Kebangkitan Global Fundamentalis dan Ultra-Nasionalis: Bukan Akhir dari Sejarah

Kredit: Nobodycorp Internationale Unlimited

Kredit: Nobodycorp Internationale Unlimited


Francis Fukuyama, seorang filsuf ternama yang mengembangkan konsep politik ‘akhir dari sejarah’ (end of history), baru-baru ini mengaku ketakutan dengan masa depan demokrasi setelah melihat kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Brexit, dan kemenangan Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS). Dua dekade yang lalu, Fukuyama memberikan bayangan global setelah Perang Dingin berakhir dengan menyatakan bahwa detik-detik penghancuran Tembok Berlin 1989 adalah kemenangan demokrasi liberal pasar bebas atas komunisme. Dengan demikian, ini menjadi bentuk final dari pemerintahan manusia. Ia tidak pernah menduga bahwa demokrasi liberal berjalan mundur dengan kebangkitan kekuatan konservatif dan ultra-nasionalis seperti pada Perang Dunia II.
Pada kedua benua di sisi Samudra Atlantik, ultra-nasionalis punya rekanan kuat di kalangan konservatif, dan mereka sekarang sedang dalam posisi puncak. Di satu sisi atlantik, ada Partai Republikan yang mengajukan Trump, yang dikenal sebagai kelompok yang punya keyakinan kuat terhadap nilai tradisional etika Judeo-Kristen dan pentingnya pertahanan nasional. Hal ini tampak dari kebijakannya yang mencoba memperketat hukum imigrasi bagi pencari suaka dan pengungsi dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim dan rencana pembangunan tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Mereka mendukung kebijakan anti-aborsi, menolak pernikahan sesama jenis dan pada beberapa negara bagian, pembatasan minuman beralkohol.
Di sisi lain, keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (UE) dipengaruhi oleh rasa terlalu mengagungkan bangsa sendiri, krisis finansial, serta perpecahan pendapat warga Inggris mengenai bentuk perlakuan yang tepat pada imigran dari Timur Tengah. Semuanya menjadi sekian pemicu bagi Inggris untuk melakukan referendum pada 2016 lalu. Selain di Inggris dan AS, kebangkitan jenis kelompok ini terjadi dimana-mana. Disusul oleh Marine Le Pen dari Partai Front Nasional yang minggu lalu mengumumkan bahwa dirinya akan maju dalam Pilpres Perancis. Ia terus menyuarakan perlunya referendum sehingga Frexit, French Exit, jadi sebuah kemungkinan. Begitu pula dengan yang terjadi di Belanda, yang mana Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan Belanda, menuduh bahwa UE merampas uang, identitas, demokrasi dan kedaulatan Eropa.
Di Indonesia, Forum Umat Islam (FUI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) adalah beberapa organisasi gerakan fundamentalis Islam yang punya kekuatan besar di Indonesia. FPI, yang berdiri sejak 18 tahun lalu dari organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa, adalah yang paling keras.
Kajian Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean (2004) menunjukan bahwa FPI punya kedekatan dengan lingkaran Soeharto, khususnya Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad dan Wiranto, mantan Panglima ABRI. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI semakin mesra dengan Wiranto. Wiranto pernah mengundang mereka pada November 1999, untuk memobilisasi massa hingga 100 ribu orang untuk melindungi DPR dari aksi mahasiswa. Mereka juga pernah mendatangi kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan Wiranto terkait kasus Mei 1998. FPI juga pernah mendukung Wiranto sebagai calon presiden, bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah untuk mendiskreditkan SBY pada Pilpres 2004. Dugaan kedekatan kedua kelompok ini muncul karena perilaku FPI yang arogan, macam sweeping tempat hiburan malam, tapi tidak pernah ditindaklanjuti oleh kepolisian. Selain itu muncul bukti bocoran Wikileaks yang menunjukan bahwa Polri dan BIN sering memberikan bantuan dana kepada FPI.
