Pertautan antara Islam dan Anarkisme: Kemungkinan Anarki-Islami Saat Ini (Bag.3 dan terakhir)

8b

Meskipun demikian, dalam perpaduannya, masing-masing dari konsep tersebut berubah dan terpengaruh satu sama lain. Keduanya tidak berada dalam perwujudannya yang tipikal; sebuah Islam-anarkis merupakan hal yang berbeda baik dengan gagasan Anarki maupun Islam yang biasanya dipandang normal. Para teolog dan teoritikus anarkis harus memberikan ruang terhadap jenis transformasi ini karena inilah satu-satunya jalan bagi anarki dan Islam untuk bisa menjadi lebih inklusif.

Sebuah Sejarah Perseteruan Politik
Kekuasaan dinasti yang berkuasa sepanjang perjalanan sejarah Islam menciptakan perseteruan terus-menerus terhadap struktur-struktur kekuasaan yang dibentuk oleh berbagai dinasti tersebut, yaitu hal yang disebut Karamustafa sebagai “kemunculan dan seruan tegas untuk melakukan penolakan dan penentangan.”(5) Kelompok-kelompok tersebut mewujud dalam berbagai bentuk, tergantung pada lokasi dan bentuk kekuasaan yang mereka tolak. Walaupun begitu, terdapat beberapa kecenderungan luas yang bisa dikenali dalam kelompok tersebut. Pertama, sebagian besar dari kelompok tersebut mendorong anarki individual dengan menolak dominasi dalam bentuk apa pun atas diri mereka. Tren anarki individual ini kemungkinan besar berkembang karena pergerakan tersebut mengakarkan diri pada Tariqah Sufi, yang mendorong kebersatuan diri dengan Tuhan. Sufisme menolak segala mediasi keagamaan antara umat dengan Tuhan. Lalu, kenapa perlu ada perantara politik? Ketika Sufisme arusutama (mainstream) berkolusi dengan para politisi, para anarkis menolak segala bentuk dominasi politik. Namun, mayoritas dari kelompok tersebut lebih memfokuskan dirinya pada anarki individual dan sedikit dari mereka yang berjuang untuk anarki komunal. Kedua, mayoritas dari pergerakan tersebut berwatak urban (Kramustafa,100). Terdapat beberapa alasan atas kecenderungan ini, misalnya ketersediaan pangan yang berlimpah dan memudahkan kelompok-kelompok ini untuk meminta makanan, tetapi terdapat juga berbagai alasan lain. Karamustafa menduga bahwa kelompok-kelompok tersebut berkembang di daerah urban sebagai respons atas dampak dan keterpurukan spiritual yang diakibatkan oleh kehidupan di lingkungan urban (Ibid). Saya juga memercayai bahwa praktik-praktik kelompok tersebut bersifat performatif, yang bertujuan untuk mengejutkan orang-orang awam agar merenung dan melakukan refleksi diri hingga mempertanyakan keyakinan spiritual mereka. Saya cenderung sependapat dengan Karamustafa ketika dia menulis “penolakan terhadap masyarakat berfungsi sebagai sebuah mode ketakwaan yang efektif hanya saat ia secara terang-terangan dan berkelanjutan menyasar masyarakat.” (22-23) Terakhir, walaupun beberapa dari gerakan ini merupakan pergerakan terorganisir yang pengikutnya banyak, gerakan lainya hanya sekedar ideologi-ideologi serampangan. Meskipun demikian, semuanya sama-sama menolak kekuasaan dan merupakan sebuah egaliterisme yang penuh komitmen.
Banyak ahli teolog anarkis memaknai kehidupan Nabi Muhammad sebagai satu-satunya periode anarkis sejati sepanjang periode sejarah Muslim. Meskipun Muhammad merupakan otoritas politik dan agama di antara kaum-kaum muslim awal, dia dipilih oleh Allah dan didukung oleh ijma’ kolektif para pengikutnya. Selain itu, Muhammad mengajarkan kesetaraan dan persaudaraan antar sesama manusia (Brown, 2011:60), serta berpegang pada Shurah dan ijma’ dalam menentukan keputusan dalam masyarakat. Walaupun hal ini mungkin tidak cocok dengan pemahaman klasik mengenai anarki, kepatuhan penuh kerelaan dari kaum muslim pada zaman tersebut terhadap aturan Muhammad cocok dengan sebuah konsepsi Muslim atas anarki.
Pada saat Nabi Muhammad wafat, masyarakat Muslim terbagi menjadi golongan Sunni, yang menganggap bahwa Abu Bakr adalah penerus rasul yang sah, dan golongan Siah yang menganggap Ali sebagai pengganti rasul yang sah. Meskipun demikian, kelompok ketiga dan kelompok yang disepelekan juga berkembang pada saat itu. Aliran yang ketiga tersebut menyatakan: oleh karena Muhammad tidak menunjuk penggantinya, dan oleh karena tidak ada ijma’ mengenai siapa yang patut menjadi penerus rasul, maka seharusnya tidak ada pengganti rasul sama sekali. Karena tidak ada pengganti rasul yang dipilih sesuai dengan salah satu dari dua kriteria di atas, sejumlah teolog “menyangkal bahwa [imamat] pernah ada” (Crone:25). Najdiyya dan Mu’tazilah merupakan pendukung utama dari ideologi tersebut, meskipun, beberapa kelompok darwis radikal seperti Qalandar juga menolak keabsahan kekhalifahan apa pun.
Tahun-tahun setelah wafatnya Rasul, bermunculanlah beberapa kelompok independen yang menentang pemerintahan Umayyad. Sebagian besar dari kelompok tersebut berkembang pesat sebagai dampak atas ekspansi imperial Muslim, dan tuntutan untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar di daerah-daerahnya. Kelompok-kelompok tersebut secara aktif mendapatkan tekanan dari sang Khalifah, tetapi pada tahun 656, para pemberontak di Madinah berhasil membunuh Khalifah ketiga ‘Uthman, yang kepemimpinanya menandai ‘pudarnya model representasi klasik kesatuan umat Islam di bawah hegemoni Madinah” (Hinds, 1971:355). Pembunuhan Uthman merupakan sebuah contoh tipe perlawanan yang berkembang melawan otoriterisme kekhalifahan; pertikaian semakin memuncak di awal imperium Muslim.
Pada periode itu jugalah pembedaan antara otoritas politik dan agama mulai terbentuk. Jika Nabi Muhammad merupakan seorang pemimpin politik sekaligus agama, kekhalifahan memisahkan antara kepemimpinan politik dan spiritual, serta Khalifah. “Pemisahan historis antara kekuasaan [politis] dan otoritas [agama] selanjutnya menjadi tarik-menarik yang terus berlanjut dalam segala perumusan konsepsi dan perwujudan pemerintahan di dalam masyarakat-masyarakat Muslim”. (Mitha, 2002:5). Pada titik ini, otoriterisme para pemerintah terhadap masyarakat Muslim semakin tampak jelas. Mereka tidak lagi hanya menanggung tugas untuk meneruskan Nabi Muhammad, tetapi sekarang mereka juga memiliki daerah-daerah di bawah kekuasaannya untuk diperintah. Hal yang terkesan ganjil juga adalah bahwa kelompok-kelompok yang menolak otoriterisme tersebut juga berseteru dalam hal pemisahan kekuasaan politik dan agama ini. Sebagai contohnya, Sufisme dan Qalandarisme berkembang luas pada era tersebut. Golongan yang pertama menolak otoritas agama namun tidak menolak otoritas politik, sementara golongan yang kedua menerima otoritas agama namun menolak otoritas politik.
