Pertautan antara Islam dan Anarkisme: Sebuah Pengantar (Bag. 1)

“Bagi mereka yang menjadikan orang lain di sisi Allah sebagai Awliya [penjaga, pendukung, pembantu, pelindung, dsb.], [meskipun] Allah adalah Hafiz [pelindung] bagi mereka, dan kamu [hai Muhammad] bukanlah Wakil [penjaga atau penentu atas urusan mereka] atau atas mereka.”

– al-Qur’an, surat 42 ayat 6.

“Telah diturunkan kitab suci di mana setiap manusia harus patuh dan taat kepadanya [pemimpin].. seolah kepatuhan terhadap pemerintah merupakan wahyu ilahi yang tidak bisa diubah atau ditentang.”

– Ibnu Khaldun, “Dynasties, Royal Authority, the Caliphate, Government Ranks and All That Goes With These Things,” 124.

Pengantar

Sejak kemunculan islam dan wafatnya Nabi Muhammad SAW, pertanyaan mengenai otoritas yang sesuai dengan ajaran Islam masih menjadi kontroversi. Sementara kekuasaan Tuhan atas bumi tak terbantahkan, para khalifah sejak zaman nabi sampai hari ini mengambil klaim tersebut untuk memandu dan melindungi kepentingannya. Namun, seperti kutipan di atas menyebutkan, masih terdapat pertentangan abadi mengenai otoritarianisme dan politik praktis sebagaimana tertera dalam ajaran tersebut (skriptual). Apakah dominasi politik merupakan hal yang wajar dalam ajaran Islam, atau hanya merupakan suatu penafsiran manusia yang bersifat antitesis dari firman Allah?

Pemeritahan otoriter melandaskan kepemimpinannya dengan mengacu pada lembaran manuskrip yang tersebar sejak munculnya Islam, dan menyingkirkan setiap orang yang mempertanyakan otoritas tersebut. Walhasil, sejumlah pihak berupaya membangun Islam yang anarkis atau egaliter, meninggalkan lubang hitam dalam teologi Islam dan sejarah politiknya. Selain itu, ada kelangkaan kajian akademis dalam bidang ini. Sebagian besar teolog Islam telah merumuskan aturan yang dianggap tepat, tetapi hanya sedikit pihak yang mempertanyakan soal landasan awal perumusan aturan atau kaidah tersebut. Sekaranglah saatnya untuk menelaah hubungan antara anarkisme dan Islam; apakah konsep-konsep tersebut sesuai atau sebaliknya?

Islam bukan satu-satunya arena tempat otoritarianisme digugat. Dominasi dan kekuasaan telah menyebabkan ketimpangan, baik secara historis maupun kontemporer. Saluran komunikasi dan perjalanan antarnegara telah membuka jalan bagi kemanusiaan untuk mengonsepsikan dirinya sebagai suatu entitas.

Kita semakin sadar akan banyaknya ketimpangan dan perlunya egalitarianisme, seperti misalnya penegakan hak asasi manusia. Oleh karenanya, filsafat politis egalitarian seperti anarkisme menjadi semakin populer; anarkisme bisa menjadi sebuah solusi atas berbagai bentuk penindasan. Islam sendiri termasuk yang mengusung nilai-nilai tersebut. Islam muncul sebagai respons atas “perjuangan sosial” dan sebagai jawaban atasnya, “[Islam] sejak awal mengikhtiarkan untuk menghapuskan segala sistem dan pemerintahan yang aturannya dibuat oleh manusia untuk manusia lainnya serta penghambaan manusia terhadap manusia lainnya” (Qutb, 2008: 37). Lalu mengapa kesesuaian antara Islam dan anarkisme jarang diperhatikan?

Alih-alih meringkas kajian islam dan anarkisme yang sudah ada, saya memilih untuk melihat persinggungan antara keduanya dari perspektif sosiologis, politis, historis dan teologis. Saya berpendapat bahwa islam dan anarkisme memiliki kecocokan satu sama lain, namun perkawinan keduanya mensyaratkan paradigma baru—yang lebih moderat—baik dalam islam maupun anarkisme.