Namun hari ini, peta politiknya mengalami sedikit perubahan karena petinggi militer ultra-nasionalis yang mereka dekati sudah tidak menjabat posisi penting di pemerintahan. Walau demikian mereka masih memiliki kekuatan politik yang besar dengan posisi strategis di beberapa partai. Polri dan TNI AD sepakat menolak aksi GNPF MUI yang diorganisir oleh–salah satunya–FPI pada 11 Februari lalu. Sementara Partai Hanura, kendaraan politik Wiranto, memilih untuk mendukung pasangan Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Kelompok fundamentalis keagamaan mendekat ke dua calon pasangan lain, berdasarkan tafsir mereka terhadap pentingnya pemimpin dari latar belakang Islam. Kedua pasangan itu adalah Agus-Sylvi, yang didukung ayahnya, mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga mantan Panglima Kodam II/Sriwijaya. Serta pasangan Anies-Sandiaga yang didukung oleh Partai Gerindra pimpinan Prabowo. Perubahan ini menunjukan watak politik mereka yang oportunistik.
Sekalipun islamisasi memiliki sejarah lebih panjang–dengan kebangkitan dramatis Islam dalam kehidupan publik pada dekade 1990-an, nyaris satu dekade sebelum kejatuhan pemerintahan Orde Baru (1966-98)–beberapa pengamat sudah memperhatikan gelagat bahwa islamisasi telah menjadi satu-satunya ciri paling mencolok yang mewarnai dekade awal reformasi (1998-sekarang). Termasuk Ariel Heryanto (2015), yang juga menyadari bahwa islamisasi dalam tingkatan tertentu telah menentukan kerangka, batas-batas, dan isi pergulatan kekuasaan di Indonesia, sekalipun dampaknya tak merata di seluruh area kehidupan publik. Memang, kajian Ariel soal Islam pasca Orde Baru berfokus pada budaya populer. Namun kajian ‘hijabisasi’ tersebut punya hubungan langsung pula dengan berkembangnya gagasan ekonomi syari’ah, hukum Islam (qanun), dan baru-baru ini berkembangnya kembali gagasan pemerintahan Islam, khilafah. Sebagaimana Ariel tidak membantah bahwa yang politis dan yang kultural itu tak terpisahkan.
Kekuatan ini saya kira tidak hanya akan semakin besar, tetapi juga nampaknya semakin mengkhawatirkan. Hasil survei Wahid Foundation pada 2016 menunjukan bahwa 11 juta dari 150 juta penduduk muslim Indonesia siap melakukan tindakan radikal. Dari jumlah tersebut, 0,4 persennya pernah melakukan tindakan radikal[1]. Jumlah tersebut mencapai 7,7 persen dari total penduduk muslim Indonesia (Mahdi, 2017).
Ada beberapa faktor-faktor yang secara berkaitan bisa dipertimbangkan untuk menjelaskan pertumbuhan kelompok ini semakin subur. Misalnya, selain kontribusinya pada reformasi, kelompok kiri belum juga menunjukan perlawanan berarti pada fundamentalis Islam pasca peristiwa 1965. Faktor lainnya adalah kelompok fundamentalis Islam yang secara umum punya kedekatan dengan pensiunan jenderal-jenderal dan pendukungnya. Keduanya sering ‘bercinta’ untuk agenda perebutan kekuasaan pada Pilpres 2014, dan belakangan ini, pada Pilkada DKI Jakarta 2017 juga. Kelompok fundamentalis Islam adalah perpanjangan tangan dari Polri dan militer yang tidak ingin tangannya kotor lagi setelah berbagai rapor buruk pelanggaran HAM. Dengan demikian mereka menjadi sayap kekerasan yang disponsori negara. Dan kita belum memperhitungkan faktor-faktor makro, semisal hubungan dan perkembangan ekonomi internasional.
Sayangnya, beberapa orang mengalami kegagalan untuk memahami fenomena politik dunia yang terjadi belakangan ini. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah misalnya menjelaskan kemenangan Trump dalam pemilihan AS menandakan kian kuatnya tarikan pendulum politik ke arah kanan. Hal ini konyol, mengingat bahwa yang mengucapkan itu adalah pimpinan negara Indonesia, yang disadari atau tidak menjadi korban neoliberalisme (dengan topeng ekonomi Pancasila), telah mencap ‘kanan’ pada AS yang sejak dulunya memang sudah sangat kanan.
