[sc:afaq1]
C.1 Apa yang menentukan harga dalam kapitalisme?
[toc]
Pendukung kapitalisme biasanya sepakat dengan apa yang disebut teori nilai subyektif (TNS), seperti yang dijelaskan oleh sebagian besar aliran utama dalam ilmu ekonomi. Sistem perekonomian ini biasa diistilahkan dengan perekonomian “kaum marginal”, untuk alasan-alasan yang akan dijelaskan dibawah ini.
Singkatnya, TNS menyatakan bahwa harga komoditas ditentukan oleh utilitas marginalnya bagi konsumen dan produsen. Utilitas marginal (marginal utility) adalah suatu titik, pada skala kepuasan individu, ketika keinginan seseorang terpuaskan. Karena itu harga merupakan hasil evaluasi obyektif individual di dalam pasar. Seseorang dapat dengan mudahnya mengetahui mengapa teori ini menjadi menarik bagi orang-orang yang memberi perhatian terhadap kebebasan individu.
Namun demikian, TNS adalah sebuah mitos, dan seperti sebagian besar mitos lainnya, ada kebenaran di dalamnya. Namun sebagai sebuah penjelasan mengenai bagaimana menentukan harga sebuah komoditas, TNS memiliki kesalahan yang serius.
Titik kebenarannya adalah bahwa individu, kelompok, perusahaan, dll, memang memberikan penilaian terhadap barang serta mengkonsumsi/memproduksinya. Angka konsumsi, sebagai contoh, didasarkan pada nilai pakai (use value) barang bagi pemakainya (meski, seperti yang akan kita lihat, ketika seseorang membeli suatu produk, harga dan besarnya pendapatan juga berpengaruh). Begitu juga produksi ditentukan oleh utilitas bagi produsen dalam menyediakan lebih banyak barang. Nilai pakai barang merupakan penilaian yang sangat subyektif, dan bervariasi dalam setiap kasus, tergantung kebutuhan dan selera individu. Meski memiliki pengaruh dalam harga, namun sebagai alat untuk menentukan harga produk, nilai pakai tersebut mengabaikan dinamika perekonomian kapitalis dan hubungan produksi yang menjadi dasar bagi pasar. Akibatnya, TNS menghilangkan semua komoditi seperti karya seni, dan produk aktivitas manusia semacam itu (yang terkait dengan keunikannya) bukanlah sebuah komoditas kapitalistik dalam makna kata yang lazim. Karena itu TNS mengabaikan sifat produksi dalam kapitalisme. Hal ini akan dibicarakan dalam bagian berikutnya.
Tentu saja pakar ekonomi modern mencoba menggambarkan perekonomian sebagai “ilmu bebas nilai”. Selain itu, jarang sekali disebutkan bahwa mereka biasanya hanya membicarakan struktur sosial yang ada dan dogma perekonomian yang terbentuk disekitarnya sebagai sesuatu yang ditakdirkan dan juga memberikan justifikasi kepadanya. Seperti yang dijelaskan Kropotkin:
Semua hukum dan teori ekonomi politik pada kenyataannya tak lebih dari sekedar pernyataan akan kejadian berikut ini:
‘Dalam sebuah negara selalu ada sejumlah orang yang tak dapat mencari nafkah selama sebulan, atau juga dua minggu, tanpa dapat menerima kondisi kerja yang dipaksakan oleh negara, atau yang diberikan oleh orang-orang yang diakui negara sebagai pemilik tanah, perusahaan, jalan kereta api, dll, sehingga akibatnya menjadi demikian.’
“Sampai saat ini ekonomi politik kelas menengah hanyalah suatu penjelasan satu persatu mengenai apa yang terjadi di dalam kondisi yang dikatakan adil tersebut –tanpa menyatakan secara jelas kondisi itu sendiri. Dan kemudian setelah menggambarkan fakta-fakta yang muncul dalam masyarakat di bawah kondisi ini, mereka menunjukkan fakta-fakta ini sebagai hukum-hukum perekonomian yang tak dapat dielakkan serta kaku.” (Kropotkin’s Revolutionary Pamphlets, hal. 179)
Dengan kata lain, para ahli ekonomi menganggap aspek ekonomi politik masyarakat kapitalis (seperti hak property, ketidaksetaraan, dll) sebagai hal yang wajar serta membangun teori-teori mereka disekitarnya. Dengan kata lain, marginalisme mengeluarkan “politik” dari “ekonomi politik” dengan memberikan jaminan kepada masyarakat kapitalis atas sistem kelasnya, hierarki, dan ketidaksetaraan. Dengan memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan individu, mereka memisahkannya dari sistem sosial yang melingkupinya, serta hal-hal yang mempengaruhinya. Malah, TNS muncul melalui pemisahan individu dari lingkungan sosialnya dan menjadikan “hukum-hukum” ekonomi dapat diterapkan untuk semua individu, dalam semua masyarakat, setiap saat. Cukup ironis, dengan mencoba menciptakan teori yang dapat diterapkan setiap saat (dan rupanya juga bebas nilai) mereka hanya mencoba menyembunyikan fakta bahwa teori mereka membenarkan ketaksetaraan di dalam kapitalisme. Seperti yang dijelaskan Edward Herman:
“Kembali pada tahun 1849, para ahli ekonomi Inggris, Nassau Senior, mencaci orang-orang yang membela serikat dagang dan regulasi upah minimum karena orang-orang tersebut memberikan suatu penjelasan mengenai ‘ilmu ekonomi bagi si miskin’. Pemikiran bahwa ia dan teman-teman kerjanya di perusahaan sedang mengembangkan ‘ilmu ekonomi bagi si kaya’, tidak pernah terwujud; ia menganggap dirinya sebagai seorang ilmuwan dan juru bicara prinsip-prinsip sejati. Penipuan diri ini merembes pada aliran -aliran besar ilmu ekonomi hingga masa Revolusi Keynesian 1930-an. Aliran ekonomi Keynesian, meski dapat dilemahkan dengan cepat ke dalam instrumen pelayanan negara kapitalis, meninggalkan kecemasan dalam penekanannya pada instabilitas inhern kapitalisme, kecenderungan menuju pengangguran kronis, dan kebutuhan akan intervensi pemerintah yang substansial untuk mempertahankan kemampuan bertahan hidup. Dengan kapitalisme yang bangkit kembali 50 tahun lalu, pemikiran Keynesian, berikut permintaan implisitnya untuk adanya intervensi, telah diserang tanpa henti, dan, dalam kontra revolusi intelektual yang dipimpin oleh Mazhab Chicago, ilmu ekonomi tradisional Laissez-faire (‘biarkan bulu itu terbang’) bagi kaum kaya telah dikembangkan kembali sebagai inti aliran besar ilmu ekonomi.” (The Economics of the Rich)
Herman mulai mempertanyakan “(m)engapa ahli ekonomi melayani si kaya?” dan berpendapat bahwa “(s)alah satu alasan, para ahli ekonomi yang berpengaruh adalah orang kaya, dan lainnya berusaha untuk mencapai tingkat yang sama. Ahli ekonomi dari mazhab Chicago Gary Becker juga mengetahuinya ketika ia menyatakan bahwa motif-motif ekonomi dapat menjelaskan banyak hal yang kerapkali dihubungkan dengan kekuatan lain. Tentu saja ia tak pernah menggunakan gagasan ini ke dalam ilmu ekonomi sebagai sebuah pernyataan…”(ibid). Terdapat banyak think tank yang digaji besar, pusat penelitian, biro konsultasi, dll, yang menciptakan suatu “‘permintaan efektif’ yang mendatangkan persediaan sumber penghasilan yang tepat.” (ibid). Jelas, sebuah teori ekonomi yang membenarkan ketidaksetaraan, “membuktikan” bahwa laba, sewa, dan bunga tidak bersifat eksploitatif serta berargumen bahwa kekuatan secara ekonomi akibat kekuasaan bebas akan memiliki nilai pakai (utilitas) yang lebih bagi kelas berkuasa dibandingkan mereka yang tidak.
