Tanah Merah
Saya adalah Fagogoru[1]. Mama lahir dan besar di Weda, Halmahera Tengah, sedangkan papa berasal dari semenanjung timur Halmahera, tepatnya di Desa Maba Pura. Saya menamai kampung papa sebagai “Kampung Merah” yang dikelilingi tanah merah bekas hantaman buldoser untuk penambangan nikel oleh beberapa korporasi. Beberapa di antaranya adalah PT. ANTAM, Yudistira Bhumi Bhakti (YBB), RODA, Aditya, Minerina Bhakti dan GEOMIN. Saya sendiri lahir dan tumbuh besar di lingkaran merah tersebut, yakni Maba Pura-Weda.
Semasa kecil, saya menetap di Maba Pura. Saya kerap menghabiskan waktu untuk bermain perahu dan mangael (memancing) ikan di sekeliling pulau-pulau kecil, seperti Pulau Mabuli, Mislui Kecil, Mislui Besar, Belingcili, Bangul, Wefmlowos, Koropon, dan Pakal. Pulau dan pantai menjadi tempat bermain saya dan teman-teman, karena rata-rata pulau tersebut yang terletak di depan desa saya tak berpenghuni. Hanya satu pulau yang dihuni para nelayan Sanger, panggilan masyarakat Maba Pura untuk Suku Sangir, Sulawesi Utara: Pulau Pakal.
Di pulau-pulau ini tumbuh bermacam buah seperti mangga, langsa, pisang, ketapang, dan kelapa. Terkadang kami harus berpindah dari pulau yang satu ke pulau yang lain saat musim buah telah berganti. Saat hasil tangkapan sudah terpenuhi, kami langsung menuju pulau tempat bermain kami, yaitu Pulau Mabuli. Di bawah pohon ketapang, kami membakar ikan dan pisang. Sehabis menyantap hasil tangkapan, kami lalu berpencar berburu buah mangga dan langsa. Biasanya, yang usianya paling tua di antara kami harus memanjat pohon kelapa dan memetik buahnya untuk memenuhi dahaga kami. Kami membawa pulang hasil tangkapan ikan ke rumah agar tidak dimarahi, sebab seharian bermain dengan alam.
Matahari mulai terbit di tengah Tanjung Epa dan Pulau Pakal, salah satu pulau yang berukuran paling besar. Para nelayan mulai berdatangan di pelabuhan dengan menggunakan perahu sampan. Ikan hasil tangkapan tadi malam siap untuk dijual. Ada juga di antara para nelayan yang menukar hasil melautnya dengan ayam, pisang dan kelapa. Pagi itu, saya disuruh mama pergi ke pelabuhan membawa empat buah kelapa kering dan seekor ayam betina untuk ditukar dengan ikan pada seorang nelayan Sanger, salah satu sobat (teman) papa yang tinggal di Pulau Pakal. Setelah membawa pulang dua puluh ekor ikan kembung, mama langsung membersikan ikan yang siap dibakar, sisanya diolah menjadi menu kuah kuning untuk bekal ke kebun. Usai sarapan, saya, mama dan papa langsung berangkat ke kebun.
Setelah menyirami tanaman bulanan: cabe, tomat, terong, kacang panjang dan daun kemangi, saya pun menuju ke sungai mengumpulkan batu kerikil untuk dijadikan peluru katapel. Noken yang saya bawa penuh dengan kerikil. Saya lalu menuju bukit kebun pala dan cengkeh, siap berburu burung maleo. Burung ini punya ciri khas tersendiri, ia tidak bisa terbang tinggi dan hanya mampu membuat sarangnya di dalam tanah. Karena alasan itulah, saya lebih senang berburu hewan yang satu ini sebab sarang burung maleo terletak tak jauh dari kebun pala milik kami. Tak heran banyak tetangga dan keluarga dekat sering datang ke kebun kami untuk membuat dodeso (perangkap) yang digunakan sebagai alat tangkap burung maleo.
Selama berjam-jam berkeliaran di kaki bukit kebun pala akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menyerangnya. Karena tak semahir penembak jitu Tim Mawar Soeharto, saya gagal dalam serangan pertama. Siang hari di bawah kaki bukit kebun pala sangat gelap ditutupi pepohonan besar. Saya yang merasa takut sendirian, berbalik arah menuju sungai. Ketika di perjalanan, saya melihat tonjolan kepala burung maleo yang tergantung tak berdaya. Ternyata hewan itu sudah tersangkut dalam perangkap yang tak tahu milik siapa. Saya lalu mengambilnya. Sesampai di sungai, saya meminta papa untuk membersikannya dan membakar tubuh hewan unik itu untuk dijadikan santapan makan siang saya. Sehabis makan, saya dan papa lalu terjun ke sungai untuk mandi. Setelah itu papa menjalankan shalat dzuhur, dan saya pun terlelap pulas di bawah pohon coklat.
“Waktunya pulang,” kata mama sambil membangunkan saya dan papa yang juga ikut ketiduran sehabis shalat. Dalam perjalanan pulang, saya merengek minta dimasukkan ke dalam saloi (bakul) yang sedang digendong papa. Kami melewati pohon coklat yang tumbuh subur beraturan bagai pagar taman bermain semasa kecil. Tanaman perkebunam milik masyarakat tumbuh mekar di mana-mana. Para petani sibuk membersikan pohon coklat, jagung, dan kacang tanah. Dengan tubuh yang tenggelam dalam saloi dan tangan memegang rambut papa, saya pun tersenyum melihat keindahan alam yang tampak sempurna. Kala itu saya baru berusia delapan atau sembilan tahun.
Merah di ujung kampong
“Sekarang dunia so maju. Torang harus kerja di tambang, biar bisa kase sekolah tong pe anak jao-jao,” seru Kepala Desa Maba Pura. Warga pun mulai menjual tanah dan kebun ke perusahaan untuk perluasaan infrastruktur jalan dan area pertambangan. Hutan-hutan alami pun segera dikavling warga sebagai hak milik, guna mendapatkan ganti rugi. “Biar perusahaan masuk sudah tidak susah lagi bagi torang, perusahan tinggal ukur dan bayar sesuai dengan yang torang tentukan,” ujar sebagian warga, termasuk papa yang turut melakukan pengkavlingan kawasan hutan.
“Besok pagi-pagi sekali torang harus ke kebun Blomboko di Teluk Mornopo untuk menanam kelapa dan nenas, sekalian bakapling bukit Blomboko yang berjarak 50 km dari PT. Minerina Bhakti dan GEOMIN,” kata papa.
Pengerukan bukit ini oleh perusahaan disebut warga dengan ‘Operasi Mornopo’. Dengan menggunakan perahu dayung, kami menempuh empat jam perjalanan untuk sampai ke kebun Blomboko. Setibanya di sana, saya dan papa terkejut melihat pita merah berukuran setengah meter terpajang di tiap pepohonan besar sebagai penanda dari perusahaan. Papa lalu mencopot pita tersebut seraya berkata, “Ini pasti ulah orang-orang perusahan agar mau torang pe kebun dijual!” Kebun ini merupakan satu-satunya area yang dipertahankan papa untuk tidak dijual, sisanya hilang disapu buldoser milik PT. GEOMIN dan Minerina Bhakti.
Tanjung Epa yang memisahkan Desa Buli dan Desa Maba Pura ini menjadi tempat berburu saya bersama teman-teman, sebab di sini banyak terdapat burung siba (lovebird) yang menjadikan pohon buah yakis (jambu monyet) sebagai sarangnya saat musim buah tersebut. Tidak hanya buah yakis yang tumbuh di kaki bukit Tanjung Buli, ada juga buah-buahan lainnya seperti nenas, langsa, gora gok (jambu air king rose), nangka, kelapa, dan lain-lain.
Doeloe, sebelum PT. YBB—salah satu subkontraktor ANTAM—datang mengeruk bukit Tanjung Buli, tempat ini merupakan ruang bermain dan berburu kami, anak-anak kampung pesisir timur Halmahera. Kami bahkan masih saja bermain dan berburu di tempat itu, walaupun sudah ada larangan dari pihak perusahaan. Dengan berani kami memasuki area pertambangan melalui jalur yang tidak ditempati pos-pos satpam atau brimob. Setiap kali masuk ke area tambang demi berburu burung serta mengambil buah-buahan, kami selalu dikejar oleh para petugas pengamanan perusahaan bersenjata lengkap. Terkadang saat sedang asyik berburu sambil bermain, tiba-tiba muncul brimob. Bak sekelompok ikan sembilan yang takut diburu para nelayan, saya dan teman-teman pun sontak berlari dengan gerak yang hampir sama menuju bibir pantai yang ditutupi pepohonan bakau sebagai tempat persembunyian kami.
Pulau Mabuli yang berada tepat di sebelah kanan dari semua pulau yang mengelilingi desa kami juga menjadi pembatas antara Desa Maba Pura dan Teluk Mornopo. Pulau ini menjadi tempat favorit saya dan teman-teman bermain perahu serta dodorobe (mainan senjata yang terbuat dari bambu dan peluru dari isi kelapa kering). Pada sekali waktu, saya pernah menemani papa dan kawan-kawanya ke pulau ini untuk mengavling hutan alami. Saya pun bertanya pada papa, “Pulau kecil ini mau digusur lagi kah?”
Papa lalu menjawab, “Perusahan RODA milik Korea akan masuk dan beroperasi di sini, jadi kampung akan ramai berdatangan para pekerja dari Korea.”
Sontak jawaban itu membuat saya terkejut. Ingatan saya pun kembali pada kejadian yang belum lama berlangsung di Tanjung Buli; cerita tentang ruang bermain serta area perburuan kami yang hilang. Hanya tersisa kejar-kejaran antara kami dengan para penjaga modal korporasi bersenjata lengkap yang siap membidik para anak pulau.
Pulau Pakal yang artinya besar dalam bahasa lokal masyarakat Maba Pura, sesuai dengan ukurannya. Karena letaknya yang paling jauh dari desa, pulau ini jarang sekali bahkan tak pernah saya kunjungi untuk bermain ataupun berburu. Papa sering bercerita tentang pulau itu kepada saya. Cerita tentang kebun bersama milik keluarga papa dan berbagai macam pohon mangga yang tumbuh serta tidak terurus, membuat saya penasaran untuk mendatangi pulau tersebut. Keindahan pesisir pantai yang beralas pasir putihnya membuat pulau ini menjadi tempat favorit masyarakat Desa Maba Pura, Buli dan Maba (Ibukota Kabupaten Halmahera Timur) untuk berlibur dan piknik pada saat lebaran tiba.
Tepat pada 1 Juli 2005, saya lulus dari SD Inpres Maba Pura. Sehari kemudian papa mengajak saya berlayar dengan perahu menuju Pulau Pakal. Setibanya di sana, saya langsung bertanya pada papa
“Tong mau kase bersih kebun bersama milik keluarga?,” tanya saya.
Tanpa menjawab, papa menyuruh saya menanam patok kebun milik keluarga papa. Selesai menanam patok papa menghampiri saya.
“PT. ANTAM milik Indonesia mau bayar kebun ini,” jawab papa. Wah, terkejut dengan wajah kelelahan sehabis mengerjakan perintah papa. Semua pulau yang ada di sini pasti akan terkeruk habis oleh PT. ANTAM yang berlagak baik dengan mendirikan pagar sekolah, bangunan puskesmas dan pagar masjid di desa kami, tak lupa pembangunan itu disertai nama dan logo milik mereka: PT. Aneka Tambang tbk. PT. ANTAM juga mempunyai penjaga keamanan yang seperti anjing kelaparan, setiap saat siap menyantap kami.
Koropon. Nama pulau ini saja yang tersisa di ingatan saya. Pulau Koropon merupakan pulau yang ketika air laut mulai surut akan menjadi satu daratan dengan Desa Maba Pura. Saat itu terjadi, masyarakat desa biasanya berbondong-bondong mengelilingi bibir pantai Pulau Koropon untuk mencari bia darah (kerang darah), kepiting dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan protein kami. Pohon bakau yang mengililingi pulau ini juga sering dimanfatkan warga desa sebagai kayu bakar. Berbagai jenis pepohonan yang tumbuh di bukit Koropon dimanfaatkan masyarakat setempat untuk membuat pagar rumah, masjid, sekolah dan juga tenda pernikahan, sebelum PT. ANTAM menggantikannya dengan beton. Itu semua dikerjakan masyarakat secara gotong royong. Sayangnya, pulau ini telah digusur habis hingga rata dengan permukaan air laut, oleh suanggi besi bernama buldoser yang dikirim Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur. Konon, penggusuran wilayah pesisir pulau ini bertujuan untuk pembangunan dermaga, yang hingga kini tak pernah tampak. Pulau Koropon pun telah terkubur bersama kenangan masa kecil saya. Sama halnya dengan pulau-pulau lainnya yang telah terkavling-kavling hingga terkeruk habis, oleh negara dan korporasi atas nama pembangunan dan kesejahteraan.
***
Desa dengan keindahan gugusan pulau-pulau kecil yang di atasnya tumbuh subur berbagai macam buah dan tumbuh-tumbuhan, yang telah lama menjadi ruang hidup masyarakat Desa Maba Pura serta area bermain dan berburu kami, kini telah dikeruk habis oleh korporasi negara maupun mancanegara. Tak ada lagi jejak masa kecil kami di sana, semuanya tinggal bekas hantaman buldoser yang menyisakan tanah merah tandus. Tak ada lagi keindahan dan kemewahan alam yang terpancar di desa kami. Semuanya telah botak mulai dari bukit yang berada tepat di belakang Desa Maba Pura, hingga Bukit Mornopo, Tanjung Epa, Pulau Pakal dan Pulau Mabuli, maupun Pulau Gee yang bersebelahan dengan Tanjung Epa dan Pulau Pakal. Lautan yang mengelilingi pulau-pulau tersebut juga bernasib sama dengan daratannya. Hasil laut yang menjadi ruang hidup masyarakat Maba Pura seperti ikan, suntung (cumi-cumi), kepiting, bia (kerang), teripang dan rumput lautpun ikut menghilang entah ke mana. Warna air laut yang biru berubah menjadi coklat kemerahan. Tak ada lagi tempat bermain serta berburu bagi generasi setelah kami. Daratan Desa Maba Pura beserta pulau-pulau kecil dan lautannya kini menjadi tempat berburu para korporasi negara maupun asing, yang tujuannya hanya pada orientasi profit semata.
Desa kecil ini telah dimashurkan sebagai surga nikel. Bermacam bentuk korporasi hadir di sini dengan dalil untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Desa Maba Pura. Masyarakat pun tersugesti oleh mitos pembangunan. Faktanya, kehadiran tambang-tambang tersebut hanya untuk kepentingan memonopoli kekayaan alam milik masyarakat setempat yang telah berabad-abad memelihara dan menjaganya. Masyarakat desa diberi mimpi tentang pembangunan, yang merubah mereka dari warga negara pemilik sah tanah dan hasil alamnya, menjadi pengikut ANTAM, sang tuan modal. Para petani dan nelayan yang dulunya hidup dengan bergantung kepada alam, kini tergantung pada tambang. Para nelayan misalnya, sebelum perusahaan tambang datang, laut di Teluk Maba menjadi lumbung ikan bagi mereka. Kini para nelayan telah beralih profesi menjadi pekerja lepas di perusahaan tambang.
Setelah bekerja menjadi buruh tambang selama bertahun-tahun dengan upah yang begitu rendah, akhirnya torang melakukan pemogokan dan demo. Tepat pada tahun 2005 papa dan tamang-tamang memprotes ke pihak perusahan menuntut agar upah kerja dinaikkan, akan tetapi yang torang dapat justru pemecatan sepihak oleh PT. Yudistira Bhumi Bhakti.
Lalu pada Januari 2014, semenjak larangan mengekspor bahan mentah tambang mulai diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan adanya kewajiban membangun smelter bagi perusahaan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), sebagian besar masyarakat Desa Maba Pura yang notabene adalah buruh tambang pun di-PHK massal.
Catatan akhir
[1] Fagogoru merupakan falsafah hidup masyarakat Tiga Negeri di semenanjung timur Halmahera: Weda, Patani, dan Maba. Terdapat empat nilai yang terkandung di dalam falsafah ini, yaitu ngaku re rasai (kebersamaan dan kekeluargaan); budi re bahasa (baik dan santun dalam bertutur); sopan re hormat (saling menghargai dan menghormati); dan metat re meimoy (malu dan takut pada kesalahan). Pada masa dahulu, Tiga Negeri diekspansi oleh Kesultanan Tidore dan warga dipaksa untuk membayar upeti kepada pihak kesultanan, maka muncullah perlawanan masyarakat Tiga Negeri dengan membentuk sebuah federasi bernama Fagogoru. Federasi ini untuk memperkuat dan menjaga sistem pemerintahan swakelola yang ada di Tiga Negeri. Masyarakat pun mengurus perekonomian berupa hasil kebun pala, cengkeh, dan tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka secara mandiri dan bergotong-royong.