Bab VII

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab VII

Pasar

Aku menyukai sentuhan salju keras yang bernyannyi di bawah telapak kaki. Jalanan begitu hidup dengan orang-orang -kebalikan yang menyolok mata jika dibandingkan dengan Petrograd, yang mengingatkanku pada tempat pemakaman. Trotoar sempit dan berkelok, dan orang-orang melangkah di tengah jalan. Sangat jarang ada mobil yang lewat, walau sesekali terdengar suara mobil yang berderit. Orang-orang di sini berpakaian lebih baik dari pada orang-orang Petrograd dan tidak tampak terlalu pucat dan kelelahan. Ada banyak tentara dan orang-orang yang mengenakan pakaian kulit. Orang-orang Tcheka, begitu aku diberi tahu. Hampir semua orang membawa karung di punggungnya atau menarik gerobak yang dipenuhi kantung-kantung berisi kentang yang meneteskan cairan kehitaman. Mereka berjalan terengah-engah dan memaksakan diri untuk terus melangkah ke depan.

Berbelok di pojok menuju Jalan Miasnitskaya, aku memerhatikan sebuah poster besar berwarna kuning di dinding. Mataku menangkap kata “Prikaz” dengan huruf besar berwarna merah. Prikaz—perintah—secara instintif kata itu berasosiasi di dalam pikiranku dengan rejim lama. Poster itu terasa sangat akrab dengan istilah “Aku perintahkan,” “Aku minta,” mengulang-ulang sendiri dalam frekuensi dalam pengumuman polisi lama. “Aku memerintahkan masyarakat Moskow,” demikian aku baca.

Masyarakat? Aku melihat tanggalnya. Bertiti mangsa 15 Januari 1920, dan ditandatangani oleh Komisar Milisi. Perintah itu dengan kuat mengingatkan pada perintah Cossack dan sejenisnya, dan aku merasa muak. Revolusi harus mencari bahasa yang lain, pikirku.

Aku melewati Lapangan Merah tempat para pahlawan Revolusi dimakamkan sepanjang tembok Kremlin. Ribuan lainnya, yang dianggap mengabdi dan heroik, dikubur di kuburan-kuburan tanpa nama di seluruh negeri di di garis-garis depan pertempuran. Dunia baru tidak lahir tanpa rasa sakit. Kelaparan dan penderitaan masih terjadi di Russia, warisan dari masa lalu yang akan dimusnahkan oleh Revolusi selamanya.

DI tembok Duma lama, dekat Gerbang Iverskaya, aku membaca legenda yang diukir pada sebongkah batu: “Agama adalah candu masyarakat.” Tetapi di kapel dekat prasasti itu ada misa yang sedang dilaksanakan dan dipenuhi oleh orang-orang. Pendeta berjubah, rambutnya yang panjang terurai di punggungnya, mengalunkan ayat-ayat suci Katolik-Yunani. Para jemaat, sebagian besar perempuan, berlutut di lantai yang dingin, terus menerus membuat tanda salib di dirinya. Beberapa laki-laki, yang berpakaian murahan dan membawa tas, masuk diam-diam, membungkuk dengan rendah dan membuat tanda salib dengan takzim.

Aku melangkah lebih jauh ke pasar, Okhtony Ryad yang bersejarah, di seberang Hotel National. Jejeran lapak-lapak kecil di satu sisi, toko-toko yang lebih besar di sisi lainnya, tempat orang berjalan di antara dua sisi itu— pemandangan itu mengingatkan pada masa lalu. Ikan dan mentega dijajakan, roti dan telur, daging, permen, dan kosmetik—halaman yang masih hidup dari lembaran sejarah yang telah dihapus oleh Revolusi. Seorang perempuan tua dengan tampilan yang menawan, mengenakan jubah tua, berdiri dalam diam sambil memegang vas Jepang. Di dekatnya ada perempuan lain, lebih muda dan tampak terpelajar, memegang keranjang berisi gelas-gelas anggur kristal yang langka. Di pojokan, anak-anak laki-laki dan perempuan menjual rokok dan lepyoshki, sejenis panekuk kentang, dan di kejauhan aku melihat kumpulan orang yang mengelilingi perempuan tua yang menyajikan tshtchi (sup kol).

“Lima saja, lima saja!” dia berteriak dengan suara parau. “Tschtchi lezat, hanya lima kopek!”

