Anarkis dan Elektoralisme

votenobody

Pada akhir 1970-an, di banyak negara Eropa tumbuh gerakan Hijau (dengan “H” besar) yang secara politis bercita-cita mengupayakan keberlanjutan lingkungan hidup. Mereka memiliki jaringan dengan bermacam ideologi politik yang ekosentris, termasuk ekososialisme, ekoanarkisme dan ekofeminisme dan aktif mengkampanyekan isu anti-nuklir, perdamaian, konservasi lingkungan dan kebebasan sipil. Gerakan tersebut tumbuh subur setelah kemunculan Die Grünen (The Greens), sebuah Partai Hijau yang terbentuk di Jerman dan mencuri perhatian publik. Gerakan ini sudah berjejaring secara global dan menyadarkan diri pada empat pilar, yaitu kebijaksanaan ekologis, keadilan sosial, demokrasi akar rumput dan non-kekerasan.

Pengaruh anarkisme pada gerakan Hijau sangat kentara pada pilar ketiga, yaitu demokrasi akar rumput, yang sesuai dengan berbagai pemikir eko-anarkis, seperti Henry David Thoreau, Elisé Reclus dan Leo Tolstoy, mengenai pembubaran struktur politik terpusat yang selalu mencoba untuk menyeragamkan wilayah geografis yang luas dan mendukung kontrol lokal. Namun, alih-alih mengupayakan demokrasi langsung dan desentralisasi, Partai Hijau pada akhirnya sibuk di parlemen dan bekerja amat semangat dengan partai-partai konvensional lain, seberapapun ‘ongkosnya’ menggerogoti prinsip-prinsip mereka. Membuat sayap kiri partai-partai tersebut yang dikenal berprinsip kuat dan radikal pada akhirnya gusar dan mengeluarkan diri.

Pada awalnya, Partai Hijau hendak menggunakan jabatan-jabatan yang berhasil mereka renggut sebagai platform pendidikan publik. Juga, gerakan Hijau ini muncul dengan tekad sebagai budaya tanding (counter culture) untuk merekonstruksi masyarakat dalam jalur batas-batas yang lebih ekologis. Namun, optimisme yang berlebihan muncul dengan harapan bahwa para anggota parlemen itu akan mampu mengesahkan undang-undang yang progresif dan tercerahkan secara ekologis, dan bahwa mereka harus berusaha untuk memperjuangkannya. Begitu pencapaian legislasi perundang-undangan telah menjadi tujuan, maka partai tersebut tidak lagi radikal.

Kasus ini menjadi bahan ajar yang sangat berharga bagi para anarkis berorientasi lingkungan khususnya, untuk bagaimana membangun gerakan. Tetapi kasus ini juga masih belum cukup untuk membuktikan bahwa, cara-cara elektoral harus benar-benar ditolak bagi anarkis. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah karena gerakan Hijau muncul dari berbagai kalangan yang sangat-sangat plural dengan ragam pemikiran yang sangat luas. Namun menggarisbawahi perjuangannya pada satu konsentrasi: ekologi. Kita tidak dapat melihat gerakan Hijau sebagai antinomi, yang mana individu di dalamnya punya kesamaan tunggal, misalnya, dalam faktor produksi seperti kalangan buruh atau petani. Karena berangkat dari berbagai kalangan, maka bisa saja gagasan anti-elektoralisme oleh para anarkis tenggelam, atau para anarkis sengaja menyimpannya untuk mengalah agar agenda-agenda ekologisnya tercapai bersama kalangan yang lain.

Kasus di atas tidak diupayakan untuk menjawab tuntas maksud saya dalam tulisan ini, yaitu apakah anarkis perlu menggunakan cara elektoral untuk mencapai tujuan-tujuannya seperti gerakan Hijau? Apakah anarkis perlu mengajukan kandidatnya sendiri? Apakah anarkis perlu mengikuti pemilihan?