Penggambaran yang lebih baik terhadap para Trumpis, bisa kita lihat dari penjelasan Yonatan Zunger (2016). Trumpis, seperti Yonatan jelaskan, bukanlah suatu kesatuan. Di dalamnya ada beberapa kata kunci kelompok. Trump sendiri misalnya, mewakili apa yang bisa kita sebut sebagai “sayap kleptokratik”: sementara mereka memikili ide politik yang kuat, ideologi mereka sangat fleksibel selama uang ada di meja[2]. Sementara Steve Bannon, Pimpinan Strategis Gedung Putih dan Dewan Keamanan Nasional AS, dan Stephen Miller, Penasehat Senior Presiden, merepresentasikan kelompok yang lebih ideologis dengan tujuan yang jelas dimana negara sebagai prioritas utama. Lain lagi dengan Mike Pince, Wakil Presiden, yang mewakili beberapa gerakan yang berbeda, atau sebut saja sayap kanan tradisional Amerika. Sisanya, adalah orang-orang yang “mengerjakan tugas mereka”, misalnya Reince Priebus dan Kellyanne Conway.
Fukuyama tidak sebodoh Fahri karena tidak mengetahui posisi politik sayap fundamentalis dan ultra-nasionalis tersebut. Tapi Fukuyama juga telah melakukan kesalahan besar karena terlalu fokus pada peta politik kiri-kanan. Ia mengabaikan sayap politik ‘atas’ sejenis Nazi, yang dikiranya tidak mungkin bangkit, dan membuat tesis yang, menurut saya, ceroboh.
Kegagalan semacam Fahri juga tidak hanya terjadi dalam menilai fenomena politik global, tetapi juga secara nasional. Dalam banyak tulisan dan diskusi di Indonesia, saya menemukan banyak orang, sama seperti Fahri, mengeneralisasi ‘semua yang tidak mereka setujui’ sebagai kanan. Misalnya Muhammad Ridha (2017), yang menyebut gerakan populis Islam seperti tampak dari aksi 411 dan 212 sebagai kanan. Ini jelas suatu simplifikasi yang berlebihan, dan tentu saja, seperti saya jelaskan setelah ini, adalah sebuah kesalahan besar.
Sama seperti Trumpis, kedua kelompok ini, di Indonesia, masing-masingnya bukanlah suatu kesatuan (unitary thing). Sederhananya, saya memandang bahwa sebagian besar pimpinan kedua kelompok itu adalah individu yang punya kepentingan praktis, yang pandangan dan keputusannya jadi terlihat ambigu karena bisa berubah sewaktu-waktu jika menguntung dirinya. Misalnya Wiranto yang bisa diragukan kalau dia benar-benar berideologi. Sementara Prabowo menunjukan sikap yang lebih ideologis dengan perhatian yang penuh pada negara dan sambil melakukan komodifikasi atribut-atribut nasionalisme, dan sikap yang sama digunakan oleh Habieb Rizieq dengan atribut Islam. Keduanya sangat populis.
Sebagian besar anggota FPI terdiri dari  barisan orang-orang yang benar-benar bercita-cita mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin, mirip seperti HTI dengan ideologi pan-islamisme-nya. Sementara banyak pendukung Prabowo dan Wiranto adalah barisan orang ‘pencari keuntungan dari mantan jenderal’ dan sebagian lagi adalah korban doktrin wawasan kebangsaan dan bela negara. Sisanya, PKS, tampak seperti sepiring salad, yang terdiri dari gabungan ragam buah dari semua jenis kelompok itu, kecuali yang saya jelaskan terakhir.
Penjelasan saya bisa diperdebatkan tentunya. Tapi terlepas dari semuanya itu, mereka sama sekali bukan kanan.  Lalu, di mana posisi politik mereka?
Di Atas
Kelompok yang sedang saya ulas, fundamentalisme agama dan ultra-nasionalis berada pada sayap politik atas. Beberapa ahli menaruh posisi mereka sebagai kanan jauh (far right) atau ekstrim kanan, yang mana seperti akan saya jelaskan nanti, sebenarnya kurang tepat. Menaruh suatu kelompok pada posisi yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan interpretasi dari ciri dan tujuan politik utama dari kelompok tersebut. Sekaligus, ini akan membantu siapapun yang mengkaji atau terlibat dalam politik praktis untuk menentukan siapa kawan dan lawan dalam suatu waktu.