Tentu saja tidak semua pendukung kapitalisme kaya (meski sebagian besar dari mereka mengharapkannya). Banyak yang sungguh-sungguh mempercayai klaim bahwa kapitalisme adalah berdasarkan kebebasan dan bahwa laba, sewa dan bunga lebih merupakan “imbalan” atas pelayanan yang diberikan daripada hasil dari eksploitasi yang terjadi sebagai akibat dari tempat kerja yang hierarkis dan ketidaksetaraan sosial. Namun demikian, sebelum membahas masalah laba, bunga dan sewa, pertama-tama harus kita bicarakan terlebih dahulu mengapa TNS itu keliru.
C.1.1 Jadi apa yang salah dengan teori ini?
Masalah pertama dalam penggunaan utilitas marginal untuk menentukan harga adalah bahwa hal tersebut mengarahkan pada pertimbangan sirkular. Harga-harga tersebut dianggap mengukur “utilitas marginal” komoditi, bahkan konsumen perlu mengetahui harga pertama untuk menilai apa yang terbaik untuk memaksimalkan kepuasan mereka. Karena itu teori nilai subyektif “jelas terletak pada pertimbangan sirkular. Meski teori tersebut mencoba menjelaskan masalah harga, harga diperlukan untuk menerangkan utilitas marginal: (Paul Mattick, Economics, Politics and the Age of Inflation, hal. 58) Pada akhirnya, seperti pernyataan Jevons (salah satu pendiri marginalisme), harga suatu komoditi merupakan satu-satunya penguji yang kita miliki mengenai utilitas komoditi bagi produsen. Karena utilitas marginalitas diartikan untuk menjelaskan harga-harga tersebut, kegagalan teori tersebut tidak lagi terlalu mencolok.
Kedua, mempertimbangkan definisi harga ekuilibrium. Harga ekuilibrium adalah harga pada titik di mana kuantitas permintaan benar-benar setara dengan kuantitas barang yang tersedia. Pada titik harga semacam itu, tak ada insentif baik bagi pembeli maupun penjual untuk mengubah sikap mereka.
Mengapa hal ini terjadi? Teori subyektif tak dapat benar-benar menjelaskan mengapa harga ini merupakan harga ekuilibrium, seperti juga ketidaksepakatannya terhadap hal-hal lainnya. Hal ini terjadi karena TNS mengabaikan fakta bahwa suatu penilaian obyektif diperlukan untuk meletakkan penilaian “subyektif” sebagai dasar dalam pasar. Konsumen, ketika berbelanja, membutuhkan keberadaan harga untuk mengalokasikan uang mereka untuk maksimalisasi terbaik “utilitas”nya (dan, tentu saja, konsumen menghadapi harga-harga di pasar, teori utilitas marginal barang tersebut diartikan untuk memberikan penjelasan!). Dan bagaimana sebuah perusahaan mengetahui adanya keuntungan kecuali jika melakukan komparasi antara harga pasar dengan ongkos produksi di dalam kapitalisme, produksi yang bertujuan laba. Implikasi hal ini merupakan sesuatu yang penting saat mengetahui apa yang menentukan harga di dalam kapitalisme, seperti yang akan dibicarakan dalam bagian selanjutnya (C.1.2-Jadi apa yang menentukan harga?).
Kaum marginalis muda menyadari masalah ini dan berpendapat bahwa harga merefleksikan utilitas pada “margin” (Jevons, salah satu pendiri aliran marginalis, berpendapat bahwa “derajat akhir utilitas menentukan nilai”), namun apa yang menentukan posisi garis tepi itu sendiri? Posisi ini ditentukan oleh persediaan yang ada (“Persediaan menentukan derajat akhir utilitas” –Jevons); namun apa yang menentukan tingkat persediaan? (“Ongkos produksi menentukan persediaan”–Jevons). Dengan kata lain, harga tergantung pada utilitas marginal, yang tergantung pada ongkos produksi. Dengan kata lain, pada akhirnya lebih pada penilaian obyektif (persediaan atau ongkos produksi) dan bukan penilaian subyektif! Tidak mengejutkan karena sebelum anda dapat mengkonsumsi (“nilai secara subyektif”) sesuatu di pasar, benda tersebut harus telah diproduksi. Penyusunan kembali benda dan energi dari bentuk yang kurang berguna menjadi lebih berguna disebut proses produksi (bagi kita). Proses ini membawa kita kembali pada produksi dan hubungan sosial yang ada dalam masyarakat tertentu — dan bahaya politis dalam mendefinisikan (pertukaran) nilai dalam term pekerja (lihat bagian berikutnya. Bagaimanapun juga, individu tak hanya menghadapi penawaran tertentu di pasar, mereka juga menghadapi harga, termasuk ongkos-ongkos yang dihubungkan dengan produksi dan laba.
Karena keseluruhan tujuan marginalisme adalah untuk memisahkan dari produksi (di mana hubungan kekuasaan jelas) dan untuk memusatkan perhatian pada pertukaran (di mana kekuasaan bekerja secara langsung), tidaklah aneh bahwa teori nilai utilitas marginal awal dengan segera dilepaskan. Pembicaraan lebih lanjut mengenai “utilitas” dalam buku-buku ilmu ekonomi bersifat heuristik. Pertama, para ahli ekonomi neo klasik menggunakan “utilitas” (pokok) yang dapat diukur. Namun, hal tersebut menyebabkan masalah-masalah politis (karena utilitas pokok menunjukkan bahwa “utilitas” dari satu dolar bagi seorang miskin jelas lebih besar dari hilangnya satu dolar bagi seorang kaya dan jelas hal ini membenarkan redistribusi pemerintahan). Bahkan kemudian utilitas yang berurutan (ordinal) juga dilepaskan karena utilitas lintas personal tak dapat dibandingkan (pernyataan ini merupakan pendapat Adam Smith dan pendapat ini membuatnya mengembangkan teori nilai kerja daripada yang didasarkan pada utilitas atau nilai pakai). Dengan melepaskan utilitas “berurutan”, aliran-aliran utama ilmu ekonomi membuang pemikiran mengenai pilihan individual dalam term-term tersebut. Artinya bahwa ilmu ekonomi modern tidak memasukkan teori nilai sama sekali–dan tanpa teori nilai, klaim bahwa pekerjaan dalam kapitalisme akan menguntungkan semua pihak atau bahwa hasilnya memiliki kesadaran akan pilihan individual, tidak memiliki dasar yang rasional.
