B.4 Bagaimana kapitalisme mempengaruhi kebebasan?

[sc:afaq1]

B.4 Bagaimana kapitalisme mempengaruhi kebebasan?

[toc]

Property pribadi dalam banyak hal menyerupai bentuk tersendiri dari negara. Pemilik menentukan semua yang berlangsung dalam wilayah yang ia “miliki” dan karenanya menjalankan monopoli kekuasaan terhadapnya. Ketika kekuasaan dijalaankan seseorang atas dirinya sendiri, kekuasaan semacam itu akan menjadi sumber kebebasan, namun dalam kapitalisme kekuasaan menjadi sumber kekuasan koersif. Seperti yang dijelaskan Bob Black:

“Kaum liberal konservatif dan libertarian yang mengeluhkan totalitarianisme bersikap palsu dan hipokrit… Anda temukan jenis hierarki dan disiplin yang sama di dalm suatu kantor atau pabrik seperti halnya dalam penjara atau biara… Seorang pekerja merupakan budak paruh waktu. Majikan memerintahkan kapan waktunya datang dan pergi serta apa yang harus dilakukan pada saat itu. Ia memberitahumu berapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan seberapa lamanya. Ia bebas melaksanakan kontrolnya dan mengatur, -aturan yang sangat merendahkan- jika ia menyukainya, pakaian yang anda kenakan atau berapa kali anda pergi ke kamar mandi. Dengan sedikit pengecualian ia dapat memecat anda untuk beberapa alasan, atau malah tanpa alasan. Ia memata-mataimu melalui para pengadu atau supervisor, ia memiliki catatan mengenai semua pekerjanya. Membantah disebutnya “pembangkangan” seolah-olah pekerja merupakan seorang anak kecil yang nakal, dan hal tersebut bukan hanya dapat memecatmu namun juga mendiskualifikasikanmu atas kompensasi pengangguran … Sistem dominasi yang merendahkan seperti yang telah saya deskripsikan di sini mengatur lebih dari separuh waktu yang dimiliki mayoritas kaum wanita dan pria saat mereka terjaga  dan berlangsung dalam banyak dekade, dalam sebagian besar rentang hidup mereka. Untuk alasan tertentu, tidaklah terlalu salah untuk menyebut sistem demokrasi kita  atau kapitalisme atau–masih tetap lebih baik– industrialisme, dengan nama-nama yang sebenarnya yaoitu fasisme perusahaan dan oligarki kantor. Siapa saja yang mengatakan bahwa orang-orang ini ‘bebas’ adalah pembohong dan bodoh.”

Tak seperti sebuah perusahaan, negara demokratis dapat dipengaruhi oleh warga negaranya, yang mampu bertindak dalam cara-cara yang membatasi (untuk beberapa bidang) kekuasaan kelas berkuasa untuk menikmati kekuasaan mereka “sendirian”. Sebagai hasilnya, orang kaya membenci aspek-aspek demokratis negara, dan rakyat biasa, sebagai acaman potensial terhadap kekuasaan mereka. “Masalah” ini dicatat oleh Alexis de Tocqueville pada awal abad ke-19 di Amerika:

“Mudah untuk merasakan bahwa anggota komunitas yang kaya menunjukkan kebencian yang besar terhadap institusi-institusi demokratis di negara mereka. Penduduk merupakan obyek cemoohan dan ketakutan mereka.”

Ketakutan ini tidak mengubah, maupun menghina gagasan-gagasan demokratis. Mengutip perkataan seorang Eksekutif Korporat AS, “Seperti yang kita ketahui, satu orang satu suara pada akhirnya akan menghasilkan kegagalan demokrasi.” (L. Silk dan D. Vogel, Ethics and Profits: The Crisis Confidence in American Business, hal. 189f)

Penghinaan bagi demokrasi ini tidak berarti bahwa kaum kapitalis anti negara. Sangat berbeda. Seperti yang sebelumnya dicatat, kaum kapitalis tergantung pada negara. Hal ini terjadi kereena “Liberalisme (klasik), dalam teori merupakan sejenis anarki tanpa sosialisme, dan kerenanya merupakan suatu kebohongan, karena kebebasan tidak mungkin terjadi tanpa kesetaraan… Kecaman kaum liberal yang ditujukan pada pemerintah hanya terdiri dari keinginan untuk menghilangkan beberapa fungsinya dan menyerukan pada kaum kapitalis untuk menghentikan pertikaian yang terjadi di antara mereka, bukannya menyerang fungsi represif yang merupakan esensi negara: karena tanpa polisi, pemilik property tak dapat eksis.” (Errico Malatesta, Anarchy, hal 46)

Kaum kapitalis mendukung dan berseru kepada negara ketika neegara bertindak untuk kepentingan mereka dan keetika mendukung kekuasaan serta kekuatan mereka. “Konflik” antara negara dan kapital bagaikan pertikaian dua gengster yang memperebutkan hasil perampokan: mereka akan mempertengkarkan barang rampasan dan siapa yang lebih kuat dalam gank, namun mereka saling membutuhkan untuk mempertahankan “property” yang dicuri dari pemilik sesungguhnya.

Sifat property pribadi yang menyerupai negara dapat dilihat dalam karya-karya “libertarian” (yaitu kaum minarkis, atau liberal “klasik”) yang menunjukkan keekstriman kapitalisme laissez-faire :

“(J)ika seseorang membuka sebuah kota pribadi, pada tanah yang ia peroleh tanpa melanggar lockean proviso (non agresi), orang-orang yang memilih untuk pindah ke sana atau kemudian tinggal di sana tidak memiliki hak memberikan pendapat meengenai bagaimana menjalankan kota tersebut, kecuali jika ada izin untuk melakukannya dalam prosedur keputusan yang dibuat oleh pemilik kota tersebut.” (Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia, hal. 270)

Hal ini merupakan feodalisme sukarela, tak lebih dari itu. Tentu saja, dapat dikatakan bahwa “kekuatan-kekuatan pasar” akan menghasilkan kesuksesan besar bagi sebagian besar pemilik liberal, namun seorang majikan yang baik tetaplah seorang majikan. Menguraikaan pendapat Tolstoy,”kaum kapitalis libeal bagikan seoang pemilik keledai yang baik. I akan melakukan ap saja untuk si keledai –merawatnya, memberinya makan, memandikaannya. Semua iaa lakukan kecuali membebaskannya!” Dan seperti yang dituliskan bob Black,”Beberapa oraang memberikan peerintah dan yang lainnya mematuhi mereka: hal ini merupakan esensi perbudakan….(K)ebebasan memiliki arti lebih dari sekedar mengganti majikan.” (The libertarian aas Conservative). pernyataan yang seringkali dilontarkan para pendukung kapitalisme bahwa “hak” untuk mengganti maajikan merupakan esensi “kebebasan” adalah suatu gambaran yang tepat mengenai pendapat kaum kapitalis mengenai “kebebasan”.

B.4.1 Apakah kapitalisme beerdasarkan kebebasan?