Beberapa gerakan anti-otoriter lainya juga berkembang pada saat itu. Dua dari gerakan tersebut misalnya kelompok Najdiyya dan Mu’tazilah. Perkembangan pergerakan Najdiyya tercatat sampai akhir abad ke-7, hanya selang beberapa dekade setelah wafatnya Nabi. Kelompok Najdiyya menolak keberadaan kekhalifahan, menolak berbagai bentuk otoritas dan memisahkan diri mereka dari kekhalifahan. Hasilnya, “secara politik dan intelektual, seorang Najdiyyah tidak memiliki tuan selain Allah” (26). Najdiyya hanya berkembang dalam jumlah yang tidak begitu banyak di Basra, yang sekarang merupakan negara Irak, tempat mereka berhasil membangun masyarakat yang konsensual dan berkecenderungan anarkis. Kaum Mu’tazilah menganut pendekatan yang sedikit berbeda. Walaupun mereka juga menolak kekhalifahan, mereka melakukan penolakan tersebut atas dasar yang rasional dan berdasarkan kitab. Mereka menolak bahwa kekhalifahan “disarankan oleh hukum agama” (Crone:14) dan juga “tidak mengenali institusi tersebut sebagai hal yang diwajibkan atas dasar yang rasional” (15). Jika kekhalifahan tidaklah diperlukan serta merupakan buah dari penindasan, mereka lalu mempertanyakan mengapa kekhalifahan harus ada? Oleh karena itu, kaum Mu’tazil menyatakan bahwa pemimpin politik tidaklah diperlukan. Mereka mendorong redistribusi kekuasaan yang dilokalkan yang memastikan adanya partisipasi yang sama dari setiap Muslim. Tidak seperti kaum Sufi, mereka masih memerlukan seorang pemimpin agama, dan konsekuensinya tetap memelihara hubungan dengan birokrasi Umayyah.
Dominasi yang semakin meningkat dari dinasti Umayyah serta selama periode Abbasiyah hanya ditujukan untuk mengucilkan para teolog anarkis. Hal tersebut mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok darwis radikal. Walaupun sebagian besar dari kelompok tersebut berakar dari Tariqah Sufi, mereka tidak menganggap diri mereka sebagai Sufi karena mereka menolak pempopuleran (dan, menurut pandangan mereka, korupsi) dalam Sufisme (Karamustafa:91). Kelompok-kelompok darwis tersebut merupakan pendukung anarki individual karena mereka beranggapan bahwa “kebebasan yang dirasakan oleh individu merupakan hal yang lebih bernilai untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai oleh anarkis daripada keberadaan atau ketiadaan negara maupun otoritas agama secara teknis” (Fiscella, 2009:299). Qalandar, Haydar dan Abdal al Rum merupakan tiga kelompok darwis antimonial yang paling populer, yang memiliki cara penolakannya masing-masing. Kaum Qalandar mendorong asketisme individual dan pemisahan diri dari masyarakat, sementara kaum Haydar meyakini bahwa kontrol diri dan penyucian diri merupakan bentuk penolakan yang paling efektif. Di lain sisi, Abdal al Rum mendorong penolakan kolektif. Mereka berkumpul bersama di Tekke, atau tempat peribadatan, untuk menyelenggarakan ritual yang bertujuan untuk menghubungkan diri mereka dengan Tuhan. Hal serupa yang diyakini oleh kelompok-kelompok ini adalah bahwa “penyucian diri dalam konteks agama tidaklah sesuai dengan hidup yang dipandu dalam aturan-aturan masyarakat karena kehidupan sosial menjauhkan manusia dari Tuhan. Penyucian diri hanya bisa ditemukan dalam penolakan yang total, aktif, dan terbuka terhadap segala budaya manusia” (Karamustafa: 13). Pada khususnya, kelompok-kelompok darwis ini menolak partisipasi ekonomi dalam masyarakat serta “sistem hukum normatif yang dibentuk oleh para ahli agama” (22). Masing-masing dari kelompok tersebut secara terang-terangan merupakan kaum anarkis. Walaupun begitu, tak satupun dari mereka yang berkeinginan untuk mempopulerkan praktik-praktik mereka; mereka tetap berada di pinggiran sampai pada akhirnya hilang keberadaanya dan kembali tergabung dalam Tariqh Sufi yang tradisional.
Kemungkinan Anarki-Islami Saat Ini
Sebagai hasil dari pengenalan terhadap filsafat-filsafat politik baru, saat ini para teolog Muslim telah mempertimbangkan kembali akan kemungkinan adanya sebuah Anarki-Islami. Beberapa teoretikus membandingkan anarki, dalam perwujudannya di kalangan masyarakat Barat, dengan Al-Qur’an, Hadis, Sunnah serta dengan berbagai literatur dari para teolog Muslim terdahulu. Interaksi Islam dengan tradisi politik lainya serta perjuangan kekuasaan[1] telah membuka sebuah “ranah kemungkinan yang….terbuka terhadap politisasi atas interpretasi tertentu tentang…Islam” (Veneuse: 254). Hasilnya, kaum muslim modern telah mulai mempertimbangkan akan seperti apa kemungkinan keberadaan Anarki-Islami, dan mereka bahkan mungkin telah mulai menetapkanya.
Beberapa tema berkembang dalam studi kontemporer mengenai Anarki-Islami. Yang pertama adalah egalitarianisme. Para teolog modern telah memberikan gambaran mengenai sebuah Anarki-Islami berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa seluruh manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan. Mereka menyatakan, “Kaum Muslim merupakan umat yang saling menjaga satu sama lain, yang memelihara urusan-urusan mereka secara kolektif, oleh karena mereka semua adalah wakil Tuhan di bumi ini” (Veneuse:259). Kedua, konsep Ummah telah memainkan peran yang sangat penting sebagai dasar Anarki-Islami. Ummah merujuk pada bangsa Muslim secara kolektif, yang di dalamnya keyakinan terhadap Islam merupakan satu-satunya pilar pemersatu mereka. Semua umat muslim tergolong sebagai ummah, tanpa memandang ras, gender, kelas, atau bangsa. Esposito menuliskan bahwa Al-Qur’an “memandang…..Ummah sebagai masyarakat terbuka yang benar-benar egaliter berasaskan niat baik dan kerjasama” (28). Dengan demikian, Ummah seharusnya dipahami sebagai poin politik utama dalam Islam, sebagaimana ia memberikan ruang kesetaraan dan kerjasama yang mutual antar kaum Muslim. Dalam konteks inilah Heba Ezzat mengkonseptualisasikan sebuah “fatwa interaktif”[2] dan “ijtihad warga berbasis akar rumput” yang menghasilkan pemerintahan komunal (Bechler,2005). Dengan demikian, terdapat kemungkinan untuk mengonseptualkan sebuah Islam anarkis di masa sekarang, sebagai sintesis dari ide-ide kontemporer mengenai anarki dan Islam. Meskipun demikian, dalam perpaduannya, masing-masing dari konsep tersebut berubah dan terpengaruh satu sama lain. Keduanya tidak berada dalam perwujudannya yang tipikal; sebuah Islam-anarkis merupakan hal yang berbeda baik dengan gagasan Anarki maupun Islam yang biasanya dipandang normal. Para teolog dan teoritikus anarkis harus memberikan ruang terhadap jenis transformasi ini karena inilah satu-satunya jalan bagi anarki dan Islam untuk bisa menjadi lebih inklusif.
Kesimpulan
Islam-anarkis merupakan hal yang sulit untuk dikonseptualkan jika didasarkan pada rumus klasik mengenai istilah “anarki” dan “Islam”. Walaupun begitu, pendekatan holistik yang dikembangkan dalam tulisan ini ditujukan untuk menunjukkan nuansa dari masing-masing istilah tersebut. Sejarah anarki menunjukkan keluwesan dan manifestasinya yang bermacam-macam. Di sisi lain, Islam memerlukan pendekatan yang berbasiskan kitab suci, sosiologis, dan historis. Dengan mendekonstruksi istilah-istilah ini, kita bisa memahaminya secara non-normatif sehingga memungkinkan hadirnya kemungkinan inter-relasi antara keduanya. Saya telah menunjukkan bahwa sebuah anarki-Islam kontemporer adalah hal yang mungkin, tetapi hal tersebut membutuhkan sebuah perumusan ulang baik atas kategori-kategori anarki maupun Islam. Jika para teolog yang disebutkan di atas menafsirkan Islam kembali, maka peran para anarkis non-Muslim lah untuk mengeksplorasi pertautan antara anarki dan agama monoteistik. Konsep-konsep ini bersifat saling melengkapi, dan pengawinan keduanya dapat mendorong sebuah masyarakat Muslim maupun Non-Muslim yang lebih egaliter.


