Bab XXVI

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XXVI

Penjara dan Kamp Konsentrasi

Bau tajam yang membuat mual menyergap saat kami memasuki kamp kerja paksa di Kharkov. Lapangan depannya dipenuhi lelaki dan anak-anak lelaki yang tampak sangat kurus, bagai bayang-bayang manusia. Wajah mereka menguning dan mata mereka bengkak, pakaian mereka compang-camping, bertelanjang kaki, pemandangan itu memaksaku mengingat orang-orang paria kelaparan di India.

“Saluran airnya sedang diperbaiki,” pejabat yang menyertai kami menjelaskan. Hanya beberapa tahanan yang bekerja, sementara yang lainnya berdiri tak peduli di sekitar mereka, atau berbaring di tanah seakan-akan terlalu lemah untuk bergerak.

“Hukuman terberat di sini adalah wabah,” ucap pemandu. “Orang-orang ini kekurangan gizi dan tak mampu menangkal penyakit. Kami tidak memiliki obat-obatan dan kekurangan dokter.”

Beberapa tahanan mengelilingi kami, tampaknya menganggap kami sebagai kelompok pejabat. “Tovarishtchi,” seorang pemuda memohon kepada kami, “kapan Komisi akan memutuskan kasusku?”

“Mereka tamu,” ucap pemandu kepada pemuda itu dengan singkat.

“Kami tak bisa hidup tanpa jatah makanan. Jatah rotinya sudah dipangkas lagi. Tidak ada obat-obatan yang diberikan,” keluh yang lain.

Para penjaga menghela mereka.

Tempat tinggal tahanan lelaki benar-benar penuh. Seluruh ruang di lantai tertutupi kasur-kasur lipat, bangku-bangku, yang berjejer sangat rapat sehingga kami sulit melewatinya. Para tahanan berkelompok di pojok-pojok ruangan, bertelanjang dada, mencabuti kutu dari pakaian mereka, sebagian lagi duduk termangu, menatap kosong ke arah kawan-kawannya. Udara begitu busuk, menyesakkan.

Dari ruang perempuan terdengar suara membentak. Saat kami masuk seorang perempuan menangis histeris, “Jangan berani menyebutku spekulator! Itu benda terakhirku yang aku jual.” Dia masih muda dan cantik, pakaiannya yang compang-camping menunjukkan bahunya yang indah. Matanya memerah, dan dia terbatuk.

“Tuhan yang tahu siapa kau,” sergah seorang perempuan petani. “Tetapi lihatlah aku, dengan tiga anak di rumah.” Melihat kedatangan kami, perempuan petani itu melonjak dari bangkunya, merentangkan tangan sambil memohon, “Tuan-tuan, bolehkan aku pulang. Anak-anakku yang malang akan mati tanpaku.”

Perempuan-perempuan itu mengelilingi kami. Mereka melaporkan jatah makanan yang buruk dan kurang. Hanya seperempat pon roti yang mereka dapatkan dan sepiring sup cair setiap hari. Tidak ada dokter yang memeriksa orang sakit, semua keluhan mereka diabaikan, dan komisi penjara tidak memperhatikan protes-protes mereka.

Seorang penjaga muncul di pintu. “Kembali ke tempat kalian!” dia membentak. “Tidakkah kalian tahu aturannya? Kirimkan petisi tertulis ke Komisi.”

“Kami telah melakukannya, tetapi tidak dijawab,” teriak beberapa perempuan.

“Diam!” bentak penjaga itu.

**

Di gerbang Penjara Cold Hill (Kholodnaya Gorka) kami bertemu dengan kerumunan yang resah, sebagian besar perempuan dan anak-anak perempuan, dengan gembolan kecil di tangan mereka. Mereka sedang berdebat keras dengan para penjaga. Mereka membawa makanan dan pakaian untuk kerabat yang ditahan—tradisi itu, yang dikenal sebagai “peredatcha”, mengungkap kenyataan di seluruh negeri akan ketidakmampuan pemerintah untuk memberi makan para tahanan dengan layak. Tetapi penjaga menolak bantuan makanan itu. “Ada perintah baru,” jelasnya, “tak boleh lagi ada ‘peredatcha.'”