Bagi kaum anarkis, kebebasan memiliki arti “bebas dari” dan “bebas untuk”. “Bebas dari” menandakan tidak menjadi sesuatu yang patuh pada dominasi, eksploitasi, kekuasaan koerrsif, represi, atau bentuk degradasi lainnya serta penghinaan. “Bebas untuk” berarti mampu mengembangkan dan mengkspresikan kemampuan, bakat, dan potensi seseorang hingga tingkat tertinggi yang mungkin dicapai yang sesuai dengan kebebasan maksimum pada pihak lain. Kedua jenis kebebasan ini menunjukkan kebutuhan pengelolaan diri, tanggung jawab, dan ketidaktergantungan, yang pada dasarnya berarti bahwa manusia memiliki suara dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidupnya. Dan karena individu tidak eksis dakam kevakuman sosial, hal tersebut juga berarti bahwa kebebasan harus memperhatikan aspek kolektif, dengan asosiasi-asosiasi yang dibentuk individu bersama individu lainnya (contohnya komunitas kelompok kerja, kelompok sosial) yang dijalankan dalam tata cara yang mengizinkan partisipasi individu dalam keputusan-keputusan yang dibuat kelompok terrsebut. Jadi bagi kaum anarki kebebasan membutuhkan demokrasi partisipatoris, yang memiliki arti diskusi dengan saling bertatap muka dan pengambilan suara untuk permasalahan yang mempengaruhi manusia.

Apakah keadaan kebebasan seperti ini dijumpai dalam sistem kapitalisme? Jelas tidak. Meskipun semua retorika mereka mengenai “demokrasi”, sebagian besar negara kapitalis “maju” hanyalah demokratis pada kulit luarnya saja–dan  hal ini terjadi karena mayoritas penduduk mereka merupakan pekerja yang menghabiskan sekitar setengah dari waktu saat mereka terjaga di bawah perintah para diktator (majikan) kapitalis yang tidak memberikan ijin bagi mereka untuk memberikan pendapat dalam keputusan-keputusan ekonomi penting yang mempengaruhi sebagian besar hidup mereka dan mengaharuskan mereka bekerja di dalam kondisi yang bertentangan dengan kebebasan berpikir. Jika kebebasan yang paling mendasar, yaitu kebebasan untuk memikirkan diri sendiri, diingkari, maka kebebasan itu sendiri juga dingkari.

Tempat kerja kaum kaum kapitalis sangat tidak demokratis. Malah, sepeti yang dijelaskan Noam Chomsky, hubungan kekuasaan yang opresif dalam hierarki korporat tertentu dapat disebut fasis atau totalitarian jika hubungkan dengan sistem politik. Dalam kata-katanya:

“Tak ada individualistis jika menyangkut korporasi. Semua ini merupakan institusi-institusi konglomerat, dengan karakternya yang secara esensial bersifat totalitarian, namun sedikit individualistis. tidak banyak institusi dalam masyarakat manusia yang memiliki hierarki kaku semacam itu dan kontrol yang bersifat top-down seperti organisasi bisnis.Tak ada hal lainnya seperti ‘jangan injak aku’. Kamu akan diinjak setiap waktu.” (Keeping the Rabble in Line, hal. 280)

Berbeda jauh dari “berdasarkaan kebebasan”, maka kapitalisme sebenarnya menghancurkan kebebasan. Mengenai hal ini, Robert E. Wood, kepaal eksekutig pegawai Sears, menjelaskan secara gamblang ketika ia mengatakan “(k)ami menekankan keuntungan dari sistem perusahaan bebas, kami mengkritik negara totalitarian, namun … kami telah menciptakan kurang lebih sistem totalitarian dalam industri, khususnya dalam industri besar.” (dikutip oleh Allan Engler, Apostles of Greed, hal 68)

Atau, seperti yang dikatakan Chomsky, para pendukung kapitalisme tidak memahami “doktrin fundamental, bahwa anda seharusnya bebas dari dominasi dan kontrol, yang meliputi pengelola dan pemilik” (14 Februari 1992 ditampilkan Pozner/ Donahue).

Di bawah otoritarianisme korporat, sifat psikologis yang paling ingin dimiliki rata-rata penduduk adalah efisiensi, penyesuaian diri, tidak emosional, tidak sensitif, dan kepatuhan yang tak dapat diganggu gugat terhadap penguasa–sifat-sifat yang membuat orang untuk terus survive dan juga sejahtera dengan posisinya sebagai pekerja dalam hierarki perusahaan. Dan tentu saja, bagi penduduk “yang bukan kebanyakan”, yaitu para majikan, manajer, administratur, dll, sifat-sifat otoriter, sesuatu yang paling penting bagi kemampuan dan kemauan untuk mendominasi orang lain.

Namun semua sifat majikan/budak semacam itu bertentangan dengan fungsi demokrasi yang sebenarnya (yaitu partisipatoris/libertarian, yang membutuhkan sifat-sifat seperti fleksibilitas, kreatifitas, sensitifitas, pemahaman, keterbukaan emosional, kejujuraan, kehangatan, realistis, dan kemampuan untuk menengahi, berkomunikasi, bernegosiasi, berintegrasi dan bekerja sama. Karena itu, kapitalisme bukan saja tidak demokratis, namun juga anti demokratis, karena menunjang perkembangan sifat-sifat yang menjadikan demokrasi sejati (dan juga masyarakat libertarian) sebagai sesuatu yang mustahil.

Telah banyak kaum pembela kapitaalis yang berusaha menunjukkan bahwa struktur kekuasaan kapitalis bersifat “sukarela” dan, karenanya, bukan merupakan pengingkaran kebebasan individu maupun sosial. Milton Friedman (seorang pakar ekonomi kpaitalis yang mendukung psar bebas) telah berusaha melakukan haal tersebut. Seperti sebagian besar embela kpaitaalisme ia mengaabaikan hubungan otoriter yang ekspisit di antara pekerj upahan (di dalam tempt kerja, “koordinasi” didasarkan pada perintah top down, bukan kerjsma yang sifatny horisontal). Malah ia memfokuskan pada keputusan seorang pekerja untuk menjual tenaganya pada seorang majikan tertentu seehingga mengabaikan tidak adanya kebebasan dalam kontrak-kontrak semacam itu. Ia berpendapat bahwa “individu secara efektif bebas untuk memasuki ke dalam pertukaran tertentu aapapun, jadi setiap transaksi jelas-jelas bersifat sukarela… Pekerja dilindungi dari tekanan seorang majikan karena adanya majikan-majikan lain yang dapat dipilihnya.” (Capitalism and Freedom, hal 14-15)

Untuk membuktikan sifat bebas yang dimiliki kapitalisme, Friedman membandingkan kapitalisme dengaan pertukaran ekonomi sederhana yang didasarkan pada produsen yang independen. Ia menyatakan bahwa dalam sebuah perekonomian yang sederhana seperti itu, masing-masing rumah tangga “memiliki alternatif untuk memproduksi secara langsung bagi dirinya, (sehingga) tidak perlu memasuki pertukaran apapun kecuali jika menguntungkan. Karena itu tidak terjadi pertukaran kecuali jika kedua kelompok tidak diuntungkan. Dengan demikian kooperasi dicapai tanpa adanya tekanan.” (op.cit., hal.13)  Di bawah kapitalisme (atau ekonomi “kompleks”) Friedman menyatakan bahwa “individu secara efektif bebas untuk memasuki ke dalam pertukaran tertentu apapun, jadi setiap transaksi jelas-jelas bersifat sukarela.” (op.cit., hal. 14)

Namun pemikiran saat itu menunjukkan bahwa kapitalisme tidak berdasarkan pada transaksi “sukarela” seperti pernyataan Friedman. Hal ini terjadi karena proviso yang dibutuhkan untuk membuat setiap transaksi yang bersifat “sukarela” bukanlah kebebasan untuk memasuki pertukaran tertentu apapun, namun kebebasan untuk tidak memasuki pertukaran apapun secara keseluruhan.

