C.5 Mengapa bisnis besar mendapat bagian keuntungan yang lebih besar?

[sc:afaq1]

C.5 Mengapa bisnis besar mendapat bagian keuntungan yang lebih besar?

[toc]

Seperti yang dideskrepsikan dalam bagian terakhir di atas, yang terkait dengan sifat pasar kapitalis, firma-firma besar dengan segera mulai mendominasi. Setelah beberapa perusahaan besar mendominasi pasar tertentu, mereka membentuk oligopoli dan dari situ sejumlah besar pesaing secara efektif ‘ditendang’ keluar sehingga mengurangi tekanan persaingan. Dalam situasi ini, ada kecenderungan di atas “tingkat psar”, karena para produsen oligopolistik tidak menghadapi modal baru yang potensial yang memasuki “pasar” mereka (terkait dengan ongkos modal yang relatif tinggi dan rintangan-rintangan pergerakan/pintu masuk lainnya). Bentuk persaingan ini mengakibatkan bisnis besar memiliki sebagian dari keuntungan yang ada “dengan tidak adil”. Karena terdapat tingkat obyektif dari keuntungan yang ada dalam perekonomian sekali waktu, keuntungan oligopolistik “yang dibuat dengan mengorbankan kapitalis individu masih tetap dicari dalam persaingan.” (Paul Mattick, Economics, Politics, and the Age of Inflation, hal 38).

Seperti pendapat dalam C.1, harga komoditi akan cenderung mendekati harga produksinya (yaitu ongkos ditambah keuntungan rata-rata). Dalam perekonomian kapitalis yang maju, harga tiidak sesederhana ini–terdapat beragam keuntungan “rata-rata” yang tergantung pada apa yang diistilahkan  Michal Kalecki dengan “derajat monopoli” dalam pasar. Teori ini “menunjukkan bahwa keuntungan berasal dari kekuatan monopoli, dan karena itu keuntungan tumbuh dalam firma yang memiliki kekuatan monopoli lebih… Suatu kenaikan dalam derajat monopoli yang disebabkan oleh pertumbuhan firma-firma besar akan mengakibatkan pergeseran keuntungan dari bisnis kecil ke bisnis besar.” (Malcom C. Sawyer, The Economics of Michal Kalecki, hal. 36) Jadi, sebuah pasar dengan suatu ‘deraja monopoli’ yang tinggi akan memiliki tingkat keuntungan rata-rata yang lebih tinggi (atau tingkat pendapatan) daripada pasar lain yang lebih kompetitif.

“Derajat monopoli” merefleksikan faktor-faktor seperti tingkat konsentrasi dan kekuatan pasar, pembagian pasar, luasnya periklanan, rintangan pintu masuk/pergerakan, kolusi, dll. Semakin tinggi faktor-faktor ini semakin tinggi derajat monopoli dan semakin tinggi pula kenaikan harga di atas ongkos (dan juga pembagian hasil dalam nilai tambah). Pendekatan kita dalam isu ini sama dengan Kalecki dalam banyak hal meskipun kita tekankan bahwa derajat monopoli mempengaruhi bagaimana keuntungan didistribusikan di antara firma-firma, bukan bagaimana mereka dibuat di tempat pertama (yang berasal, seperti pendapat pada bagian C.2, dari “kerja kaum miskin yang tak dibayarkan”–menggunakan kata-kata Kropotkin).

Terdapat bukti substansial untuk mendukung teori ini. J.S Bain dalam Barriers in New Competition mencatat bahwa industri di mana tingkat konsentrasi penjualnya sangat tinggi dan rintangan pintu masuknya juga substansial, angka keuntungannya lebih tinggi dari rata-rata. Penelitian cenderung untuk menegaskan penemuan Bain. Keith Cowling menyimpulkan bukti ini:

“Sejauh perhatian AS…terdapat landasan untuk mempercayai bahwa suatu hubungan yang signifikan, namun tidak terlalu kuat, ada di antara konsentrasi dan kemampuan menghasilkan keuntungan… (bersama dengan) hubungan signifikan antara periklanan dan kemampuan menghasilkan keuntungan (sebuah faktor penting “dalam derajat monopoli” suatu pasar)…(terlebih lagi) di mana estimasi dibatasi hingga sebuah persilangan bagian yang tepat (dalam industri)… baik konsentrasi maupun periklanan tampak signifikan (bagi Inggris). Dengan memfokuskan pada pengaruh perubahan di dalam konsentrasi setiap saat… (kita) dapat mengelakkan masalah-masalah besar yang ditimbulkan oleh kurangnya estimasi yang cukup mengenai elastisitas harga permintaan… (untuk mendapatkan) efek konsentrasi yang positif dan signifikan… Tampak beralasan untuk menyimpulkan pada basis bukti yang didapat di AS dan Inggris bahwa terdapat hubungan signifikan antara konsentrasi dan batas-batas harga ongkos.” (Monopoly Capitalism, hal 109-110)

Harus kita catat bahwa variabel batas harga ongkos yang secara khusus digunakan dalam studi-studi ini mengurangi upah dan gaji yang diambil dari nilai tambah dalam produksi. Hal ini akan memunculkan tendensi untuk mengurangi batasan tersebut karena tidak mempertimbangkan bahwa sebagian besar gaji manajemen (khusunya orang-orang yang berada di puncak hierarki) lebih menyerupai keuntungan dari pada ongkos (sehingga tidak dikurangi dari nilai tambah). Juga, karena banyak pasar diregionalkan (terutama di AS), analisa berskala bangsa mengabaikan tingkat konsentrasi yang ada dalam pasar tertentu.

Artinya, bahwa firma-firma besar dapat mempertahankan harga dan keuntungan mereka di atas tingkat “normal” (kompetitif) tanpa bantuan pemerintah dan lebih karena ukuran serta kekuatan pasar yang mereka miliki (dan jangan dilupakan fakta penting bahwa bisnis besar muncul selama periode dekatnya kapitalisme dengan “laissez faire” dan ukuran serta aktifitas negara tidak besar). Seperti halnya aliran utama ekonomi yang berdasarkan pada gagasan “persaingan sempurna” (dan konsep yang berhubungan bahwa pasar bebas adalah alokator efisien untuk sumber daya ketika mengamati kondisi ini), jelas bahwa penemuan seperti itu langsung menikam klaim bahwa kapitalisme adalah sistem yang didasarkan pada kesetaraan kesempatan, kebebasan dan keadilan. Eksistensi bisnis besar serta pengaruh yang dimilikinya dalam perekonomian dan masyarakat yang bebas mengekspose ekonomi kapitalisme sebagai sebuah rumah yang dibangun di atas pasir (lihat bagian C.4.2 dan C.4.3).

Efek samping lainnya dari oligopoli adalah sejumlah merger akan cenderung meningkat dalam pendakian menuju kemerosotan. Begitu juga kredit yang diperluas dalam sebuah usaha untuk menjauhkan krisis (lihat bagian C.8), firma-firma akan melakukan merger  untuk meningkatkan kekuatan pasar mereka dan memperbaiki batas keuntungan mereka dengan menaikkan ongkos. Karena angka tingkat keuntungan jatuh, merger merupakan suatu usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan jalan meningkatkan derajat monopoli dalam pasar/perekonomian.  Namun demikian, merger hanyalah solusi jangka pendek dan hanya dapat menangguhkan, bukan menghentikan, krisis karena akarnya terletak pada produksi, bukan pasar (lihat bagian C.7)– terdapat banyak sekali nilai lebih dan cadangan modal yang tak dapat tercapai. Setelah kemerosotan terjadi, periode persaingan yang mematikan akan dimulai dan kemudian, secara perlahan proses konsentrasi kembali dimulai (seiring dengan hilangnya firma-firma lemah, firma-firma yang berhasil meningkatkan pembagian pasar mereka, cadangan modal, dll).

Jadi, perkembangan oligopoli di dalam kapitalisme menyebabkab menjauhnya reditribusi keuntungan dari kapitalis kecil menuju bisnis besar (yaitu bisnis kecil yang diperas oleh bisnis besar terkait dengan kekuatan pasar dan ukuran bisnis besar). Terlebih lagi, keberadaan oligopoli dapat, dan memang, menimbulkan kenaikan ongkos yang dihadapi oleh bisnis besar yang dapat diatasi dengan cara meningkatkan harga, yang dapat memaksa perusahaan lain, dalam pasar yang tidak berhubungan, untuk meningkatkan harga- harga mereka untuk mendapatkan keuntungan yang cukup. Karena itu, oligopoli bertendensi menciptakan peningkatan harga di luar pasar sebagai suatu keseluruhan sehingga dapat menyebabkan inflasi.

