Rojava: Demokrasi Tanpa Negara (Bag. 1)

11898635_10203811947054176_334845540526818187_n
[dropcap]D[/dropcap]ari televisi dan video-video di internet, saya masih ingat bagaimana Arab Spring (Musim Semi Pemberontakan di Arab) menyapu sebagian besar negara berpenduduk mayoritas arab di Afrika Utara dan Timur Tengah. Meletup lewat aksi bakar diri seorang pedagang kaki lima Tunisia, Mohamed Bouazizi, api pembangkangan rakyat ini menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, Yaman dan lainnya sejak Desember 2010 hingga paling tidak tiga tahun kemudian. Dampaknya tentu saja membentuk sebagian besar kondisi ekonomi-politik negara-negara tersebut hingga sekarang. Pengaruh mutualnya bahkan bisa dilacak hingga ke berseminya protes global di 950 kota di 82 negara di seluruh dunia. [1][2]
Setidaknya, hingga akhir tahun 2012, Arab Spring menyebabkan enam kali penggulingan pemerintah (Mesir dua kali dan Yaman dua kali), tiga perang sipil (Suriah, Irak, Libya), 1 gejolak sipil yang mengarah ke perubahan pemerintah, 5 protes yang mengarah ke perubahan pemerintah, 5 protes besar, dan 5 protes kecil. Di Tunisia, Presiden Zine El Abidine Ben Ali bersama pemerintahannya digulingkan. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak dan pemerintahannya bernasib sama. Di Libya, Muammar Gaddafi dibunuh dan pemerintahannya digulingkan setelah perang sipil yang melibatkan intervensi militer asing. Di Yaman, Presiden Ali Abdullah Saleh digulingkan dan kekuasaan diserahkan kepada pemerintah persatuan nasional. Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad menghadapi pemberontakan sipil yang berubah menjadi pemberontakan bersenjata berskala luas. Di Kuwait, Lebanon, dan Oman, perubahan Pemerintah dilakukan untuk menanggapi protes. Di Maroko dan Yordania, reformasi Konstitusi dilakukan menuruti tuntutan rakyat. [3]
Mayoritas rezim yang menghadapi gelombang pemberontakan ini berbondong-bondong mereformasi struktur kekuasannya untuk menenangkan hati rakyat (tentu saat mereka gagal memadamkan amarah rakyat dengan peluru dan tank!). Saat pemerintah berhitung bahwa kekuatan rakyat mulai tak bisa dibendung, saat itulah tuntutan dituruti. Ada satu benang merah yang menggambarkan pola perubahan rezim-rezim ini: REFORMASI. Individu-individu dan kelompok yang menduduki kekuasaan diganti, institusi-institusi yang selama ini dianggap menindas diperbaiki lewat perubahan regulasi dan undang-undang, dengan harapan bahwa rakyat akan mendapatkan perlakuan yang “lebih baik” dari sebelumnya.
Tapi ada anomali di wilayah Kurdistan, khususnya di Rojava atau Kurdistan Barat (juga di Kurdistan Utara di dalam “Turki”, dan Kurdistan Timur yang berbatasan dengan Iran). Alih-alih sekadar menuntut struktur kekuasaan yang mapan untuk mereformasi, dan mengharapkan perlakuan yang “lebih baik” darinya, Rojava memilih membangun struktur kekuasaan alternatif paralel sendiri. Sistem alternatif paralel ini diarahkan untuk menggerogoti hal yang lebih jauh dari sekedar rezim-rezim pemerintahan, yaitu negara-bangsa dan kapitalisme.