Hal ini, dan hanya ini, hanya proviso inilah yang membuktikan gambaran model sederhana Friedman (yang berdasarkan pada produksi yang dihasilkan pengrajin handal) bersifat sukarela dan non koersif;  dan tak ada  proviso lain yang dapat membuktikan bahwa model kompleks (yaitu kapitalisme) bersifat sukarela dan non koersif. Namun Friedman secara jelas memberi pernyataan seperti di atas, bahwa kebebasan untuk tidak memasuki pertukaran tertentu apapun sudah cukup, sehingga, hanya dengan mengubah persyaratannya sendiri, ia dapat mengklaim bahwa kapitalisme berdasarkan kebebasan.

Memang mudah mengetahui apa yang telah dikerjakan Friedman, namun tak terlalu mudak untuk memberinya izin (khususnya karena hal tersebut merupakan hal biasa dalam pembelaan kaum kapitalis). Ia berpindah dari perekonomian peretukaran sederhana antara produsen yang bebas ke perekonomian kapitalis tanpa menyebutkan hal terpenting yang membedakannya–yaitu pemisahan pekerja dari alat produksi. Dalam masyarakat produsen yang bebas, pekerja memiliki pilihan bekerja untuk dirinya sendiri–dalam kapitalisme hal tersebut tidak terjadi. Kapitalisme didasarkan pada eksistensi kekuatan pekerja tanpa memiliki modal yang cukup, dan karenanya juga tak memiliki  pilihan apakah ia harus meletakkan tenaganya di pasar ataukah tidak. Milton Friedman sepakat bahwa ketika tak ada pilihan maka terdapat pemaksaan. Karena itu usahanya menunjukkan bahwa kapitalisme berlangsung tanpa paksaan gagal.

Para pembela kapitalis dapat meyakinkan beberapa orang bahwa kapitalisme “berdasarkan pada kebebasan” hanya karena sistem memiliki tampilan luar tentang kebebasan.

Pada analisa yang lebih dalam lagi tampilan-tampilan ini berubah menjadi semacam muslihat. Contohnya, dinyatakan bawha para pekerja dari fima-firma kapitalis memiliki kebebasan karena mereka dapat selalu berhenti bekerja. Namun seperti yang dituliskan sebelumnya, “Beberapa orang memberikan perintah dan lainnya mematuhi: hal ini merupakan esensi perbudakan. Tentu saja, karena (libertarian kanan) cukup puas dengan (penyelidikannya), ‘seseorang setidaknya dapat berganti pekerjaan’, namun anda harus bekerja–sama seperti berada di bawah negaraisme seseorang setidaknya dapat berganti kewarganegaraannya, namun tak dapat menghindari kepatuhan pada satu negara bangsa atau lainnya. Namun kebebasan memiliki arti lebih dari sekedar hak untuk mengubah majikan” (Bob Black, The Libertarian as Conservative). Di bawah kapitalisme, pekerja hanya memiliki pilihan Hobson, diperintah/dieksploitasi atau tinggal di jalanan.

Kaum anarkis menunjukkan bahwa untuk menjadikan pilihan sebagai sesuatu yang nyataa, asosiasi dan kesepakatan bebas harus didasarkan pada kesetaraan sosial di antara orang-orang yang masuk ke dalamnya, dan kedua pihak harus menerima keuntungan yang sama. Namun hubungan sosial antara kaum kapitalis dengan pekerja tak pernah dapat setara, karena kepemilikan pribadi menimbulkan hierarki sosial dan hubungan subordinasi dan kekuasaan koersif, seperti yang juga diakui oleh Adam Smith (lihat di atas).

Lukisan karya Walter Reuthere mengenai kehidupan bekerja sebelum masa Wagner merupakan sebuah komentar mengenai ketidaksetaraan kelas: “Ketidakadilan merupakan hal yang biasa seperti juga trem-trem yang ada. Ketika orang pergi bekerja, mereka meninggalkan martabat, kewarganegaraan dan kemanusiaan mereka di luar. Mereka harus melaporkan tugasnya baik ada pekerjaan atau tidak. Sementara mereka menantikan kebaikan hati para supervisor dan mandor, mereka tidak dibayar. Mereka dapat dipecat tanpa suatu alasan. Mereka patuh pada peraturan-peraturan yang tak masuk akal dan sewenang-wenang…Kaum pria tersiksa oleh aturan yang yang mempersulit mereka untuk ke toilet. Meski pernyataan-pernyataan yang penuh kata-kata muluk dari pemimpin korporasi-korporasi besar bahwa pintu selalu terbuka untuk para pekerja yang membawa keluhannya, namun tak ada seorang atau sarana apapun yang dapat dijadikan tempat mengadu seorang pekerja jika ia dipersalahkan. Gagasan semacam itu bahwa seorang pekerja dapat disalahkan tampak absurd bagi orang yang mempekerjakannya”. Sebagian besar penghinaan ini, bersama dengan globalisasi modal, membuat posisi tawar para pekerja semakin merosot, sehingga yang diperoleh selama  seabad perjuangan kelas menghadapi bahaya kekalahan.

Tinjauan segera pada disparitas kekuasaan dan kekaayaan  yang sangat besar antara kelas kapitalis dan kelas pekerja menunjukkan bahwa keuntungan dari “kesepakatan” yang dilalui kedua belah pihak jauh dari kata setara. Walter Block, seorang pemimpin idelologi Institut Fraser, menjelaskan perbedaan dalam kekuasaan dan keuntungan ketika membahas pelecehan seksual di tempat kerja:

“Dalam menilai pelecehan seksual yang terus menerus terjadi antara sekretaris dan bosnya… meski menjadi keberatan bagi banyak wanita, (hal tersebut) bukanlah suatu tindakan pemaksaan. Hal tersebut lebih merupakan bagian dari paket kesepakatan dan di dalamnya sekretaris menyetujui semua aspek pekerjaan ketika ia sepakat menerima pekerjaan tersebut, dan terutama ketika ia sepakat untuk meneruskan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun juga kantor merupakan property pribadi. Sekretaris tidak harus tinggal jika “pemaksaan” tersebut menjadi suatu keberatan.” (dikutip oleh Engler op.cit., hal 101).

Tujuan utama Institut Fraser adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa semua hak lainnya harus di letakkan dibawah hak untuk menikmati kesejahteraan. Dalam masalah ini, Block menjelaskan bahwa di bawah property pribadi, hanya majikan yang memiliki “kebebasan untuk” dan sebagian besar juga ingin memastikan bahwa meereka mempunyai “kebebasan dari”  campur tangan terhadap hak ini.

Jadi, ketika kaum kapitalis melontarkan “kebebasan” yang ada di bawah kapitalisme, apa yang sebenarnya yang mereka pikirkan adalah perlindungan dari negara terhadap kebebasan untuk mengeksploitasi dan menindas pekerja melalui kepemilikan property, kebebasan yang mengijinkan mereka terus mengumpulkan disparitas kekayaan yang sangat besar, yang pada gilirannya memastikan keberlangsungan kekuasaan dan hak istimewa yang mereka miliki. Bahwa kelas kapitalis dalam negara-negara liberal demokratis memberi para pekerja hak untuk berganti majikan (meski hal ini tidaklah benar di bawah kapitalisme negara) tidak menunjukkan bahwa kapitalisme berdasarkan kebebasan. Karena seperti yang ditunjukkan Peter Kropotkin dengan baik, “kebebasan tidak diberikan, melainkan diambil” (Peter Kropotkin, Words of a Rebel, hal. 43). Dalam kapitalisme, anda “bebas” melakukan apapun yang diijinkan oleh majikanmu, yang sama dengan “kebebasan” dengan rantai anjing dan tali kekang.