Mendefinisikan Anarki dan Islam

Sebelum saya membahas persinggungan antara islam dan anarkisme, saya perlu secara singkat mengontekskan dua konsep kunci tersebut dalam artikel ini.

Islam adalah agama yang muncul pada abad ke-7 saat Allah menurunkan Kitab Suci al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, seorang pemuda yang hidup di wilayah Hijaz, Semenanjung Arab. Dalam praktik keagamaanya, landasan utama Islam adalah kitab suci Al-Quran, yang merupakan wahyu dari Allah, serta segala perkataan dan tindakan rasul (hadits) dan tradisi yang diwariskan oleh rasul dan para pengikutnya (sunnah). Dengan demikian, praktik otoritas dalam Islam tidak hanya mengacu pada ayat-ayat al-Qur’an, namun juga pada tradisi masyarakat Muslim. Oleh karenanya, pembahasan mengenai islam dan anarkisme memerlukan sebuah pendekatan holistik yang mengacu pada kitab, sejarah kaum Muslim, berbagai manifestasi Islam serta interpretasi dari para teolog.

Perlu diingat bahwa Islam tidaklah stagnan; seperti halnya agama lain, Islam selalu mengalami penafsiran ulang. Seorang akademisi kajian anarkis-islam, Mohamed Jean Veneuse bertanya, “Beraninya kita melupakan bahwa ada serangkaian tradisi, cara pandang dan wacana kultural yang begitu prularistis yang muncul dari peradaban masyarakat Islam?” (2009: 253). Sementara kaum islam normatif menjauhkan diri dari anarkisme, Veneuse mengingatkan kita bahwa, dengan adanya pluralitas dalam islam, maka pengkajian yang pluralistis juga diperlukan.

Meskipun kajian teologis yang membahas topik ini sangat langka, anarkisme sudah selayaknya menjadi bagian dari tradisi (kajian) islam layaknya konsep politik yang lain. Banyak pihak yang mempertimbangkan kemungkinan akan konsep anarkis-islam dikucilkan oleh kelompok dominan yang mengklaim tafsir monolitis untuk diri atau kelompoknya sendiri.

Para penguasa memiliki kekuasaan untuk mendefinisikan agama normatif dan menjadikannya sebagai tradisi yang tak terbantahkan. Begitulah cara mereka untuk mempertahankan kekuasaan: mereka mengecam siapa saja yang mempertanyakan kekuasaan mereka dan kemudian menyingkirkannya.

Ahmet Karamustafa menegaskan bahwa, “tidak ada… yang marjinal dalam sejarah agama” (1994: 102). Gerakan-gerakan marjinal tersebut, seperti dituliskan Karamustafa, tidak lebih hanyalah bagian dari islam sebagai suatu gerakan populer. Secara historis, anarkisme masih berada di pinggiran konsep besar islam; dalam artikel ini, saya mencoba menariknya dengan sedikit lebih jelas.

Di satu sisi, anarkisme merupakan sebuah filsafat politik yang menuntut penghapusan kekuasaan atau otoritas. Anarkisme melandaskan dirinya pada prinsip-prinsip anti-pemerintah dan menjunjung egalitarianisme. Dalam pengambilan keputusan, anarkisme melandaskan diri pada konsensus dan pembagian kerja yang menjaga kesetaraan penuh antara semua anggota komunitas. Pada umumnya, kaum anarkis menolak agama monoteis dengan menyepadankan otoritas Tuhan terhadap manusia dengan pemerintahan yang otoriter. Mereka menolak segala bentuk dominasi, baik dari manusia maupun yang bersifat ketuhanan, serta menjunjung kebebasan setiap individu. Oleh karena itu, sebagian besar kaum anarkis mengabaikan kemungkinan adanya islam-anarkis, kristen-anarkis, atau yahudi-anarkis: namun demikian, belakangan para akademisi mulai menegosiasikan kembali relasi antara anarkisme dan agama monoteis.

