Pertautan antara Islam dan Anarkisme: Pijakan Tafsir Anarki-Islam (Bag. 2)
Pendekatan Skriptural Anarkis-Islamis
Dasar teks-teks dalam Islam, yakni al-Qur’an dan hadits, serta sunnah, merupakan titik berangkat utama untuk mendiskusikan peran yang anarki bisa mainkan dalam kepercayaan umat Muslim ini. Al-Qur’an dan hadits telah digunakan sebagai sumber, baik untuk mendukung maupun menentang pendekatan anarkisme dalam Islam. Mereka membawa konsep-konsep penting seperti syahadat, khalifa, ijma’ dan shurah yang menjadi sumber para teolog muslim untuk mendiskusikan soal kekuasaan. Saya akan mulai mendiskusikan argumen penafsiran yang mendukung anarkisme, kemudian beralih ke tafsiran yang menentangnya.
Ketunggalan Tuhan atas manusia masih menjadi pembenaran utama para teolog, khususnya para teolog sufi, untuk menentang otoritas para penguasa. Kutipan yang terdapat di bagian awal artikel ini (lihat di bagian pertama) merupakan teks utama yang membuktikan mengenai dominasi tertinggi Tuhan, dan kemustahilan bagi seorang manusia untuk bisa melebihi kuasa-Nya: “Bagi mereka yang menjadikan orang lain di sisi Allah sebagai Awliya [penjaga, pendukung, pembantu, pelindung dsb.], [meskipun] Allah adalah Hafiz [pelindung] bagi mereka, dan kamu [hai Muhammad] bukanlah Wakil [penjaga atau penentu atas urusan mereka] atau atas mereka,” (42: 6).
Bahkan Nabi Muhammad sendiri sebagai Rasul Allah di bumi, tidak bisa menggantikan Tuhan dalam relasi kuasanya terhadap manusia. Posisi tertinggi Tuhan adalah di atas segalanya, yang berarti bahwa tiada seorang pun manusia yang dapat mengklaim dirinya memiliki kekuasaan melebihi Tuhan.
Keutamaan Tuhan juga dinyatakan dengan kalimat syahadat, atau ‘pernyataan keyakinan’, yang menjadi pilar utama dan terpenting dalam Islam. Syahadat memberikan peneguhan keyakinan bahwa tidak ada kekuasaan yang melebihi kuasa Tuhan dan dilafalkan setiap hari oleh kaum Muslim; lafal laa ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah) menegaskan akan kuasa Allah atas umat manusia di atas segala-galanya. Setiap kali kaum Muslim melafalkan kalimat tersebut, mereka memperkuat keimanannya kepada Tuhan, seperti yang pernah dijelaskan oleh sufi besar seperti al-Ghazali (Mitha, 2001).
Bagi kaum sufi, tak ada kebutuhan perantara antara manusia dengan Tuhan. Para penguasa yang menyatakan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi jelas mengingkari hakikat hubungan antara Tuhan dengan hambanya. Kelompok sufi radikal seperti Najdiyya, menyatakan bahwa para penguasa yang mengklaim kuasa atas manusia lainnya atau mengatur mereka dengan undang-undang, proklamasi atau negara berarti ia telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, para pemimpin atau penguasa semacam ini harus ditentang sehingga kepemilikan diri atas masing-masing individu (al-nufs) tetap menjadi bagian hakiki setiap Muslim.
Kepemilikan merupakan tema utama lain dalam kajian mengenai kekuasaan dan otoritas dalam Islam. Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman bahwa umat manusia adalah khalifah atas segala ciptaan-Nya di bumi. Dengan demikian, apa yang diperlukan adalah peran kemanusiaan untuk menjaga dan memelihara bumi seperti yang dimandatkan oleh Allah, sembari mengamini kekuasaan mutlak Tuhan atas dunia. Beberapa pemimpin menganggap diri sebagai khalifah (caliph), dan melihatnya sebagai peran pribadi mereka untuk menjaga segala ciptaan Allah, termasuk sesama manusia. Para khalifah memahami kekuasaan mereka sebagai penasbihan dari Tuhan, dan oleh karenanya “keberadaan mereka dipandang secara esensial dalam pengertian monarkis,” (Esposito, 1996: 26).