“Untuk berapa lama?”

“Beberapa pekan.”

Orang-orang terpaku, lalu menggerutu. Para tahanan tidak akan hidup tanpa “peredatcha”. Kenapa harus ditolak? Banyak di antara perempuan itu datang dari tempat yang jauh, bahkan dari kota sebelah, untuk membawakan roti atau kentang bagi suami atau saudara lelaki mereka. Sebagian lagi harus menyisihkan jatah makanan mereka demi memberikannya kepada teman yang sakit. Dan sekarang ada perintah baru yang buruk!

Kerumunan itu menghadang kami sambil terus memohon. Kami didampingi seorang perempuan, sekretaris seorang komisar tinggi. Perempuan itu sendiri pejabat di Rabkrin, Departemen Inspeksi yang berkuasa, bekerja untuk menginvestigasi dan mengoreksi kesalahan-kesalahan di lembaga-lembaga Soviet. Dia baru melewati paruh baya, tegap dan tampak galak, dengan reputasi sebagai orang yang efisien, tegas, dan tak berhati. Aku pernah mendengar dia tadinya bertugas di Tcheka, salah seorang Komandan, begitulah mereka penyebut para pelebaya.

Sebagian perempuan di kerumunan itu mengenali dia. Dari berbagai penjuru orang-orang masih memohon, dengan suara antara takut dan berharap.

“Aku tidak tahu kenapa ‘peredatcha’ dilarang,” perempuan itu mengumumkan, “tetapi aku akan segera mencari tahu.”

Kami memasuki penjara, dan pemandu mendatangi komisar yang berwenang. Seorang lelaki muda, bertubuh kerempeng muncul. “Kami melarang ‘peredatcha’ untuk sementara,” jelasnya, “karena kami kekurangan bantuan. Pekerjaan kami saat ini lebih banyak daripada yang bisa kami tangani.”

“Ini persoalan yang sangat berat bagi para tahanan. Mungkin urusan ini bisa diatur,” saran sang sekretaris.

“Sayangnya tidak bisa,” sergah lelaki itu dengan dingin. “pekerjaan kami melebihi kemampuan kami. Dan untuk jatah makanan,” lanjutnya, “pekerja jujur di luar sana tidak mendapatkan yang lebih baik.”

Melihat kami kecewa, dia menambahkan, “Segera setelah pekerjaan selesai, kami akan mengizinkan ‘peredatcha’ lagi.”

“Sesegera apa?” tanya anggota kelompok kami.

“Dalam dua atau tiga minggu, mungkin.”

“Mereka akan kelaparan lama sekali.”

Komisar itu tidak menimpali.

“Kita semua bekerja tanpa mengeluh, Tovarishtch,” pemandu kami menegurnya dengan keras. “Dengan sangat menyesal aku harus melaporkan persoalan ini.”

Penjara itu masih seperti di masa dinasti Romanov, bahkan penjaga-penjaga lama masih bekerja di posisinya. Tetapi sekarang semakin sesak, urusan-urusan kebersihan diabaikan dan nyaris tidak ada perawatan medis. Tetapi semangat yang tak terjelaskan terasa di atmosfer. Para komisar dan penjaga secara informal dipanggil “tovarishtch”, dan para tahanan, bahkan yang nonpolitis, bersikap lebih bebas dan merdeka. Tetapi disiplinnya keras, tradisi lama berupa protes kolektif begitu ditekan, dan berulang kali para tahanan politik terpaksa melakukan metode pertahanan diri yang ekstrim: mogok makan.