Perdebatan di kalangan kaum anarkis telah menghasilkan beberapa peta pemikiran. Pertama, anarkisme dipahami sebagai upaya individu maupun kolektif. Kaum anarkis-individual menentang otoritas orang lain atas diri mereka, namun mereka tidak selalu berhasrat membangun sebuah masyarakat yang sungguh-sungguh anarkis. Di lain sisi, para anarkis-kolektif bersikeras untuk bisa mewujudkan sebuah masyarakat anarkis, dan bahkan rela melupakan kebebasan pribadi mereka selama proses penciptaan cita-cita utopis ini. Perdebatan kedua berkaitan dengan marjinalisasi gerakan anarkis. Teoretikus seperti Hakim Bey (Peter Lamborn Wilson) menegaskan bahwa anarkisme harus tetap menjadi gerakan marjinal, jika tidak anarkisme akan rusak oleh popularitas (1993: 26).

Di sisi lain, seperti Noam Chomsky menilai bahwa dengan meningkatkan penetrasi anarkisme, wacana tersebut diharapkan menjadi pondasi filsafat politik bagi masyarakat egaliter suatu hari nanti (1973). Yang terakhir, para teoretikus membedakan antara anarki sosial dan politik. Anarki sosial merupakan ketiadaan hierarki sosial, yang dicirikan dengan adanya kesetaraan antarsesama tanpa memandang ras, gender, kelas atau bentuk pelabelan lainnya, sedangkan anarki politik merupakan ketiadaan otoritas, namun belum tentu tidak ada hierarki sosial. Pembedaan antara anarki politik dan sosial dapat dipahami melalui lensa sufisme (tasawuf).

Sufisme merupakan aliran dalam Islam yang mengedepankan kebersatuan diri (communion) dengan Tuhan; hal tersebut merupakan contoh gerakan anarkis sosial. Meskipun demikian, sufisme tidak selalu tidak bersinggungan dengan hierarki politik, seperti tampak pada hubungan gerakan ini dengan berbagai negara dan kerajaan, dan struktur politik internalnya ditandai dengan Tariqahs, atau sekolah, pembelajaran sufi. Di samping itu, terdapat beberapa gerakan sufi radikal seperti Qalandar yang menolak otoritas politik maupun sosial. Pembagian ini—individual dan kolektif, marjinal dan populer, atau sosial dan politik—merupakan instrumen konseptual yang penting untuk memahami nuansa anarki. Saya akan kembali menggunakan pembagian ini dalam pembahasan mengenai gerakan-gerakan anarkis, dan tentu saja hal tersebut akan menjadi instrumen penting untuk mengembangkan paradigma baru tentang anarki-islam.

[bersambung]


Penulis adalah mahasiswa antropologi di NYU Abu Dhabi

Sambungan artikel ini akan dimuat di situs web ini setiap hari Jumat selama beberapa pekan ke depan.

You may also like...

11 Responses

  1. Rudalriot says:

    Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’.
    Allah Azza wa Jalla berfirman:
    الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
    “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]
    Ideilogi islam tidak hanya berkonsentrasi dalam aturan hubungan antara “hamba dan Allah swt” saja.
    islam juga mengatur hubungan antar “manusia ke manusia lainya”, mengatur bagai mana cara “mengelolah suberdaya alam”, dan dalam “hal kepemimpinan”.
    Itu artinya islam tidak butuh pencampuran agama/ideologi Anarkisme yang tidak sempurna.
    jika di buat lingkaran islam adalah lingkaran yang sempurna.
    sedangkan anarkisme adalah setengah bulatan alis tidak sempurna, kana tidak sempurna para pemikir anarkisme mencoba menyatukan dengan idologi/agama yang mengatur dalam segi antar “hamba dan tuhanya”.
    karna ideologi/anarkisme tidak memiliki hal itu.
    kesimpulanya :
    ideologi/Agama Anarkisme adalah ideologi/Agama “CACAT”.

    • anarkistobat says:

      benar! tulisan ini membahas Islam hanya mengambil dalil sebagian tapi menutup mata dengan dalil-dalil lainnya. Banyak punya distorsi sejarah islam dalam tulisan ini. Menggabung-gabungkan Islam dengan Anarkisme adalah kekonyolan yang nyata.

  2. MartoArt says:

    Tulisan ini tak begitu bagus, tapi komen Rudalriot lebih buruk lagi. Sebuah komentar yg kental suasana fasistis, dengan kalimat yang bersifat menutup diskusi, dominatif, dan menampilkan wajah islam yang sesungguhnya.
    Saya juga tak sepakat dengan Anarkisme-Islam ataupun agama lain, tapi alasannya bukan sebagaimana Rudalriot sampaikan. Alasan saya bahwa Anarkisme-agama (apapun) adalah sebuah bentuk oxymoron. Dua hal yang menyatukannya tidaklah mungkin, melainkan hanya romantisme para pemeluk agama yg rindu anarkisme saja.

    • anarkistobat says:

      kenapa selalu menuduh fasis untuk orang muslim yang berusaha memegang teguh kemurnian keimanannya? Memang nggak ada diskusi baru dalam prinsip-prinsip ajaran Islam. Karena prinsip2 ajaran Islam sudah fix sejak berakhirnya wahyu. Nggak akan ada modifikasi apapun dalam prinsip2 Islam sampai kiamat kelak.

  3. MartoArt says:

    Tulisan ini tak begitu bagus, tapi komen Rudalriot lebih buruk lagi. Sebuah komentar yg kental suasana fasistis, dengan kalimat yang bersifat menutup diskusi, dominatif, dan menampilkan wajah islam yang sesungguhnya.
    Saya juga tak sepakat dengan Anarkisme-Islam ataupun agama lain, tapi alasannya bukan sebagaimana Rudalriot sampaikan. Alasan saya bahwa Anarkisme-agama (apapun) adalah sebuah bentuk oxymoron. Dua hal yang menyatukannya tidaklah mungkin, melainkan hanya romantisme para pemeluk agama yg rindu anarkisme saja.

    • anarkistobat says:

      kenapa selalu menuduh fasis untuk orang muslim yang berusaha memegang teguh kemurnian keimanannya? Memang nggak ada diskusi baru dalam prinsip-prinsip ajaran Islam. Karena prinsip2 ajaran Islam sudah fix sejak berakhirnya wahyu. Nggak akan ada modifikasi apapun dalam prinsip2 Islam sampai kiamat kelak.

  4. Islamisme says:

    Setuju dengan komentarmu,Rudalriot! Kesejahteraan dan keadilan serta equality (kesetaraan) dalam Islam lebih jelas,sempurna, teratur,dan terbukti telah berhasil diterapkan.Daripada bualan omong kosong Anarkisme/sosialisme libertarian/apalahh….yang saat ini masih menjadi misteri mengatasnamakan “anti-hirarki/otoritarian”.Sebuah ide pembodohan yang berujung pada perpecahan umat manusia yang semula ber-idealisme TAUHID.

  5. apalahapalah says:

    berdebat mengenai tulisan “pengantar” ..
    mantabbb, yang penting komen baca mah belakangan ..

  6. apalahapalah says:

    berdebat mengenai tulisan “pengantar” ..
    mantabbb, yang penting komen baca mah belakangan ..