Tulisan ini mencoba memberi pembaca berbahasa Indonesia pengantar singkat mengenai eksperimen ekonomi-politik di Rojava (dan, dengan derajat yang lebih sedikit, di wilayah Kurdistan Utara, dan Timur) dalam membangun demokrasi tanpa negara, yang mereka yakini dapat menjadi alternatif atas masalah yang muncul akibat struktur kekuasaan hierarkis dari negara-bangsa dan kapitalisme. Tulisan ini mencoba sedikit memaparkan hal yang digambarkan sendiri oleh masyarakatnya sebagai upaya untuk membangun “masyarakat yang merdeka dalam demokrasi, ekologi, dan gender.” Pembangunan yang mereka sebut sebagai Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis ini menolak pendirian “negara-bangsa sosialis”, dan mengupayakan “masyarakat tempat manusia dapat hidup bersama tanpa instrumentalisme, patriarki, atau rasisme – sebuah ‘masyarakat etis dan politik’ berstruktur kelembagaan demokrasi akar rumput dan swakelola.”[4]
Tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama berisi gambaran singkat sistem demokrasi akar rumput di Rojava, yang mereka sebut sebagai Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis. Selanjutnya adalah pembahasan sedikit mengenai kedekatan Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis dengan pemikiran Munisipalisme Libertarian dari Murray Bookchin, seorang pemikir komunalis asal Amerika Serikat, yang memiliki sejarah pemikiran dan praktik yang panjang dengan Marxisme dan Anarkisme.
Bagian kedua memapakarkan praktik demokratisasi Rojava dalam politik, ekonomi, pertahanan diri, dan gender. Selain itu, untuk menghindari glorifikasi buta yang tak kritis, bagian ini juga memaparkan sejumlah masalah dan kontradiksi dalam eksprimen Rojava dari perspektif kelas. Terakhir sebagai penutup, terdapat intisari mengenai apa yang coba ditawarkan Rojava pada masyarakat di mana pun yang tengah memperjuangkan kemerdekaannya, khususnya dalam ekologi, gender, ekonomi dan politik, termasuk Indonesia.
Menolak Negara-bangsa, Membangun Struktur Kekuasaan Tandingan
Kurdistan sendiri merupakan daratan berpenduduk sekitar 40 juta orang. Ia terbagi di antara Irak, Suriah, Iran dan Turki setelah Perang Dunia I. Secara historis, orang Kurdi mengalami pembantaian di tangan berbagai rezim yang silih berganti, khususnya di Irak dan Turki. Sejak itu, orang Kurdi terus ditindas di bawah negara-negara yang kini berdiri di daerah Kurdistan. Di Kurdistan Irak, di bawah rezim Saddam Hussein, orang Kurdi pernah dibantai lewat serangan senjata kimia dalam Operasi Anfal. [5] Di Turki, sampai saat ini, Kurdi bahkan tak punya hak dasar. Berbicara dalam bahasa sendiri pun dilarang. [Selama pertengahan tahun 2015 ini, pesawat dan tank-tank Turki membombardir wilayah-wilayah yang dihuni oleh orang Kurdi saat orang-orang Kurdi tengah menghadang ekspansi monster fundamentalis yang paling mengancam saat ini, yaitu ISIS!] Di Suriah, kondisi orang Kurdi sedikit mendingan daripada di Turki. Di Iran, orang Kurdi memiliki beberapa hak dasar dan diakui sebagai pembentuk bangsa yang berbeda dari Persia, tetapi tidak memiliki otonomi.
Arab Spring ikut mendorong Revolusi Rojava. Gelombang pembangkangan rakyat ini sampai di Suriah pada awal 2011, lantas menyebar ke kanton-kanton Kurdistan di Suriah yang mencakup Jazira, Kobane dan Afrin. Protes orang Kurdi di tiga kanton tersebut sangat kuat dan efektif. Hingga titik tertentu, ia menyebabkan tentara Suriah ditarik dari wilayah tersebut, kecuali beberapa daerah di Jazira.