Di lorong-lorong, para tahanan berjalan tanpa penjaga, tetapi pemandu kami menyurutkan upaya mereka mendekati kami dengan menyergah, “Bukan pejabat, Tovarishtchi.” Dia tampaknya sedang gelisah, dan tidak mau bercakap-cakap. Beberapa tahanan mengekor di belakang kami, sesekali orang yang berani memohon agar kasusnya diperiksa. “Kirim petisimu secara tertulis,” perempuan itu menyela, dia mengatakan itu setiap kali, tahanan menyergahnya, “Sudah aku lakukan, sejak lama, tetapi tak terjadi apa pun.”

Sel-sel yang besar penuh sesak, tetapi pintu-pintunya terbuka, dan para tahanan dengan bebas keluar-masuk. Seorang pemuda berambut gelap, dengan mata hitam yang tajam, tak terperhatikan bergabung di kelompok kami. “Aku dihukum penjara lima tahun,” bisiknya kepadaku. “Aku seorang komunis, dan ini adalah balas dendam dari seorang komisar korup yang aku ancam kejahatannya akan kuungkapkan.”

Terus melangkah melalui koridor-koridor aku mengenali Tchernenko, yang deskripsi tentangnya aku dapatkan dari teman-teman di Kharkov. Dia ditahan Tcheka untuk mencegahnya duduk di Soviet, padahal sebenarnya dia dipilih teman-teman buruhnya di pabrik. Dengan pertolongan seorang tentara yang baik dia berhasil kabur dari kamp konsentrasi, tetapi kemudian tertangkap lagi dan dikirim ke Penjara Cold Hill. Aku melambatkan langkah, dan Tchernenko mendekati kelompok kami. “Lebih banyak tahanan politik dibanding penjahat biasa di sini,” ujarnya, berpura-pura bicara kepada sesama tahanan di sampingnya. “Anarkis, Revolusioner Sosial Kiri, kaum Menshevik. Diperlakukan lebih buruk daripada tahanan lain. Hanya ada beberapa Tentara Putih dan seorang Amerika dari garis depan Koltchak. Para pedagang dan kontrarevolusioner dapat menyogok untuk dibebaskan. Kaum proletar dan revolusioner tetap ditahan.”

“Bagaimana dengan komisi revisi?” bisikku ke samping.

“Bohong. Mereka tidak memperhatikan petisi-petisi kami.”

“Apa yang didakwakan kepadamu?”

“Tidak ada. Tidak ada dakwaan atau pengadilan. Hukuman seperti biasa—sampai perang saudara berakhir.”

Pemandu berbelok menuju lorong yang panjang dan gelap, dan para tahanan mundur. Kami memasuki departemen perempuan.

Dua jejer sel, satu di atas yang lain, lebih bersih dan lebih terang dibanding penjara laki-laki. Pintu-pintu tak terkunci, para tahanan bebas keluar. Seorang anggota kelompok kami, Emma Goldman, mmeinta izin untuk bertemu dengan seorang tahanan politik yang dia ketahui namanya dari teman-teman di kota. Pemandu jengah, kemudian menggerutu, dan muncullah seorang perempuan muda. Dia tampak bersih dan akrab, dengan wajah sendu.

“Perlakuan terhadap kami?” Dia mengulang pertanyaan yang ditujukan kepadanya. “Yah, pertama mereka menahan kami di penjara soliter. Mereka tidak mengizinkan kami berkomunikasi dengan kamerad laki-laki kami, dan semua protes kami diabaikan. Akhirnya kami harus melakukan metode-metode yang kami gunakan di rezim sebelumnya.”

“Hati-hati dengan ucapanmu,” pemandu menyela.

“Aku mengatakan yang sebenarnya,” tahanan itu membantah tak ragu. “Kami melakukan taktik obstruksi: kami menghancurkan segala benda di sel dan kami mengabaikan penjaga. Mereka mengancam kami dengan kekerasan, dan kami semua melakukan mogok makan. Di hari ketujuh mereka membuka pintu sel kami. Sekarang setidaknya kami dapat menghirup udara koridor.”