  7. Hidup di bumi says:

    Antara Punk, Anarkisme dan Islam
    Antara Punk, Anarkisme dan Islam
    Oleh : Aditya Abdurrahman
    “Membangun arsitektur ketidakmungkinan”—Pam, Mempersenjatai Imajinasi #1.
    ANARKISME, merupakan sebuah konsep pemikiran yang sering melekat pada siapapun yang berada dalam komunitas atau sub-culture punk. Menurut sejarahnya, punk muncul karena adanya penindasan dan ketidakadilan pemerintah Inggris ketika awal tahun 70-an. Gerakan itu juga ditengarai munculnya band-band seperti Sex Pistols, The Clash, The Damned, dan masih banyak lagi. Sampai akhirnya diikuti dengan muncul gerakan punk gelombang kedua pada awal tahun 80-an di Eropa dan Amerika. Pada gelombang ini, punk muncul dengan pemikiran anarkisme yang lebih kritis. Kita bisa mengetahuinya dalam sikap dan pemikiran band-band punk seperti Crass, Conflict, Discharge, MDC, Dead Kennedys dan masih banyak lagi.
    Namun bukan definisi anarkisme bentukan media massa yang sedang saya bahas di sini, namun definisi anarkisme yang diakui oleh para pemikir dan pencetusnya sendiri. Karena media massa sering mengartikan secara sempit, yaitu: kekerasan adalah anarki, anarki adalah kekerasan. Salah satu pemikir anarkis yang membantah keterkaitan anarkisme dengan kekerasan adalah Alexander Berkman, dalam pengantar tulisannya yang berjudul
    “What is Communist-Anarchism?”:
    “Therefore I must tell you, first of all, what Anarchism is not.
    It is not bombs, disorder, or chaos.
    It is not robbery and murder.
    It is not a war of each against all.
    It is not a return to barbarism or to the wild state of man.
    Anarchism is the very opposite of all that.
    Anarchism means that you should be free; that no one should enslave you, boss you, rob you, or impose upon you.”
    Menurut Rudolph Rocker, seorang pemikir anarkis asal Jerman, dalam bukunya yang berjudul “Anarkisme & Anarko-Sindikalisme”, anarkisme merupakan arus intelektual, dan filsafat yang menyokong permusnahan monopoli ekonomi kapitalis. Menurutnya, anarkisme bukanlah ide utopia hasil dari pemikiran imajinatif seseorang, tapi merupakan kesimpulan logika dari penelitian tentang kebobrokan sistem sosial yang ada saat ini (Rocker, 2001: 21).
    Dalam versi lain, Arian 13 –vokalis band Seringai dan mantan editor Tigasbelas ‘zine– pernah menuliskan tentang apa itu anarki dan anarkisme dalam zine buatannya itu. Dia mengutip definisi dalam kamus Webster tentang anarki, di situ dikatakan, bahwa anarki adalah kekosongan pemerintahan, sebuah keadaan ketiadaan hukum atau kekacauan politik sehubungan dengan kekosongan pemerintahan. Dan disitu ditegaskan bahwa anarkisme bukanlah suatu ideologi, namun lebih berarti suatu pergerakan yang menentang hirarki. Yaitu suatu struktur dari pengorganisasian yang memiliki otoritas, yang mendasari bentuk penguasaan didalamnya.
    Jadi singkatnya, ada satu hal yang jelas ditentang oleh anarkis. Yaitu HIRARKI.
    Anarkis sangat membenci satu hal itu. Mereka menganggap bahwa keluruh ketidakadilan yang terjadi didunia ini bermuara pada satu kata itu: hirarki!. Titik. Sehingga seluruh pikiran, tenaga, waktu dan upaya mereka dipusatkan pada satu tujuan, yaitu untuk menghapuskan hirarki dimuka bumi ini.
    Dalam Mempersenjatai Imajinasi #1 dikatakan;
    “Kalau kamu suka sama sekolah, kamu bakalan cinta sama dunia kerja. Kekuasaan yang kejam, sudah disalahgunakan dengan absurd, penguasa yang sangat nikmatin kekuasaannya atas diri kamu direpresentasikan oleh guru dan dosen, dan itu semua nggak akan berhenti begitu kamu lulus. Kalau kamu pikir waktu itu kamu kehilangan kebebasan kamu, tunggu aja sampai kamu harus tunduk sama manajer, tuan tanah, pemilik properti, pengumpul pajak, pegawai pemerintah, petugas hukum, dan polisi…. Darimana dan gimana mereka semua bisa dapat kekuatan itu? Jawabnya hanya satu: hirarki.” (Sebuah pengantar dalam zine Mempersenjatai Imajinasi #1, hal.2, Desember 2001)
    Dari tulisan tersebut sudah pasti bahwa anarkis menggambarkan kehidupan ini begitu buruk, mencekam, dan sangat-sangat merugi jika kita masih ada dalam kehidupan yang sarat dengan hirarki. Karena menurut Pam, sang editor zine ini, hirarki adalah sebuah sistem nilai di mana diri kita dinilai dari jumlah orang atau benda lain yang ada dibawah kontrol kita, dan tentang bagaimana kita harus nurut kepada orang yang ada diatas kita atau yang mengontrol kita (Pam, 2001: 2).
    Anarkisme antara takdir dan sunnatullah
    Secara manusiawi kita memang sangat membenci setiap ketidakadilan. Sesuatu yang menindas dan zhalim terhadap sesama merupakan sesuatu yang memang menyalahi sunnatullah (baca: ketentuan Allah Swt). Jika kita berbicara ketidakadilan, maka sudah bisa dipastikan itu merupakan musuh bersama. Saya sepakat. Dan saya yakin Andapun demikian. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memang anarkisme merupakan solusi yang tepat dalam menyikapi kondisi itu? Konsep “meniadakan hirarki” atau “melawan hirarki” ala anarkisme apakah bisa direalisasikan dikehidupan nyata? Lalu apakah setiap ada hirarki selalu ada ketidakadilan? Apakah jika keadilan dalam suatu masyarakat hirarkis itu bisa terlaksana akankah anarkisme masih relevan untuk diterapkan?
    Sebelum membahas hal ini, saya ingin mengutip statemen-statemen yang diungkapkan para pemikir anarkis tentang cita-cita mereka dalam hal ini. Pam sendiri pernah menuliskan dalam artikelnya berjudul “Anti-hirarki = Anarki, Redefinisi Anarkisme sebagai Pendekatan Personal pada Hidup” seperti ini;
    “Berhentilah mikir anarkisme sebagai ‘tatanan masyarakat’ yang lain, atau sebagai sistem sosial yang lain. Dari tempat kita berada, di dunia yang sangat penuh sama dominasi dan kontrol, susah bahkan kayaknya nggak akan mungkin untuk ngebayangin hidup tanpa pemerintahan sama sekali, tanpa hukum apapun atau pemerintahan manapun. Nggak heran kalo kemudian anarkisme jadi nggak pernah dianggap serius sebagai program sosial atau politis yang skalanya gede: nggak ada orang yang ngebayangin gimana dan bakalan seperti apa nantinya, atau nggak cara nerapinnya – bahkan juga mereka sendiri yang ngaku dirinya anarkis”.
    Kalimat yang terungkap itu selain bentuk manifestasi sang editor zine itu tentang redefinisi yang sudah dia buat, sekaligus sebagai bentuk pengungkapan atas ketidakyakinan dia bahwa konsep anarkisme mampu menjadi solusi untuk problematika yang dihadapi di masyarakat. Mengapa dia pesimis anarkisme diterapkan disuatu masyarakat yang luas? Ternyata hal itu sendiri juga dirasakan oleh Rudolph Rocker sendiri. Dia berkata:
    “Anarki dapat pula berarti sebuah lingkungan utopis yang terdiri dari individu-individu yang tidak memiliki pemerintahan dan menikmati kebebasan mutlak”.
    Statemen-statemen tersebut merupakan sebuah pernyataan bahwa mewujudkan masyarakat tanpa hirarki adalah sekedar mimpi saja (utopia). Tidak akan pernah terwujud. Alias sangat-sangat tidak mungkin. Karena mereka sebenarnya mengerti bahwa adanya hirarki di kehidupan sosial merupakan suatu keniscayaan. Namun karena filsafat anarkisme harus jauh dari konsep ke-Tuhanan, maka tidak ada istilah “takdir” dan “Sunnatullah” dalam kamus mereka. Karena kalau sampai konsep takdir ini masuk dalam wilayah pemikiran ini sudah jelas hal itu akan menghambat bahkan sampai memberhentikan perjuangan mereka. Semua akan stop sampai disini. Dan semua ‘menyerah’ pada takdir.
    Sesungguhnya, andaikata manusia mau beriman pada Al-Qur’an, seluruh jawaban bagi seluruh permasalahan hidup sudah tersedia solusinya. Terlebih masalah sosial kemasyarakatan. Sangat banyak ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang memberikan solusi logis dan terbukti berhasil diterapkan dimasa lalu.
    Dalam sejarah pemerintahan Islam, ekspansi yang dilakukan untuk memperluas wilayah selalu bermotif “pembebasan”, karena latar belakang daerah-daerah tersebut sedang dalam keadaan ditindas oleh penguasa Eropa yang zhalim. Bahkan masyarakat di suatu wilayah yang direbut oleh pemerintahan Islam ketika itu justru menunjukkan kerelaannya, karena Islam menawarkan konsep masyarakat yang lebih adil. Pada periode Daulat Umayyah (661-750M), di bawah pemerintahan Khalifah Al Walid Bin Abdul Malik, Islam melakukan ekspansi ke Eropa.
    Dalam buku “Jejak Kegemilangan Umat Islam Dalam Pentas Sejarah Dunia” sebagai berikut: Budi Suherdiman menjelaskan, ketika Islam datang ke Eropa, justru disambut penduduknya, tanpa terjadi anarkis;
    “Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi’e, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.”
    Peradaban Islam dapat berdiri berabad-abad karena menerapkan nilai-nilai Qur’ani. Dan sudah bisa dipastikan keruntuhannya juga disebabkan karena jauhnya umat Islam dari nilai-nilai tersebut. Ibn Khaldun, seorang ulama yang ahli dalam masalah sosial kemasyarakatan juga menjelaskan dalam kitabnya yang berjudul ”al-Muqaddimah” bahwa jatuhnya sebuah negara utamanya disebabkan oleh tirani dan kezaliman penguasa. Hal tersebut didukung kuat oleh penjelasan Henri Shalahudin dalam tulisan beliau berjudul “Moral dan Peradaban Menurut Ibnu Khaldun” bahwa perbuatan fasik (maksiat besar) yang dilakukan oleh individu masyarakat tidak akan langsung menyebabkan hancurnya peradaban, jika dibandingkan dengan perbuatan tirani yang dilakukan penguasa.
    Memang adakalanya perbuatan maksiat besar bisa menyebabkan runtuhnya peradaban jika pelakunya adalah penguasa negara yang tidak terjamah hukum. Hal ini berarti bahwa dalam Islam menegaskan jika ada seorang penguasa berbuat zhalim, dan jauh dari nilai-nilai Qur’ani, maka sudah bisa dipastikan akan menimbulkan kehancuran dalam pemerintahannya.
    Islam dan Keadilan
    Selain itu, berbicara soal kata “adil”, seharusnya Islam lebih berhak untuk mendefinisikannya. Saya berpendapat demikian karena asal-usul kata “adil” tersebut berasal dari Islam yang memiliki makna khusus. Dan itu hanya bisa dipahami dengan tepat jika dirunut menurut worldview Islam. “Adil” merupakan istilah yang khas yang terdapat dalam banyak sekali ayat dalam Al-Quran. Salah satu contoh saja dalam Surat An-Nahl:90 , Allah Swt berfirman:
    “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl :90).
    Prof. Hamka dalam tafsirnya yang tersohor, Al-Azhar, menjelaskan makna adil dalam ayat tersebut yakni “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim. Yang artinya memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. Maka benang merahnya, menurut Hamka, selama keadilan itu masih ada di masyarakat, pergaulan hidup hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai.
    Adil dalam Islam bukan “sama rata, sama rasa”. Menurut Dr. Adian Husaini, konsep adil itu adalah konsep khas Islam, jadi seharusnya dipahami dalam perpektif worldview Islam pula. Jika ini dimaknai menurut worldview Barat, maka akan berubahlah maknanya. Seperti contohnya konsep keadilan atau kesetaraan gender menurut Barat. Konsep ini menggugat pandangan Islam yang mereka tuduh diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal aqiqoh, waris, imam shalat, dan lain sebagainya. Mengapa begitu? karena konsep keadilan yang Barat anut bukan pada konsep keadilan menurut worldview Islam. Dan semua itu sulit untuk dipahami jika sejak awal dalam hati seseorang memang tidak ada iman sedikitpun.