Catatan kaki:
[1] Lihat Anthony Fiscella, “Varieties of Islamic Anarchism: A Brief Introduction,” (2013) untuk melihat diskusi mengenai timbulnya anarki-Islami dan gerakan anticolonial yang saling berkelindan.
[2] Fatwa adalah sebuah  pernyataan agamis yang didasarkan pada kitab.


Sumber:
Bakunin, Mikhail Aleksandrovich. Statism and Anarchy. Ed. Marshall Shatz. Cambridge: Cambridge UP, 1990.
Bechler, Rosemary. “Islam and Democracy: An Interview with Heba Ezzat.” Open Democracy. May 11, 2005.
Brown, Jonathan. Muhammad: A Very Short Introduction. Oxford, England: Oxford UP, 2011.
Chomsky, Noam. “Notes on Anarchism,” in For Reasons of State. New York: Pantheon, 1973.
Crone, P. “Ninth-Century Muslim Anarchists.” Past & Present 167.1 (2000): 3-28.
Esposito, John L., and John Obert Voll. Islam and Democracy. New York: Oxford UP, 1996.
Fiscella, Anthony T. “Imaging an Islamic Anarchism: A New Field of Study is Ploughed,” in Alexandre J. M. E. Christoyannopoulos. Religious Anarchism: New Perspectives. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars, 2009.
Fiscella, Anthony T. “Varieties of Islamic Anarchism: A Brief Introduction.” Self Published. 2013.
Hinds, Martin “Kufan Political Alignments and their Background in Mid-Seventh Century A.D,” International Journal of Middle Eastern Studies 2 (1971), 346-367.
Ibn-Khaldun. “On Dynasties, Royal Authority, the Caliphate, Government Ranks and All That Goes With These Things,” in Edit. and Trans. Franz Rosenthal. The Muqaddimah: An Introduction to History; in Three Volumes. Princeton, NJ: Princeton U, 1967.
Karamustafa, Ahmet T. God’s Unruly Friends: Dervish Groups in the Islamic Later Middle Period, 1200-1550. Salt Lake City: U of Utah, 1994.
Mitha, Farouk. Al-Ghazālī and the Ismailis: A Debate on Reason and Authority in Medieval Islam. London: I.B. Tauris in Association with Institute of Ismaili Studies, 2001.
The Quran. London: Evans, 2002.
Quṭb, Sayyid, and Albert Bergesen. The Sayyid Qutb Reader: Selected Writings on Politics, Religion, and Society. New York: Routledge, 2008.
Veneuse, Mohamed Jean. “To Be Condemned to a Clinic: The Birth of the Anarcha-Islamic Clinic,” in Alexandre J. M. E. Christoyannopoulos. Religious Anarchism: New Perspectives. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars, 2009.
Wilson, Peter Lamborn. Sacred Drift: Essays on the Margins of Islam. San Francisco: City Lights, 1993.