B.4.2 Apakah kapitalisme berdasarkan kepemilikan diri?

Murray Rothbard, seorang pemimpin kapitalis “libertarian”, mengklaim bahwa kapitalisme berdasarkan “aksioma dasar” mengenai “hak atas kepemilikan diri”. “Aksioma” ini didefinisikan sebagai “hak absolut masing-masing manusia…untuk mengkontrol kebebasan tubuh(nya) dari campur tangn koersif. Karena masing-masing individu hrus berpikir, belajar, menilai dan memilih tujuaan berikut sarana(nya) untuk bertahan hidup dan berkembang, hak atas kepemilikan diri memberi manusia hak untuk melakukan aktivitas vitalnya tanpa dihalangi oleh gangguan yang bersifat koersif.’ (For a New Liberty, hal. 26-27)

Sejauh ini tidak menjadi masalah. Namun kita memiliki sebuah masalah setelah kita mempertimbangkan property pribadi. Seperti pendapat Ayn Rand, seorang ideolog lainnya mengenai kapitalisme “pasar bebas”, “tak ada hal lain seperti hak atas kebebasan yang tidak terbatas untuk berbicara (atau bertindak) pada property seseorang lainnya” (Capitalism: The Unknown Ideal, hal 258). Atau seperti yang biasa diucapkan oleh para pemilik kapitalis, “aku tidak membayarmu untuk berpikir”.

Hal yang sama, kaum kapitalis tidak membayar pekerja mereka untuk melakukan “aktivitas vital”lainnya yang disusun oleh Rothbard (belajar, menilai, memilih tujuan dan sarana)–kecuali, tentu saja, firma tersebut membutuhkan para pekerja melakukan aktivitas semacam itu untuk kepentingan keuntungan perusahaan. Sebaliknya, para pekerja dapat meletakkan kepercayaan bahwa usaha apapun untuk ikut serta dalam “aktivitas-aktivitas vital” perusahaan akan “dihalangi” oleh “ gangguan yang bersifat koersif”. Karena itu, pekerja upahan (dasar kapitalisme) pada prakteknya mengingkari hak yang dihubungkan dengan “kepemilikan diri”, sehingga mengasingkan individu dari hak-hak dasarnya. Atau seperti yang dinyatakan Michael Bakunin, “pekerja menjual kepribadian dan kebebasannya selama waktu tertentu” di bawah kapitalisme.

Dalam mayarakat yang relatif setara, “property pribadi” bukanlah sumber kekuasaan. Contohnya kamu masih dapat mencaci maki di rumahmu. Namun dalam sistem yang berdasarkan pekerja upahan (yaitu kapitalisme),  property pribadi merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda, karena menjadi sumber kekuasaan yang terinstitusionalisasi dan kekuasaan koersif  hierarki. Seperti pendapat Noam Chomsky, kapitalisme berdasarkan pada “suatu bentuk tertentu kontrol otoriter. Yaitu, jenis yang datang melalui kepemilikan pribadi dan kontrol, yang merupakan sistem dominasi yang sangat kaku. Ketika property semata-mata merupakan benda yang kamu, sebagai individu,  gunakan (yaitu barang milik) ia bukanlah sumber kekuasaan. Namun dalam kapitalisme hak-hak “property” tak lagi sama dengan hak-hak penggunaan, sehingga keberadaannya merupakan pengingkaran kebebasan dan sumber kekuasaan serta kekuatan atas individu. Tak heran jika Proudhon menamakan property sebagai “barang curian” dan “despotisme”.

Seperti yang telah kita lihat dalam pembahasan mengenai hierarki (bagian A.2.8 dan B.1), semua bentuk kontrol otoriter bergantung pada “gangguan yang bersifat koersif”–yaitu penggunaan sanksi atau ancaman. Hal ini merupakan kasus dalam hierraki perusahaan di bawah kapitalisme. Bob Black menggambarkan sifat otoriter kapitalisme seperti berikut:

“Tempat (orang-orang dewasa) menghabiskan sebagian besar waktunya dan patuh kepada kontrol yang paling dekat ada di tempat kerja. Jadi …tampak bahwa sumber pemaksaan langsung terbesar yang dialami kebanyakan orang dewasa bukanlah negara melainkan lebih pada pengusaha yang mempekerjakannya. Mandor atau supervisor memberimu perintah-perintah lain dan lebih banyak dalam seminggu dibandingkan dengan yang dilakukan polisi dalam satu dekade.”

Kita telah mencatat keberatan terhadap pendapat bahwa orang-orang dapat meninggalkan pekerjaan mereka, yang sama mudahnya berkata “sukai atau tinggalkan!” dan tidak mengena pada masalah yang ada. Tak perlu dikatakan lagi, mayoritas penduduk tak dapat menghindari keberadaan pekerja upahan. Kapitalisme jelas bukan berdasarkan pada “hak untuk kepemilikan diri”, melainkan pengingkaran terhadapnya, mengalienasi individu dari  hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, kebebasan berpikir, dan pengelolaan diri sendiri dalam aktivitas seseorang, yang harus diserahkan ketika mereka dipekerjakan. Namun karena hak-hak ini, menurut pendapat Rothbaard, merupakan produk manusia selaku manusia, pekerja upahan terasing dari dirinya sendiri, seperti yang juga terjadi pada kreatifitas dan otoritas individu dalam pekerjaannya.

Kembaali mengutip pendapat Chomsky, “manusia dapat bertahan hidup, (hanya) dengan menyewakan diri kepadanya (kekuasaan kapitalis), dan pada dasarnya tidak ada pilihan lain….” Anda tidak menjual keterampilan sebagai bagian dari diri anda sendiri. Sebaliknya, apa yang harus anda jual adalah waktu anda, otoritas dalam pekerjaan dam juga diri anda sendiri. Jadi, pada diri pekerja upahan, hak atas “kepemilikan diri” ditempatkan di awah hak property, satu-satunya “hak” yang tertinggal adalah hak untuk mencari pekerjan lain (meski hak ini diingkari di beberapa negara apabila pekerja memiliki hutang pada perusahaan).

Jadi, bertentangan dengan pendapat Rothbard, kapitalisme sebenarnya mengsingkan hak atas kepemilikan diri karena adanya struktur otoriter pada tempat kerja, yang berasal dari property pribadi. Jika kita menginginkan kepemilikan diri yang sejati, kita tak dapat menyerahkan sebagian besar kehidupan kita dengan menjadi budak yang diupah. Hanya pengelolaan produksi yang dilakukan secara mandiri oleh pekerja, bukan kapitalisme, yang dapat menjadikan kepemilikan diri sebagai sesuatu yang nyata.

B.4.3 Namun, tak seorangpun yang memaksamu bekerja pada mereka!