Rojava_cities

Teritori Rojava (Kurdistan Barat) saat ini


Namun, Arab Spring tentu hanya salah satu faktor pendorong Revolusi Rojava. Ia tak dapat menggantikan persiapan matang rakyat Rojava. Mereka mempersiapkan diri berpuluh-puluh tahun sebelum situasi revolusioner muncul: membangun lembaga tandingan, menciptakan struktur kekuasaan tandingan. Pembantaian al-Qamishli tahun 2004 [6] mengajarkan bahwa mereka tidak cukup siap, sehingga persiapan dilakukan lebih intensif. Jadi, ketika situasi revolusioner berkembang pada tahun 2011, mereka siap. Ketika rezim runtuh, dan meninggalkan kekuasaan, lembaga-lembaga dan struktur kekuasaan tandingan siap mengambil alih kekuasaan, dan mereka berhasil melakukannya.
Praktik Rojava ini mengingatkan saya pada pandangan Murray Bookchin tentang masa-masa revolusioner. Ia berpandangan, revolusi tidak muncul begitu saja sembarang hari. Ia muncul jika faktor-faktor pendorongnya matang. Hanya di waktu-waktu tertentu saja lah “situasi revolusioner” berkembang—situasi yang memungkinkan penjungkir-balikan sistem yang ada.
Bookchin menyesalkan, terlalu sering ketika situasi revolusioner muncul, kaum revolusioner tidak siap. Kaum revolusioner merindukan perubahan, tapi tidak mempersiapkannya jauh-jauh hari. Maka, ketika situasi revolusioner berkembang, mereka kehilangan kesempatan. Rakyat Rojava tahu betul kesalahan ini.
Seperti Bookchin pula, rakyat Rojava memahami bahwa persoalannya bukanlah menghapuskan kekuasaan—yang tidak dapat dilakukan, melainkan di rahim siapakah kekuasaan berada: rezim atau rakyat? Karena itulah, saat terjadi ketidakstabilan kekuasaan, dan kekuasaan kosong, mereka berduyun-duyun mengambil-alihnya lewat struktur kekuasaan alternatif yang mereka sebut sebagai Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis.
Apa yang dimaksud dengan Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis?
Otonomi Demokratis bukanlah sekadar otonomi untuk mengatur kehidupan sendiri, melainkan juga otonomi yang menerapkan struktur lembaga swakelola dan demokrasi akar rumput. Otonomi Demokratis ini bukanlah produk kebijakan negara, melainkan kesepakatan rakyat langsung dari bawah, dan pengorganisasiannya diupayakan dari bawah ke atas, dan lewat demokrasi langsung yang memungkinkan penggerogotan struktur kekuasaan negara-bangsa.
“Tujuannya adalah menangani masalah dalam hidup kami, di lingkungan kami, dan menyelesaikannya sendiri tanpa tergantung pada negara,” ujar salah seorang penanggung jawab perkumpulan lingkungan di salah satu daerah miskin di kota Amed, Kurdistan Utara. [7] Pernyataan ini menggambarkan upaya masyarakat di Kurdistan untuk membangun Otonomi Demokratis, yaitu “praktik tempat masyarakat memproduksi dan mereproduksi kondisi hidup yang diperlukan dan diinginkan lewat keterlibatan langsung dan kolaborasi satu sama lain.” [8] Lembaga-lembaga ini tengah dibangun di banyak tingkat-tingkat lokal dan konsentris.
Lembaga-lembaga di tingkat lokal dan konsentris ini terjalin lewat jaringan solidaritas sebagai produksi politiknya di tingkat luas. Jaringan solidaritas ini menggunakan Konfederalisme Demokratis yang merupakan struktur kekuasaan alternatif “yang melampaui struktur kekuasaan negara-bangsa.” [9] Konfederalisme Demokratis inilah tempat lembaga-lembaga di tingkat lokal tersebut berkoordinasi dan menyepakati hal-hal yang menyangkut kehidupan mereka bersama dalam skala yang lebih luas daripada lokalitas mereka masing-masing.
Jaringan ini membangun bentuk kelembagaannya melalui pendirian Kongres Masyarakat Demokratis (DTK) pada tahun 2005. DTK menetapkan kuota gender. Artinya, jalannya DTK tidak akan berlangsung tanpa kehadiran dan pengisian posisi oleh minimal 40% perempuan. Struktur organisasi DTK sebagian besar terdiri dari Majelis Umum, yang diselenggarakan setidaknya dua kali per tahun, dan Komite Tetap yang melakukan pertemuan secara reguler. Majelis Umum terdiri dari setidaknya 1.000 delegasi, 60%-nya berasal dari tingkat akar rumput, dan 40%-nya dari pejabat terpilih seperti wakil atau walikota. Majelis Umum memilih Komite Tetap yang terdiri dari 101 orang. Ada juga Dewan Koordinasi, yang terdiri dari 15 orang, dan bekerja di bidang ideologi, sosial dan politik. Di semua tingkatan, komite-komite sering diorganisasikan berdasarkan tiga bidang tersebut. DTK sendiri menyelenggarakan berbagai komite dan komisi, yang mencakup mulai dari bidang ekologi, perempuan, pemuda, ekonomi, diplomasi, budaya dan lainnya.
Haseke, salah satu kota di Rojava, bisa dijadikan contoh. Heseke adalah bagian dari DTK. Mirip dengan kota-kota lain di Kurdistan, Heseke terdiri dari dewan dan majelis di semua tingkatan. Ini termasuk dewan di jalan-jalan, dewan lingkungan, 16 dewan distrik, dan 1 dewan kota. Dewan kota ini terdiri dari 101 orang yang terdiri dari walikota, pejabat terpilih, delegasi-delegasi dari organisasi perempuan dan pemuda, lsm, partai politik dan lainnya. Ada juga dewan koordinasi yang terdiri dari 21 orang. Heseke mempunyai 16 dewan distrik.
Dewan-dewan distrik terdiri dari 15-30 orang, yang melakukan pertemuan setiap dua bulan. Satu distrik terdiri dari 10-30 komune. 20 komune kurang lebih berjumlah 1.000 orang. Di Heseke sendiri, ada penunjukkan 1 delegasi untuk setiap 100 orang di satu distrik. Delegasi ini tentu merupakan sistem demokrasi yang jauh lebih langsung ketimbang banyak struktur kelembagaan lain di seluruh dunia.Yang patut diingat juga, hal yang paling sering diselenggarakan adalah majelis-majelis rakyat (people’s asssemblies)—fenomena yang tersebar di seluruh Kurdistan dan berfungsi sebagai dasar bagi Otonomi Demokratis. Banyak daerah di Kurdistan menyelenggarakan majelis rakyat setiap minggu.
Salah satu majelis rakyat di Rojava