Karena alasan-alasan ini (dan alasan lainnya), banyak bisnis kecil dan anggota kelas menengah mengakhiri kebencian mereka pada bisnis besar (sementara diwaktu yang sama mencoba menggantikannya!) dan menganut ideologi yang memberi janji-janji untuk menyingkirkan bisnis besar. Karena itu, kita ketahui bahwa kedua ideologi kelas menengah “radikal”– libertarianisme dan fasisme– menyerang bisnis besar, baik “Sosialisme Bisnis Besar” yang menjadi target libertarianisme, atau “Plutokrasi Internasional” yang dilawan fasisme.

Seperti yang dikatakan Peter Sabatini dalam Libertarianism : Bogus Anarchy, “pada peralihan abad, bisnis pengusaha lokal (kepemilikan/rekanan di AS) dialihkan dalam tatanan kecil oleh kapitalisme korporat transnasional… Beragam strata yang terdiri dari kelas kapitalis memberikan respon yang berbeda-beda pada peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung sesuai dengan fungsi posisi respektif mereka terhadap keuntungan. Bisnis kecil yang masih ada mulai membenci keuntungan ekonomi yang dimiliki oleh kapitalisme korporat yang dapat menjamin kehidupannya dan perubahan yang mengakar ditekankan  pada peraturan-peraturan dasar dalam persaingan borjuis. Meski demikian, karena kapitalisme merupakan raison d’etre liberalisme, orang yang mejalankan bisnis kecil memiliki sedikit pilihan selain menyalahkan negara atas kesengsaraan finansial mereka, jika tidak mereka akan berbalik mendukung kelompok ideologi lain (anti kapitalisme). Karena itu, negara-negara besar disalahkan sebagai penyebab utama atas ‘penyimpangan’ kapitalisme ke dalam bentuk monopoli, dan hal itu menjadi alasan bagi keluhan bisnis kecil.”

Namun demikian, meskipun ada keluhan dari kapitalis kecil, kecenderungan pasar untuk didominasi oleh beberapa firma besar adalah efek samping yang nyata dati kapitalisme itu sendiri. “Jika rumah ‘bisnis besar’ berada setelah utilitas publik dan manufaktur, saat ini, maka bisnis besar akan selalu tampak nyaman dilingkungan manapun.” (M.A. Utton, op.cit. hal 29) Hal ini terjadi karena dalam kendali mereka untuk berekspansi (sesuatu yang harus dilakukan agar dapat bertahan hidup), kapitalis berinvestasi pada pabrik dan mesin-mesin baruuntuk mengurangi ongkos produksi sekaligus meningkatkan keuntungan. (lihat bagian C.2 dan bagian-bagian yang terkait). Karena itu, sebuah firma kapitalis yang sukses akan terus bertambah besar dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya.

C.5.1 Bukankah keuntungan besar yang dimiliki bisnis besar memang terkait dengan efisiensinya yang lebih tinggi?

Jelas, analisa profitabilitas bisnis besar yang digambarkan pada bagian C.5 disangkal oleh para pendukung kapitalisme. H. Demsetz, salah satu ekonom dari “aliran Chicago” yang mendukung pasar “bebas” (yang menggemakan pendapat aliran “Austria” libertarian kanan bahwa apapun yang terjadi di pasar bebas adalah untuk yang terbaik) berpendapat bahwa efisiensi (bukan derajat monopoli) merupakan penyebab adanya keuntungan besar bagi bisnis besar. Argumennya bahwa jika keuntungan oligopolistik memang terkait dengan tingkat konsentrasi yang tinggi, maka firma-firma besar dalam sebuah industri tak akan mampu menghentikan firma yang lebih kecil untuk mendapatkan keuntungan dalam industri ini dalam bentuk keuntungan yang lebih besar. Jadi, jika konsentrasi penjual membawa keuntungan yang tinggi (sebagian besar karena kolusi yang terjadi di antara firma-firma yang dominan) maka firma-firma yang lebih kecil dalam industri yang sama juga akan untung.