Meski mengabaikan teori nilai “utilitas”, sebagian besar aliran -aliran utama ilmu ekonomi menerima gagasan mengenai “kompetisi yang sempurna” dan “equilibrium umum” (Walrasian) yang merupakan bagian dari kompetisi tersebut. Marginalisme berusaha menunjukkan, dalam kata-kata Paul Ormerod, “bahwa dalam asumsi tertentu sistem pasar bebas akan menyebabkan suatu alokasi seperangkat sumber daya tertentu yang, dalam pemahaman terbatas dan sangat khusus, optimal dari sudut pandang setiap individu dan perusahaan dalam perekonomian.” (The Death of Economics, hal. 45) Kenyatan inilah yang umumnnya berusaha dibuktikan oleh Walrasian. Namun demikian, asumsi membutuhkan bukti agar menjadi realistis (agar tujuan dapat disampaikan dengan baik). Seperti yang ditunjukkan Ormerod:
“Kita tak dapat memberi penekanan terlalu besar bahwa…model kompetitif berbeda jauh dari gambaran yang masuk akal mengenai perekonomian barat pada kenyataannya… (hal ini) adalah parodi realitas. Dunia tidak terdiri dari, misalnya, sejumlah besar firma-firma kecil, dan tak satu pun dari firma-firma tersebut yang memiliki pengaruh dalam derajat apapun di pasar…Teori yang diperkenalkan melalui revolusi marginal tersebut didasarkan pada serangkaian postulat mengenai tingkah laku manusia dan kerja dalam perekonomian. Teori tersebut benar-benar merupakan sebuah eksperimen dalam pemikiran yang murni, dengan sedikit rasionalisasi asumsi empiris.”
Tentu saja, “bobot bukti” yang ada “berlawanan dengan validitas model kompetitif ekulibrium umum sebagai sebuah gambaran yang masuk akal mengenai realita.” (Op. Cit., hal.62) Sebagai tambahan, model tersebut dibuat dalam lingkungan yang tak terbatas waktu, dengan orang-orang dan perusahaan dalam dunia di mana mereka memiliki pengetahuan dan informasi lengkap mengenai keadaan pasar. Sebuah dunia tanpa masa depan dan juga tanpa ketidakpastian (usaha apapun untuk memasukkan waktu, dan juga kepastian, memastikan bahwa model tersebut tak lagi bernilai).
Dalam dunia sempurna yang tak berbatas waktu, kapitalisme “pasar bebas” akan membuktikan dirinya sendiri sebagai pihak yang efisien dalam mengalokasikan sumber daya dan semua pasar akan terbuka. Dan hal ini seringkali diistilahkan dengan “teori tinggi” ekulibrium. Jelas sebagian besar ahli ekonomi harus menganggap dunia nyata sebagai satu masalah tersendiri.
Ada gagasan klasik yang lebih realistis mengenai equilibrium yang disebut teori equiibrium “parsial” (dikembangkan oleh Alfred Marshall). “Waktu” juga termasuk dalam pemikiran Alfred Marshall mengenai equilibrium yang ada dalam berbagai periode. Hal yang paling penting dalam konsep Marshall adalah equilibrium “jangka panjang” dan “jangka pendek”. Namun demikian, hal ini hanyalah perbandingan antara sebuah keadan statis (ideal) dengan keadaan lainnya. Marshall menghilangkan pasar “dalam sekali waktu” (karena itu disebut pernyataan “equilibrium parsial”) dengan “semua hal-hal lain yang setara”– asumsi yang menjadi patokan dalam perekonomian tak dapat diubah! Teori ini membingungkan perbandingan alternatif posisi equilibrium dengan analisis proses yang mengambil tempat melalui waktu, yaitu kejadian-keejadian historia diperkenalkan ke dalam gambaran yang tak terbatas waktu. Dengan kata lain, waktu seperti yang diketahui dunia nyata tidaklah ada. Dalam dunia nyata, penyesuaian apapun membutuhkan waktu tertentu untuk melengkapi dan kejadian-kejadian dapat saja terjadi untuk mengubah equilibrium. Proses perpindahan seperti itu memiliki sebuah efek pada tujuan sehingga tak ada hal -hal semacam itu karena posisi equilibrium jangka panjang yang ada secara bebas dalam hal yang diikuti perekonomian. Asumsi Marshall mengeenai “satu pasar pada satu waktu” dan “semuua hal lain setara “ memastikan bahwa konsep waktu terasa asing bagi equilibrium “parsial” dan demikian juga pada equilibrium “umum”.
Banyak aliran-aliran utama ilmu ekonomi didasarkan pada teori yang memiliki sedikit, atau malah tidak sama sekali, hubungan dengan realita. Tujuan teori utilitas marginalitas adalah untuk menunjukkan bahwa kapitalisme bersifat efisien dan bahwa setiap orang mendapat keuntungan darinnya (kapitalisme memaksimalkan utilitas, tentu saja dalam pemahaman terbatas yang dipaksakan oleh apa yang ada dalam pasar). Hal inilah yang akan dibuktikan oleh kompetisi sempurna. Namun kompetisi sempurna tidaklah mungkin terejadi. Dan karena kompetisi sempurna itu sendiri adalah asumsi mengenai utilitas marginal, kita mungkin berharap pada poin ini teori tersebut tidak digunakan. Malah, kontradiksi yang ada disembunyikan.