Ibnu Khaldun menyatakan kembali dalam tulisannya, “Allah menugaskan para khalifah sebagai pengemban tugas dari-Nya untuk mengurusi berbagai permasalahan yang terjadi di antara hamba-Nya” (1967: 159). Dalam istilah Ibnu Khaldun, khalifah merupakan orang-orang yang ditugaskan Allah di bumi untuk menegakkan ajaran-Nya. Meski demikian, banyak ahli teologi yang beranggapan bahwa khalifah bukanlah seorang pemimpin individual, namun menurut mereka “kaum Muslim adalah kaum yang saling menjaga satu sama lain dan memikul permasalahan secara bersama, karena mereka semua adalah khalifah Allah di bumi,” (Veneuse: 259). Dalam hal ini, para khalifah tidak bisa mendominasi atau menjadi representasi atas manusia lainnya, oleh karena setiap manusia berhak mewakili dirinya sendiri.
Cara lain yang kerap digunakan para penguasa untuk membenarkan kekuasaannya adalah konsep ijma’.[1] Apabila setiap muslim setuju untuk dipimpin oleh seorang pemimpin, dan percaya bahwa pemimpin tersebut akan memimpin dengan adil dan benar, maka kekuasaan mereka adalah sah. Meski begitu, Sekolah Sufi Najdiyya, berargumen bahwa ijma’ tidak dijalankan dengan benar semenjak Nabi Muhammad wafat. Ketika Nabi masih hidup, seluruh umat Muslim mengakui kewibawaannya, dan aturan yang ia tetapkan (politik dan spiritual) dianut oleh seluruh kaum Muslim. Namun, kegagalannya dalam menunjuk penerusnya telah memecah belah generasi awal komunitas Muslim.
Ketika kaum Sunni percaya bahwa Abu Bakar sebagai penerus Nabi Muhammad, kaum Syiah lebih meyakini bahwa Ali-lah penerus Nabi yang sah. Akibat perpecahan ini, Najdiyya menyatakan bahwa tidak ada satupun otoritas yang sah sepeninggal Rasul. Mereka kemudian mengembangkan komunitas komunal dalam skala kecil yang mengakhiri segala keterikatan dengan negara manapun dan menetapkan keputusan hanya berdasarkan pada ijma’. Ijma’ juga sejurus dengan pemahaman kita hari ini tentang anarki, dan hal tersebut dapat membantu kita membayangkan bagaimana gambaran tentang anarki-islam, di mana pengambilan keputusan harus melalui konsensus dalam rangka membangun sebuah masyarakat egalitarian dengan mempertimbangkan setiap pendapat yang muncul.
Konsep operasional terakhir yang memiliki peran cukup penting adalah shurah, atau konsultasi. John Esposito menyatakan, “doktrin klasik tentang shurah¸ dalam perkembanganya, adalah keliru. Doktrin tersebut memandang konsultasi sebagai proses yang dijalankan oleh satu orang, yakni seorang penguasa, dengan meminta saran dari orang lain, sedangkan pemahaman al-Qur’an tentang shurah tidak berarti bahwa seseorang meminta saran dari orang lain, melainkan pendapat bersama yang digelar dalam suatu diskusi bersama di mana setiap pihak memiliki hak berpendapat yang setara,” (28). Sama halnya seperti ijma’, konsep mengenai shurah dalam pemahaman al-Qur’an menegaskan akan adanya suatu bentuk kesetaraan yang mendukung terjalinnya partisipasi total dari setiap anggota komunitas Muslim. Ketika para pemimpin mengadopsi shurah sebagai sebuah bentuk dominasi, beberapa kelompok radikal seperti Najdiyya menggunakanya sebagai pilar bagi komunitas mereka yang anarkistik.
Sangatlah penting untuk menggarisbawahi beberapa penggalan surat dalam al-Qur’an dan hadits yang digunakan oleh para teolog untuk menjustifikasi sistem otoritarian. Dalam sebuah bab buku yang berjudul “On Dynasties, Royal Authority, the Caliphate, Government Ranks and All That Goes With These Things,” seorang teoritikus ternama pada abad ke-14, Ibnu Khaldun, menggunakan penggalan ayat al-Qur’an berikut untuk membenarkan keberadaan pemerintah: “Berimanlah kepada Allah, dan patuhilah Rasul serta para pemimpin di antaramu,” (4: 59). Melalui ayat tersebut, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekhalifahan diperlukan dan umat Muslim harus patuh terhadapnya.