Tentu saja, ada pernyataan bahwa menjadi pekerja upahan merupakan tindakan yang sifatnya “sukarela”, dan kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Namun berkaitan dengan insiasi kekuatan terdahulu (misalnya perampasan tanah melalui penakhlukan) ditambah kecenderungan untuk menkonsentrasikan modal, saat ini hanya sedikit orang saja yang mengkontrol sebagian besar kekayaan, menghilangkan semua akses yang dimiliki orang lain terhadap sarana kehidupan. Seperti yang ditunjukkan Immanuel Wallerstein dalam The Capitalist World System (vol. 1), kapitalisme muncul dari feodalisme, dengan kapitalis pertama yang menggunakan kekayaan warisan keluarga atas penguasaan tanah yang luas untuk mengawali berdirinya pabrik-pabrik. “Kekayaan warisan keluarga” tesebut dapat ditelusuri jejaknya menuju penaklukaan dan perampasan tanah. Jadi pengingkaran kebebasan akses terhadap sarana kehidupan pada akhirnya didasarkan pada prinsip “yang kuat adalah yang benar”. Dan yang juga ditunjukkan Murray Bookchin secara tepat, “sarana hidup harus digunakan sesuai dengan hakekatnya: tanpa sarana tersebut hidup adalah sesuatu yang tak mungkin. Menyingkirkannya dari manusia lebih dari sekedar “pencurian”… hal tersebut jelas suatu pembunuhan.” (Murray Bookchin, Remaking Society, hal 187)

David Ellerman juga mencatat bahwa penggunaan kekuasaan di masa lalu membuat mayoritas penduduk memiliki keterbatasan terhadap pilihan-pilihan yang diberikan oleh penguasa yang ada.:

“Hal ini merupakan aliran utama pemikiran kaum kapitalis… bahwa cacat moral yang dialami budak sebagai barang bergerak tidak berlangsung dalam kapitalisme, karena pekerja, tidak seperti budak, merupakan orang-orang bebas yang membuat kesepakatan  upah secara sukarela. Namun, dalam kapitalisme, karena pengingkaran hak-hak alamiah yang kurang sempurna maka pekerja memiliki sisa kepribadian sebagai seorang ‘pemilik komoditas’ yang bebas. Jadi, ia diijinkan untuk meletakkan kehidupan kerjanya sendiri secara sukarela untuk diperdagangkan. Ketika seorang perampok mengingkari hak orang lain untuk membuat sejumlah pilihan-pilihan lain yang tak terbatas selain kehilangan uang atau nyawanya dan pengingkaran tersebut ditunjang oleh sebuah senjata, maka jelas bahwa hal ini merupakan perampokan meski dikatakan bahwa si korban membuat suatu “pilihan sukarela” diantara pilihan-pilihan yang ada. Ketika sistem legal itu sendiri mengingkari hak alami para pekerja atas nama hak istimewa modal, dan pengingkaran ini didukung oleh kekerasan legal negara, maka teoritisi kapitalisme ‘libertarian’ tidak menyatakan perampokan institusional, melainkan malah merayakan ‘kebebasan alami’ kelas pekerja untuk memilih antara pilihan yang tersisa untuk menjual tenaga mereka sebagai komoditas atau menganggur.” (dikutip oleh Noam Chomsky, The Chomsky Reader, hal. 186)

Karena itu keberadaan pasar pekerja tergantung pada pemisahan pekerja dari alat produksi. Basis alamiah kapitalisme merupakan pekerja upahan, di mana mayoritas penduduk tidak memiliki banak pilihan selain menjual ketrampilan, tenaga dan waktu mereka kepada orang-orang yang benar-benar memiliki alat-alat produksi. Dalam negara-negara kapitalis maju, tak kurang dari 10% populasi pekerja yang bekerja sendiri (pada 1990, 7,6% di Inggris, 8% di AS dan Kanada -namun gambaran ini meliputi orang yang memberi pekerjaan juga, yang artinya bahwa jumlah pekerja yang bekerja sendiri bahkan lebih kecil!). Karena itu bagi mayoritas penduduk, pasar pekerja merupakan satu-satunya pilihan mereka.

Michael Bakunin mencatat bahwa kenyataan ini meletakkan pekerja pada posisi hamba terhadap kaum kapitalis, bahkan meskipun pekerja secara formal “bebas” dan “setara” di bawah hukum:

“Secara yuridis mereka setara; namun secara ekonomi para pekeraj merupakan hamba dari kaum kapitalis…dengan demikian pekerja menjual kepribadian dan kebebasannya selama waktu tertentu. Pekerja berada dalam posisi hamba karena ancaman kelaparan yang mengerikan yang menghantui setiap hari yang dihadapinya bersama keluarganya, akan memaksanya untuk menerima keadaan apapun yang diakibatkan kalkulasi yang penuh kemenangan dari kaum kapitalis, industrialis, majikan….Pekerja selalu memiliki hak untuk meninggalkan majikannya, namun apakah ia memiliki sarana untuk melakukannya? Tidak, ia melakukannya untuk menjual dirinya kepada majiakn lainnya. Ia dikendalikan oleh kelaparan yang sama yang telah memaksanya menjual dirinya sendiri kepada majikan pertama. Jadi kebebasan pekerja…hanyalah kebebasan secara teoretis, tanpa saranan apapun untuk realisasinya yang mungkin, dan akibatnya merupakan sebah kebebasan fiktif, yang sama sekali keliru. Kenyataanya adalah bahwa seluruh hidup pekerja merupakan serangkaian hubungan perbudakan yang terjadi secara terus menerus dan tidak mengenakkan hati–sukarela jika dilihat dari sudut pandang yuridis, namun suatu kewajiban jika dilihat dari aspek ekonomi–yang hanya dapat dihentikan melalui jeda kebebasan yang singkat serta diiringi kelaparan; dengan kata lain hal tersebut merupakan perbudakan sejati.” (The Political  Philosophy of Bakunin, hal. 187-8)

Tentu saja, sebuah perusahaan tak dapat memaksamu untuk bekerja pada mereka, namun pada umumnya, kamu harus bekerja pada seseorang. Hal ini terjadi karena adanya “inisiasi kekuatan” terdahulu yang dilakukan  kelas kapitalis dan negara  yang telah menghasilkan kondisi obyektif dan di dalam kondisi tersebut kita membuat keputusan pekerjaan. Sebelum kontrak pasar tenaga kerja tertentu terjadi, pemisahan pekerja dari alat produksi merupakan sebuah kenyataan yang ada (dan akibat dari keberadaan pasar “tenaga kerja” biasanya menguntungkan kaum kapitalis sebagai sebuah kelas). Jadi meski kita biasanya dapat memilih kapitalis mana yang akan kita ikuti, pada umumnya, kita tak dapat memilih bekerja sendiri (sektor ekonomi bekerja sendiri tidaklah banyak, yang mengindikasikan dengan baik betapa palsunya kebebasan kapitalis tersebut). Tentu saja, kemampuan meninggalkan pekerjaan dan mencarinya di tempat lain merupakan kebebasan yang penting. Namun, kebebasan ini, seperti sebagian besar kebebasan di bawah kapitalisme, terbatas penggunaannya dan menyembunyikan realitas anti individu yang lebih dalam.

