: Bagaimana kita, sebagai anarkis, dapat mengembangkan sepakbola?

GK: Di level profesional, kita dapat mengampanyekan demokrasi dalam asosiasi sepakbola, untuk melibatkan fans lebih jauh, untuk lingkungan yang lebih inklusif, mengurangi kontrol korporasi, untuk serikat pemain, dan divisi sumber daya, termasuk gaji yang adil. Di tingkat akar-rumput, kita bisa memperkuat aspek komunal dari sepakbola, menghilangkan daya saing, dan menghormati seluruh pemain. Meski terdengar moralistik, saya percaya bahwa gagasan fair-play juga penting: pelanggaran taktis, diving, berbicara kotor, dll. tidak memiliki tempat dalam sepakbola radikal, di level mana pun.

F: Tim mana yang Anda dukung? Bagaimana Anda membenarkan dukungan tersebut?

GK: Saya rasa saya berada dalam posisi beruntung bahwa model seperti Nick Hornby yang setia mendukung satu tim tidak berlaku untuk saya. Saya tidak mendukung satu tim tertentu; lebih kepada keputusan game-to-game. Hal ini juga berarti bahwa saya cukup fleksibel dengan pembenaran saya. Seperti banyak orang, mendukung tim ‘kuda hitam’ merupakan pilihan umum. Pilihan lainnya adalah mendukung tim yang mewakili komunitas yang saya sukai, atau yang memiliki pemain, pelatih, dan fans yang saya senangi. Satu-satunya obsesi irasional yang saya miliki adalah tidak menyukai Bayern Munich dan tim nasional Jerman. Saya tampaknya sangat sulit untuk menyukai dua tim tersebut. []


Diterjemahkan oleh @imajinasijoker dan dipublikasikan dengan judul “Sepakbola dan Anarkisme Vs. Kapitalisme”.

You may also like...

1 Response

Leave a Reply