Penulis adalah mahasiswa antropologi di NYU Abu Dhabi

You may also like...

5 Responses

  1. batu batu terbidik sejajar pada wajah… terus menyahut ke segala penjuru

  2. Islam and Equality says:

    Pada periode kekhalifahan Rasulullah dan 4 khulafaurrasyidiin telah diterapkan sistem politik yang bersifat egaliter dan terbukti berjalan dengan baik.Kekayaan terbagi secara rata, masyarakat bisa hidup dengan aman, baik Muslim maupun yang Non-muslim.Sangat bagus jika nantinya bisa diterapkan dalam lingkungan sosial kita.Dan mungkin memperjuangkannya pun juga tidak akan utopia…
    salam Muslim anti-authoritarian!

  3. Zindarud says:

    Selain terjemahan beberapa istilah yang buruk dalam tulisan ini (e.g. ‘shurah’ harusnya ‘syura’ [شراء]; syura’ sepadan dengan istilah musyawarah dlm bhs Indonesia. Sedangkan shurah [صوره] sepadan dengan kata bentuk [morphe]. Yang jelas keduanya adalah berbeda. Dst., dst.) hal lain yang menjadi catatan saya tentang Anarki Islami secara umum adalah mengenai konsistensi antara tindakan dan ucapan (seriousness) Muslim Anarkis tentang tauhid [توحيد]. Tauhid memang menuntut seorang Muslim menyadari bahwa tidak ada Rabb (Pemilik; Penguasa; Pengatur) selain Allah (tauhid rububiyyah); tidak ada yang berhak mengatur dan membuat aturan selain Allah (tauhid rububiyyah tasyri’i). Artinya ada peluang untuk melihat Islam dengan wajah anarki seperti slogan kaum khariji (plu. khawarij, e.g. Najdiyyah etc.): ‘la hukma illa lillah’. Dalam tarap yang ekstrem, kaum khawarij bahkan sampai mengafirkan Ali b. Abi Thalib, juga Mu’awiyyah, karena mendaku sebagai penguasa.
    Tapi di sisi lain seorang Muslim juga harus taat kepada orang² yang diberi izin untuk ditaati: dan Kami tidak mengutus rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. […] (terj. QS 4:64). Dengan kata lain, Islam tetap memiliki sisi yang autoritarian (ketaatan kepada nabi, rasul, atau ulul amri). Dan karenanya Anarki Islami (anarcho-islam; anarca-islam; islamic anarchy, dll.) menjadi upaya pembacaan tidak utuh atas tauhid.

  4. psywar says:

    KAMI AKAN TULARKAN KEYAKINAN INI
    KAMI AKAN WARISKAN KEYAKINAN INI
    TERIMAKASIH
    ———————————-
    Kukutip Wiji Thukul, kubaca biografinya. Kuamati keajaiban Nietzche dan aku mengagumi. Kuamati permainan Derida, kuselami Tolstoi, ku hisap intisari pemikiran Pramoedya, aku mengenal Thabriz, ku baca Marx, kadang ku selami Leon Trotsky dan kuterjemahkan Lenin.
    Kala masih berada di sebuah harakah atau bahkan mengenal al Qaida, aku masih sering menggunakan ucapan dan membaca kisah ataupun pemikiran mereka. orang orang tersebut. Dan aku menyukai ketenggelamanku dan kuanggap sebagai sebuah kekayaan.
    ***
    Aku perhatikan Sydney Hook, kumamah baik-baik dunia seorang anak bernama Sophie, kueksplorasi buku buku filsafat Gaarder, jiwaku haus akan Diamat Logika Tan, dan ku sempat berteduh di bawah rindangnya kebijaksanaan kemanusiaan Ghandi ataupun keganasan Chomsky.
    Aku tak merasa salah ketika mengutip mereka dalam pembicaraan, dan aku yakinkan keislamanku ini kuat.
    Aku tak merasa membenci mereka. Aku merasa mereka dan begitu banyak pemikir lain yang ku kaji mengantarku pada dunia wawasan yang dalam. Aku membaca mereka, tidak ada benci.
    Hingga kemudian Islamic State berdiri.
    ***
    Diri ini memasuki sebuah pondasi yang benar benar baru.
    3 tahun sejak pendiriannya, aku tak pernah lagi mengutip perkataan mereka. Aku mengingkari mereka dengan pengingkaran yang baru kusadari bahwa inilah makna ketulusan cinta terhadap dienullah. Aku benar benar tulus membenci mereka.
    ***
    Fondasi iman, tiang pancang tauhid, tak lain adalah upaya menafikan lalu menetapkan. Yaghfur bit thagut dengan sebenar-benarnya.
    ***
    Islamic state, atas izin Allah mensucikan keyakinanku. Aku merasakan nikmat itu. Tauhid yang indah, yang benar benar agung. Tauhid yang menancap sekaligus menerkam. Memiliki kekuatan yang mengerikan bagi musuh-musuh Allah.
    Terimakasih untukmu para Dai, para syaikh yang dalam perang menjelma menjadi singa dan serigala yang kejam dan kelaparan. Terimakasih untukmu, para ulama kombatan, yang bukan saja mengajarkan kami akan kebanggaan untuk mengatakan, waqola innanii minal muslimin!
    Inilah fase kelahiranku dan kawan-kawanku, dan kalian para syaikh –atas izin Allah membidani kami.
    Masya Allah, dan kelak aku dan ribuan mungkin jutaan lainya menjadi saksi bahwa engkau membantu kami untuk mengenal kemurnian dien ini.
    Semoga Allah mengaruniakanmu Firdaus!
    Allahummagfirlahu warhamu waafihi wafuanhu.
    _Kenji lie ayo bun_