Seperti yang dikatakan Karl Polanyi:

“Dalam hubungan manusia, postulat semacam itu (mengenai pasar tenaga kerja) menunjukkan pada pekerja suatu instabilitas upah yang ekstrim, ketiadaan standar profesional, kerelaan yang hina untuk didesak dan didorong tanpa pandang bulu, dan ketergantungan sepenuhnya pada tingkah laku pasar. (Ludwig Von) Mises berpendapat bahwa jika pekerja ‘tidak bertindak sebagai serikat-serikat dagang, melainkan mengurangi tuntutan mereka dan mengubah kedudukan serta posisi mereka sesuai dengan pasar tenaga kerja, pada akhirnya mereka akan mendapatkan pekerjaan’. Hal ini menyimpulkan bahwa posisi di bawah sistem di dasarkan pada postulat mengenai karakter komoditas pekerja. Bukanlah komoditas yang menentukan di mana ia akan dijual, untuk apa ia digunakan, harga berapa yang tepat untuknya, dan dengan cara apa ia sebaiknya digunakan atau dihancurkan.” (The Great Transformation, hal 176)

(Meskipun sebaiknya juga ditunjukkan bahwa argumen Von Mises yang mengatakan bahwa “pada akhirnya” akan mendapatkan pekerjaan, merupakan sesuatu yang menyenangkan sekaligus samar– misalnya, berapa lama untuk sampai “pada akhirnya?”– jika dikontradiksikan dengan pengalaman aktual. Seperti pendapat pakar ekonomi Keynesian, Michael Stewart, yang mengatakan bahwa pada abad ke 19 para pekerja “yang kehilangan pekerjaan harus seegera mencari pekerjaan kembali atau mati kelaparan (dan bahkan keistimewaan perekonomian abad 19 ini … tidak mampu mencegah resesi yang berkepanjangan).” (Keynes in the 1990s, hal 31)  Para pekerja yang “mengurangi tuntutan mereka” sebenarnya memperburuk kemerosotan ekonomi, dengan menyebabkan semakin meningkatnya pengangguran dalam waktu yang singkat dan memperpanjang masa krisis. Kita akan membicarakan dengan lebih jelas masalah pengangguran dan para pekerja yang “mengurangi tuntutan mereka” pada bagian C.9).

Kadang-kadang ada yang berpendapat bahwa modal membutuhkan pekerja sehingga keduanya memiliki suara yang sama dalam hal tawar menawar, dan karenanya pasar tenaga kerja didasarkan pada “kebebasan”. Namun kerena kapitalisme di dasarkan pada kebebasan sejati atau pada kesepakatan bebas antara kedua belah pihak, kapital / pekerja harus setara dalam kekuatan tawar, sebaliknya kesepakatan apapun akan mendukung pihak yang paling berkuasa dengan mengorbankan pihak lain. Namun, berkaitan dengan property pribadi dan kebutuhan akan adanya negara untuk melindunginya,  kesetaraan ini secara de facto adalah tidak mungkin terjadi, seperti apapun teorinya. Hal ini terjadi karena pada umumnya kapitalis memiliki tiga keuntungan pada pasar tenaga kerja yang “bebas”– hukum dan negara menetapkan hak property di atas para pekerja, keberadaan pengangguran yang melebihi sebagian besar lingkaran bisnis, dan kaum kapitalis memiliki sumber daya lebih yang dapat diandalkan. Kita akan membicarakan masing-masing  keuntungan tersebut.

Keuntungan pertama, yaitu para pemilik property dengan dukungan dari negara dan hukum, memastikan bahwa ketika para pekerja melakukan pemogokan atau menggunakn bentuk-bentuk aksi langsung lainnya (atau bahkan ketika mereka mencoba membentuk sebuah perserikatan) kaum kapitalis memiliki dukungan penuh dari negara untuk mempekerjakan pengkhianat, merusak barisan demonstran pekerja atu memecat “pemimpin komplotan”. Hal ini jelas memberikan para majikan kekuatan yang lebih besar pada posisi twar mereka, menempatkan pekerja pada suatu posisi yang lemah (posisi yang membuat mereka, para pekerja, berpikir dua kali berjuang untuk hak mereka).

Keberadaan penganggurang yang melebih sebagian besar lingkaran bisnis memastikan bahwa “para majikan memiliki keuntungan struktural dalam paasar tenaga kerja, karena secara khusus terdapat lebih banyak calon pekerja…daripada pekerjaan yang tersedia untuk diisi”. Artinya bahwa “(k)ompetisi dalam pasar tenaga kerja secara khusus mncurangi kita untuk mndukung para majikan: pasar trseebut adalah pasar para pmbeli. Dan dalam pasar para pembeli, penjualah yang melakukan kompromi. Kompetisi bagi pekerja tidak cukup kuat untuk memastikan bahwa keinginan-keinginan pekerja selalu terpuaskan.” (Juliet B. Schor, The Overworked American, hal. 71, hal. 129) Jika pasar tenaga kerja secara umum mendukung para majikan, maka jelas hal ini menempatkan para pekerja pada kerugian karena ancaman pengangguran dan kesulitan yang dihubungkan dengan dorongan pkerja untuk mengambil pekerjaan apapun dan patuh kepada tuntutan serta kekuasaan majikan saat dipekerjakan. Dengan kata lain, pengangguran merupakan usaha untuk mendisiplinkan pekerja. Semakin tinggi tingkat pengangguran yang ada, semakin sulit mencari pekerjaan baru, yang meningkatkan harga kehilangan pekerjaan, sehingga memperkecil kemungkinan melakukan pemogokan, bergabung dengan perserikatan, atau melawan keinginan majikan, dll.

Seperti pendapat Bakunin, “para pemilik propertyjuga terpaksa mencari dan meembeli pekerja…namun bukan dalam kadar yang sama… (tak ada) kesetaraan antara orang-orang yang menawarkan tenaga mereka dan orang-orang yang membelinya”. (Op. Cit., hal. 183) Hal ini memastikan bahwa “kesepakatan apapun” lebih menguntungkan kaum kapitalis dibandingkan dengan para pekerja (lihat bagian berikutnya mengenai periode tanpa pengangguran, ketika kondisi berbalik mendukung para pekerja).

Terakhir, ada isu ketidaksetaraan dalam kekayaan dan juga sumber daya. Umumnya kaum kapitalis memiliki sumber lain yang dapat diandalkan selama pamogokan sementara menunggu saatnya mencari pekerja (contohnya, perusahaan-perusahaan besar dengan banyak pabrik dapat menukarkan produksi dengan pabrik lain yang dimilikinya jika terjadi pemogokan). Dan dengan memiliki sumber lebih yang dapat diandalkan, kaum kapitalis dapat bertahan lebih lama dibandingkan pekerjanya, sehingga menempatkan majikan dalam posisi tawar yang lebih kuat dan juga memastikan kontrak pekerja yang mendukung posisinya. Hal ini diakui Adam Smith:

“Tak sulit meramalkan kelompok mana dari kedua kelompok yang ada (pekerja dan kaum kapitalis) yang dapat, dalam semua peristiwa yang biasa terjadi…memaksakan kelompok lainnya untuk memenuhi syarat-syarat yang mereka ajukan… Dalam semua pertikaian semacam itu para majikan dapat bertahan lebih lama… meski mereka tidak mempekerjakan seorang pekerja pun, (para majikan) pada umumnya dapat hidup selama satu atau dua tahun dengan cadangan yang telah mereka peroleh. Banyak pekerja yang tidak dapat mencari nafkah selama satu minggu, tak banyak yang mampu bertahan selama satu bulan, memiliki kecemasan akan menganggur selama satu tahun. Dalam jangka panjang pekerja dapat menjadi sesuatu yang dibutuhkan sang majikan seperti halnya mereka membutuhkan sang majikan; namun kebutuhan trsbut datangnya tidak segera…(D)alam pertikaian dngan pekerja meka, sang majikan secara umum mendaapatkan keuntungan.” (Wealth of Nation, hal. 59-60)

Betapa hal-hal yang sepele dapat berubah.