Sebagai tambahan, seperti sebagian besar agama, ilmu ekonomi neo klasik tak dapat diuji secara ilmiah karena model kompetisi sempurna tidak membuat prediksi apapun yang dapat diuji. Seperti pendapat Martin Hollis dan Edward Nell:
“tentu saja seluruh gagasan untuk menguji analisis marginal sifatnya absurd. Sehingga untuk apa melakukan pengujian terhadapnya? Hasil-hasil yang negatif hanya menunjukkan bahwa pasar tidaklah sempurna. Berbagai interpretasi dapat diberikan…Hanya satu interpretasi saja yang tak mungkin–bahwa analisis marginal telah disangkal kebenarannya….Untuk menggeneralisasikan poin ini, pernyataan kaum marginalis mengenai efek yang,– jika asumsi-asumsi ilmu ekonomi Positif berlangsung, maka itulah yang akan terjadi,– merupakan tautologi dan konsekuensi-konsekuensi yang ada jelas merupakan deduksi logis dari protase mereka…model yang tak dapat diuji.” (Rational Economic Man, hal. 34)
Dengan kata lain, jika prediksi ilmu ekonomi marginalis tidak terjadi, yang kita dapatkan dari pengujian adalah bahwa kompetisi sempurna tidak ada. Teori tersebut tak dapat disangkal, tak peduli berapa banyak bukti yang dikumpulkan untuk melawannya. Sebagai tambahan, terdapat tekhnik-tekhnik berguna lainnya yang dapat digunakan untuk mengamankan ideologi neo klasik dari bukti empiris. Contohnya, ilmu ekonomi neo klasik mempertahankan pendapat bahwa produksi ditandai oleh diminishing return to scale. Bukti empiris apapun yang mengesankan hal sebaliknya dapat dihilangkan karena, jelas bahwa scale tidak cukup besar– pada akhirnya keuntungan akan berkurang sesuai ukuran. Begitu juga, term “dalam jangka panjang “ dapat bekerja deengan mengagumkan bagi ideologi tersebut. Karena jika hasil baik yang diklaim oleh kebijakan tertentu tidak terwujud bagi siapapun yang menentang kelas berkuasa, kemudian, daripada menyalahkan ideologi, skala waktulah yang dijadikan kambing hitam (dalam jangka panjang, segalanya akan berubah ke dalam bentuk yang terbaik– sayangnya bagi mayoritas, jangka panjang tersebut belumlah tiba, melainkan baru akan; hingga sampai kemudian kamu melakukan suatu pengorbanan untuk keberhasilan masa depanmu…). Jelas dengan “analisa” seperti itu, segala sesuatu dapat dibuktikan.
Namun demikian, meskipun melalaikan masalah-masalah tersebut, marginalisme benar-benar melakukan fungsinya sebagai ideologi yang berharga. Marginalisme memindahkan penampakan eksploitasi sistem, membenarkan pemberian “kebebasan” kepada para pengusaha untuk bertindak sesuka mereka dan menggambarkan sebuah dunia yang harmonis antara pemilik pabrik. Karena itu, hal tersebut merupakan dukungan yang besar terhadap ilmu ekonomi. Dengan kata lain, membenarkan mentalitas “apa yang menguntungkan adalah yang benar” dan memindahkan politik dan etika dari bidang ekonomi. Terlebih lagi, teori “persaingan sempurna” (dengan mengabaikan ketidakmungkinannya) membuat para ahli ekonomi menggambarkan kapitalisme sebagai sesuatu yang optimal, efisien dan pemuas keinginnan individu. Dan hal ini penting, karena tanpa asumsi equilibrium, transaksi pasar tidak merasa perlu menguntungkan semua pihak. Malah, menciptakan tirani golongan yang beruntung kepada yang kurang beruntung, dengan mayoritas orang yang menghadapi serangkain pilihan-pilihan suram yang ditawarkan oleh para pemilik modal dari golongan iblis tersebut. Tentu saja, dengan adanya asumsi equilibrium, realita harus diabaikan. Jadi, ekonomi kapitalis berada diantara tempat yang keras dan penuh cadas.
Setelah mempertimbangkan semuanya, dunia yang diasumsikan oleh ekonomi neo klasik bukanlah satu-satunya dunia yang benar-benar kita tempati, dan juga menunjukkan bahwa teori ini menyesatkan dan (biasanya) membawa malapetaka (setidaknya bagi orang yang “tak punya”)
Beberapa ahli ekonomiyang mendukung “pasar bebas” (seperti “aliran Austria” sayap kanan) menolak pemikiran equilibrium dan menggunakan model dinamis kapitalisme. Meski lebih tidak realistis dari aliran utama teori neo klasik, metode ini membuang kemungkinan menunjukkan bahwa akibat dari pasar, dalam pemahaman apapun, merupakan realisasi ekspresi pilihan-pilihan individual yang melakukan interaksi. Metode ini tidak memiliki cara untuk membentuk karakter yang sebaiknya ada dalam aktivitas ekonomi para pengusaha atau karakter yang menguntungkan secara sosial. Malah aktivitas tersebut cenderung mengacaukan pasar (khususnya pasar tenaga kerja) sehingga semakin jauh dari equilibrium (yaitu penggunaan penuh sumber daya yang ada) daripada mengarah kepadanya. Dengan kata lain, proses dinamis tersebut dapat menimbulkan divergensi daripada konvergensi tingkah laku dan juga peningkatan pengangguran, reduksi dalam kualitas pilihan-pilihan yang ada untuk memaksimalkan “utilitas”mu, dll. Sebuah sistem dinamis tak perlu memperbaiki dirinya sendiri, khususnya dalampasar tenaga kerja, juga tak perlu menunjukkan tanda apapun mengenai equilibrium diri (yaitu tunduk kepada lingkaran usaha). Cukup ironis, ahli ekonomi dari aliran ini seringkali mempertahankan pendapat bahwa meski equilibrium tak dapat dicapai pasar tenaga kerja akan tak akan mengalami pengangguran di bawah “pasar bebas” atau kapitalisme “murni”. Bahwa keadaan ini merupakan salah satu bentuk equilibrium tidak tampak menimbulkan keinginan dalam diri mereka untuk memberi perhatian lebih.
Para pendukung kapitalisme ini menekankan “kebebasan” –kebebasan individual untuk membuat keputusannya sendiri, Dan siapa yang dapat mengingkari bahwa individu, ketika bebas untuk memilih, akan mengambil pilihan yang mereka anggap paling baik bagi diri mereka sendiri? Namun demikian, apa yang seringkali dipuji sebagai kebebasan individual ini mengabaikan bahwa kapitalisme seringkali mereduksi pilihan-pilihan untuk memilih yang tidak terlalu buruk dari dua (atau lebih) hal yang buruk sebagai akibat dari ketidaksetaraan yang diciptakan (karena itu referensi kita untuk kualitas keputusan dapat membantu kita). Pekerja yang sepakat untuk bekerja dengan gaji yang rendah melakukan “pemaksimalan utilitasnya” dengan melakukan hal demikian–bagaimana pun juga, pilihan ini masih lebih baik daripada mati kelaparan–namun hanya ideologi yang tersamar oleh ekonomi kapitalis akan berpikir bahwa ia bebas atau bahwa keputusannya dibuat di bawah paksaan yang sifatnya ekonomis. Dengan kata lain, idealisasi kebebasan melalui pasar ini benar-benar mengabaikan fakta bahwa kebebasan ini dapat, bagi sejumlah besar orang, dibatasi. Terlebih lagi, kebebasan yang dihubungkan dengan kapitalisme, sejauh pasar tenaga kerja berlangsung, menjadi lebih kecil dari kebebasan untuk memilih majikanmu sendiri. Setelah mempertimbangkan semua ini, pembelaan kapitalisme tersebut mengabaikan eksistensi ketidaksetaraan ekonomi (dan juga kekuasaan) yang menyalahi kebebasan dan kesempatan orang lain (untuk pembicaraan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat bagian F.3.1). Ketidaksetaraan sosial memastikan bahwa manusia pada akhirnya “menginginkan apa yang mereka dapat” daripada ”mendapatkan apa yang mereka inginkan” karena mereka harus melakukan penyesuaian harapan mereka dan tingkah laku agar cocok dengan pola-pola yang ditentukan melalui konsentrasi kekuasaan perekonomian. Hal ini secara khusus terjadi dalam pasar tenaga kerja, tempat penjual tenaga kerja biasanya berada pada posisi yang dirugikan bila dibandingkan dengan pembeli berkaitan dengan adanya pengangguran. (lihat bagian B.4.3, C.7 dan F.10.2).