Atas pernyataan tersebut, para Muslim anarkis berpendapat bahwa ayat tersebut hanya membicarakan soal otoritas keagamaan, bukan otoritas politik. Para pemimpin agama bisa dipercaya, kata mereka, sedangkan pemimpin politik tidak memiliki hak yang sama untuk mengklaimkan suatu kepemimpinan. Pada kalimat kedua, yakni sabda Rasul, yang juga menolak anarki: “Ribuan hari tirani lebih baik daripada satu malam anarki” (dikutip dari Fiscella, 2013: 6). Fiscella menanggapi, “hal ini tidak merangkum seluruh tradisi Islam dalam memandang ketiadaan negara dibanding anggapan Thomas Hobbes mengenai anarki sebagai ‘kondisi yang kacau’ yang kemudian memberikan simpulan pandangan Barat atas anarki,” (Ibid.). Pernyataan Fiscella tersebut mungkin sedikit sembrono, namun ia merujuk pada sebuah konsep penting yang banyak diabaikan oleh para kritikus anarkisme: yakni, keberagaman manifestasi anarkisme. Anarkisme belum tentu berarti penolakan total atas otoritas sosial dan/atau politik, seperti yang telah saya garisbawahi sebelumnya, namun merupakan renegoisasi kekuasaan yang bertujuan untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih egaliter.
Fondasi Anarki-Islam
Anarkisme memiliki fondasinya dalam gerakan menuntut hak-hak politik pada abad ke-19 di Eropa, khususnya sebagai hasil kerja dari Mikhail Bakunin. Patricia Crone berpendapat bahwa konsep Bakunin mengenai anarki adalah respons atas diskursus dominasi dan kekuasaan kaum Kristen. Ia mengidentifikasi ‘mitos zaman-keemasan’ Kristen (2000:9) yang mendasarkan pada konsepsi sejarah tentang surga, di mana Adam dan Hawa hidup tanpa dominasi dalam harmoni yang sempurna dengan Tuhan dan alam. Akan tetapi, akibat dari kejatuhan mereka “para raja diangkat sebagai pemberi hukuman dan penebusan dosa; otoritas mereka diberikan langsung oleh Tuhan, betapapun menindasnya mereka harus tetap dipatuhi oleh yang lain,” (7).
Sebagai akibatnya, negara monarki yang kuat mulai menindas rakyatnya atas nama Tuhan, yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembebasan, seperti Revolusi Prancis, dan para teoritikus seperti Marx dan Bakunin. Oleh karena negara merupakan institusi yang tidak wajar dalam kerangka doktrin Kristen, maka para teoritikus membayangkan untuk mendekonstruksi negara, menuju pada cita-cita kembali ke era keemasan di mana kesetaraan dan kedamaian terwujud. Anarki diidealkan sebagai perwujudan akan kondisi natural dan historis yang bertentangan dengan kondisi otoriter monarkis yang tak wajar.
Di sisi lain, dalam kerangka ideal Islam, otoritas bukanlah hal yang mudah untuk di dekonstruksi: “Sebagaimana (kaum Muslim) memandangnya, struktur dominasi sudah ada dan akan selalu begitu, bagi semesta itu sendiri adalah sebuah kerajaan” (Crone: 9). Dominasi Allah atas dunia seisinya adalah poin terpenting dalam ajaran Islam, dan posisi Tuhan tidak akan bisa dengan mudah dikritisi. Betapapun, ‘Islam’ sama artinya dengan ‘keberserahan’, sebuah kenyataan yang mengandung arti kuasa Tuhan atas segala ciptaan-Nya. Hal tersebut dibayangkan bahwa manusia akan melayani Tuhan selama hidup di bumi, sebagaimana diperlihatkan dalam nama Arab yang umum dipakai, ‘Abd Allah, yang berarti “hamba Allah”.