Memilih Kepala Sipir Sendiri

Negara (states) jelas tidak demokratis. Anarkis paham itu. Namun kita perlu memisahkan dengan tegas antara negara dengan unsur yang membentuknya. Negara adalah imateriil dan objek sosial yang non-fisik. Namun perangkat yang menjalankannya, yaitu birokrasi, militer, pemilihan (umum), hukum dan konstitusi, serta unsur-unsur yang membentuknya adalah material yang konkret. Ini adalah unsur yang membentuk negara menjadi sebagai sebuah entitas utuh. Elektoralisme (mendukung pemilihan) bukan berarti statis. Sebab pemilihan bukanlah negara, tetapi unsur pembentuk negara.

Berbeda dengan negara, pemilihan adalah sesuatu yang demokratis, sebab melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan untuk menentukan siapa perwakilan dan otoritasnya. Namun tetap, ia bukanlah demokrasi penuh dan negara yang dijalankan oleh kandidat yang terpilih adalah aristokrasi, bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan kelompok kecil, yang mendapat keistimewaan atau kelas yang berkuasa. Republik dan negara federal karenanya lebih demokratis ketimbang kerajaan, namun dia tetap kurang demokratis.

Bentuk demokrasi seperti dijelaskan di atas adalah yang membentuk negara, atau disebut sebagai demokrasi negara (statist democracy). Demokrasi negara adalah bagian yang integral dari negara pada masa kontemporer, yaitu memilih sendiri otoritasnya. Ini yang menjadi argumentasi utama banyak anarkis, yang berpendapat bahwa mengikuti pemilihan berarti melegitimasi negara (lihat Peacot: 1992, Ward: 1987). Padahal kita mengenal bentuk lain demokrasi non-negara, yaitu demokrasi langsung (direct democracy) pada zaman Yunani Kuno atau Konfederasi Swiss hingga saat ini. Hal tersebut tidak dapat digugat, karena benar adanya. Pada akhirnya kandidat yang dipilih akan berkuasa atas konstituennya dan melanggengkan otoritas dan hirarki yang selama ini ditolak anarkisme. Jika negara adalah penjara, maka anda diminta untuk memilih sendiri kepala sipir penjara.

Lalu apa? Semua otoritas itu buruk, namun otoritas bisa diselewengkan menjadi kejahatan. Dalam artian bahwa otoritas itu adalah sesuatu yang bisa dinilai, terukur atau memiliki kadar. Bentuk otoritas yang sangat jahat adalah tirani dan dia dapat mewujud dalam bentuk pemerintahan yang dianggap demokratis sekalipun seperti republik. Negara adalah buruk, tetapi negara dengan penguasa jahat adalah neraka. Sebagai seorang anarkis yang memiliki otoritas atas diri saya sendiri, saya memilih untuk menunjuk otoritas yang buruk ketimbang membiarkan otoritas yang jahat memenangi pemilihan. Hal yang juga dilakukan oleh anarkis lain seperti Howard Zinn dan Noam Chomsky yang menyatakan dukungan mereka untuk kandidat progresif seperti Ralph Nader dalam pemilihan di Amerika Serikat. Seorang anarkis individualis Amerika, Lysander Spooner (1870) juga berpendapat bahwa mengikuti pemilihan adalah legitimasi bela diri terhadap negara. Ia mengingatkan bahwa bagi para statis (pendukung negara), baik pemilih maupun mereka yang abstain dari pemilihan dianggap melegitimasi negara.