Yang membawa kita kepada masalah lain yang berhubungan dengan marginalisme, adalah distribusi sumber daya dalam masyarakat. Permintaan pasar biasanya dibicarakan dalam term selera, bukan dalam distribusi daya beli yang dibutuhkan untuk memuaskan selera-selera tersebut. Jadi, sebagai metode untuk menentukan harga, utilitas marginal mengabaikan perbedaan daya beli di antara individu dan mengasumsikan fiksi logis bahwa korporasi-korporasi merupakan pribadi individual (distribusi pendapatan memang sudah seharusnya seperti ini). Orang-orang yang memiliki banyak uang akan mampu memaksimalkan kepuasan mereka jauh lebih mudah daripada orang-orang yang hanya memiliki sedikit uang. Selain itu, tentu saja, mereka dapat mengalahkan penawaran orang-orang yang hanya memiliki sedikit uang. Jika, seperti yang dikatakan banyak “Libertarian” kanan, kapitalisme adalah “satu dollar, satu suara,” maka sudah jelas nilai-nilai siapa saja yang akan direfeleksikan paling kuat dalam pasar. Inilah sebabnya mengapa para ahli ekonomi membuat asumsi yang tepat mengenai ‘distribusi pendapatan tertentu’ ketika mereka mencoba menunjukkan bahwa alokasi terbaik dari sumber daya adalah pasar yang didasarkan padanya.
Dengan kata lain, di bawah kapitalisme, bukan “utilitas” semacam itu yang dimaksimalkan, melainkan utilitas “efektif” (biasa disebut “permintaan efektif”)–yaitu utilitas yang didukung oleh uang. Pasar kapitalis menempatkan (atau malah, kelas pemilik dalam sistem semacam itu yang menempatkan) nilai (yaitu harga) pada segala sesuatu sesuai permintaan efektifnya. “Permintaan efektif” adalah keinginan orang yang dihimpit oleh kemampuan mereka untuk membayar. Jadi pasar menganggap keinginan orang kaya lebih penting dari keinginan orang miskin. Dan juga kapitalisme menjauhkan konsumsi dari pemuasan “utilitas” sebagian besar orang yang membutuhkan dan lebih mendekatkannya ke dalam pemuasan kebutuhan kaum kaya yang jumlahnya hanya sedikit terlebih dahulu. Bukan berarti bahwa kebutuhan banyak orang tak akan terpenuhi (biasanya, tak selalu, hanya sedikit), artinya bahwa untuk sumber daya tertentu apapun mereka yang memiliki uang banyak dapat mengalahkan mereka yang memiliki uang kurang darinya–dengan mengabaikan ongkos kemanusiaan (human cost). Seperti pendapat seorang ahli ekonomi yang mendukung kapitalisme pasar bebas, Von Hayek, “tatanan yang secara spontan dihasilkan oleh pasar tidak memastikan bahwa apa yang dianggap opini umum sebagai kebutuhan yang lebih penting selalu terpenuhi lebih dahulu sebelum kebutuhan lain yang dirasa tidak terlalu penting.” (The Essential Hayek, hal. 258) Yang hanya merupakan cara sopan dalam menghubungkan proses yang digunakan para milioner untuk membangun rumah besar baru sementara ribuan orang tak memiliki rumah atau tinggal dalam pemukiman kumuh, memberi makan hewan peliharaan dengan makanan yang mewah sementara banyak orang yang kelaparan atau ketika agribisnis menanam tanaman yang menghasilkan uang di pasar manca sementara orang yang tak memiliki tanah mati kelaparan (lihat juga bagian I.4.5). Tak perlu dikatakan, ilmu ekonomi marginalis membenarkan kekuatan pasar ini berikut akibat yang ditimbulkannya.
Jadi jika TNS cacat, apa yang menentukan harga? Jelas, dalam jangka pendek, harga-harga sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Jika permintaan melebihi penawaran, harga akan naik, dan begitu juga sebaliknya. Namun demikian, truisme ini tidak menjawab pertanyaan kita. Jawaban terletak pada produksi dan hubungan sosial yang mengikutinya. Masalah ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya.
C.1.2 Jadi apa yang menentukan harga?
Kunci untuk memahami harga terletak pada pemahaman bahwa produksi di bawah kapitalisme memiliki “satu-satunya tujuan … untuk meningkatkan keuntungan kaum kapitalis.” (Peter Kropotkin, Kropotkin’s Revolutionary Pamphlets, hal. 55) Dengan kata lain, keuntungan adalah kekuatan yang mengendalikan dalam kapitalisme. Setelah fakta dan implikasinya dimengerti, determinasi harga adalah hal yang sederhana dan dinamika sistem kapitalis semakin diperjelas. Harga sebuah komoditas kapitalis akan cenderung menuju harga produksi (production price) dalam sebuah pasar bebas, harga produksi merupakan sejumlah ongkos produksi ditambah angka keuntungan rata-rata (angka keuntungan rata-rata, perlu kita catat, tergantung pada berkurangnya pintu masuk menuju pasar, lihat di bawah).