Menurut Crone, “mitos zaman keemasan Muslim bukanlah mengenai ketiadaan pemerintahan, namun lebih pada bentuk idealnya” (Ibid.). Bukannya berusaha mendekonstruksi negara, kaum muslim lebih sibuk untuk membangun bentuk idealnya. Sementara Kristen cenderung kepada anti-otoritariansme, kaum Muslim justru cenderung pada ketundukan. Dalam hal ini Islam dan anarkisme tampak bersifat antitesis; apabila Tuhan memiliki otoritas atas seluruh umat manusia, bagaimana mungkin umat Islam bisa mengonsepsikan suatu masyarakat egaliter? Anthony Fiscella menjawab pernyataan tersebut dengan menulis:
“Bahkan istilah ‘anarkisme’ dan ‘anarki’ dari dalam dan luar mereka sendiri terlampau mengacaukan kemampuan kita untuk memahami berbagai realita sosial dan politik dan kerangka konseptual budaya jauh dari pengartian kita… Mungkin istilah ‘anarkisme’ lebih mengaburkan daripada memperjelas pemahaman kita mengenai kelompok atau individu yang tidak pernah secara historis mengidentifikasi diri sebagai anarkis atau bahkan telah diidentikan dengannya sebagaimana kita memahaminya?… Selama ada keberagaman yang luas dalam definisi anarkisme dan Islam, maka riset mengenai Islam dan anarkisme sepatutnya mencakup keberagaman tersebut.” (2009: 310 – 311)
Sejalan dengan pendapat Fiscella, saya menyatakan bahwa anarki telah terlalu cepat menegasikan agama, khususnya Islam. Kita perlu mengembangkan sebuah paradigma baru anarkisme yang meliputi monoteisme, dan keberserahan personal terhadap Tuhan sembari menolak dominasi manusia lain. Ini bukanlah argumen baru, sebagaimana kaum Muslim telah mengarahkan otoritarianisme selama berabad-abad untuk menggunakan terminologi selain daripada ‘anarki’. Sekaranglah waktunya, untuk meninjaukembali dan demi menormalkan terminologi ‘anarki’ dan ‘Islam’, kita dapat mulai melacak keterkaitan antara kedua ideologi yang berbeda ini. Untuk melakukannya, kita perlu memperluas kerangka konseptual Islam dan anarki.
Ibnu Khaldun dan Sosiologi Pemerintahan
Manuskrip Ibnu Khaldun yang sangat populer di abad ke-14, Muqaddimah, banyak dianggap sebagai salah satu teks utama dalam historiografi, sosiologi dan ilmu politik. Pada bab tiga, yang berjudul “On Dynasties, Royal Authority, the Caliphate, Government Ranks and All That Goes With These Things,” Ibnu Khaldun mengkaji peran pemimpin dan pemerintah dalam sejarah Islam dan kitab suci. Ia mengajukan pemerintahan dengan penguasa tunggal, dan secara panjang lebar membahas mengenai kriteria yang baik untuk mengangkat seorang pemimpin. Maka sangat penting untuk mempertimbangkan beberapa argumen Ibnu Khaldun berkenaan tentang pemerintahan. Tulisannya tidak hanya banyak memberikan pengaruh kepada kaum Muslim di dunia, serta memberikan ide mengenai bentuk pemerintahan di wilayah tersebut, namun gagasannya pun telah memberikan sumbangan berharga bagi para teoritikus klasik mengenai konsepsi kekuasaan dan otoritas.
Konsep utama yang ditelaah Ibnu Khaldun dalam hubunganya dengan kekuasaan negara adalah apa yang ia sebut dengan, “perasaan bersama/kesamarasaan” (group feeling) (123). Ia mendeskripsikanya sebagai suatu konsensus komunal atau ideologi bersama yang bertujuan untuk mempersatukan rakyat di suatu negara. Perasaan bersama atau kesamarasaan akan memupuk kerjasama yang saling menguntungkan, hasrat untuk hidup bersama, saling percaya dan mendukung. Menurut Ibnu Khaldun, wujud agung dari kesamarasaan adalah agama, karena menyediakan kerangka acuan bersama dan sejalan dengan keyakinan masyarakat. Ibnu khaldun menggarisbawahi dua tujuan dari kesamarasaan.
Pertama, bahwa hal tersebut akan memperkokoh komunitas: “Ketika orang ingin memiliki perasaan bersama (group feeling), tak ada yang dapat menahan mereka, karena cara pandangan dan objek pemikiran mereka merupakan kesepakatan umum,” (126). Perasaan bersama berfungsi sebagai pemersatu masyarakat dan memberikan mereka suatu common sense akan suatu tujuan. Hal ini berhubungan erat dengan konsep ijma’ yang dibahas di depan, dalam masyarakat dengan kesamarasaan yang kuat lebih mungkin untuk menyepakati hal-hal sangat penting. Manifestasi pertama dari kesamarasaan ini, oleh karenanya, memiliki kesesuaian dengan anarki-islam, serta dapat menjadi pedoman dasar mengenai tipe masyarakat komunal yang hendak diwujudkan oleh kaum muslim-anarkis.