“Cukup,” pemandu menyela lagi.

“Jika kami dihalangi dalam mendapatkan ‘peredatcha,’ kami akan mogok makan lagi,” ancam perempuan muda itu sambil berlalu.

Di sel kematian—tempat orang-orang yang akan dihukum mati— pintu-pintunya tertutup dan dikunci. Penghuninya tak terlihat, dan keheningan yang menekan terasa di kuburan yang hidup itu. Entah dari mana, terdengar suara batuk, menghantam telinga seperti suara menderak yang mengerikan. Perlahan, terdengar suara langkah-langkah kaki yang penuh rasa sakit memantul melalui koridor sempit. Terasa ada sesuatu yang jahat di udara. Pikiranku teralih pada pengalaman serupa yang begitu lama terkubur di dalam ingatan—galeri “terkutuk” penjara Pittsburg hadir di hadapanku…

Penjaga yang menyertai kami mengangkat penutup lubang observasi di pintu sel, dan aku mengintip ke dalam sel kematian. Seorang lelaki jangkung berdiri diam di pojok. Wajahnya, dipenuhi jambang dan janggut, berwarna kelabu. Matanya menatap lubang itu, ekspresi penuh ketakutan, begitu meluap sampai membuatku melangkah mundur. “Mohon ampun, Tovarishtch,” suaranya terdengar seperti dari dalam kubur, “oh, biarkan aku tetap hidup!”

“Dia mengambil uang Soviet,” pemandu perempuan itu berkomentar datar.

“Jumlahnya hanya sedikit,’ lelaki itu memohon. “Aku akan berbuat baik, aku bersumpah. Aku masih muda, biarkan aku hidup!”

Penjaga menutup lubang itu.

Selama berhari-hari wajahnya menghantuiku. Tidak pernah aku melihat tatapan manusia seperti itu. Ketakutan yang primitif terukir di wajahnya, merasukiku. Ketakutan begitu absolut, mengubah lelaki yang kuat dan besar menjadi sebuah emosi yang mengisap—ketakutan yang sepenuhnya atas panggilan mendadak untuk berhadapan dengan algojonya.

Saat aku menuliskan pengalaman itu di buku harianku, terlintas ucapan Zorin, “Hukuman mati telah dihapus, penjara kami kosong.” Dia mengatakan itu tak lama setelah aku tiba di Rusia. Ucapan itu begitu alami dan penuh keyakinan. Bukankah para revolusioner selalu menentang metode yang barbar itu? Bukankah kaum Bolshevik begitu terkenal karena mereka mengutuk Kerensky yang menerapkan hukuman mati di garis depan pertempuran pada 1917? Kesan pertamaku di Petrograd larut dalam pernyataan Zorin. Suatu waktu, saat berjalan santai menyusuri Sungai Moika, aku melihat pemandangan penjara besar yang dihancurkan saat revolusi meletus. Tak ada satu batu pun yang tersisa—sel-sel, lantai, atap, semuanya menjadi puing, pintu-pintu besi dan jendela jeruji baja menjadi tumpukan sampah berpilin. Di sana terentang tempat yang tadinya penjara bawah tanah yang mengerikan, sekarang menjadi sasaran kemarahan rakyat, yang dilakukan dengan membabi-buta, tetapi bijak dalam pemilihan tempat penghancuran yang dilakukan mengikuti insting itu. Hanya dinding bagian luar bangunan itu yang tersisa, sedangkan bagian dalamnya telah hancur total oleh kemarahan dan penderitaan yang begitu lama dan oleh begitu banyak dinamit. Pemandangan penjara yang hancur itu tampak sebagai inspirasi, sebuah simbol dari datangnya hari kemerdekaan, tanpa penjara, tanpa kejahatan. Dan sementara, di penjara kematian Cold Hill.