  5. name says:

    Ini ada link:
    http://divansemesta.blogspot.co.id/2014/08/melampaui-anarkisme-dua-tahun-yang-lalu.html?m=1
    Ini tulisannya:
    Melampaui Anarkisme
    MELAMPAUI ANARKISME
    Dua tahun yang lalu, saya melihat beberapa diantara teman-teman –termasuk saya—membuat kegiatan menyerupai Food not Bomb atau malah mengikuti kegiatan tersebut, dan bangga, lalu membombardir dinding dinding kota dengan slogan-slogan yang ala anarkis, meramu aci atau meleburkan gabus dengan bensin menjadi lem untuk merekatkan poster di dinding dinding kota, dan mereka bangga –termasuk saya dulu—dan lain sebagainya. Tak tahukah kamu, saya pernah mengikuti beberapa perbincangan bahwa yang dilakukan kalian –termasuk saya dulu—itu di ejek, di bicarakan digosipkan. Bahwa kalian lucu, bahwa kalian split personality, bahwa kalian tanggung, bahwa kalian gajebo alias gak jelas bo.
    Mengapa? Karena kalian dianggap satu kaki masih sok-sokan muslim tetapi disatu sisi masih berpijak di dunia tersebut. Hal itu nanggung karena kalian dianggap menggunakan media dan cara-cara yang terkesan identik dengan cara-cara kalangan yang menyebutnya Anarkis. Ketika gambar molotov muncul, maka poster molotov itu menjadi trend, ketika poster anonymous muncul, maka anonymous itu menjadi trend, ketika jargon lain muncul maka kalian dibicarakan, dianggap sebagai kaum hipster tetapi hipster bukan dalam lingkup trend mayoritas, ini hipster dalam versi lain.
    Saya? Dan kamu yang memang punya keyakinan kuat terhadap Islam tentu akan menganggapnya enteng, mentertawakan omongan semacam itu, karena jujur saja, saya dan ada diantara kamu memang memanfaatkan hal itu. Kami secara sadar membuat, merancang,mendesain tulisan-tulisan dan propaganda, kegiatan memanfaatkan hal itu. Saya, kami tidak menyangkalnya. Kami terpengaruh oleh gambar-gambar kegiatan-kegiatan seperti itu. Lantas kenapa?
    Yang saya pedulikan bukan disananya, saya mempedulikan muslim-muslim yang menggunakan jargon-jargon, desain-desain, kegiatan-kegiatan ala anarkis tetapi cara berfikirnya masih tanggung, masih belum percaya diri terhadap diennya, terhadap Islam.
    Kalian yang tersindir mungkin akan mengatakan. “Ah itu Cuma perasaan kamu aja! Kita mah bangga aja, cuma beda.”
    Apanya yang cuma perasaan, apanya yang bangga, jika kaus-kaus yang kamu pakai seringnya mempropagandakan tokoh-tokoh Anarki? Jika buku-buku yang kamu tampilkan itu buku-buku dan zine Anarki? Seperti itukah kamu bangga terhadap Islam? Tidak.
    Kamu minder untuk menyatakan keislamanmu, kekepalabatuanmu, kebanggaanmu ditengah-tengah kaum Anarkis, karena alih-alih mempropagandakan Islam kamu malah men-suar-kan A-Z Anarkisme. Kamu malah semangat trading zine zine Anarkisme, yang merusak, disatu sisi bukannya semangat, kamu malah loyo, letoy, lesu, gak pede menyebarkan buku-buku atau pamflet Syaikh Al Makdisi, Aiman Azzawahiri atau buku lain menceritakan akidah para Rasul. Ya, Kamu malah terwarnai oleh bukan saja cara mereka, bukan saja desain atau sablonan mereka melainkan cara berfikirnya.
    Ya, cara berfikir tokoh-tokoh Anarkis, teman-temanmu yang Anarkis itu bergerilya di alam bawah sadarmu, sehingga membuat kamu melakukan banyak hal yang seharusnya tidak dilakukan, dan kamu membuat pembelaan.Itu yang saya pedulikan. Dan saya akan terang-terangan membuat garis, bahwa saya berada di front ini, mereka di front itu, kamu di front tengah.
    Dengan izin Allah, saya akan membuat kamu bangga kembali terhadap ke-Islaman-mu, bahwa Islam itu sangat dalam dan supaya, orang-orang yang menganggap dirinya Anarkis, berkaca bahwa mereka salah ketika mereka menyudutkan keyakinanmu, menyudutkan, meremehkan apa yang pernah dan sedang dilakukan oleh saudara-saudara muslim-mu. Dengan izin Allah, saya akan putar balikan kebanggan kalian terhadap yang dilakukan komunitas terkait hal-hal yang biasanya dijadikan kebanggaan, dijadikan sebagai alat sok-sok-an, keren-kerenan, yaitu:
    1. Food Not Bombs,
    2. Pedagogi,
    3. Serta aneka kekerasan yang dilakukan kalangan Anarkis.
    Mari kita bedah satu persatu
    Food Not Bombs
    Adalah sebuah kegiatan manakala Kamu mengumpulkan sayuran, datang ke pasar-pasar untuk menyortir wortel, mentimun, seledri, sayuran apapun atau mungkin daging sisa yang tidak mungkin masuk standar swalayan besar, lalu kamu memasak nasi, lalu Kamu membawanya ke sebuah taman kota, menggelar pemberitahuan bahwa di siang itu, sore, malam itu ada makanan gratis untuk tuna wisma, untuk penjaja makanan atau pun buruh yang saat itu mungkin tengah menggali saluran air, dan kamu menamakan apa yang kamu dan komunitasmu lakukan sebagai gerakan otoritarian, gerakan tanpa otoritas (ah masa) Food not Bomb?
    Kemudian, gerakan yang Kamu tiru dari luar (luar bukan berarti buruk/busuk/bangsat) menginspirasi orang-orang seusia Kamu, kebanyakannya mahasiswa atau usia mahasiswa untuk membuat hal yang sama, lalu, Kamu, kolektif Anarkis atau pseudo Anarkis menganggap hal itu hebat, sehingga ketika ada segelintir muslim yang mengadopsi hal itu kemudian Kamu dan kolektimu remehkan. Manakala, Kamu menganggap pengadopsian itu sebagai kloningan, maka saya akan katakan, makanlah kesombongan itu!
    Bagi yang tidak sombong, bagi yang rendah hati, apa yang kalian lakukan itu baik, tetapi ya, ini bagi kalian yang ngehe, maka seolah olah apa yang dilakukan itu adalah sesuatu yang besar dan heroik? Tunggu dulu, ada banyak komunitas dari kaum muslim yang turun, melakukan hal yang lebih ekstrim ketimbang yang kalian lakukan.
    Mereka memberi makan bukan segelintir orang, yang itupun hanya waktu-waktu tertentu. Mereka memberi makan ribuan orang, mengupayakan makanan yang bukan makanan sisa, makanan yang benar-benar sehat.
    Jika kalian mengandalkan Food not Bomb, maka bicaralah dengan Rumah Zakat, bicaralah dengan Dompet Dhuafa, bicaralah dengan beberapa organisasi filantropis muslim yang bahkan bukan hanya menyediakan makanan, tetapi pendidikan dan rumah sakit.
    Lantas apa yang kalian sombongkan jika kegiatan seperti itu sangat biasa dilakukan oleh ibu arisan, perkumpulan pengajian yang waktu pelaksanaannya lebih intensif ketimbang yang kalian lakukan? Perbedaan cuma pakaian kalian, cara bertutur dan propaganda kalian nampak keren, sementara ibu-ibu, ikhwan berjanggut itu gak sekeren kalian.
    Bandingkanlah hasil!
    Pedagogi
    Kamu mengatakan, kami masuk ke lingkungan kumuh, mengajarkan bagaimana anak-anak yang terpinggirkan/marjinal supaya mereka mengenal huruf dan hitung hitungan. Oh, itu bagus. Tapi mengapa dengan yang orang lain lakukan kamu begitu bangga? Apa yang kamu lakukan?
    Jika itu kamu tampilkan, maka kamu akan terhenyak manakala mengetahui ada ribuan muslim bermodal beras, bermodal uang puluhan ribu yang dikirimkan oleh sebuah gerakan Islam menuju desa-desa terpencil, mendaki gunung, ada yang meninggal dunia di bacok atau di lembing suku pedalaman, ada yang di tenung, di injak digampar, mau dimakan buaya dalam perjalanan, masuk ke dalam rimba belantara, bertemu dengan suku-suku pedalaman untuk mengajarkan Islam tetapi bukan cuma itu: mereka pun mengajarkan bagaimana berhitung dan membaca. Mereka juga mengajarkan adab dan etika.
    Dari segi penampilan bedanya sederhana. Orang-orang yang Kamu anggap mewakili kolektifmu, –sampai seolah-olah kamu yang melakukan—itu pakaiannya hitam hitam, kadang menggunakan kaos tengkorak, ada emblem: sendiri melawan dunia atau kapitalisme sampah dan slogan-slogan sablon heroik. Dalam pandanganmu mereka menjadi keren karena fashion (ya sebut saja fashion) karena musik yang disukainya sama brang breng brong hahardcoran, punk punkan, bertempo cepat dengan ketukan drum yang menyerupai mitlariur, sementara ribuan orang yang meringsek ke pedalaman dari organisasi Islam itu memang tampak kurang keren, karena kadang mereka menggunakan peci, bajunya kadang kaus sederhana, atau kemeja yang sudah lusuh, kadang menggunakan sarung, sepatupun paling keren Neckermen bukan boots ala Doc Marten atau sepatu skate Converse. Ya mereka tampak kampungan dari sudut pandang fasion, tapi siapa yang mempedulikan itu. Kita bicara perbandingan. Kita bicara hasil.
    Ketika engkau membandingkan ada segelintir orang dari kalanganmu, kemudian kamu memberitakannya dengan gagah, menyerupai kesombongan, nanti dulu, coba bandingkan dengan yang ikwan ikhwan gerakan Islam lakukan.
    Pelemparan Molotov, Vandal, Pembakaran ATM
    Ya, engkau buat dalam zine-zine-mu dalam omongan omonganmu, dalam diskusi diskusimu bagaimana anarkis Yunani melempar bom molotov pada aparat negara. Engkau bangga ketika mengangkat perjuangan Comandante Marcos di Chiapas. Engkau senantiasa menceritakan kisah-kisah bentrokan di Seatle, ketika anak anak muda Anarkis, dan membenci Kapitalis menggunakan tudung dan masker gas, ketika membuat beku kota tersebut sehingga peristiwa itu menjadi melegenda dan diceritakan berulang-ulang.
    Itu disana. Kalau bicara skup luar, kami, muslim punya yang lebih. Jika perlu kami bicarakan Suriah, Jabhah Nusrah, jika perlu kami bicarakan Al Qaida saat mempermalukan Amerika di Timur Tengah, serangan ke WTC, atau kala Islamic State Iraq and Levant (ISIS) menggusur rezim murtad di Iraq kemudian masuk ke Suriah memutuskan mitos perjanjian antar nation state yang diawali dari perjanjian Skies Pycot. Jika perlu kami ceritakan para janda mujahidin Chechnya yang dikenal sebagai Black Widow kala merencanakan pengeboman-pengeboman dan pembunuhan. Jika perlu kami kisahkan mengenai perjuangan heroik bangsa muslim di Moro, di Patani yang saat ini menjadi camp pelatihan jihadis di wilayah Melayu Raya. Itu baru segelintir saja. Saya beritahukan saja, bahwa: zine-zine kalian tidak akan mampu menuliskan perjuangan kaum muslimin melawan berhala tiran dari semenjak Mesopotamia, Babylon, masa penjajahan Belanda hingga abad ketika Kapitalisme menjadi penyihir terbesar.
    Tapi okelah, saya tanyakan apa yang bisa kamu banggakan dengan perilaku perilaku kekerasan Anarkis di negeri ini? Vandal? Ya ampun, vandal itu sih lucu-lucuan. Keren-kerenan.
    Sama aja kayak kamu buat kritikan, tulis kebencian terhadap budaya, terhadap masyarakat, terhadap negara di sosial media, di Facebook.
    “Kalau begitu mencuri, melakukan direct action di swalayan Kapitalis!”