Dikotomi kiri dan kanan tidak lagi cukup untuk menjadi wadah klasifikasi posisi politik dalam model spektrum politik tradisional. Maka berkembanglah Grafik Nolan yang membagi spektrum politik dengan tidak sesederhana kiri-kanan, tetapi juga tengah, atas dan bawah. Tapi menurut saya, perkembangan paling baik dari grafik spektrum politik adalah kompas politik (political compass), yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Grafik Nolan. Ada dua axis dalam kompas politik, yaitu axis horizontal untuk isu ekonomi dan axis vertikal untuk isu sosial. Sosialisme terletak di kiri, sementara liberalisme terletak di kanan. Otoritarian terletak di atas, sementara libertarian terletak di bawah.
Dalam banyak hal, kelompok fundamentalis agama (di Amerika disebut sebagai konservatif) punya banyak kedekatan dengan ultra-nasionalis (terkadang disebut sebagai fasis). Mereka menginginkan kebijakan ekonomi yang sangat proteksionis, seiring dengan meningkatnya intoleransi terhadap kelompok SARA lain, sentralisasi kebijakan negara, juga perhatian tinggi terhadap keamanan dan pertahanan negara. Sebaliknya kedua kelompok ini justru sering berseberangan dengan liberal. Kelompok fundamentalis agama sering kali menyatakan perang secara terbuka pada kapitalisme dan kafir. Sementara ultra-nasionalis sering menyedot habis uang-uang korporasi raksasa untuk kepentingan politik mereka, seperti pembangunan industri senjata dan sedikit ‘amplop’ untuk rekening gendut para jenderal.
Keduanya punya ciri khas yang sama, yang oleh Timo Duile (2016) ditandai dengan: pertama, kepemimpinan yang punya otoritas absolut. Fundamentalis Islam menginginkan pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah, sementara beberapa fundamentalis Kristen ingin teokrasi Kristen, seperti Vatikan, atau hukum-hukum negara yang tidak bertentangan dengan ajaran Injil. Sementara ultra-nasionalis menginginkan kepatuhan mutlak warga negaranya pada kepemimpinan yang otoritarian. Ideologi yang sangat tidak toleran ini bisa kita lihat pada Partai Nazi di Jerman pimpinan Adolf Hitler, Partai Fasis Nasional di Italia yang dibentuk Benito Mussolini, monarki absolut Ottoman Turki dan Kekaisaran Jepang.
Kedua, penghancuran musuh yang dikonstruksi dalam sebuah kerangka konspirasi. Nazi misalnya, menentang Perjanjian Versailles dan punya kebencian berlebihan terhadap Yahudi dan komunis yang dipercaya sebagai dalang di balik perjanjian tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Amerika dengan kebencian dan ketakutan pada Islam sebagai kekuatan baru, yang mengganggu keamanan nasional dengan aksi teror, seperti pada peristiwa 11 September. Di Indonesia, konspirasi sejenis juga ditemukan pada ketakutan akan bahaya kebangkitan PKI, dan kebencian terhadap LGBTIQ sebagai pengaruh menyebarnya paham liberal. Sementara kelompok fundamentalis di Indonesia menganggap kepentingan Islam, khususnya penduduk pribumi Islam, terancam dengan kekuasaan ekonomi etnis Tionghoa. Semuanya adalah konspirasi yang dibungkus untuk kepentingan praktis kelompok politik ini.
Ketiga, ciri kedua berpengaruh kepada ciri yang ketiga, yaitu pentingnya militerisme. Kelompok ini sangat meyakini bahwa pertahanan dan keamanan nasional terletak pada kekuatan militernya. Karena itu mereka menginginkan anggaran yang besar untuk militer, yang pada kebanyakan kasus, justru lebih besar ketimbang anggaran pendidikan dan kesehatan. Sering kali, pengutamaan militer ini justru dengan alasan menjaga perdamaian. Hal ini tentu saja sangat aneh, mengingat bahwa upaya negara menjaga perdamaian sambil menenteng senjata api adalah sesuatu yang tidak mungkin, seperti banyak contoh sejarah membuktikannya kepada kita.