Para konsumen ketika berbelanja, mengalami pertentangan antara harga yang ada dan penawarannya. Harga menentukan permintaan, sesuai nilai guna produk bagi konsumen dan keadaan finansialnya. Jika penawaran melampaui permintaan, persediaan akan dikurangi (baik dengan mengurangi jumlah produksi atau dengan menutup perusahaan dan memindahkan modal ke pasar lain yang lebih menguntungkan) hingga angka keuntungan rata-rata dapat ditingkatkan (meski harus kita tekankan bahwa keputusan investasi sulit untuk diubah dan artinya, mobilitas dapat dikurangi, yang menyebabkan masalah-masalah baru–seperti pengangguran–dalam perekonomian). Jika harga naik di atas rata-rata keuntungan, maka modal akan mencoba berpindah dari wilayah yang miskin keuntungan menuju wilayah yang kaya keuntungan, dengan menambah penawaran dan persaingan serta juga mengurangi harga hingga keuntungan rata-rata diperoleh (kami memberi penekanan pada kata ‘mencoba’ karena banyak pasar yang memiliki hambatan yang besar pada pintu masuknya yang membatasi mobilitas modal–lihat bagian C.4). Jadi, jika harga mengakibatkan melambungnya jumlah permintaan terhadap penawaran yang ada, hal tersebut akan menyebabkan peningkatan harga dalam waktu singkat dan keuntungan lebih ini menunjukkan kepada para kapitalis lainnya untuk memasuki pasar ini. Tingkat keuntungan ini memiliki arti bahwa pemasok tidak memiliki insentif untuk membawa modal masuk ataupun keluar dari pasar tersebut. Perubahan apapun dari tingkat ini dalam jangka panjang tergantung pada perubahan harga produksi barang tersebut (harga produksi yang lebih rendah sama artinya dengan keuntungan yang lebih tinggi, dan hal ini menunjukkan kepada kapitalis lainnya bahwa pasar tersebut dapat memberi keuntungan bagi investasi baru).
Seperti yang tampak, teori ini (teori nilai kerja — atau TNK bila disingkat) tidak mengingkari bahwa konsumen secara subyektif memberi penilaian terhadap barang dan bahwa penilaian ini dapat memiliki efek jangka pendek terhadap harga (yang menentukan permintaan dan penawaran). Banyak kaum kapitalis “libertarian” dan para ahli ekonomi dari aliran utama yang berpendapat bahwa teori nilai kerja memindahkan permintaan dari determinasi harga. Pendapat tersebut jelas keliru karena teori ini berdasar pada permintaan dan penawaran, yang mengakui bahwa individu membuat keputusan mereka sendiri berdasarkan nilai-nilai subyektif yang mereka miliki. TNK berdasarkan pada wawasan bahwa tanpa pekerja tak ada benda yang dapat dihasilkan sehingga pekerja merupakan dasar dari nilai (tukar). Namun demikian, tidak berarti bahwa nilai berdiri secara independen dari permintaan. Agar memiliki nilai tukar, sebuah barang harus diinginkan oleh seseorang yang lain lebih dari yang dirasakan si pembuat (atau kapitalis yang mempekerjakan si pembuat), barang tersebut harus memiliki nilai pakai untuk orang lain (dengan kata lain, mendapat penilaian secara subyektif dari orang-orang tersebut). Karena itu, peran pekerja menghasilkan barang-barang yang memiliki nilai (pakai), seperti yang ditentukan oleh permintaan, dan ongkos produksi dalam membuat nilai guna ini membantu dalam menentukan harga (nilai tukarnya) bersama dengan tingkat keuntungan.
Karena itu, TNK memasukkan elemen-elemen kebenaran teori “subyektif” sembari menghancurkan mitos yang dimiliki teori subyektif tersebut. Karena pada akhirny TNS hanya menyatakan bahwa “harga ditentukan oleh utilitas maarginal; utilitas marginal dinilai melalui harga. Harga…hanyalah sekedar harga. Kaum marginalis dengan memulai pencariannya dalam masalah subyektifitas, mendahului melangkaah dalam lingkaran.” (Allan Engler, Apostles of Greed, hal. 27)
Meski TNS dapat digunakan dalam mendeskripsikan harga karya seni (dan sebaiknya perlu dicatat bahwa TNK juga dapat memberi suatu penjelasan mengenai hal ini), ada poin kecil dalam teori ini yang mengabaikan sifat sebagian besar kegiatan ekonomi dalam masyarakat. Apa yang dijelaskan oleh teori nilai kerja adalah apa yang ada di dalam penawaran dan permintaan, apa yang sebenarnya menentukan harga di bawah kapitalisme. Teeori ini mengakui obyektifitas harga dan penawaran yang ada yang ditemui konsumen dan menujukkan bagaimana konsumsi (“penilaian subyektif”) mempengaruhi pergerakan mereka. Teori ini juga menerangkan mengapaa komoditas trtentu dijual pada harga tertentu sedangkan lainnya tidak demikian–hal yang tak bisa dilakkan oleh teori subyektif. Mengapa sebaiknya pemasok “mengubah sikap mereka” dalam pasar jika konsumsi memang benar-benar berdasarkan “penilaian subyektif”? Harus ada indikasi obyektif yang menuntun tindakan mereka dan hal ini dapat ditemkan dalam realitas produksi kapitalis. Jadi teori nilai kerja lebih merefleksikan realita secara akurat: yaitu, bahwa untuk komoditi biasa, harga dan juga penawaran ada sebelum penilaian subyektif hadir dan bahwa kapitalisme didasarkan pada produksi keuntungan daripada sekedar memuaskan kebutuhan konsumen secara abstrak.
Dapat diajukan pendapat bahwa teori “harga produksi”ini tidak jauh berbeda dari teori “equilibrium parsial” kaum neoklasik. Dalam beberapa hal, memang benar. Marshall secara mendaasar mensistesiskan teori ini dari toeri utilitas marginal dan teori “ongkos produksi” yang usianya lebih tua dan merupakan teori yang diturunkan JS Mill dari TNK. Namun demikian, perbedaan-perbedaan yang ada juga penting. Pertama, TNK tidak membahas pertimbangan sirkular yang dihubungkan dengan usaha untuk menurunkan utilitas dari harga yang telah kita tunjukkan di atas. Kedua, TNK berpendapat bahwa sewa, keuntungan, dan suku bunga lebih merupakan kerja buruh yang tak dibayarkan daripada merupakan “imbalan” untuk pemilik karena telah menjadi “pemilik”. Ketiga, dalam sistem dinamislah harga produksi dapat berubah karena keputusan ekonomi yang dibuat. Keempat, gagasan “persaingan bebas” dapat dengan mudahnya ditolak dan TNK dapat memberi catatan perkonomian yang ditandai dengan adanya rintangan untuk memasuki pasar dan sulitny mengubah keputusan investasi. Dan, terakhir, pada intinya pasar tenaga kerja tidak perlu dikosongkan. Karena ilmu ekonomi modern telah menyerah dalam mencoba mmengukur utilitas, ini berarti bahwa dalam kenyataannya (jika bukan dalam retorika) model neoklasik telah menolak teori nilai utilitas marginal bagian sintesis dan kembali, pada dasarnya, pada pendekatan klasik (TNK)–namun dengan perbedaan yang penting yang mengeluarkan versi yang lebih awal dalam sifat dinamis dan batas kritisnya.