    Ha! Yang seperti itu dibanggakan? Itu bukan mencuri keren namanya! Itu pengutilan yang sama aja dengan yang dilakukanWynona Ryder untuk kepuasan.
    Tapi kemudian kamu menyanggah “Tetapi motifnya beda!”
    Ah sama saja, untuk kepuasan juga.
    Dengan mengutil kalian cuma mendapat kepuasan saja. Bukan perubahan. Dengan mengutil sampo, sikat gigi, balsem, kondom, under wear merk Jackerton, justru kalian malah menjadikan orang yang kalian anggap korban/sekrup Kapitalisme menderita.
    Kamu pikir, perusahaan yang akan alami kerugian? Ya, tindakan seperti itu bukan keren tapi memalukan, tidak perlu diceritakan dalam blog atau zine-zine, karena yang nantinya membayar atas kehilangan itu, yang menanggung kerugian itu bukan perusahaan melainkan karyawan karyawan yang gajinya dibawah UMR itu.
    Kalau kalian bicarakan pengutilan-pengutilan maka kami akan bicarakan penggasakan-penggasakan rekening individu-individu yang sudah diidentifikasi oleh jaringan Jihadis sebagai kafir yang memusuhi. Mereka merampok bank! Mereka memiliki pasukan tersendiri secara terorganisir untuk ‘merampok’ orang orang yang memusuhi itu dan menggunakan uang yang mereka ambil untuk melemahkan negara.
    Inilah perlawanan yang mengerikan yang benar-benar menggoyang sendi-sendi pseudo Kapitalisme negeri ini. Bukannya ngutil. Bayangkan dari sudut bahasa dan bunyi sebuah kata, ngutil itu sangat lucu makna dan bunyinya ketimbang penggasakan, perampokan. Jadinya jauh sudah! (guyon cucoklogi :D)
    “Kalau begitu pelemparan molotov!”
    Melempar molotov? Ada berapa orang yang melempar molotov? Satu dua? Paling juga hitungan jari, lagian dimana kerennya? Mahasiswa tahun 1998 juga melempar molotov. Kan sama saja. Bagaimana dengan pembakaran atau pelemparan ATM dengan molotov yang kemudian ditulisi secarik kertas bahwa ada komunitas Anarkis di Indonesia yang membenci Kapitalisme?
    Kalian mengajukan itu? Yang bener aja. Ketika kalian mengatakan melawan negara dengan cara seperti itu, maka kalian tahu apa yang dilakukan Jihadis-Jihadis negeri ini? Mereka menantang duel aparat keamanan terutama Densus 88 di Tamanjeka, Sulawesi! Ketika kalian mengatakan kebencian pada polisi, mengatakan aparatmati! aparatmati! Maka apakah dengan perkataan itu kalian sudah berhasil membuat aparat modar? Membuat aparat yang kalian benci itu mati?
    Sudah banyak yang terjadi ketika ikhwan-ikhwan jihadis dari Jamaah Ansorut Tauhid ditemukan benar benar berlemah lembut pada sesama muslim (bukan kaum munafik) tetapi keras kepada kaum kafir yang memerangi, meludahi polisi saat mereka menggunakan motor. Saya akan sedikit ceritakan, bahwa ada seorang ikhwan yang mengatakan. “Bapak itu kafir harbi!” ketika ia berkunjung di sebuah penjara. Kemudian ia ditanya. “Kamu membawa makanan untuk siapa!?” maka ia mengatakan, untuk saudara saya! Lalu aparat bertanya. “Kalau kami siapa?” maka diberikanlah jawaban diatas. Dan dihajar habis-habisan ikhwan yang bertubuh kecil namun punya keberanian yang layaknya singa itu. Ada pula yang mengamuk memecahkan kaca pengadilan dan melemparkan botol air mineral, mempermalukan Jhon Kei. Adalagi yang melakukan i’dad/persiapan perang (kasus yang terkenal adalah pelatihan militer di Aceh, yang menjadikan sebuah alat justifikasi untuk menyeret Ustad Abu Bakar Baasyir)
    “Kalau begitu apa ya?”
    Apa? Ketika kalian baru bicara melawan negara, meruntuhkan negara, Imam Samudera telah melakukan pemboman yang menakutkan Amerika dan Australia setelah ia menganalisa ada banyak intelegen Australia di cafe yang ia ledakkan. Ketika kalian bicara tentang buku-buku yang kalian anggap mengancam, ikhwan-ikhwan Jihadis melangkah lebih jauh: telah mengirimkan hadiah bom buku pada Ulil Abshor Abdalla.
    Jadi, apa guna kalian bergosip ria terhadap apa yang dilakukan teman-teman kami saat mengkopi apa yang kalian lakukan? Merendahkan mereka dibelakang, menstempel mereka split personality? Itulah mengapa jika kalian mengatakan, menganggap diri apa yang komunitas Anarkis yang kalian jalani itu jauh-jauh lebih keren, maka jawablah: kini lebih menyeramkan mana, apa yang kalian lakukan ketimbang Jihadis-Jihadis negeri ini lakukan?
    “Ah! Apa yang kamu ajukan itu sektarian! Islam tidak mengajarkan pembunuhan sembarangan. Islam itu agama rahmatan lil alamin.”
    Oh, lucu. Bukankah kalian menyukai yang gore gore. Bukankah hoodie kalian bersablon tengkorak, jacket bersablon pemukul bisbol atau keling? Bukankah kalian menyukai dan melukis lukisan wanita telanjang dengan teknik cukil kayu, menggunakan rapido lalu kelaminnya ditusuk bambu atau besi? Bukankah kalian menyukai lukisan-lukisan surealis ataupun seni-seni rajah bergambar mutilasi? Menyukai film-film horor atau pembunuhan? Bukankah kalian mengeksplorasi sadomasokis, bondage, menjunjung tinggi penulis seks Prancis yang mengeksplorasi seks sadistis, yang bahkan ketika rezim memenjarakan dan menjauhkannya dari pena, ia menulis dengan tai, ludah, air seni, dan darahnya. Lalu mengapa kalian menggeneralisir seluruh polisi adalah bangsat, ACAB! Sementara kalian memprotes kekerasan yang dilakukan oleh Jihadis tertentu?