Namun argumen ini cacat, karena pada kenyataannnya praktek oligopoli penuh kolusi. Rintangan pintu masuk/mobilitas dibuat sedemikian rupa sehingga firma-firma dominan dalam sebuah pasar oligopolistik tak perlu bersaing harga, dan kekuatan pasar mereka memungkinkan dinaikkannya ongkos yang tak dapat dirusak kekuatan pasar. Karena pesaing-pesaing mereka yang mungkin ada hanyalah firma-firma yang sama besarnya, kolusi tidak diperlukan karena firma-firma ini tidak memiliki kepentingan dalam mengurangi kenaikan harga produk mereka sehingga mereka “bersaing” untuk pembagian pasar dengan metode di luar harga, seperti iklan (iklan, yang juga menjadi rintangan untuk memasuki pasar, mengurangi persaingan harga dan menambah kenaikan harga).

Dalam penelitiannya, Demsetz menulis bahwa meski terdapat korelasi positif antara angka keuntungan dan konsentrasi pasar, firma-firma kecil dalam pasar oligarkis tidak lebih beruntung dari rekan-rekan mereka di pasar lain (lihat M.A. Utton, The Political Economy of Big Business, hal. 98). Dari sini Demsetz menyimpulkan bahwa oligopoli tidak irelevan dan bahwa efisiensi peningkatan harga merupakan sumber keuntungan ynag berlebih. Namun hal ini tidak tepat–firma-firma lebih kecil dalam industri yang terkonsentrasi akan memiliki profibilitas yang sama dengan firma berukuran sama dalam pasar yang kurang terkonsentrasi, bukan profitabilitas yang lebih tinggi. Adanya profit besar terhadap semua firma dalam industri tertentu akan menarik firma-firma lainnya masuk pasar itu, sehingga mengurangi keuntungan yang ada. Namun demikian, karena profitabilitas berhubungan dengan firma-firma besar dalam pasar, rintangan masuk/pergerakan yang terkait dengan bisnis besar menghentikan berlangsungnya proses ini. Jika firma-firma kecil dapat mendatangkan keuntungan, maka untuk masuk pasar akan lebih mudah sehingga “derajat monopoli” menjadi rendah dan kita akan saksikan gelombang masuk firma-firma yang lebih pasar.

Meski memang benar bahwa firma yang lebih besar memperoleh keuntungan yang berhubungan dengan keuntungan skala besar, masalahnya adalah, apa yang menghentikan firma-firma yang lebih kecil mengehntikan dan meningkatkan memperbesar perusahaan mereka untuk dapat memperoleh keuntungan skala besar dalam dan antar tempat kerja? Apa yang menghentikan kekuatan pasar mengikis keuntungan besar yang bergerak memasuki industri dan meningkatkan jumlah firma, sehingga juga meningkatkan penawaran? Jika rintangan ada untuk menghentikan terjadinya proses ini, maka konsentrasi, kekuatan pasar dan rintangan lain untuk masuk/pergerakan (bukan efisiensi) adalah issue belaka. Persaingan adalah suatu proses, bukan keadaan, dan hal ini menunjukkan bahwa “efisiensi” bukan sumber keuntungan oligopolistik (tentu saja apa yang menghasilkan sebagai “efisiensi” dalam firma besar mungkin adalah rintangan bagi kkekuatan pasar yang menambah kenaikan!)

Tampak mungkin bahwa firma-firma besar besama-sama melakukan “keuntungan skala besar” yang terkait dengan ukuran firma, bukan pabrik, yang juga muncul dari tingkat konsentrasi dalam suatu industri. “Banyaknya bukti  menunjukkan bahwa keuntungan skala besar (pada tingkat pabrik) … tidak menerangkan tingkat konsentrasi yang tinggi dalam industri AS” (Richard B. Du Boff, Accumulation and Power, hal.174) dan, “penjelasan lebih lanjut untuk pertumbuhan yang sangat besar dalam keseluruhan konsentrasi pasti ditemukan dalam pabrik (factory) daripada keuntungan skala besar pada tingkat industri kompleks (plant).” (M.A Utton, Op.Cit., hal.44) Koordinasi industri kompleks oleh pihak yang terlihat dalam manajemen tampak sebagai kunci untuk penciptaan dan mempertahankan posisi dominan dalam pasar. Dan tentu saja, struktur-struktur ini berharga mahal dalam menciptakan dan mempertahankan seperti juga membutuhkan waktu untuk membangunnya. Jadi ukuran firma, dengan keuntungan skala besar di luar tempat kerja berhubungan dengan koordinasi administratif hierrki manajemen, juga menciptakan rintangan yang berat untuk masuk/bergerak.