Jadi meski telah pasti nahwa tak sorang pun yang memaksamu bekerja untuk meka, sistem kapitalis memberimu tak banyak pilihan selain menjual kebebasan dan tenagamu di “pasar bebas”. Bukan hanya ini, pasar tenaga kerja (yang meembuat kapitalism menjadi kapitalism sepereti ini) berbuat curang (biasanya) untuk mndukung mjikan, sehingga mnjamin bahwa “kesepakatan bebas” apapun dibuat untuk mendukung majikan dan mnghasilkan kepatuhan pekerja terhadap, dominasi dan eksploitasi. Inilah sebabnya mngapa kaum anarkis mndukung organisasi kolektif (sepeerti serikat) dan perlawanan (sperti pemogokan), aksi langsung dan solidaritas yang mmbuat kita, jika bukan lebih, kuat daripada orang yang mngeksploitasi dan mencapai perubahan dan perbaikan yang  penting (dan akhirnya mengubah masyarakat), bahkan ketika dihadapkan dengan krugian di pasar tenaga kerja sperti yang telah kita tunjukkan. Despotisme yang dihubungkan dengan property (menggunakan prenyataan Proudhon) selalu mendapat prlawanan dari orang-orang yang mematuhinya, dan majikan tak slalu menang.

B.4.4 Namun bagaimana mengenai periode permintaan yang tinggi terhadap pekerja?

Tentu saja ada periode ketika permintaan trhadap tenaga kerja melampaui penawaran, namun priod ini mrupakan bnih deprsi bagi kapitalisme, karena para pekeerja berada dalam posisi yang tpat untuk mengubah, baik secara individual maupun kolektif, pran yang mreka dapatkan seelakuu komoditi. Poin ini dibicarakan dengan leebih detail pada bagian C.7 (Apa yang menyebabkan lingkaran bisnis kapitalis?) bukan pada bagian ini. Saat inii cukup jelas menunjukkan bahwa selama waktu-waktu normal (yaitu melebihi sebagian besar lingkaran bisnis), kaum kapitalis seringkali menikmati kekuasaan luas terehadap pekerjanya, kkuasaan yang berasal dari kekuatan tawar yang tidak seimbang, seperti yang ditulis oleh Adam Smith dan banyak ahli lainnya.

Namun, hal ini mengubah selama waktu-waktu permintaan tinggi terhadp pekerja, Sbagai ilustrasi mari kita membuat prekiraan jumlah penawaran dan permintaan, Jelas bahwa situasi smacaam itu hanya baik bagi para pekerja. Majikan tak dapat seenaknya memecat seorang pekerja karena tak ada penggantinya dan pekerja, baik secara kolektif melalui solidaritas maupun secara individual melalui “keluar” (yitu berhenti dan pindah pekerjaan), dapat memastikan adnya penghargaan majikan terhdap kepentingan pekerja dan, malah, dapat mendorong kepentingan-kepentingan ini sampai ke titik penuh. Majikan meerasa sulit untuk mempertahankan kekuasan meerk secr utuh atau menghentikan kenaikan upah serta membuat keuntungan semakin terperas. Dengan kata lain, ketika pengangguran rendah, kekuatan pekerja bertambah.

Cara lain, dengan memberikan seseorang hak untuk bekerja dan menghentikan bantuannya ke dalam proses produksi membuat individu tersebut sangat berkuasa terehadap input tersebut kecuali jika perpindahannya tidak menguntungkan; yaitu kecuali jika input tersebut benar-benar bergerak. Hal ini hanya diperkirakan terjadi dalam kehidupan nyata pekerja selama periode penuh pekerejan,seehingga peregerakan yang sempurna para pekerja menimbulkan masalah bagi firma-firma kapitaliskarena di bawah kondisi semacam itu para pekerja tidak tergantung pada kapitalis tertentu shingga tingkat usaha pekeraj lebih ditentukan oleh keputusan pekerja (baik secara kolektif maupun individual) dan bukan kekuasaan manajerial. Ancaman pemecatan tak dapt digunakan sebagai ancam untuk meningktkan usaha, dan otomatis juga produksi, sehingga kondisi yang penuh pekerjaan meningkatkan kekutan pekerja.

Dengan firma kapitalis yang menjadi komitmen sumber yang ditetapkan, situasi ini dapat ditoleransi. Bagi para pengusha situasi seemacam ini buruk sehingga jarang terjadi dalam kapitalisme pasar bebas (harus kita tunjukkan bahwa dalam perekonomian neo klasik, diasumsikan bahwa smua input–termasuk kapital–bergerak secara sempurna sehingga teori tersebut mengabaikan realita dan menerima produksi kapitalis itu sendiri!)

Selama priode terakhir boom kapitalis, periode pasca perang, dapat kita lihat kjatuhan kekuasaan kaum kapitalis dn ketakutan elit berkuasa. Laporan Komisi Trilateral 1975, yang berusaha “memahami” pertumbuhan persaan tidak senang di antara penduduk kebenyakan, membenarkan poin kita. Dalam periode yang penuh pekerjaan ini, sesuai laporan, terdapat “suatu sikap demokrasi yang berlebihan”. Dengan kata lain, brekaitan dengan peningkatan kekuatan tawar pekerja yang diraih selama periode permintaan yang tinggi terhadap pekerja, rakyat mulai memikirkan dan bertindak atas dasar kebutuhan merka sbagai manusia, bukan sebagai komoditasa yang mewujudkan kekuatan pekerja. Secara alami hal ini memiliki efek yang sangat mengena pada kekuasaan kapitalis dan negara: “Orang tak lagi merasa terpaksa mematuhi orang-orang yang sebelumnya mereka anggap superior berdasarkan usia, peringkat, status, keahlian, karekter, atau bakat.”

Lepasnya ikatan kewajiban dan kepatuhan membuat “kelompok-kelompok yang sebelumnya pasif dan tak terorganisir dalam masyarakat, seperti kulit hitam, Indian, Chicano, keleompok etnis kulit putih, pelajar dan wanita… bersama-sama memulai usaha menegakkan klaim mereka terhadap kesempatan, imbalan dan hak istimewa, yang dulu tak pernah mereka anggap sebagai hak mereka.”

Partisipasi “berlebihan” seprti itu di dalam politik tentu saja menimbulkan ancaman seius terhadap atatus quo, karena bagi kaum elit yang menuliskan laporannya, hal terseebut dianggap aksiomatik, yaitu bahwa “pelaksanaan yang efektif dari sistem politik demokratis biasanya membutuhkan sedikit keacuhan dan tak adanya keterlibatan peranan beberapa individu dan kelompok….Di dalamnya, marginalitas beberapa kelompok secara inheren tidaklah demokratis, melainkan juga salah satu faktor yang memungkinkan demokrasi untuk berfungsi dengan efektif“ Pernyatan semacam itu menyatakan kepalsuan dalam pembentukan konsep ‘demokrasi’, yang agar dapat berfungsi secara efektif (yaitu melayani kepentingan kaum elite) pastilah “secara inheren tidak demokratis”.