Kuali yang panas itu mengeluarkan aroma yang lezat. “Beri aku sepiring,” kataku, sambil memberi perempuan itu satu rubel.

“Tuhan menyertaimu, paman muda,” dia menatapku curiga, “Harganya lima, lima kopek.”

“Aku memberimu satu rubel,” jawabku.

Kumpulan orang-orang itu tertawa geli. “Maksud dia lima rubel,” seseorang menjelaskan, “satu rubel sama nilainya dengan satu kopek.”

“Bahkan tidak senilai itu juga,” seorang pemuda ikut bicara.

Cairan panas itu mengalirkan kehangatan ke seluruh tubuhku, tetapi rasa voblia (ikan) itu tidak tertahankan. Aku melakukan gerakan untuk mengembalikan sajian itu.

“Izinkan aku,” seorang lelaki di belakangku berkata kepadaku. Usianya paruh baya, tampak jelas orang terpelajar, dan bicara dalam bahasa Rusia yang halus. Mata gelapnya yang menyiratkan kondisi tubuhnya yang tidak sehat. “Izinkan aku,” dia mengulang, merujuk pada makanan di tanganku.

Aku memberikannya piring itu. Dengan segera, seperti orang yang kelaparan, dia menelan tshtchi panas itu, melahap serpihan kol yang terakhir. Kemudian dia mengucapkan terima kasih yang sangat.

Aku memerhatikan buku tebal di dekapannya. “Membawa buku itu ke sini?” tanyaku.

“Ah, tidak, bagaimana mungkin! Aku telah mencoba menjualnya sejak pagi. Aku seorang insinyur sipil, dan ini buku terakhirku,” dia membelai buku itu dengan penuh perhatian. “Tetapi permisi, aku harus segera ke toko sebelum terlambat. Mereka belum memberikan roti selama dua hari. Aku benar-benar berhutang kepadamu.”

Aku merasakan sodokan di siku. “Beli rokok dariku, paman muda,”— seorang anak perempuan, tampak sangat kelaparan, menengadahkan tangan kepadaku. Jemarinya, kaku karena dingin, dengan ragu menggerakkan sebatang rokok yang terbaring di telapak tangannya. Anak itu tidak mengenakan topi atau jubah, hanya selembar syal tua yang membungkus ketat tubuhnya yang ringkih.

“Beli, tuan,” dia memelas dengan suara yang lemah.

“Tuan apa,” seorang perempuan di dekat kami membantah. “Tidak ada lagi tuan, kita semua sekarang tovarishtchi. Tidakkah kau tahu,” ucapnya lembut.

Perempuan itu cantik, usianya belum tujuh belas tahun, bibir merahnya kontras dengan wajahnya yang pucat. Suaranya halus dan mengalun, bicaranya menyenangkan.

Untuk sesaat matanya penuh menatapku, kemudian dia mengalihkan pandangannya.

“Belikan aku sedikit roti putih,” ucapnya singkat, tetapi tidak dapat menyembunyikan rasa malu di wajahnya, “untuk ibuku yang sakit.”

“Kau tidak bekerja?” tanyaku.

“Tidak bekerja!” dia membentak, dengan wajah tidak suka. “Aku mentik di sovnarkhoz, tetapi kami hanya mendapat satu setengah pon rati sekarang, dan sedikit yang lainnya.”

“Razia! Milisi!” terdengar jeritan dan teriakan, dan aku mendengar suara hentakan pisau yang dipasang. Pasar itu dikepung orang-orang bersenjata.

Orang-orang panik dalam teror. Beberapa mencari jalan meloloskan diri, tetapi tentara mengepung dengan ketat; tidak seorang pun yang diizinkan pergi tanpa menunjukkan surat. Tentara-tentara itu kasar dan mengintimidasi, meneriakkan sumpah serapah dan mengancam semua orang dengan tindakan kasar.

Seorang tentara menendang kuali tshtchi, dan menyeret perempuan tua itu dengan tangannya. “Biarkan aku mengambil kualiku, ayah muda, kualiku,” dia memelas.

“Kami akan menunjukkanmu kuali, kau spekulator terkutuk!” seorang lelaki membentak, menarik tubuh perempuan tua itu.

“Jangan memperlakukan perempuan dengan kasar,” aku memprotes.