    Seorang ulama Al Ikhwan al Muslimun, Sayyid Quthb, sudah pernah membahas tentang solusi Islam dalam menghadapi ketidakadilan sosial di masyarakat. Hal itu dia beberkan dalam tafsirnya yang terkenal, Fii Zhilalil Qur’an yang beliau tulis ketika bertahun-tahun dia dipenjara oleh pemerintah Mesir yang zhalim dan korup. Bahkan dalam bukunya berjudul Al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), Sayyid Quthb tidak menafsirkan Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Malah justru Islam adalah kekuatan sosial dan politik yang sangat aplikatif (konkret) direalitas nyata. Di sini Quthb membantah pemikiran Ali Abd al-Raziq dan Taha Hussein yang sekuler. Karena keduanya pernah menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak ada kecocokannya. Sayyid Quthb menyatakan bahwa tidak adanya alasan yang logis untuk memisahkan Islam dari urusan sosial kemasyarakatan dan politik.
    Seorang Dosen UIN Bandung, Taufiq Rahman, juga pernah membahas ini dalam suatu tulisan khusus tentang “Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dan Islam sebagai Solusi”. Menurutnya, Quthb memberikan resep yang telah dijalani oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu membentuk jama‘ah kecil yang berkomitmen kepada Islam dalam segala aspek kehidupannya, melakukan pemisahan emosional (‘uzla shu‘uriyya), kemudian membentuk generasi Qur‘ani, dan selanjutnya menyiapkan tatanan hukum sosial atau membina masyarakat. Semua itu dijelaskan Sayyid Quthb dalam karya fenomenalnya, Ma‘alim fi al-Tariq.
    Taufiq Rahman juga menjelaskan dalam tulisannya tentang teori Sayyid Quthb tersebut:
    “Pemikirannya tentang keadilan sosial dalam Islam hampir murni dari kritik. Ini karena Quthb menyajikan bahwa untuk sebuah himbauan moral, Islam pun mempunyai dasar-dasar etis tentang keadilan sosial. Bukannya kritik yang ada, bahkan peniruan atas atau penghampiran dengan teori Quthb yang kemudian bermunculan. Semua buku atau artikel yang ada tentang keadilan sosial dalam Islam adalah kurang lebih sama dengan apa yang ditulis Qutb. Hamid Algar menyebut bahwa setelah buku Sayyid Quthb ini (1949) muncul buku senada dari Suriah yaitu Ishtirakiyyat al-Islam (Sosialisme Islam) (1951) oleh Mustafa al-Siba‘i, Keadilan Sosial dalam Islam (1951) oleh Hamka dari Indonesia, dan Iqtisaduna (Ekonomi Kita) oleh Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr dari Iran.”
    Solusi ini sudah terbukti berhasil diterapkan. Bukan hanya impian atau utopia belaka. Memperjuangkannya pun lebih memberikan harapan yang kuat dalam hati bahwa konsep ini akan terwujud dikemudian hari di dalam kehidupan bermasyarakat kita. Jadi ini sama dengan membangun arsitektur yang sangat memungkinkan untuk dibangun. Suatu keadilan sosial dalam masyarakat. Tanpa harus menafikan Sunnatullah adanya hirarki sosial di dalam masyarakat itu. Agar perjuangan kita mewujudkan masyarakat yang lebih baik itu semakin jelas gambarannya. Bukan hanya diangan-angan seperti impian kaum anarkis yang sering dipuja-puja oleh penganut punk. Karena sudah bisa dipastikan bahwa kelak mereka akan berhenti kelelahan, karena upaya yang dilakukan telah menguras tenaga, pikiran, dana dan waktu. Padahal hasilnya sudah mereka akui sendiri, bahwa hal itu merupakan KETIDAKMUNGKINAN YANG PASTI. Wallahu a’lam.*
    Penulis adalah dosen ilmu komunikasi dan editor Sa’i zine
    Rep: Admin Hidcom
    Editor: Cholis Akbar
    Update aplikasi Hidcom untuk Android Sekarang juga !

Leave a Reply to apalahapalahCancel reply