Salah satu majelis Rakyat di Rojava


Di Heseke, “komune memiliki komisi yang membahas semua permasalahan sosial, mulai dari pengorganisiran pertahanan, pengadilan, infrastruktur untuk pemuda, ekonomi, hingga pembangunan koperasi.” Komisi untuk ekologi fokus pada hal-hal seperti sanitasi dan masalah ekologis. Terdapat pula “komite ekonomi perempuan untuk membantu perempuan mengembangkan kemandirian ekonomi.” [10]
Struktur ini juga mengirim delegasi-delegasi ke dewan umum Rojava. Serupa dengan banyak daerah lain di Kurdistan, Heseke lebih memilih pembuatan resolusi dan keputusan lewat konsensus ketimbang pemilihan suara mayoritas.
Praktik di Rojava di atas sangat dekat dengan apa yang dibayangkan oleh Bookchin. Bookchin mendefinisikan konfederalisme sebagai “jaringan dewan-dewan administrasi yang anggotanya dipilih dari aliansi demokrasi rakyat yang bertatap muka langsung di berbagai desa, kota dan bahkan lingkungan kota-kota besar.” [11] Dewan-dewan administratif ini tidak memutuskan kebijakan. Dewan-dewan ini tak lebih dari badan-badan yang “secara ketat diberi mandat, dapat ditarik sewaktu-waktu, dan bertanggung jawab pada majelis-majelis yang memilih mereka untuk keperluan koordinasi dan administrasi kebijakan yang dirumuskan oleh majelis-majelis itu sendiri.” Hanya itu sajalah fungsi dari dewan administrasi tersebut: melakukan fungsi administratif dan bukan merupakan sistem perwakilan yang memberikan pengambilan keputusan dan kekuasaan pengambilan kebijakan tingkat tinggi kepada wakil-wakil rakyat.
Oleh karena itu, “Konfederalisme Demokratis dapat dicirikan sebagai sistem pemerintahan dari bawah ke atas.” [12]
Antara Bookchin dan Rojava
Pengaruh Bookchin dalam wacana gerakan sosial di Kurdistan bisa ditelusuri dari kebangkitan literatur libertarian kiri dan independen yang bersemi di wilayah pegunungan tersebut dan tersebar di antara orang Kurdi setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990-an. “[Mereka] menganalisis buku dan tulisan filsuf, feminis, (neo)anarkis, komunis libertarian, komunalis, dan ekologi sosial. Lewat proses inilah, penulis seperti Murray Bookchin [dan lain-lain] menjadi pusat perhatian kami,” ujar aktivis Kurdi, Ercan Ayboga. [13]
Keterkaitan Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis ala Rojava dengan pemikiran Bookchin dapat dilihat dari analisis Bookchin atas dialektika masyarakat dalam sejarah, kemunculan struktur kekuasaan hierarkis, dan tawarannya untuk membangun struktur kekuasaan alternatif yang mampu menggantikan struktur kekuasaan hierarkis tersebut.
Negara-bangsa dan kapitalisme dipandangnya tak lain sebagai perkembangan terkini dari bentuk-bentuk struktur kekuasaan hierarkis yang telah muncul sejak masa lampau, sebelum negara-bangsa dan kapitalisme ada. Struktur kekuasaan hierarkis ini tak hanya mengasingkan manusia yang satu dari manusia yang lain (antara manusia yang memiliki kekuasaan lebih dominan daripada yang lain), namun juga mengasingkan manusia seluruhnya dari alam. Produksi dalam sistem kapitalisme menempatkan segelintir manusia pemilik alat produksi sebagai penentu keputusan produksi yang mempengaruhi kehidupan manusia dan alam. Kaum elit pemilik alat produksi ini dipandu bukan oleh kesepakatan demokratis seluruh manusia untuk berproduksi sesuai kebutuhan, etika ekologis, dan rasionalitas, melainkan oleh hasrat akan akumulasi profit yang tiada batas dan irasional. Bagi Bookchin, struktur kekuasaan macam ini tidak hanya keliru, namun juga destruktif.