“Siapa kau? Beraninya kau ikut campur!” seorang lelaki dengan tipi kulis membentakku. “Surat-suratmu!”

Aku memberikan dokumen identitasku. Tchekist itu meliriknya, dan matanya dengan cepat menangkap cap Kantor Urusan Luar Negeri dan tanda tangan Tchicherin. Sikapnya berubah. “Maafkan aku,” ucapnya. “Biarkan tovarishtch asing ini lewat,” perintahnya kepada tentara.

Di jalanan para tentara itu menggiring tahanannya. Di depan dan di belakang, para tentara mengarahkan senapan bayonetnya, siap untuk beraksi. Di barisan itu pula orang-orang Tcheka berjalan, pistolnya ditodongkan ke punggung para tahanan. Aku melihat perempuan tshtchi itu dan sang insinyur tua, dengan buku tebal di dekapannya; aku melihat perempuan tua yang anggun di belakang, dua gadis yang tadi mengobrol denganku, dan beberapa anak laki-laki, sebagian bertelanjang kaki.

Aku kembali menuju pasar. Keramik-keramik yang pecah dan benang-benang yang putus mengotori tanah; rokok dan lepyoshki tercecer di salju, terinjak oleh sepatu bot kotor, dan anjing-anjing berkelahi berebut makanan yang tersisa. Anak-anak dan perempuan menatap dari ambang pintu di seberang pasar, mata mereka mengikuti tentara yang diperintahkan menjaga pasar. Barang-barang yang disita dari para pedagang ditumpuk pada sebuah gerobak oleh para Tchekist.

Aku melihat ke toko-toko itu. Masih dibiarkan buka; mereka tidak diserang.

**

Pada malam hari, aku makan malam di Hotel National bersama beberapa teman Komunis yang telah mengenalku sejak di Amerika. Aku menggunakan obrolan itu untuk menarik perhatian mereka pada peristiwa yang aku saksikan di pasar. Alih-alih bersikap menolak, seperti yang aku harapkan, mereka malah menyindir “perasaan sentimental”-ku. Para spekulator tidak boleh diampuni, kata mereka. Perdagangan harus dihapuskan: membeli dan menjual akan menyuburkan psikologi kelas menengah kecil. Itu harus ditindas.

“Apakah kau menyebut perempuan-perempuan tua dan anak-anak laki-laki bertelanjang kaki itu para spekulator?” aku memprotes.

“Jenis yang paling buruk,” jawab R, mantan anggota Partai Buruh Sosialis Amerika. “Hidup mereka lebih baik dari kita, memakan roti putih, dan memiliki uang yang disembunyikan.”

“Dan toko-toko itu? Kenapa mereka diizinkan untuk terus buka?” tanyaku.

“Kami telah menutup sebagian besarnya,” ucap K, Komisar di Rumah Soviet. “Segera, tidak akan ada lagi yang dibiarkan buka.”

“Dengar, Berkman,” ucap D, seorang pemimpin berpengaruh serikat buruh, yang mengenakan jubah kulit, “kau tidak tahu ‘para lelaki dan perempuan tua yang miskin’ seperti yang kau sebut itu. Di siang hari mereka menjual lepyoshki, tetapi di malam hari mereka berdagang dengan berlian, dan valuta. Setiap saat rumah-rumah mereka dirazia kami menemukan benda berharga dan uang. Percaya kepadaku, aku tahu apa yang aku bicarakan. Aku sendiri pernah ikut merazia rumah-rumah mereka.”

Dia menatapku tajam, kemudian melanjutkan, “Aku beri tahu, orang-orang itu para spekulator berpengalaman, dan tidak ada cara untuk menghentikan mereka. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mendorong mereka ke tembok, razstrelyat—tembak mereka,” suaranya meninggi karena rasa kesal yang memuncak.

“Kau tidak serius, kan?” aku protes.

“Tidak? Eh?!” dia berteriak marah. “Kami melakukan itu setiap hari!”

“Tetapi hukuman kapital sudah dihapus.”

“Hal itu sudah jarang dilakukan sekarang,” R mencoba menghaluskan persoalan, “dan hanya dilakukan di zona militer.”

Tchekist buruh itu menatapku dengan dingin, dan mengancam, “Membela spekulasi adalah kontra-revolusi,” ucapnya, sambil meninggalkan meja.