Politik versus Kenegaraan
Munisipalisme libertarian mengembangkan sejenis demokrasi yang bukan semata-mata merupakan kekuasaan Negara. Demokrasi yang dikembangkannya adalah demokrasi langsung — di dalamnya semua warga dalam komunitas-komunitas mengelola urusan mereka sendiri melalui proses pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), yang berbeda dengan yang dilakukan Negara untuk mereka.
[dropcap]M[/dropcap]unisipalisme libertarian adalah salah satu di antara sekian banyak teori politik yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip dan praktik-praktik demokrasi. Berbeda dengan kebanyakan teori lainnya, munisipalisme libertarian tidak menerima gagasan konvensional bahwa Negara beserta sistem pemerintahan yang menjadi khas negara-negara Barat dewasa ini adalah betul-betul demokratis. Sebaliknya, teori ini menganggap negara-negara tersebut sebagai Negara-Negara republik yang berkeinginan menjadi demokratis. Negara-Negara republik memang lebih “demokratis” ketimbang jenis-jenis Negara lainnya seperti monarki dan kediktatoran, karena Negara-Negara macam ini memiliki berbagai macam lembaga perwakilan.
Namun, Negara-negara ini mendirikan struktur dominasi tempat segelintir orang berkuasa atas mayoritas. Negara pada hakikatnya, secara struktural dan profesional, terpisah dari khalayak umum. Dalam kenyataannya, ia ditegakkan di atas orang-orang biasa, laki-laki dan perempuan. Ia menjalankan kekuasaan atas rakyat dan membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuasaannya pada akhirnya toh bersandar pada kekerasan. Negara juga melegalkan penggunaan monopoli dalam bentuk angkatan bersenjata dan kepolisian. Dalam struktur tempat kekuasaan didistribusikan secara tidak merata, demokrasi adalah hal yang mustahil. Ini jauh dari pewujudan kedaulatan rakyat. Bahkan, sebuah Negara republik bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
Munisipalisme libertarian mengembangkan sejenis demokrasi yang bukan semata-mata merupakan kekuasaan Negara. Demokrasi yang dikembangkannya adalah demokrasi langsung — di dalamnya semua warga dalam komunitas-komunitas mengelola urusan mereka sendiri melalui proses pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), yang berbeda dengan yang dilakukan Negara untuk mereka.
Tidak seperti teori-teori “demokrasi” perwakilan, munisipalisme libertarian membedakan secara tajam antara politik dengan ke-Negara-an. Dalam penggunaannya yang konvensional, konsep-konsep ini memang agak mirip. Politik, sebagaimana kita pahami seperti biasanya, merupakan komponen penting bagi sistem perwakilan dalam pemerintahan. Ia adalah seperangkat prosedur dan praktik yang dengannyalah “rakyat” memilih sekelompok kecil individu — para politisi — untuk berbicara dan mewakili mereka dalam lembaga legislatif atau eksekutif.
Para politisi ini, dalam politik sebagaimana yang sering kita pahami, berafiliasi dengan partai-partai politik, yang merupakan ikatan-ikatan sekelompok orang yang memiliki kesamaan komitmen dalam filosofi atau agenda politik tertentu. Para politisi yang menjadi anggota suatu partai, dalam teori, berbicara demi agendanya dan mengembangkan filosofinya. Seiring makin dekatnya pemilihan umum bagi terbentuknya pemerintahan, berbagai partai mengedepankan para politisinya sebagai kandidat dan, dengan dibantu oleh banyak konsultan, menjalani kampanye pemilihan dengan tujuan membujuk warga untuk memilih mereka. Tiap partai menggembar-gemborkan kelayakan calonnya masing-masing untuk menduduki jabatan dan mengolok-olok para saingannya. Selama kampanye, para kandidat mengungkapkan posisinya masing-masing terhadap isu-isu penting saat itu, yang memperjelas perbedaan di antara mereka, agar para pemilih memahami pilihan-pilihan yang mereka miliki.