    O’, bagaimana kalian ini? Bagaimana bisa kalian tiba-tiba berubah menjadi bijak, membawa-bawa Islam pula, bahwa Islam itu rahmatan lil alamin, bahwa Islam itu agama damai setelah kalian mengkhianati roots awal kalian sendiri, setelah kalian bisa jadi murtad dari agama ini kemudian berpindah keyakinan memeluk agama anarkisme, humanisme?
    Bagaimana mungkin kalian bisa menjadi bijak, mempertanyakan apa yang dilakukan Jihadis? Mengatakan Jihadis itu sembarangan (memangnya kalian faham devinisi sembarangan dalam konteks Islam. Ya, kalian menilai sembarangan dengan definisi agama humanis, keyakinan Anarki yang kalian punya).
    O’ bagaimana mungkin setelah dalam obrolan obrolan, kalian gemar mengatakan anjing, bangsat, tai, ngentot, ya setelah sebelumnya di gigs kalian mengatakan fuck! fuck! asholle, liang tai maka O’ … apakah undergroundnista yang juga merekomendasikan buku kekerasan Anarchy Cook Book, apakah undergroundnista yang berapi-api membicarakan kegiatan penghacuran yang dilakukan oleh Black Block, perjuangan bersenjata Sub Comandante Marcos di Chiapas, pengeboman Anarkis pengagum Ema Goldman di Lexington satu abad yang lalu, atau kekerasan kalangan Anarkis Spanyol mengapa kini yang suka mendiskusikan, membicarakan dengan semangat bukan saja batu batere Alkalin, melainkan genset, mengapa undergroundnista yang menyampaikan penuh kebanggaan atas kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di komunitasnya (di luar) kinimenjelma menjadi semacam rahib-rahib, atau apakah kalian tiba-tiba mendapatkan pencerahan melalui kursus Yoga di Adnan Ashram?
    O’ mengapa kalian tiba-tiba menjadi lemah setelah sekian tahun, sekian belas tahun mendengarkan musik musik keras yang sungguh sangat brutal, setelah kalian menghadiri gigs gigs yang penuh orang menari pogo, saling bertubruk-tubrukan, yang kadang kalian terpental, gigi patah, tulang patah, darah keluar. Mempertanyakan yang Jihadis lakukan setelah kalian melakukan tarian yang tidak bisa disaingi oleh scene musik manapun?
    “O berarti tulisan ini mengajarkan kekerasan, memotivasi kekerasan!”
    Bukan disitu maksud tulisan ini dibuat.
    Para Jihadis sendiri kadang memiliki perbedaan dalam menyikapi permasalahan teknis dilapangan. Termasuk, saya yang memiliki sedikit perbedaan pandangan akan tetapi setiap Jihadis pasti akan menyatakan bahwa Jihadis lainnya (yang memiliki perbedaan cara pandang dalam melihat kasus) adalah saudara yang berhak mendapatkan pembelaan ketika media massa Kapitalis mendiskreditkan apa yang dilakukan Jihadis lainnya.
    Minimal bentuk loyalitas terhadap sesama adalah berdiam diri, tidak berkomentar pada saat sebuah kejadian yang dianggap mengerikan terjadi, karena para Jihadi memahami bahwa situasi orang yang tengah berperang, di lapangan berbeda dengan orang yang duduk-duduk mengomentari saja (ya, seperti suporter bola yang tentu jauh berbeda pemahaman akan lapangan dengan pemain bola)
    Bagi kalian kalangan Anarkis, atau sok-sok Anarkis, yang merasa bangga seolah kalianlah yang paling keren dalam membuat sebuah kegiatan, paling macho, paling revolusioner, ya bagi kalian yang terjangkit waham kebanggaan diri maka tulisan ini sengaja saya buat, agar kalian berkaca, agar kalian rendah hati atas apa yang kalian lakukan.
    Jika kalian sudah mencapai level seperti itu, sikap kami sederhana, meski saling memusuhi maka setiap musuh yang gentle, setiap musuh yang gagah, yang perwira, yang bijak tetaplah patut dihormati.
    Bagi kalian yang sekedar mengikuti, tak mengetahui substansi dari Anarkisme, maka afa hukmul jahiliyyati yabghun, hukum, way of life, pengaturan hidup siapa yang lebih baik dari hukum Allah? Maka sekali kalian menyentuh Anarkisme atau ide buatan manusia lainnya, sementara kalian tidak memiliki struktur keimanan, kekuatan tauhid maka perlahan kalian akan ikut masuk kedalam golongan yang memperolok dien Islam di dalam setiap kesempatan, atau minimal berdiam diri, ikut tertawa disela sela giting kala diantara kalian ada yang mengatakan dien ini adalah dien fasis, bahwa agama adalah mitos, bahwa tuhan itu ada di mana-mana kalau ada dimana-mana maka tuhan itu berarti ada di dalam tahi, atau di sela sela bulu ketek, maka kalian tertawa, atau tetap ikut didalamnya, maka kalian adalah bagian dari mereka.
    Kalian tak sadar bahwa lirik lirik lagu yang kalian baca, yang kalian dengar lalu kalian sing-along-kan di dalam gigs kadang merupakan lirik yang memurtadkan kalian tanpa sadar, kalian tak sadar saat membaca zine-zine Anarkis bahwa kalian itu tengah duduk dengan takzim merenungkan ceramah-khutbah stensil ustad ataupun ulama besar kaum Anarkis, maka kemudian kalian akan membela way of life Anarkisme yang saya katakan sebagai ide kufur, sebelum kalian selesai membaca tulisan ini. Ya, itu karena apa? Karena alam bawah sadar kalian menganggap ide buatan manusia itu sesuatu yang keren, karena, ide ide itu telah bergerilya dan mencendawani cara berfikir kalian.
    Karenanya, kembalilah sahabat… kembalilah kepada Islam… kembalilah kepada dien awal kita sebelum terlambat… kembalilah kepada Islam. Bukan yang lainnya.

Leave a Reply to Islam and EqualityCancel reply