Pemilihan Kota

Kegagalan gerakan Hijau mendapat perhatian khusus Murray Bookchin, sosialis-libertarian Amerika. Ia mengembangkan program politik Munisipalisme Libertarian (selanjutnya disingkat ML) yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip dan praktik-praktik demokrasi. Ia menyarankan pembubaran negara yang tersentralistik dan monopolistik, mencacahnya menjadi bagian yang kecil dalam bentuk komunitas hingga ukuran yang dapat diatur oleh masyarakat itu sendiri melalui demokrasi langsung. Komunitas yang berdekatan itu kemudian berjejaring membentuk munisipal (kota) dan munisipal tersebut berjejaring membentuk konfederasi, tanpa harus melarutkan otonomi komunitas tersebut. ML adalah penyempurnaan dari bentuk jejaring demokrasi lokal yang sebenarnya sudah diterapkan sejak dulu sekali pada zaman Yunani Kuno. Untuk mewujudkan ML, Bookchin menyarankan untuk mengikuti pemilihan lalu mengubah traktat kota dan menciptakan majelis warga, sebuah forum dimana keputusan diambil langsung oleh warga, bukan pemerintah (lihat Biehl, 2016).

Kalangan ML ini tentu saja akan bertentangan dengan anarkis inseruksioner hingga anarkis yang menyandarkan massa sebagai sumber inspirasi, seperti Pierre-Joseph Proudhon. Proudhon memetik pelajaran berharga dari Revolusi 1848 bahwa massa merupakan sumber kekuatan revolusi. Berbeda dengan pemikiran revolusi Marxian, Proudhon percaya bahwa revolusi berlangsung berdasarkan suatu bentuk tindakan spontan dari rakyat (lihat Sheehan, 2014: xvii-xviii). Pemikiran ini yang menimbulkan sikap ‘anti-platformis’ di kalangan anarkis sosial.

Bookchin berupaya membedakan dengan tegas antara pemilihan kota dengan pemilihan aras kota, terutama ketika sadar bahwa gerakan anarkis tersebut diarahkan untuk menentang negara. Jadi, ML bertujuan untuk membubarkan cengkraman negara atas kota, dan Bookchin menyarankan agar pembebasan tersebut dilakukan lewat pemilihan kota. Anda memilih kepala sipir anda sendiri, yang akan membuka jeruji penjara anda. Kesalahan utama gerakan Hijau adalah karena bergerak semata dalam koridor negara. Jejak awal mereka utamanya berangkat dari partai-partai sosialis Eropa, yang berpijak dari ideal-ideal dan prinsip-prinsip—pada beberapa generasi ke belakang—yang memiliki visi masyarakat sosialis. Tragisnya, ketika gerakan sosialis berubah menjadi berbagai partai-partai konvensional berorientasi negara, visi mereka dirusak oleh pragmatisme perolehan berupa memegang dan meluaskan kekuasaan dalam bentuk jabatan-jabatan negara.

Sementara itu, kalangan ML tidak bergerak dalam koridor negara. ML tidak berorientasi untuk menghasilkan lebih banyak anggota dalam elit pemerintahan lokal tetapi untuk menciptakan kembali ranah politik yang memperkenankan kemungkinan tertinggi bagi demokrasi langsung di kota. Berbeda dengan merebut kekuasaan negara, ML berupaya merebut kekuasaan kota dan ketika demokrasi langsung tercipta, jabatan publik tidak akan berarti apa-apa selain sebagai pelayan rakyat.

Pemilihan adalah politik, tetapi politik bukanlah negara. Kekurangan kalangan anarkis selama ini, menurut Bookchin adalah karena tidak membuat pembagian masyarakat menjadi tiga elemen yaitu bidang politik, sosial dan negara. Kalangan anarkis dianggap meniadakan bidang politik dengan membaurkannya dengan negara, dengan menerima anggapan konvensional bahwa politik dan negara bisa saling mengubah—sebuah kekacauan yang menjalar langsung kepada kalangan statis. Dengan demikian, perjuangan anarkis melawan negara seringkali mengingkari keberadaan bidang politik, termasuk metode-metode elektoral.