Faktor penting lainnya yang memiliki pengaruh dalam profitabilitas bisnis besar adalah kekuasaan yang diberikan kekuatan pasar. Ada dua bentuk utama –kontrol horisontal dan vertikal:

“Kontrol horisontal membuat oligopoli mengkontrol langkah-langkah yang diperlukan dlam sebuah proses perkonomian dari pasokan material hingga pemrosesan, pengolahan, transportasi dan distribusi. Oligopoli…(mengkontrol) barang-barang berkualitas terbaik dan penawaran yang paling dapat diterima daripada yang mereka berikan ke pasar dengan segera…pesaing yang dibiarkan  adalah pesaing dengan barang yang berkualitas lebih rendah atau penawaran yang lebih mahal…(Kontrol juga) didasarkan pada kepemilikan yang eksklusif akan teknologi, hak paten dan monopoli serta juga pada kapasitas produktif yang berlebih(…)

“Kontrol vertikal menggantikan perintah administratif untuk pertukaran antara langkah-langkah proses ekonomi. Oligopoli terbesar memperoleh material dari cabang meerka sendiri, memproses dan mengolah semua ini dalam kilang minyak, tempat pengolahan bahan mentah, dan pabrik yang mereka miliki sendiri, mengirim barang-barang mereka sendiri dan kemudian memasarkan semua ini melalui distribusi dan jaringan penjualan mereak sendiri.” (Allan Engler, Apostles of Greed, hal.51)

Terlebih lagi, firma-firma mengurangi ongkos mereak karena adanya hak istimewa atas akses terhadap kredi dan sumber daya. Baik kredit dan iklan menunjukkan keuntungan skala besar, yang artinya bahwa seiring dengan peningkatan pinjama dan iklan, maka ongkos turun. Dalam hal finansial, suku bunga untuk firma besar biasanya lebih rendah dari firma yang kecil dan meski “firma-firma dalam segala ukuran mendapati sebagian besar investasi mereka (sekitar 70% antara tahun 1970 hingga 1984) tanpa harus melalui pasar (finansial) atau bank”, ukuran tidak berpengaruh pada “pentingnya bank sebaagi sumber finansial”: “Firma-firma dengan aset di bawah $100 juta mengandalkan bank untuk sekitar 70% dari hutang jangka panjang mereka… firma yang memiliki aset dari $250 juta hingga $1 milyar, 41%; dan yang lebih dari $1 milyar, 15%” (Doug Henwood, Wall Street, hal.75). Firma-firma dominan juga mendapatkan kesepakatan yang lebih baik dengan pemasok dan distributor yang bebas karena adanya keuntungan yang berkaitan dengan kekuatan pasar mereka daripada sebaliknya. Konsentrasi (dan ukuran firma) membuat adanya “keuntungan skala besar” dan firma-firma yang lebih kecil dalam pasar yang sama tak dapat mendapatkan akses untuk itu. Karena itu klaim bahwa kaitan positif antara konsentrasi dan angka keuntungan mencatat fakta bahwa firma-firma terbesar cenderung bersikap sangat efisien, dan karenanya lebih mudah memperoleh keuntungan , adalah salah. Sebagai tambahan, “penemuan Demsetz telah dipertanyakan oleh kritik (aliran) non Chicago” berkaitan dengan ketidak cocokan bukti yang digunakan serta juga beberapa teknik analisisnya. Secara keseluruhan, “kerja empiris memberikan dukungan terbatas” pada eksplanasi “pasar bebas” untuk keuntungan oligopolistik dan malah menyarankan agar pasar kekuatan memainkan peran kunci. (William L. Baldwin, Market Power, Competition and Anti-Trust Policy, hal.310, hal.315)

Tidak heran kita dapatai  “semakin besar aset korporasi atau pembagian pasarnya sekin besar angka keuntungannya: penemuan ini menegaskan keuntungan dari kekuatan pasar… terlebih lagi, ‘firma-firma besar dalam industri-industri yang terkonsentrasi memperoleh keuntungan yang lebih tinggi seecara sistematis daripada semua firma lainnya, sekitar 30% lebih banyak… dari rata-rata,’ dan terdapat lebih sedikit variasi dalam angka keuntungan.” (Richard. B. Du Boff, Accumulation and Power, hal. 175)