Bookchin menggunakan Narasi Peradaban untuk melihat bahwa struktur kekuasaan hierarkis memiliki sejarah dan, oleh karena itu, dapat dihapuskan. Manusia hidup secara komunal di masa lalu, dan manusia semestinya bisa melakukannya lagi dengan bentuk-bentuk yang telah bertransformasi di masa sekarang.
Dia melacak bentuk-bentuk kehidupan komunal hingga ke masyarakat yang belum melek huruf dalam sejarah manusia, yang ia sebut sebagai “masyarakat organik,” masyarakat tribal, komunal dan non-hierarkis yang hidup dengan bekerja sama satu sama lain. Dia mengenali fitur khusus yang membuat masyarakat ini kooperatif: alat-alat hidup didistribusikan sesuai dengan kebiasaan usufruct (penggunaan sumber daya sesuai kebutuhan), saling melengkapi (mutualitas etis), dan hak minimum yang tak dapat dikurangi (hak semua atas sandang, pangan dan papan). [14] “Dari perasaan kesatuan antara individu dan masyarakat, munculah rasa kesatuan antara masyarakat dan lingkungannya,” tulis Bookchin. Masyarakat-masyarakat organik ini hidup secara harmonis dengan alam. [15]
Dia lalu menelusuri perkembangan dialektis dari masyarakat organik ini: munculnya hierarki secara imanen dari dalam masyarakat organik: patriarki dan dominasi perempuan; gerontokrasi; dukun dan imam; prajurit dan kepala suku dan negara; masyarakat kelas. [16] Setelahnya, munculah gagasan untuk mendominasi alam, yang memandang alam sebagai obyek eksplotasi.
Dalam karyanya “The Ecology of Freedom”, antara lain, dia mengajukan argumen untuk melawan kecenderungan arus utama di kalangan reformis yang selalu bermain aman dan tak mengenali kontradiksi bahwa negara dan kapitalisme merupakan produk struktur kekuasaan hierarkis yang sudah cacat dari awalnya, dan karenanya tak mungkin lagi diperbaiki dari dalam. Ia harus digantikan dengan struktur kekuasaan baru.
“Paling tidak, negara merupakan sistem pemaksaan sosial yang profesional—bukan sekadar sistem administrasi sosial seperti anggapan naif masyarakat dan banyak ahli teori politik. Kata ‘profesional’ di sini harus ditekankan sama bobotnya dengan ‘pemaksaan.’ Pemaksaan hadir dalam alam, dalam hubungan pribadi, dalam masyarakat tanpa negara dan non-hierarkis. Namun, kalau hanya pemaksaan yang digunakan untuk mendefinisikan negara, maka negara akan direduksi jadi sekadar fenomena alamiah. Tentu saja negara bukan fenomena alamiah. Hanya ketika paksaan dilembagakan menjadi bentuk kontrol sosial yang profesional, sistematis, dan terorganisir lah—yaitu ketika orang dicerabut dari kehidupan sehari-hari mereka dalam masyarakat dan diharapkan untuk tidak hanya ‘mengadministrasi’ masyarakatnya, tapi juga melakukannya lewat monopoli kekerasan—baru lah kita dapat memaknainya sebagai negara,” ujar Bookchin. [17]
url