Keempat, berdasarkan politik identitas. Kelompok ultra-nasionalis menumbuhkan rasa patriotisme yang sangat tinggi, bahwa kepentingan individu harus dikorbankan demi kepentingan bersama yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa (nation). Sementara kelompok keagamaan bersandar pada ayat-ayat kitab suci soal pengorbanan kepada Tuhan, seperti doktrin jihad (Islam) dan martir (Kristen). Supaya legitimasi tindakan politik mereka semakin kuat, mereka punya dasar-dasar ilmiah tertentu, misalnya Nazi yang meyakini bahwa ras Arya dan Nordic lebih unggul, karena itu diperkenankan untuk melakukan ekspansi dan kolonisasi. Kekaisaran Jepang merasa lebih unggul ketimbang adik kandung mereka, beberapa negara Indochina dan pasifik. Keduanya sebenarnya hanya alasan untuk penguasaan sumber daya di negara-negara jajahan.
Demikian liberal sering bentrok dengan petinggi pemerintahan fasis yang proteksionis. Dalam pandangan liberalisme klasik, Laissez faire dianggap sebagai satu-satunya pendekatan ekonomi yang dimungkinan, dan intervensi apapun dari pemerintah adalah sesuatu yang tidak berguna bahkan berbahaya, serta menganggap bahwa pajak adalah bentuk pencurian yang dilegalkan. Bagi liberal, pasar bebas, perdagangan bebas dan kepemilikan pribadi justru lebih baik dan di dalam pemerintahan yang otoriter tidak ada kebebasan ekonomi, beragama dan berekspresi. Di Indonesia gagasan ini berkembang baik dan masuk pula ke tubuh Islam dengan tumbuhnya gerakan Islam liberal yang di Indonesia terwakili dengan sosok macam Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla.
Saat ini, secara umum kita sedang menghadapi skenario yang mirip dengan Perang Dunia II, ketika komunisme Uni Soviet dan liberalisme AS bersama-sama melawan fasisme Jerman dan Jepang. Maksudnya, kebangkitan kelompok otoritarian ini cukup mendesak mengingat sepanjang separuh abad ini mereka memukul dengan keras gerakan politik kelompok kiri di Indonesia, dan baru-baru ini, juga menampar kelompok kanan. Hal ini cukup mengagetkan dan membuat gelagapan kelompok kanan, karena mereka punya hubungan baik dengan kedua kelompok ini.
Jika kita mundur kembali pada Peristiwa 1965, kita menyaksikan koalisi fasis, Islam dan liberal untuk membantai kelompok kiri. Soeharto jelas-jelas bukan seorang liberal. Dia beserta pendukungnya adalah fasis yang oportunistik, sama seperti Trump, dan berhasil memanfaatkan kelompok Islam untuk menciptakan drama konflik horizontal di tingkat akar rumput. Sementara di tingkat parlementer, fasis Indonesia berjabat tangan dengan liberal dalam memprivatisasi kebijakan ekonominya, setelah beberapa dekade di bawah kebijakan nasionalisme Soekarno yang kekiri-kirian. Tentu saja, kelompok fasis sangat diuntungkan dengan kehancuran PKI.
Sekarang, koalisi ini pecah. Sebagian besar dari kelompok liberal Indonesia adalah kelas menengah atas yang berada di zona nyaman. Mereka terlalu malas untuk mengotori tangannya untuk aksi langsung. Laporan Charta Politika, sebuah lembaga survei politik pada Januari 2017, menunjukan bahwa 40.7% penduduk DKI Jakarta dengan penghasilan lebih dari Rp 4 juta mendukung Ahok-Djarot, disusul Anies-Sandiaga (30.1%) dan Agus-Sylvie (16,8%). Hal ini membuat mereka menjadi pasifis dan tidak bisa memukul mundur kebangkitan kelompok atas dengan baik. Selebihnya, hanya kerumunan yang senam poco-poco saat mengawal sidang Ahok.
Sabotase dari bawah
Banyak kasus unik soal kebangkitan global sayap politik atas untuk dikaji. Misalnya kegagalan Partai Kebebasan Austria pimpinan Norbert Hofer dalam merebut posisi presiden. Sementara di Timur Tengah, saat ini muncul kelompok bersenjata fundamentalis Islam di Suriah utara dan Irak. Ini menjadi pertunjukan konyol, karena mereka juga ditentang fundamentalis Kristen di Amerika. Yang tidak kalah konyol adalah, di Indonesia, kelompok ini sering mencap kiri pada kelompok kanan. Misalnya kampanye hitam bahwa Ahok dan Jokowi adalah antek PKI, yang mana tentu saja ini adalah sebuah kebodohan dan sebenarnya tidak perlu ditanggapi secara serius.