Bookchin berupaya mengisi kekosongan, tatkala titik inti politik dalam kecenderungan komunalis belum cukup terartikulasi dalam tulisan para anarkis sosial. Bookchin melihat bahwa sebenarnya kalangan anarkis, seperti Kropotkin dan Bakunin sendiri punya orientasi yang sama dengan ML. Bakunin misalnya, dalam tulisannya melihat bahwa dewan-dewan munisipal adalah hal mendasar bagi kehidupan politik rakyat. “Rakyat,” tulisnya, “memiliki common sense yang sehat dan praktis tatkala menjalankan urusan komunal. Mereka hampir memahami dan tahu betul bagaimana memilih para pejabat yang berkemampuan di tengah-tengah mereka. Karena inilah pemilihan munisipal selalu dengan baik merefleksikan sikap dan kehendak rakyat,” (lihat Biehl, 2016). Jadi, bahkan Bakunin pun melihat bahwa pemilihan adalah sesuatu yang baik, dalam skala lokal.

Walau kritik Bookchin terhadap model gerakan anarkis sangat tajam dan dalam, terutama untuk membedakan politik dengan negara, namun sebenarnya ML tidak benar-benar bertentangan dengan anarkis lainnya. Bookchin tidak menampik manakala gerakan ML tengah berlangsung, aksi langsung mungkin akan digunakan untuk memajukan tuntutan-tuntutan itu dan menampilkannya untuk merebut perhatian publik. ML pun juga tidak berupaya mewujudkan partai untuk merebut kekuasaan negara, tetapi asosiasi (association) politik yang merupakan tindakan sukarela (voluntary), persis seperti disarankan oleh anarkis-individualis Jerman, Max Stirner. Asosiasi tersebut terbentuk seperti kelompok studi yang mengkampanyekan ML atau pembentukan majelis ekstralegal yang menandingi dewan perwakilan rakyat aras komunitas.

Untuk menegaskan bahwa ML bukanlah gerakan reformis, Bookchin menekankan bahwa ML bukanlah suatu upaya membangun pemerintahan kota yang lebih progresif atau ramah lingkungan melalui pemilihan para kandidat ‘tercerahkan’ untuk duduk di dewan kota. Arah reformis seperti ini akan menetralisasikan upaya gerakan untuk menciptakan dan memperluas majelis-majelis warga, juga menetralkan tujuannya yang lebih besar, yaitu mengubah masyarakat. Melainkan bahwa para kandidat harus menegaskan sesering mungkin tentang tujuan maksimum gerakan mereka yaitu hendak menciptakan demokrasi langsung di kota mereka maupun di wilayah luarnya.

Hingga saat ini, metode elektoral memang belum menunjukan hasil yang memuaskan. Burlington Hijau (Green Burlington), kelompok lingkungan di Burlington dimana Bookchin berjuangan hanya berhasil membentuk Majelis Perencanaan Daerah (NPA). Jaringan kota ML di Eropa pun tidak mengarah pada pembebasan yang progresif, karena kekuatan ganda yang lahir dari jaringan kota seperti diharapkan Bookchin, belum mampu mengalahkan negara yang berjejaring secara regional melalui Uni Eropa, yang menguatkan negara. Federasi Suriah Utara atau Rojava yang belajar dari ML—mereka menyebutnya Konfederalisme Demokratik—diciptakan melalui revolusi bersenjata, bukan pemilihan. Karenanya menggantung diri pada metode elektoral semata juga tidak dapat dibenarkan.

Referensi

Biehl, Janet. 2016. Politik Ekologi Sosial Munisipalisme Libertarian. Yogyakarta. Daun Malam.
Peacot, Joe. 1992. 1992. Voting Anarchist : an Oxymoron or what?. Diakses dari http://www.bad-press.net/2016/06/24/voting-anarchists-an-oxymoron-or-what-2/
Sheehan, Seán M. 2014. Anarkisme : Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tangerang. Marjin Kiri.
Spooner, Lysander. 1870. No Treason : The Constitution of No Authorithy. Diakses dari http://www.lysanderspooner.org/works/
Ward, Collin. 1987. The Case Against Voting. Diakses dari http://www.takver.com/history/elections/ward_on_voting.htm


Penulis adalah Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Lentera. Saat ini aktif pula sebagai koordinator aksi dan propaganda Akar Rumput, sebuah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan reforma agraria.

You may also like...

Leave a Reply