Murray Bookchin


Bookchin ingin menunjukkan bahwa seharusnya gerakan sosial reformis dapat menyasar lebih dari sekadar reformasi negara—bahwa mereka harus dan dapat memikirkan jalan yang radikal menuju masyarakat ekologis.
Oleh karena itu, dia memandang bahwa pembangunan masyarakat untuk menghapuskan struktur kekuasaan hierarkis ini tidak dapat dilakukan lewat negara. Untuk membangun masyarakat ekologis dan rasional, lembaga-lembaga tandingan yang tepat diperlukan. Baik organisasi revolusioner maupun institusi-institusi pembangunan masyarakat baru harus benar-benar bersifat memerdekakan sehingga ia tidak akan menciptakan tirani baru atas nama sosialisme, seperti Stalinisme misalnya. Namun, di sisi lain, organisasi dan lembaga ini harus cukup kuat untuk menghancurkan negara-bangsa dan kapitalisme.
Bagi Bookchin, jejak struktur kekuasaan tandingan ini dapat dilacak dalam warisan sejarah gerakan kebebasan yang ada sejak lama dan menandingi warisan hierarkis—perlawanan sepanjang sejarah yang mewujudkan prinsip-prinsip masyarakat organik di atas. Dalam proses perlawanan ini, munculah potensi dealektis yang memungkinkan masyarakat kooperatif yang merdeka, yang selanjutnya membuka kemungkinan hubungan yang kooperatif pula dengan alam.
Dalam karyanya “Urbanization Without Cities”, dia berusaha membangun pondasi sejarah demokrasi majelis-majelis rakyat. Dia melacak dan menemukan tradisi majelis rakyat terutama di eklesia Athena kuno; di kota-kota awal Italia dan Jerman dan negara-negara Low; di veche Rusia di Pskov dan Novgorod; di majelis comuñero dari abad keenam belas di Spanyol; di majelis-majelis revolusioner di bagian-bagian Paris pada tahun 1793; komite-komite dan dewan-dewan revolusi Amerika; klub-klub Paris tahun 1848; di Komune Paris 1871; soviet-soviet di Rusia tahun 1905 dan 1917; kolektif revolusioner Spanyol pada tahun 1936-1937; dan pertemuan kota New England saat ini, antara lain. Ia menunjukkan bagaimana tempat revolusi tidak terbatas pada pabrik, tapi lebih jauh lagi munisipalitas. [18] Urbanisasi membentangkan dasar-dasar dialektis bagi pemberontakan munisipalis untuk merdeka dari negara-bangsa dan kapitalisme.
Bookchin memandang, lembaga-lembaga ini hanya mungkin berbentuk dewan-dewan rakyat yang demokratis. Negara-bangsa yang ada sekarang harus dihapuskan dan kekuasaannya diserahkan pada dewan-dewan rakyat tersebut. Dewan-dewan rakyat ini lah, bukan bos-bos industri, yang memutuskan, misalnya segala sesuatu terkait lingkungan. Oleh karena dewan-dewan rakyat ini hanya berfungsi dalam lokalitas, supaya ia dapat berfungsi di wilayah geografis yang lebih luas, ia harus bekerja bersama—berkonfederasi.
Struktur kekuasaan dan lembaga tandingan ala Bookchin inilah yang kurang lebih memiliki hubungan paralel dengan praktik Otonomi Demokratis dan Konfederalisme Demokratis di Rojava. Ia adalah konsep kekuasaaan ganda, sistem tata kelola masyarakat yang terdiri dari demokrasi langsung tanpa negara. Yang dibangun adalah kekuasaan tandingan melawan sistem yang telah mapan. Dengan kata lain, proyek ini bertujuan untuk membangun struktur sosial paralel, seperangkat jaringan alternatif dan lembaga tandingan yang sama sekali berbeda dan bertentangan dengan sistem yang dominan, yaitu negara-bangsa dan kapitalisme.
Bagaimana penerapan lebih lanjut demokrasi Rojava dalam aspek politik, ekonomi, sistem pertahanan, dan gender? Dari perspektif kelas, masalah, kontradiksi, dan tantangan apa yang kini dihadapi Rojava? Apa yang ditawarkan Rojava bagi perjuangan masyarakat untuk merdeka dalam demokrasi, ekologi, dan gender?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan saya bahas di bagian selanjutnya dari tulisan ini.