Saya tidak punya kapasitas memadai mengingat keterbatasan saya dalam melakukan pengamatan lebih lanjut. Juga saya tidak bermaksud untuk mengurai lebih lanjut hal-hal tersebut, supaya tulisan ini tetap fokus pada rancangan saya sebagaimana dimaksudkan. Namun ada satu lagi gejala menarik yang sangat mendesak untuk dibahas dari kebangkitan global kelompok atas. Newton benar soal hukum geraknya, bahwa gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, tapi dengan arah berlawanan. Kebangkitan kelompok kiri akan mendapatkan tentangan dari kelompok kanan, dan begitu pula kebangkitan kelompok atas, mereka mendapatkan sabotase dari bawah.
Kelompok bawah, dalam kompas politik merupakan sayap libertarian atau anarkis yang punya sejarah panjang sejak pertikaian Marx dengan Bakunin. Ia kemudian mendapatkan perhatian serius pada perjuangan CNT-FAI, serikat pekerja sindikalis di Katalan, yang melawan Jenderal Francisco Franco yang monarkis sepanjang Perang Sipil Spanyol. Sayap politik bawah menjadi ancaman serius saat menolak WTO, IMF dan World Bank, pada protes 30 November 1999 di Seattle, AS, juga pada aksi-aksi demonstrasi di Yunani pada krisis moneter dan utang negara yang tak terbayarkan beberapa tahun belakangan. Pada awal 2017, kita juga menyaksikan banyaknya remaja AS yang dengan bangga menggunakan atribut serba hitam (black bloc), melempar molotov pada polisi, sebuah institusi hierarki yang dianggap menindas. Mereka bersama kelompok lain, menolak pelantikan Trump dalam sebuah peristiwa yang disebut sebagai DisruptJ20. Mereka berkembang dengan baik di negara-negara Amerika utara dan Eropa, menyusul mewabahnya kembali paham fasisme.
Walau anarkisme di Indonesia tercatat mulai tumbuh menjelang runtuhnya Orde Baru seiring populernya musik punk rock, sayap politik bawah semakin berkembang pula-pula akhir-akhir ini. Hal ini ditunjukan dengan maraknya diskusi dan aksi, serta kelompok kolektif-kolektif dengan nafas anarkisme di berbagai kota di Indonesia. Perkembangan ini, oleh Ronny Agustinus dari penerbit Marjin Kiri, disebut perlu diringi dengan pengoreksian pemahaman tentang anarkisme. Marjin Kiri beberapa tahun belakangan menerbitkan seri ‘Mengkaji Anarkisme’, untuk membawa anarkisme kepada pembaca umum yang lebih luas di Indonesia, bahwa anarkisme adalah pemikiran sosial dengan bangunan teoritis yang tidak main-main dan tidak kalah kokoh.
Kelompok ini tumbuh atas kesadaran bahwa pemerintahan, bahkan atas nama sosialisme sekalipun, telah gagal untuk memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan. Tuntutan mereka telah maju ke arah tindakan ekonomi yang lebih langsung, cara yang berseberangan dengan pemborosan energi dalam jalur-jalur politik seperti parlementarisme, yang kerap diterapkan kelompok lain. Semangat anarkisme terintegrasi pada gerakan-gerakan multisektor, seperti gerakan perempuan, lingkungan hidup atau buruh. Kelompok ini, di Indonesia, ditandai dengan gerombolan kecil anak muda radikal, bersamaan dengan berkembangnya kooperasi swakelola, ekonomi kreatif, aktivitas ramah lingkungan serta agitasi musik-musik bawah tanah. Mereka juga tumbuh sebagai bentuk budaya tanding (counter culture) terhadap fetisisme pemuda kelas menengah yang menyebalkan.