Kedua, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa fungsi dari kesamarasaan adalah untuk mendukung otoritas penguasa. Ibnu Khaldun menegaskan, “Manusia… tidak bisa bertahan dalam suatu kondisi anarki dan tanpa suatu aturan, yang akan membuat mereka terpecah belah… Oleh karena itu dibutuhkan suatu pimpinan yang kuat, seseorang yang bisa menjalankan kekuasaan. Dalam relasi ini, kesamarasaan sangatlah diperlukan,” (152). Dengan demikian, kelompok konsenus akan mempertahankan dominasi penguasa. Ibnu Khaldun memberikan bukti historis untuk mendukung pernyataanya tersebut:
“Konsensus di antara sahabat Rasul dan kaum-kaum generasi kedua membuktikan bahwa [imamah] diperlukan dengan mengacu pada hukum agama. Ketika Rasul wafat, para sahabat Nabi memberikan sumpah setia kepada Abu Bakar dan mempercayakan kepada dirinya untuk membimbing urusan mereka. Dan demikian juga untuk periode-periode berikutnya. Tidak ada periode di mana manusia hidup dalam kondisi anarki. Hal ini berdasarkan mufakat, yang membuktikan bahwa posisi imam merupakan suatu hal yang diperlukan.” (156)
Meski demikian, kita tahu bahwa hal tersebut tidaklah benar. Ada pertentangan yang signifikan ketika Abu Bakar ditunjuk sebagai penerus Nabi Muhammad, yaitu perdebatan yang sampai saat ini masih memisahkan antara golongan Sunni dan Syiah. Meskipun Ibnu Khaldun benar ketika menyatakan bahwa konsensus merupakan sebuah jalan yang sah untuk menjustifikasi kekuasaan yang berdasar pada Qur’an, namun ia keliru ketika menyatakan bahwa komunitas Muslim pernah mencapai titik kesepakatan tentang siapa yang seharusnya jadi pemimpin.
Ibnu Khaldun juga memberikan justifikasi alternatif akan perlunya kepemimpinan: “Otoritas kerajaan merupakan sesuatu yang alamiah dalam kehidupan manusia,” (151). Meski mungkin ia berasal dari masa di mana rasionalitas tidak begitu dihargai, menurut saya argumen utamanya tersebut tampak tidak lebih dari sekadar justifikasi atas dominasi. Bahkan, Ibnu Khaldun menerima pencabutan hak pilih yang datang dari otoritas kerajaan: “Dia [pemimpin] menahan mereka [rakyat] dari kekuasaan dan menghalangi mereka dari asalnya,” (141).
Alih-alih mempertanyakan otoritarianisme, Ibnu Khaldun justru mengajukan itu sebagai fakta yang tak terbantahkan. Para penguasa dari berbagai dinasti, termasuk Kekaisaran Ottoman, mengutip kalimat tersebut dan pernyataan lainnya untuk menyokong otoritas dan dominasi mereka. Teori-teori Ibnu Khaldun dipergunakan untuk mendukung struktur kekuasaan yang telah ada sebelumnya dan memberikan justifikasi lanjutan bagi dominasi dan kekuasaan. Dengan menghadirkan otoritarianisme sebagai sebuah fakta yang tidak diragukan lagi, ia mengelakkan akan kemungkinan terciptanya anarki dan egaliterisme. Sebagai akibatnya, kelompok yang berjuang untuk mewujudkan suatu bentuk masyarakat yang lebih baik menjadi terpinggirkan. Meskipun demikian, keberadaan kelompok tersebut tetap menjadi secercah harapan akan kemungkinan terwujudnya anarki-islam suatu hari nanti.
[bersambung]
[1] Ijma’ merupakan konsensus, atau pernyataan yang ditentukan secara kolektif.
Bagian 1: Pertautan antara Islam dan Anarkisme: Sebuah Pengantar
Penulis adalah mahasiswa antropologi di NYU Abu Dhabi