Tak perlu dikatakan, TNK tidak mengabaikan benda-benda yang terbentuk secara alami seperti batu permata, makanan liar, dan air. Alam adalah sumber terbesar nilai guna yang harus digunakan manusia untuk memproduksi nilai guna lainnya yang berbeda. Jika kamu setuju, bumi adalah ibu dan kerja adalah ayah dari kesejahteraan. Terkadang diklaim bahwa teori nilai kerja menunjukkan bahwa benda yang terbentuk secara almiah tidak bisa diberi harga, karena tidak membutuhkan kerja untuk menghasilkannya. Namun demikian, hal ini keliru. Contohnya, batu permata dianggap berharga karena dibutuhkan sejumlah besar kerja untuk menemukannya. Jika mereka mudah ditemukan, seperti pasir, mereka akan dihargai murah. Begitu juga dengan makanan liar dan air, yang dihargai sesuai dengan seberapa besar kerja yang diperlukan untuk menemukan, mengumpulkan, dan memprosesnya dalam wilayah tertentu (contohnya, air pada tempat yang gersang lebih berharga daripada air yang berada di tempat dekat danau).
Logika yang sama dapat diterapkan pada benda yang terbentuk secara alamiah lainnya. Jika benda tersebut tidak membutuhkan usaha yang serius untuk mendapatkannya–seperti air–maka benda-benda tersebut akan memiliki nilai tukar yang kecil atau tidak sama sekali. Namun, semakin besar usaha yang dibutuhkan untuk menemukannya, mengumpulkan, memurnikannya,atau malah proses untuk menjadikannya sesuatu yang dapat digunakan, maka semakin besar pula nilai tukar yang dimilikinya sehubungan dengan benda lain (yaitu, harga produksi mereka lebih tinggi, membuat mereka memiliki harg pasar yang lebih tinggi pula).
Usaha untuk mengabaikan produksi yang ditunjukkan dalam TNS berasal dari keinginan untuk menyembunyikan sifat eksploitatif kapitalisme. Deengan memusatkan perhatian pada penilaian “subyektif” individual, individu-individu tersebut terpisah dari kegiatan ekonomi yang nyata (yaitu produksi) sehingga sumber keuntungan dan kekuasaan dalam peerekonomian dapat diabaikan. Bagian C.2 (Darimana asal keuntungan?) menunjukkan mengapa eksploitasi pekerja dalam produksi merupakan sumber keuntungan, dan bukannya malah kegiatan dalam pasar.
Tentu saja para pendukung kapitalis akan berpendapat bahwa teori nilai kerja tidak secara universal diterima dalam ilmu ekonomi aliran utama. Memang benar, namun sulit dikatakan bahwa teori ini salah. Bagaimanapun juga, jelas mudah membuktikan bahwa teori demokrasi itu “salah” di Jerman pada masa Nazi, karena tidak secara unversal diterima oleh sebagian besar orator dan pemimpin politik pada saat itu. Di bawah kapitalisme semakin banyak barang yang diubah menjadi komoditi–termasuk teori ekonomi dan pekerjaan sebagai seorang ahli ekonomi. Karena adanya pilihan antara teori yang berpendapat bahwa keuntungan, bunga dan sewa merupakan kerja yang tak dibayar (yaitu eksploitasi) atau teori yang berpendapat bahwa ketiga hal itu merupakan “imbalan” yang sah atas pelayanan, teori mana yang kamu pikir akan membawa kekayaan ke dalam term dana?
Hal ini adalah masalah teori nilai kerja. Dari masa Adam Smith ke masa selanjutnya, kaum radikal telah menggunakan TNK untuk mengkritik kapitalisme. Kaum ekonomi klasik (Adam Smith dan David Ricardo serta pengikut mereka seperti halnya JS Mill) berpendapat bahwa, secara keseluruhan, pertukaran komoditi berbanding dengan jumlah pekerja yang digunakan untuk memproduksinya. Jadi pertukaran komoditi menguntungkan semua pihak karena mereka menerima sejumlah kerja yang sama seperti yang telah mereka kembangkan. Namun demikian, hal ini meninggalkan masalah sifat dan sumber keuntungan kaum kapitalis ke dalam perdebatan, perdebatan yang segera meluas ke dalam kelas pekereja. Jauh sebelum Karl Marx menulis karyanya yang terkenal, Capital, sosialis Ricardian, sepeerti Robert Owen dan William Thompson serta kaum anarkis seperti Proudhon menggunakan TNK untuk mengkritik kapitalisme, menyebarluaskannya karena teori tersebut bedasarkan pada eksploitasi (pada kenyataannya, pekerja tidak menerima upah yang sepadan dengan nilai yang ia produksi sehingga jelas jika kapitalisme tidak didasarkan pada nilai tukar yang sepadan). Di AS, Henry George menggunakan teori ini untuk menyerang kepemilikan tanah secara pribadi. Ketika muncul kaum ekonomi marginalis, teori ini dengan segera digunakan sebagai cara untuk melemahkan pengaruh radikal. Tentu saja, para penghikut Henry George berependapat bahwa ekonomi neo klasik dikembangkan terutama untuk melawan gagasan dan pengaruhnya (lihat The Corruption of Economics oleh Mason Gaffney dan Fred Harrison).
Jadi seperti yang telah dituliskan di atas, ekonomi marginalis digunakan, dengan mengabaikan manfaatnya sebagai sebuah ilmu, karena mengeluarkan politik dari ekonomi politik. Seiring dengan kebangkitan gerakan sosialis dan kritik Owen, Thompson, Proudhon, dan banyak lagi, teori nilai kerja dianggap terlalu politis dan berbahaya. Kapitalisme tidak lagi terlihat sebagai sistem yang berdasarkan pada pertukaran kerja yang sepadan. Malah kapitalisme tampak berdasarkan pada pertukaran utilitas yang sepadan. Namun, seperti yang ditunjukkan (pada bagian terakhir), gagasan utilitas yang sepadan dengan segera tenggelam sementara suprastruktur yang dibagun di atasnya menjadi dasar ilmu ekonomi kapitalis. Dan tanpa sebuah teori nilai, ekonomi kapitalis tak dapat membuktikan bahwa kapitalisme akan mengakibatkan keharmonisan, pemuasan kebutuhan individul, keadilan dalam pertukaran dan alokasi sumber daya yang efisien.
C.1.3 Apa lagi yang mempengaruhi tingkat harga?