Para pemilih — yang sekarang telah menjadi “electorate” (orang yang berhak memilih dalam pemilihan) — setelah dengan hati-hati menimbang isu-isu tersebut dan secara jernih menilai kualitas setiap kandidat, menetapkan pilihannya dengan penuh harap. Para kontestan yang posisinya paling sesuai dengan mayoritas dianugerahi jabatan yang mereka dambakan. Ketika memasuki koridor pemerintahan, para pemegang jabatan ini diyakini akan bekerja tanpa kenal lelah atas nama mereka yang memilihnya (yang belakangan mendapat sebutan lain yaitu “konstituen”). Mereka dengan saksama mematuhi komitmen yang telah mereka akui selama kampanye pemilihan. Saat mereka memberikan suaranya dalam pembuatan undang-undang atau membuat keputusan, loyalitas utama mereka, sebagaimana mereka katakan kepada khalayak, diarahkan pada posisi yang didukung oleh para “konstituen” mereka. Hasilnya, tatkala perundang-undangan atau peraturan pemerintah atau apa pun jenis ketetapan lain telah diputuskan, maka dikatakan itu semua mencerminkan keinginan mayoritas warga.
Pasti jelas bagi pembaca manapun bahwa sketsa ini adalah ilusi kelas sipil, dan bahwa karakter “demokratis”-nya tidaklah masuk akal. Jauh dari mewujudkan keinginan rakyat, para politisi sebenarnya adalah kaum profesional yang kepentingan kariernya terletak pada jalur peraihan kekuasaaan, atau lebih tepatnya, dengan dipilih atau diangkatnya mereka dalam jabatan yang lebih tinggi. Kampanye pemilihan yang mereka jalankan, yang hanya sebagian atau bahkan sedikit sekali mencerminkan kepentingan khalayak, acap memanfaatkan media massa untuk memengaruhi dan memanipulasi kepentingan mereka, atau bahkan membangkitkan kepentingan-kepentingan palsu sebagai sesuatu yang membingungkan. Sifat manipulatif sistem ini telah sangat dikenal dalam pemilihan-pemilihan di AS akhir-akhir ini, yang di dalamnya kampanye-kampanye politik yang didanai oleh keuangan yang besar semakin memfokuskan diri pada isu-isu yang sepele tetapi secara emosional mudah berubah dengan mengalihkan perhatian “electorate” (para pemilih) dan menutupi permasalahan mendasar yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan mereka. Program-program yang dijalankan para kandidat lebih merupakan kekosongan, dipadati kebohongan dan kian lama semakin tidak terkait dengan perilaku kandidat pada waktu mendatang setelah ia menduduki jabatan.Sekali mereka memperoleh kedudukan, para politisi itu sungguh-sungguh mengingkari komitmen yang telah mereka akui. Ketimbang mengikuti kebutuhan orang-orang yang memberikan suaranya bagi mereka atau orang-orang yang menjalankan kebijakan-kebijakan yang mereka dukung, kaum politisi ini biasanya menganggap bahwa melayani kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki uang adalah lebih menguntungkan karena bisa melancarkan karier mereka.
Mula-mula sejumlah besar uang diperlukan agar bisa menjalankan kampanye pemilihan, dan karenanya para kandidat bergantung pada kalangan donatur besar dalam upayanya memperoleh kedudukan. Sampai tingkat tertentu, mereka yang terpilih mewakili rakyat besar kemungkinan justru menjalankan kebijakan-kebijakan yang melindungi kepentingan orang-orang kaya ketimbang kepentingan kelompok yang mereka wakili. Kaum politisi menjalani pilihan-pilihan demikian bukan karena mereka adalah “orang jahat” sebab kebanyakan dari mereka pada mulanya memasuki bidang layanan publik dengan motivasi idealistis. Mereka membuat pilihan-pilihan ini karena mereka telah menjadi bagian dari sistem interaksi kekuasaan yang perintah-perintahnya telah berkuasa atas diri mereka. Sistem interaksi kekuasaan ini, tiada lain adalah Negara itu sendiri, yang didominasi oleh keuangan yang besar. Dengan menjalankan fungsinya berdasarkan kerangka ini, mereka sama-sama bertujuan mengamankan dan mempertahankan monopoli kekuasaan bagi sekelompok elit profesional, juga melindungi dan menjalankan kepentingan-kepentingan kaum kaya, ketimbang tujuan-tujuan yang lebih umum, yaitu memberdayakan orang banyak dan meredistribusikan kekayaan.