Gerakan ini berlangsung secara spontan dan sporadis. Sejauh ini belum ada satu koordinasi aras nasional, seperti gerakan-gerakan anarkis di barat, yang menaungi mereka. Mereka tersebar di berbagai kota seperti cendawan yang tumbuh subur di musim hujan. Mereka bergerak dengan kelompok kecil, berjejaring, dan bersolidaritas. Mereka lebih memberikan perlawanan berarti ketimbang kelompok kiri secara luas. Menurut saya, kelompok bawah di Indonesia akan berkembang pesat dan mungkin, bisa diandalkan untuk memukul balik kelompok atas.
Terlalu berharap pada mereka tentu saja terlalu terburu-buru, terutama di Indonesia. Tapi beruntungnya, lawan politik mereka juga belum mengidentifikasikannya dengan baik. Karena para lawan politiknya masih percaya bahwa segala tindakan politik mereka adalah sebuah remah-remah makanan yang jatuh dari sebuah perjamuan makan malam yang lebih besar. Bahkan yang tidak menjadi lawan dan kawan dari kelompok ini, gagal mengidentifikasikannya. Karena tidak teridentifikasi dengan baik, posisi mereka lebih aman ketimbang saudara mereka, kelompok kiri. Mereka adalah unknown enemy. Berbeda dengan kelompok kiri, mereka tidak ditekan oleh pemerintah berdasarkan TAP MPRS 25/1966 yang melarang perkembangan kelompok Marxisme-Leninisme. Mereka lebih aman untuk melakukan diskusi dan aksi untuk membawa bendera hitam, ketimbang membawa bendera palu arit, misalnya.
Namun saya belum bisa mengetahui bagaimana pertarungan ini akan berjalan ke depannya. Yang pasti, dapat kita lihat bahwa saat ini fundamentalis dan fasis sedang bersekongkol menghancurkan kelompok liberal, sementara sosialis yang sudah dihancurkan dari dulu sedang susah payah untuk bangkit, namun sejauh ini, masih menjadi penonton. Seandainya kelompok atas bisa bangkit kembali, maka dengan demikian tidak menutup kemungkinan kelompok kiri juga demikian. Ada kemungkinan, kelompok kiri, kanan dan bawah melupakan sementara waktu soal perpecahan mereka untuk sebuah pertarungan yang melelahkan melawan kelompok atas. Karenanya bagaimanapun juga sayap politik atas yang otoritarian, akan selalu dibenci oleh pecinta kebebasan: liberalisme[3], sosialisme dan terutama anarkisme. Dan berlanjutnya perang ini menunjukan kalau sejarah dari pemerintahan manusia yang final, belum berakhir.
Catatan akhir
[1] Istilah ini sebenarnya kurang tepat. Kita bisa menyebutnya sebagai tindakan ekstrem.
[2] Beberapa pengamat politik menjelaskan Trump sebagai populis, proteksionis dan nasionalis.
[3] Sebagian orang mungkin tidak akan menerima jika liberalisme dianggap sebagai pecinta kebebasan, mengingat di satu sisi ada penindasan yang ditimbulkannya.
Referensi

Amal, Taufik Adnan & Samsu Rizal Panggabean. 2004. Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria. Pustaka Alvabeth. Jakarta.
Bisnis.com. 2016. DPR Nilai Kemenangan Trump Tanda Munculnya Kekuatan Aliran Kanan. Diakses pada Senin, 12 Februari 2017 dari Bisnis.com.
Charta Politika. 2017. Rilis Survei DKI Jakarta – Peta Elektoral Cagub & Cawagub DKI Jakarta Jelang Pencoblosan.
Duile, Timo. 2016. Mencurigai Fasisme Gaya Baru di Indonesia (bag. 1). Diakses pada Senin, 12 Februari 2017 dari m.dw.com.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.
Mahdi, Imam. 2017. Yenny Wahid: 11 Juta Warga Siap Lakukan Tindakan Radikal. Diakses pada Sabtu, 18 Februari 2017 dari m.tempo.co.
Ridha, Muhammad. 2017. Merebut Populisme. Diakses pada Rabu, 22 Februari 2017 dari Indoprogress.com.
Tharoor, Ishaan. 2017. The man who declared the ‘end of history’ fears for democracy’s future. Diakses pada Senin, 12 Februari 2017 dari washingtonpost.com.
Zunger, Yonatan. 2016. I’ve Got A Little List: The Next Six Month Under Trumpism. Diakses pada Sabtu, 18 Februari 2017 dari medium.com.


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

You may also like...

Leave a Reply