Bab XVII

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XVII

Satu Mei

Terbangun dari tidur oleh suara musik dan lagu, aku pergi ke jalan. Kota sedang berpesat: bendera-bendera dan spanduk-spanduk berkibar di udara, karpet-karpet merah dan gordin-gordin digantung di jendela-jendela dan pintu-pintu, beragam bayangan dan desain menciptakan kehangatan oriental.

Di Nevsky sebuah mobil besar melewatiku, berhenti beberapa meter kemudian. Kepala berambut hitam keriting keluar dari dalam mobil itu, dan seseorang memanggilku, “Halo, Berkman, mari bergabung bersama kami.” Aku mengenali sosok Zinoviev.

Detasemen-detasemen militer berbaris, menyanyikan lagu-lagu revolusioner, dan kelompok-kelompok anak laki-laki dan perempuan berpawai mengikuti irama International.

“Subotniki—para relawan—menuju Marsove Pole untuk menanam pohon di pusara-pusara para pahlawan kita,” ucap Zinoviev.

Mobil kami bergerak lambat di antara barisan-barisan pemuda revolusioner dan pasukan Tentara Merah, dan pikiranku melayang pada sebuah demonstrasi May Day bertahun-tahun lalu.

Itu pengalaman menarik pertamaku, di New York, pada akhir 1880-an. Kaum radikal dari berbagai tempat bekerja sama untuk membuat acara itu berhasil, dan kami berharap akan ada demonstrasi besar-besaran di Lapangan Union yang bersejarah. Tetapi sebagian besar kaum buruh Amerika di kota itu tidak mau mendengar ajakan kami, dan hanya beberapa ribu buruh yang datang, sebagian besar imigran dari luar Amerika.

Pertemuan itu baru saja dimulai ketika tiba-tiba raksasa-raksasa berjubah biru muncul dan menyerang kami dengan pentungan, membuat kami terpencar ke tepi jalan. Sebagian dari kami sudah memperkirakan kemungkinan penyerangan itu, dan sekelompok kecil elemen pemuda telah bersiap untuk melawan serangan polisi. Tetapi di pucak demonstrasi itu, pada akhir konferensi komite, H—pemimpin anggota-anggota senior, memberi kami peringatan untuk “tidak terprovokasi ke dalam kekerasan”, dan aku ingat betul betapa bergairahnya aku menentang argumen-argumen dari orang Sosial Demokrat pengecut itu.

“Kita guru masyarakat,” ucap orang itu, “dan kita harus memimpin mereka pada kesadaran kelas yang lebih luas. Kita harus menyelamatkan diri kita untuk tugas yang lebih penting.”

Aku mengolok-olok peringatan pengecut itu dan menyebutnya sebagai noda peradaban Kristen kita yang telah mengubah elang menjadi rubah yang pengecut. Tetapi pidato H telah menciutkan hati orang-orang, dan tidak ada perlawanan atas kebrutalan polisi. Aku pulang ke rumah, patah hati dengan kegagalan memalukan demonstrasi 1 Mei itu.

**

Gelegar simbal pawai Internasional, yang dihentakkan oleh beberapa kelompok musik dalam waktu bersamaan, membawaku kembali ke masa kini. Di sini, memang sudah seharusnya, digelar pawai 1 Mei yang selalu aku mimpikan sejak masa mudaku. Dan inilah revolusi itu!

Di Lapangan Uritsky kami berhenti. Dengan penuh perhatian aku menatap kaum buruh dan tentara yang bergabung dalam pawai. Inilah para pembangun revolusi, yang dengan kesulitan tak terperi, membawanya pada kejayaan. Aku melirik Zinoviev, yang tampak kelelahan, kelebihan beban kerja, dengan kantung mata yang berat, “wajah komunis” yang telah begitu akrab denganku.

Prosesi dimulai. Zinoviev mengaitkan lengannya di lenganku, dan seseorang mendorong kami ke barisan terdepan. Dengan berpegangan tangan, barisan itu bergerak ke arah Field of Mars, Zorin membawa bendera merah besar. Tubuhnya yang ringkih goyah di bawah bendera itu, dan tangan orang-orang merentang, menawarkan bantuan untuk meringankan bebannya. Tetapi Zorin tidak mau menyerahkan beban kehormatan itu.

Field of Mars dipenuhi orang-orang yang membungkuk, sibuk dengan pekerjaannya. Para relawan itu sedang menghias makam-makam para pahlawan kami. Mereka bekerja dengan ceria, sayup-sayup terdengar lagu yang mereka nyanyikan, di antara jeda drum band yang menggelegar di telinga kami.

Aku berdiri bersama Zinoviev di panggung, menerjemahkan jawabannya kepada wartawan Amerika yang akhirnya diizinkan Tchicherin masuk ke Rusia. Sejauh mata memandang, tentara dan kaum buruh memenuhi lapangan yang luas itu dan jalanan di sekitarnya. Pawai kaum proletar dari berbagai pabrik melintas, setiap kelompok membawa spanduk besar bertulisan moto-moto revolusioner. Perawat Tentara Merah, buruh perempuan dari berbagai pabrik dan lembaga Soviet, resimen-resimen Pemuda Komunis, barisan buruh bersenjata, dan barisan panjang anak-anak lelaki dan perempuan, berpawai dengan bendera-bendera organisasi mereka.

Ini demonstrasi paling menohok kesadaran revolusioner yang pernah aku lihat, dan aku terinpirasi olehnya. Tetapi tampilan orang-orang yang berpawai begitu memilukan. Mereka kekurangan gizi, kelelahan, pakaiannya buruk, dan aku melihat banyak anak-anak bertelanjang kaki. Mungkin karena kelemahan fisik mereka, aku pikir, parade ini menunjukkan antusiasme yang lemah. Mereka tak menunjukkan semangat pada sambutan dan salam dari kaum komunis yang berdiri di podium. Yel-yel “Hidup Kamerad!” yang diteriakkan Lashevitch dan Antselovitch, para letnan dibawah Zinoviev, disambut dengan gaung tak bersemangat oleh pawai yang melintas.

Perayaan-perayaan hari itu ditutup pada malam hari dengan pertunjukan akbar di ruang terbuka, yang menggambarkan kejayaan revolusi. Pertunjukkan itu menampilkan gambaran kuat tentang perbudakan berabad-abad terhadap masyarakat, segala sakit dan derita, dan aktivitas revolusioner bawah tanah yang dilakukan oleh para pionir kebebasan. Seniman-seniman terbaik di kota ini berpartisipasi dalam penggambaran drama Rusia yang hebat dan menampilkan pertunjukkan yang intens dan menggairahkan.

Aku tersihir oleh horor-horor tirani para Tsar: gemerincing rantai orang-orang yang diperbudak menggema dalam pikiranku, dan aku mendengar suara badai yang mendekat dari kedalaman. Tiba-tiba menggelegar ledakan meriam, teriakan parau orang-orang yang terluka dan sekarat di ladang pembantaian, diikuti kilatan petir pemberontakan dan kejayaan revolusi.

Aku menikmati seluruh kisah perjuangan hebat yang ditampilkan dalam pertunjukan selama dua jam itu, dan benar-benar terpengaruh olehnya. Tetapi massa penonton tetap hening—tidak ada kesan yang mereka tunjukan. Apakah itu sikap apatis alamiah masyarakat utara, aku bertanya-tanya, saat aku mendengar seorang perempuan muda di dekatku berkata, “Apa gunanya ini semua?! Aku ingin tahu apa yang telah kita peroleh.”