Partai-partai politik yang dengan inilah para “politisi” sering dikaitkan, pada gilirannya bukanlah merupakan kelompok-kelompok warga berpikiran luas yang berbagi pandangan politik. Mereka pada dasarnya adalah birokrasi top-down (atas-bawah) yang tersusun secara hierarkis yang berusaha memperoleh kekuasaan Negara bagi diri mereka sendiri melalui para kandidat. Kepentingan utama mereka adalah kepentingan faksi, kekuasaan dan mobilisasi, bukan kepentingan demi kesejahteraan sosial para “konstituen” dari pemegang jabatan — kecuali jika kepentingan konstituen kebetulan beriringan dengan kepentingan orang-orang yang menambang suara. Maka tidak masuk akal jika dikatakan bahwa jenis-jenis partai politik ini berasal dari politik lembaga atau terbentuk darinya. Jauh dari mengungkapkan keinginan para warga, fungsi partai tepatnya adalah membuat politik lembaga, mengendalikan dan memanipulasinya, juga mencegahnya agar tidak mengembangkan keinginan yang mandiri. Sesengit apa pun partai-partai politik itu bersaing satu sama lain dan mungkin berselisih dalam beberapa isu tertentu, semuanya memiliki kesamaan dalam menyetujui kehadiran Negara dan beroperasi menurut parameter di dalamnya. Setiap partai yang terlempar dari kekuasaan sebenarnya adalah “hantu” yang tengah mengintai Negara untuk merebut kekuasaan — sebuah Negara-dalam-penantian.
Menyematkan label ‘politik’ pada sistem demikian adalah kesalahan-penamaan yang gamblang. Sistem ini mestinya lebih tepat dinamai kenegaraan (Statecraft). Dengan sifatnya yang profesional, manipulatif dan imoral, sistem elit dan massa ini berkedok demokrasi, menghina ideal demokrasi yang secara sinis seringkali mereka ikrarkan dalam seruan berkala kepada para “pemilih”. Jauh dari memberdayakan rakyat sebagai warga, ke-Negara-an mensyaratkan pelucutan umum kekuasaan warga. Sistem ini mengerdilkan warga menjadi sekadar “pembayar pajak,” “pemberi suara” dan “konstituen,” seolah-olah mereka terlalu muda atau tidak berkemampuan untuk mengelola urusan- urusan publik mereka sendiri. Warga diharapkan berfungsi semata-mata secara pasif dan membiarkan para elit mencarikan jalan terbaik bagi mereka. Mereka mesti berpartisipasi dalam “politik” terutama pada hari-hari pemilihan ketika “kehadiran pemilih” memberikan legitimasi terhadap sistem itu sendiri, juga pada waktu membayar pajak yang tentu saja guna membiayai sistem tersebut. Dan sepanjang tahun, para ahli ke-Negara-an akan lebih senang jika orang-orang cenderung lebih memusatkan perhatian pada urusan pribadi masing-masing dan tak ambil pusing dengan aktivitas para “politisi.” Jika orang-orang semakin bisa menanggalkan kepasifannya dan mulai berminat aktif dalam kehidupan politik, mereka akan menciptakan masalah bagi Negara dengan mengusik-usik perkara ketidakcocokan antara realitas sosial dengan retorika yang menyertainya.
Penulis baru saja menerbitkan terjemahan berbahasa Indonesia untuk buku karangan Janet Biehl yang berjudul “Politik Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian”. Buku ini membahas dimensi politik dari gagasan utama ekologi sosial yang dikembangkan selama beberapa dekade oleh Murray Bookchin, seorang teoretikus anarkis sosial. Ekologi sosial merupakan puncak pemikiran selama rentang masa hidup Bookchin, yakni tentang kemungkinan terbaik bagaimana masyarakat bisa mengubah hidupnya secara radikal dengan cara yang manusiawi dan rasional lewat struktur kekuasaan di luar negara-bangsa. Buku terjemahan tersebut dapat dipesan di: [email protected]