Seperti yang ditunjukkan dalam bagian terakhir, harga komoditi kapitalis, pada pokoknya, setara dengan harga produksinya, yang pada gilirannya menentukan permintaan dan penawaran. Jika permintaan berubah, yang tentu saja sesuai dengan perubahan nilai konsumen, perubahan ini akan memiliki efek jangka pendek pada harga, namun harga produksi rata-rata adalah harga jual komoditi kapitalis. Dengan kata lain, “hubungan pasar dipengaruhi oleh hubungan produksi.” (Paul Mattick, Economic Crisis and Crisis Theory, hal.51)
Karena itu sejumlah waktu dan usaha yang dihabiskan dalam memproduksi komoditi tertentu bukanlah faktor esensial yang menentukan harganya di dalam pasar. Apa yang dihitung adalah sejumlah waktu kerja yang dibutuhkan pada tingkat rata-rata untuk menghasilkan jenis komoditi, ketika kerja ditampilkan dengan intensitas rata-rata, dengan alat-alat khusus yang digunakan dan tingkat keahlian rata-rata. Komoditi produksi yang jatuh di bawah standar semacam itu, misalnya dengan menggunakan tekhnologi yang kuno atau intensitas kerja yang kurang dari rata-rata, tidak akan mendukung penjual untuk menaikkan harga komoditi sebagai kompensasi atas ketidakfisienan produksinya, karena harga ditentukan dalam pasar dengan kondisi rata-rata (dn juga ongkos rata-rata) produksi, ditambah angka keuntungan rata-rata. Di sisi lain, dengan menggunakan metode produksi yang lebih efisien dari rata-rata–yaitu yang menghasilkan lebih banyak komoditi dengan sedikit pekerja–yang membuat penjual menurunkan harga di bawah harga rata-rata, dan juga merebut bagian pasar, yang pada akhirnya akan memaksa produsen lainnya untuk mengadopsi tekhnologi yang sama agar dapat terus bertahan, sehingga menurunkan nilai tukar jenis komoditi tersebut. Dalam cara ini, perluasaan yang mengurangi jam kerja diterjemahkan ke dalam pengurangan nilai tukar (dan juga harga), sehingga membuktikan TNK.
Selain itu, TNK juga memberikan penjelasan mengapa sumber daya yang dianggap biasa di suatu wilayah menjadi lebih berharga di tempat lain (contohnya, harga air bagi seseorang yang berada di gurun pasir jauh lebih tinggi daripada bagi orang yang berada di dekat sungai). Singkatnya, pemilik air di gurun pasir dapat memberi harga yang lebih tinggi bagi mereka yang menginginkan air tersebut karena air merupakan benda yang sifatnya langka dan untuk mendapatkan sumber alternatif lain dibutuhkan kerja yang cukup keras (kita akan mengabaikan etika pemberian harga tinggi bagi orang yang membutuhkannya pada saat itu, seperti yang digambarkan ekonomi marginalis yang menggambarkan situasi semacam itu–dengan sebagian besar orang yang secara intuitif akan digolongkan sebagai eksploitatif–sebagai “pertukaran yang adil”). Namun jika kelebihan keuntungan seperti itu dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup lam, maka meereeka akan menggoda orang lain untuk meningkatkan persaingan. Jika permintaan akan air yang ada di daerah itu tetap maka persaingan akan menurunkan harga air sampai ke harga yang tidak jauh berbeda dari harga rata-rata yang dibutuhkan untuk pengadaannya (yang menjelaskan mengapa kaum kapitalis ingin mengurangi persaingan dengan menggunakan hukum hak cipta, paten dan lain-lain–lihat bagian B.3.2–seeperti juga memperbesar perusahaan, pembagian pasar dan kekuasaan–lihat bagian C.4)
Namun demikian, pernyataan bahwa harga pasar cenderung mendekati harga produksi bukanlah merupakan pendapat bahwa kapitalisme berada pada titik equilibrium. Sangat jauh berbeda. Kapitalisme selalu tidak stabil, karena “tumbuh dari persaingan kapitalis, untuk mempertinggi eksploitasi,…hubungan produksi…dalam keadaan pengekalan transformasi, yang mewujudkan dirinya dalam mengubah harga relatif barang di pasar. Karena itu pasar secara terus menerus berada dalam keadaan disequilibrium, meski dengan derajat kepelikan yang berbeda, jadi memberikan harga, dengan pendekatan berkala pada suatu keadaan equlibrium, pada ilusi kecenderungan yang mengarah pada equilibrium.” (Paul Mattick, Op.Cit., hal.51)
Karena itu, inovasi, berkaitan dengan perjuangan kelas, persaingan, atau pembuatan pasar baru. memiliki dampak yang penting pada harga pasar. Hal ini terjadi karena inovasi mengubah ongkos produksi komoditi menciptakan pasar baru yang lebih menghasilkan keuntungan. Meski pada prakteknya equilibrium mungkin memang tidak dapat dicapai, hal ini tidak mengubah kenyataan bahwa harga menentukan peermintaan, krena konsumen menghadapi harga sebagai (biasanya) nilai obyektif yang sudah ada ketika mereka pergi berbelanja dan membuat keputusan yang didasarkan pada hargatersebut untuk memuaskan kebutuhan subyektif mereka. Jadi TNK mengakui bahwa kapitalisme adalah sistem yang ada saat ini, dengan masa depan yang tak jelas (suatu masa depan yang dipengaruhi oleh banyak faktor, teremasuk perjuangan kelas) dan, sesuai sifatnya, dinamis. Sebagai tambahan, tidak seperti harga-harga “equilibrium jangka panjang milik kaum neo klasik, TNK tidak menyatakan bahwa pasar tenaga kerja akan dikosongkan atau bahwa sebuah perubahan dalam satu pasar tidak akan berdampak pada pasar lainnya. Tentu saja, pasar tenaga kerja mungkin melihat pengangguran ekstensif sebagai bantuan untuk mempertahankan tingkat keuntungan dengan mempertahankan disiplin–melalui rasa takut terhadap pemecatan–dalam tempat kerja (lihat bagian C.7). TNK juga tidak mempertahankan pendapat bahwa kapitalisme akan stabil. Seperti yang ditunjukkan oleh oleh sejarah kapitalisme “yang ada baru-baru ini”, pengangguran dan kalangan pengusaha selalu ada (dalam ekonomi neo klasik hal-hal tersebut tak dapat trjadi karena teori tersebut berargumen bahwa semua pasar teerbuka dan bahwa kemerosotan tak mungkin terjadi).
Karena ongkos produksi untuk suatu komoditi merupakan sesuatu yang telah ada dari sananya, hanya tingkat keuntungan yang dapat menunjukkan apakah suatu produk tertentu cukup “berharga” bagi konsumen untuk meningkatkan produksi. Artinya, “modal bergerak dari stagnasi yang relatif menuju industri yang berkembang dengan cepat….Keuntungan lebih, yang melebihi keuntungan rata-rata, yang menang pada tingkat harga tertentu hilang kembali, namun demikian, dengan masuknya modal dari industri yang hanya memberi keuntungan kecil menuju industri yang memberikan keuntungan besar,” sehingga meningkatkan penawaran dan mengurangi harga, serta juga keuntungan. (Paul Mattick, Op. Cit., hal.49)
Proses investasi modal ini, dan persaingan sebagai akibatnya, membuat harga pasar tertuju pada harga produksi dalam pasar tertentu. Keuntungan dan realita proses produksi merupakan kunci untuk memahami harga dan bagaimana harga-harga tersebut memberi pengaruh serta dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan.