Anda Tidak Benci Politik, Anda Benci Negara

"Politik" (ilustrasi oleh Senartogok)

“Politik” (ilustrasi oleh Senartogok)

Kita menyaksikan sendiri bahwa saat ini, golongan putih (golput)[1] akan terus meningkat seiring ketidakpercayaan publik pada para politikus. Banyak orang melemparkan penyesalan dan menatap masa lalu manakala orang-orang lebih berorientasi pada komunitas[2] dan peduli urusan publik. Merosotnya orientasi komunitas dan kepedulian urusan publik menjadi topik kesedihan para komentator dari seluruh spektrum politik. Kalangan liberal menyalahkan kekuasaan tak terbatas korporasi-korporasi atas kemerosotan ini. Sementara kaum konservatif Amerika menyalahkan negara yang tersentralisasi, menyarankan untuk desentralisasi pada aras federal.

Namun jika kita kembali pada masa yang lampau, di Yunani kuno misalnya, semua lelaki dewasa terlibat langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan komunitas mereka secara tatap muka (face to face). Mereka tidak harus menjadi aktivis dan politikus untuk membuat perubahan. Mereka tetap bisa menjadi pedagang dan sesekali datang dalam pertemuan warga untuk mengambil suatu keputusan. Misalnya, apakah Yunani perlu mengirimkan pasukan untuk melawan invasi Persia atau tidak. Inilah demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) yang sesungguhnya, dimana setiap orang dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. Memang, model demokrasi di Yunani tidak sempurna dan bisa menjadi lebih baik lagi. Karena demokrasi Yunani kuno tidak mengakomodir suara perempuan, pendatang atau budak.

Saya tidak perlu mengambil contoh yang jauh seperti Yunani kuno, karena ada sebagian dari Anda yang terlalu anti-kebarat-baratan. Di nusantara ini, ketika kerajaan ada dan pengambilan keputusan yang dapat memengaruhi orang banyak ada di tangan segelintir elit istana, semangat demokrasi justru muncul dalam skala lokal. Kampung-kampung yang jauh dari pusat kerajaan menerapkan budaya musyawarah yang mengedepankan asas mufakat (consensus), yaitu keputusan diambil hingga semuanya benar-benar sepakat. Banyak hal dilakukan karena orientasi komunitas dan dilakukan dengan budaya kolektif, kita menyebutnya gotong royong.

Aristoteles, dalam buku pertama dari rangkaian Politica mengatakan, bahwa manusia menurut kodratnya merupakan zoon politikon: makhluk yang hidup dalam polis (kota). Polis, pada masa Yunani kuno adalah sebuah kota, dan aktivitas untuk mengurusi polis adalah politik. Semua manusia, seharusnya mengurusi kehidupan dan berorientasi komunitas bersama melalui politik. Politik bukanlah ajang merebut kekuasaan seperti kita lihat pada negara-negara saat ini. Namun politik coba dihancurkan melalui upaya yang panjang dan melelahkan dan yang tersisa masih terus dihancurkan lagi. Di Eropa, politik warga diambil alih oleh kerajaan, hingga gereja merebutnya. Ketika politik oleh gereja dihancurkan, negara mengambil alih dan masih berupaya melumpuhkan partisipasi publik ini. Negara juga memerintah tempat-tempat yang jauh untuk tunduk di bawah kontrolnya, menghilangkan otonomi apapun yang sampai saat ini mereka nikmati.

Negara (states) pada hakikatnya, secara struktural dan profesional, terpisah dari khalayak umum. Ia ditegakkan di atas orang-orang biasa, laki-laki dan perempuan. Ia menjalankan kekuasaan atas rakyat dan membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Dengan sifatnya yang profesional, manipulatif dan imoral, sistem elit dan massa yang berkedok demokrasi ini, menghina ideal demokrasi yang seringkali mereka ikrarkan dalam seruan berkala kepada para ‘pemilih’. Jauh dari memberdayakan rakyat sebagai warga, negara mensyaratkan pelucutan umum kekuasaan warga. Segala sesuatu yang dilakukan secara gotong royong kemudian diambilalih oleh negara. Sistem ini mengerdilkan warga menjadi sekedar ‘pembayar pajak’, ‘pemberi suara’ dan ‘konstituen’. Seolah-olah mereka terlalu muda dan bodoh untuk mengelola urusan-urusan publik. Warga diharapkan berfungsi semata-mata secara pasif dan membiarkan elit mencarikan jalan terbaik bagi mereka, dengan bekerja menggunakan uang yang diberikan rakyat melalui pajak. Di balik keadaan seperti itu tentunya ada logika dan nilai moral yang memaksa. Nilai moral itu adalah bahwa massa publik dianggap terlalu bodoh untuk memahami sesuatu.

Di sisi lain, orientasi komunitas saat ini semakin dihancurkan menuju pada individualisme dalam pusaran budaya kapitalistik. Menyadari dirinya tidak memiliki peran publik lagi karena segala urusan publik diurus negara, individu-individu dalam negara kemudian tetap harus mengurusi kehidupannya. Tekanan-tekanan ekonomi memaksa mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu mereka agar memperoleh penghidupan. Membuat mereka kekurangan waktu untuk mencurahkan dirinya atau bersosialisasi dalam kehidupan keluarga, apalagi dalam urusan-urusan komunitas. Manusia, pada akhirnya tercerabut kodratnya sebagai makhluk politik, manakala terlalu mementingkan urusan pribadi di antara yang lain.

Tidak hanya itu, negara juga menguasai setiap jengkal lahan penghidupan. Masyarakat adat, yang secara de facto telah menempati lahan ulayat mereka sejak jaman nenek moyang, terampas haknya dan terpinggirkan. Semua lahan dianggap milik negara yang muncul belakangan, sehingga jika negara hendak membangun infrastruktur demi kepentingan publik—yang padahal demi kepentingan kelas tertentu—mereka dengan tega menyingkirkan manusia yang hidup di atasnya, merusak lahan-lahan pertanian yang produktif dan merusak keanekaragaman hayati[3].

Mereka yang sadar akan hal itu, kemudian mencoba untuk aktif secara politik. Mencoba terlibat dalam urusan-urusan publik dan mendaftarkan dirinya menjadi kandidat dalam pemilihan umum. Pada mulanya, setiap kandidat bukanlah ‘orang jahat’, sebab kebanyakan mereka pada mulanya memasuki bidang layanan publik dengan motivasi idealis. Namun, tuntutan kelompok tertentu dan tekanan sistem, mereka selalu mengingkari rakyat. Mereka menjadi seperti itu karena mereka telah menjadi bagian dari sistem interaksi kekuasaan yang perintah-perintahnya telah berkuasa atas diri mereka.

Karena sadar bahwa sistem akan membunuh idealisme, beberapa orang memilih menjadi oposisi dan menolak masuk ke dalam sistem. Mereka kritis terhadap kebijakan yang diambil dan secara heroik mengampanyekan suatu perubahan. Namun, perubahan yang diinginkan tidak pernah terwujud, karena negara yang mereka harapkan berubah nyatanya tidak mendengarkan mereka. Akhirnya mereka menyerah dan harapan mereka tergantikan dengan pesimisme, dan massa yang apatis akan semakin banyak. Sekalipun terwujud, perubahan itu adalah sesuatu yang sangat sulit. Ketimbang susah-susah membuat perubahan, lebih baik menyerahkannya kepada negara.

Satu-satunya partisipasi politik anda hanyalah di pemilu, itupun jika Anda memilih. Pertama-tama, Anda melihat berbagai iklan politik kandidat, lengkap dengan jargon politik dan foto diri yang narsistik. Kemudian Anda diminta untuk berangkat ke tempat pemungutan suara pada hari pemilihan, dan di dalam bilik, Anda melihat kertas berukuran besar dengan melihat deretan foto mereka, dan Anda dipaksa untuk memilihnya! Ketika terpilih, mereka dianugerahi jabatan dan berkerja atas dasar amanat rakyat. Tadaa! Anda dianggap aktif berpolitik! Dan banyak orang yang bertepuk tangan karena demokrasi telah dijalankan.

Sepulang dari tempat pemungutan suara, Anda kembali berkerja dan memercayakan urusan publik pada orang yang Anda pilih. Ini demokrasi? Bukan, ini aristokrasi, bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan kelompok kecil, yang mendapat keistimewaan atau kelas yang berkuasa. Keputusan ada di tangan para perwakilan, representasi konstituen. Keputusan yang mereka ambil itu suara rakyat, karena mereka dipilih rakyat! Karena mereka punya kekuasaan negara yang koersif (memaksa), keputusan yang mereka ambil dapat diterapkan saat itu juga pada semua orang. Dan mereka tidak malu menyebutnya dengan ‘demokrasi’. Padahal, setiap keputusan yang mereka buat nyaris selalu tidak berpihak kepada rakyat dan bukan berdasarkan suara rakyat.

Kita harus menyadari, bahwa satu-satunya cara untuk memperbaiki partisipasi publik adalah menghapuskan monopoli kekuasaan dan menyerahkannya kepada rakyat. Jika kekacauan ini terus berlanjut, akan semakin banyak yang apolitis dan pada akhirnya, membiarkan para perwakilan itu duduk di ruangan ber-AC untuk mengurusi kehidupan kita demi kepentingan kapitalis dan golongannya. Dan sayangnya, banyak yang menyalahkan politik atas kekacauan ini dan tidak ingin untuk terlibat dalam urusan-urusan tersebut. Padahal, menyematkan label ‘politik’ pada sistem demikian adalah kesalahan yang kasar. Menurut Bookchin, seorang sosialis libertarian, sistem ini mestinya lebih tepat dinamai kenegaraan (statecraft). Politik dan kenegaraan harus dipisahkan dengan tegas, sebab masih banyak bentuk politik yang lain, selain negara, kerajaan, dan teokrasi yang sangat monopolistik.

Dan jika saya benar, Anda sebenarnya benci negara, bukan politik. Kecuali jika Anda benar-benar tidak peduli lagi pada urusan bersama, barulah Anda benci politik.

Catatan akhir

[1] Di Indonesia, Golput adalah gerakan politik bagi mereka yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilihan umum. Pada zaman Orde Baru, gerakan ini dikampanyekan oleh Arief Budiman.

[2] Komunitas yang saya maksud bukan seperti komunitas yang dimengerti di Indonesia sebagai perkumpulan atau himpunan yang memiliki kesamaan kegiatan atau kegemaran, melainkan sekumpulan masyarakat yang berada dalam letak geografis yang sama. Komunitas yang saya maksud hampir sama dengan “warga”.

[3] Di Indonesia, kedaulatan negara atas lahan dapat kita lihat pada UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

 

Referensi

Biehl, Janet. 2016. Politik Ekologi Sosial Munisipalisme Libertarian. Yogyakarta. Daun Malam.

Chomsky, Noam. 2009. Politik Kuasa Media. Yogyakarta. Pinus.

Bertens, Kees. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Kanisius.


Penulis adalah anggota Lembaga Pers Mahasiswa Lentera UKSW Salatiga. Saat ini aktif pula sebagai koordinator aksi dan propaganda Akar Rumput, sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan reforma agraria.

You may also like...

2 Responses

  1. Ramariot says:

    Jika anda tidak menyukai sistem maka “JANGAN” memilih!
    Melakukan hal ini hanya lebih melegitimasi negara.. menyerang akar dan menentang agresi universal.
    Dengan negara / tindakan politik yg mungkin memenangkan beberapa pertempuran tetapi anda tidak akan pernah memenangkan perang ketika bermain menurut aturan negara itu sendiri : menciptakan, memodifikasi, dan menafsirkan sewenang-wenang.

  2. Ramariot says:

    Jika anda tidak menyukai sistem maka “JANGAN” memilih!
    Melakukan hal ini hanya lebih melegitimasi negara.. menyerang akar dan menentang agresi universal.
    Dengan negara / tindakan politik yg mungkin memenangkan beberapa pertempuran tetapi anda tidak akan pernah memenangkan perang ketika bermain menurut aturan negara itu sendiri : menciptakan, memodifikasi, dan menafsirkan sewenang-wenang.

Leave a Reply