 
Catatan kaki
[1] Seruan dari Democracia Real Ya, Roarmag, http://roarmag.org/2011/09/call-to-action-united-for-global-change-on-October-15/
[2] Blog Red Pepper, (14 Oktober 2011) “October 15th: United for Global Democracy”. Red Pepper. Diakses pada 1 Oktober 2015 http://www.redpepper.org.uk/October-15th-united-for-global-democracy/
[3] Ensiklopedia mengenai Arab Spring. Diakses pada 1 Oktober 2015 https://en.wikipedia.org/wiki/Arab_Spring
[4] TATORT Kurdistan, Democratic Autonomy in North Kurdistan, Porsgrunn, New Compass Press, 2013, hal 20.
[5] Operasi Anfal, atau Anfal saja, adalah kampanye genosida terhadap orang-orang Kurdi di Irak utara, yang dipimpin oleh Presiden Ba’athis Irak, Saddam Hussein, dan dikepalai oleh Ali Hassan al-Majid, dalam tahap akhir perang Iran-Irak.
[6] Pembantaian atau Pemberontakan al-Qamishli mengacu pada pemberontakan orang-orang Kurdi Suriah di kota Qamishli pada Maret 2004. Pemberontakan yang terjadi selama pertandingan sepak bola dan yang dipicu oleh pemampangan gambar Saddam Husein (yang membantai 182.000 orang Kurdi di Irak selama operasi Al-Anfal) oleh fans tamu yang mayoritas beretnis Arab tersebut dengan cepat berkembang menjadi konflik politik. Kantor Partai Ba’ath setempat dibakar oleh demonstran Kurdi, yang menyebabkan tentara Suriah mengerahkan ribuan tentara, sejumlah tank dan helikopter, dan melakukan serangan. Demonstran sempat menduduki kota dan puncaknya merubuhkan patung Hafez al-Assad. Setidaknya 30 orang Kurdi tewas saat tentara Suriah merebut kembali kota tersebut. Dampak sesudahnya, ribuan Kurdi Suriah mengungsi ke Kurdistan Irak.
[7] Mohammed M.A. Ahmed dan Michael Gunter, “The Kurdish Spring”, Costa Mesa, Mazda Publishers, 2013, hal 183-184.
[8] Ibid., hal 171.
[9] Ibid., hal 178.
[10] Tatort Kurdistan, Democratic Autonomy in North Kurdistan, Porsgrunn, New Compass Press, 2013, hal 177.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal 172.
[13] Wawancara dengan aktivis Kurdi, Ercan Ayboga. Diakses pada 1 Oktober 2015. http://new-compass.net/article/kurdish-communalism
[14] Bookchin, Ecology of Freedom, Bab 2.
[15] Ibid., hal 46, 43.
[16] Ibid., Ecology of Freedom, Bab 3.
[17] Bookchin, Remaking Society, Black Rose Books, 1998, hal 66.
[18] Munisipalitas (bahasa Inggris: municipality) adalah suatu entitas administratif yang wilayah dan penduduknya ditentukan secara jelas, yang umumnya merujuk pada suatu kota atau desa, atau kelompok kecil dari entitas-entitas tersebut.


Penulis adalah anggota LIBERTAS (Lingkar Belajar Rakyat untuk Solidaritas). LIBERTAS adalah organisasi sosialis libertarian yang berfokus pada perjuangan anti-kapitalis. LIBERTAS memperjuangkan kepemilikan dan kontrol kolektif kaum pekerja atas alat produksi dan tempat kerjanya secara demokratis, melawan patriarkisme dan seksisme, melawan homophobia dan transphobia, melawan hierarki dan eksploitasi manusia yang satu atas manusia yang lain, serta hierarki dan eksploitasi manusia atas alam.
 

You may also like...

5 Responses

  1. Al Zarapushtra says:

    Dimana aku bisa mendapatkan buku buku Murray Bookchin ? Apa di Indonesia ini ada yang jual versi bahasa Indonesianya ?

    • Yab Sarpote says:

      Setahu saya, belum ada karya buku Bookchin yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Karya dalam bahasa Inggris mayoritas sudah tersedia gratis di internet.
      Cheers.

  2. terima kasih tulisannya. kalau ada pdf “urbanization without cities” bagi ya (surel: bosmandotbatubaraatgmaildotcom). makasih.

  3. Sebenarnya Rojava itu ingin menjadi negara berdaulat atau tidak sih?

Leave a Reply