Jadi konsentrasi, bukan efisiensi, adalah kunci profitabilitas, dengan faktor-faktor yang membuat “efisiensi” menjadi rintangan masuk yang sangat efektif yang membantu mempertahankan “derajat monopoli” (dan juga kenaikan dan keuntungan firma-firma dominan) dalam passar. Oligopoli memiliki keragaman derajat efisiensi administratif dan kekuatan pasar, semua hal yang mengkonsolidasikan posisinya– “rintangan masuk yang dimunculkan oleh penurunan ongkos unit produksi dan distribusi serta melalui organisasi nasional para manajer, pembeli, sales, dan bagian pelayanan, membuat keuntungan kumulatif oligopoli– dan implikasi yang terjadi tidak hanya berskala nasional melainkan juga berskala global.” (ibid. hal. 150)

Penelitian baru-baru ini menegaskan analisa Kropotkin mengenai kapitalisme yang dapat ditemukan dalam karya klasiknya Fields, Factories and Workshops (terbitan pertama 1899). Kropotkin setelah investigasi ekstensif mengenai situasi aktual dalam perekonomian, berpendapat bahwa “bukan superioritas pengaturan teknis untuk perdagangan dalam sebuah pabrik, maupun penghematan yang didapatkan oleh pemindah pertama, yang menghalangi industri kecil…melainkan kondisi yang lebih menguntungkan untuk menjual produk dan untuk membeli bahan mentah yang sangat membantu perushaan besar.” Sejak “manufaktur menjadi perusahaan pribadi, pemiliknya merasa menguntungkan jika memiliki semua cabang industri yang ada di bawah manajemen mereka sendiri: Jadi mereka menakumulasikan keuntungan keberhasilan perubahan bahan mentah… (dan segera) pemilik mendapati bahwa keuntungannya mampu memegang kendali pasar. Namun dari sudut pandang teknis keuntungan dari akumulasi sebesar ini adalah sia-sia dan seringkali meragukajn.” Ia menyimpulkan dengan membuat pernyataan bahwa “inilah sebabnya mengapa ‘konsentrasi’ yang banyak dibicarakan bukanlah apa-apa selain proses penggabungan yang dilkakukan kaum kapitalis untuk tujuan mendominasi pasar, bukan untuk memperkecil ongkos proses teknis.” (Fields, Factories and Workshop Tomorrow, hal 147,153dan 154)

Semua ini memiliki arti bahwa “derajat monopoli” dalam sebuah industri membantu menentukan distribusi keuntungan dalam perekonomian, dengan beberapa nilai lebih “yang dibuat” oleh perusahaan-perusahaan lain dan kemudian diambil oleh bisnis besar. Karena itu, oligopoli mengurangi lahan keuntungan yang ada bagi perushaan-perusahaan lain dalam pasar yang lebih kompetitif dengan memberi harga yang lebih tinggi pada konsumen daripada harga yang diberikan pasar yang lebih kompetitif. Karena ongkos modal yang tinggi mengurangi mobilitas didalam dan diluar sebagian besar pesaing untuk memasuki pasar oligopoli. hal ini memiliki arti bahwa persaingan nyata akan menjadi suatu yang mungkin (yaitu menguntungkan) hanya jika oligopoli meningkatkan harga-harga yang ada dengan terlalu tinggi, sehingga “tak dapat disimpulkan bahwa oligopoli dapat memberikan harga setinggi yang mereka inginkan. Jika harga terlalu tinggi, firma-firma dominan dari industri-industri lainnyaakan tergoda untuk masuk dan mendapatkan pembagian dari keuntungan yang luar biasa. Produsen kecil– yang menggunakan material lebih mahal atau teknologi yang ketinggalan jaman– akan mampu meningkatkan pembagian pasar mereka dan membuat angka keuntungan yang kompetitif atau lebih baik.” (Allan Engler, op.cit. hal 53)

Karena itu bisnis besar menerima pembagian yang lebih besar dari nilai lebih yang ada dalam perekonomian, terkait dengan keuntungan ukuran dan kekuatan pasarnya, bukan karena “efisiensi yang lebih tinggi.”

Leave a Reply