Periode apapun, di saat orang merasa diberdayakan, membuat mereka mudah untuk berkomunikasi dengan teman-teman mereka, mengenali kebutuhan dan keinginan mereka, serta melawan kekuatan-kekuatan yang mengingkari kebebasan untuk mengelola kehidupan mereka sendiri. Perlawanan semacam itu merupakan serangan yang mematikan bagi kebutuhan kaum kapitalis untuk memperlakukan orang sebagai komoditas, karena (mengutip kembali pendapat Polanyi) orang tak lagi merasa bahwa “Bukanlah komoditas yang menentukan di mana ia akan dijual, untuk apa ia digunakan, harga berapa yang tepat untuknya, dan dengan cara apa ia sebaiknya digunakan atau dihancurkan.” Malah sebagai manusia yang dapat berpikir dan merasakan, mereka beraksi kembali untuk menyatkan kebebasan dan kemanusiaan mereka.

Seperti yang dicantumkan pada permulaan bagian ini, efek-efek ekonomi periode yang memberdayakan dan revolusi telah dibicarakan dalam bagian C.7. Kita akan mengakhiri dengan mengutip ahli ekonomi Polandia Michal Kalecki, yang mencatat bahwa boom kapitalis yang berlangsung terus menerus tidak mendukung kepentingan kelas berkuasa. Pada tahun 1934, menanggapi optismistis kaum keynesian, ia menulis bahwa “untuk mempertahankan tingginya tingkat pekerjaaan…dalam boom berikutnya, perlawanan kuat dari ‘para pemimpin pengusaha’ mungkin kan dihadapi…Berakhirnya periode penuh pekerjaan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya mereka inginkan. Para pekerja akan ‘tak terkendali’ dan ‘kapten industri’, ‘pemecatan’ akan berhenti mmemainkan perannya sebagi alat untuk mendisiplinkan. Posisi sosial majikan akan jatuh dan ketenangan diri berikut kesadaran kelas dari kelas pekerja akan muncul. Peemogokan untuk meningkatkan upah dan perbaikan kondisi kerja akan menciptakan ktegangn politik …’disiplin dalam pabrik ‘ dan ‘stabilits politik ‘lebih dihrgai paar pimpinn usaha dibndingkn keuntungan. kepentingan kels mereka menunjukkan bahwa berlangsungnya periode yang pnuh pekerjaan  tidklh sehat bila dilihat dari sudut pandang mereka dan bagwa pengngguran merupakan bagian yang integral dari sistem kapitalis yang normal.’ (disebutkan oleh Malcolm C.Sawyer, The Economics of  Michal Kalecki, hal.139,138)

Karena itu,periode ketika permintn terhdap pekerja melebihi penawaran yang ada tidaklh seht bgi kapitalisme, karena membuat orang mampu untuk menegaskan kebebasn dan kemanusiaan mreka –dan keduanya fatal bagi sistem. Inilah sebabnya meengapa sejumlh besar pekerjan-pekerjaan baru berspekulasi dalam bursa saham dan mengapa kaum kapitalis saat ini beegitu giat untuk mempertahankaan tingkaat pengangguran yang “alami” (Meski juga harus dipertahankan bahwa hal tersebut tidaklah “alami”). Harus kita tunjukkan bahwa Kalecki juga mempreediksikamn secara cepat megenai kemunculan “blok yang berkuasa” antara bisnis besardan kepentingan penyewa” melawan periode yang  penuh pekerjaan dan bahwa “mereka mungkin akan menemukan lebih dari seorang ahli ekonomi yang mengumumkan bahwa situasi ini jels tidak sehat.” Hasil “tekanaan semua kekuatn ini,daan khususnya usah besar” akn “menyebabkan pemerintaah kembali ke…kebijakan ortadoks.”(Kalecki,disebutkan Op.Cit., hal 140). Hal ini teerjadi di tahun 1970-an,dengn kehadiran ahli moneter dan bgian lainnya dari”pasar bebas” yang membeerikan hubungn ideologi selama pngusaha memimpin  perang kelas, dan orang-orang yang”teorinya” (ketika diteerapkan sangat tepat untuk menggerakkan pengangguran massal,sehingg mengajarkan kelas peekerja pelajaran yang dikehendaki.

Jadi,meski mengganggu pembuatan keuntungan,periode resesi dan tingkat penganggurn yang tinggi bukan hanya tak dapat dihindari namun diprlukan kapitalisme untuk” mndisiplinkan” pekerja dan” memberinya pelajaran”. Dan tidak terlalu mengherankan jika kapitalisme jarang menimbulkan periode yang penuh pekerjaan–periode tersebut bukan kepentingannya.  (Lihat juga bagian C.9). Dinamika kapitalisme menjadikan resesi pengangguran seebagai hal yang tak daapat dielakkan, karena juga membuat perjuangan kelas (yang membuat dinamika ini) sebagai hal yang tidak dapat dielakkan.

B.4.5 Namun aku ingin” tinggal sendiri”!

Menjadi hal yang ironis jika pendukung kapitalisme laissez-faire, seperti halnya”kaum Libertarian” dan “anarko”kapitalis, mengklaim bahwa mereka ingin “tinggal sendiri”, karena kapitalisme tak pernah  mengijinkan  hal ini terjadi. Seperti pendapat Max  Stirner: “Hadirnya kegelisahan tidak memberi kita waktu untuk menarik nafas, merasakan nikmatnya keetenangan. Kita tidak merasa nyaman dengan barang yang kita miliki….”(Max Stirner, The Ego and Its Own,hal 268).

Kapitalisme tidak membiarkan kita untuk ”menarik nafas” karena untuk tumbuh atau mati, kapitalisme merasa perlu meletakkan tekanan konstan baik pada pekerja atau kapitalis (Lihat D.4.1). Para pekerja tak pernah dapat rileks atau bebas dari perasaan cemas akan kehilangan pekerjaan karena jika tidak bekerja, mereka tidak makan, atau dapat memberi jaminan bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan kehidupan lebih baik. Kaum kapitalis sendiri tak dapat rileks karena dapat memastikan bahwa pertumbuhan produktifitas lebih cepat dari upah pekerja, jika tidak usaha mereka akan gagal (Lihat bagian C.2 dan C.3). Artinya bahwa setiap pekerjaan harus melakukan inovasi atau tertinggal di belakang, tersingkir dari bisnis atau pekerjaan. Dan karena pekerja yang tak dibayar merupakan kunci bagi ekspansi kaum kapitalis, kerja harus terus ada dan tumbuh. Kenyataan ini, dikombinasikan dengan hubungan kekuasaan yang terhubung dengan property pribadi dan kompetisi yang tak mengenal belas kasihan, memastikan bahwa keinginan untuk “tinggal sendiri” tak dapat terpuaskan di bawh kapitalisme.

Seperti penelitian Murray Bookchin, “(m)eskipun tuntutan mereka atas otonomi dan rasa tidak percaya kepada kekuasaan negara…para pemikir liberal klasik, untuk masalah terakhir, tidak menerima pendapat bahwa individu sepenuhnya bebas dari hukum. Malah, interpretasi mereka mengenai otonomi yang sesungguhnya mengisyaratkan tatanan yang benar-benar terbatas di luar individu–khususnya hukum pasar. Berlawanan dengan  otonomi individu, hukum-hukum ini merupakan suatu sistem pengaturan sosial, dan di dalam sistem tersebut semua “kumpulan individu” berada di bawah ayunan “tangan tersembunyi” (invisible hand) dalam kompetisi. Sebuah paradoks, hukum pasar menolak adanya “kehendak bebas” dari individu-individu yang berkuasa, padahal mereka juga merupakan ‘kumpulan individu.’” (“Communalism : The Democratic Dimension of Anarchism”, hal 4, Democracy and Nature no.8, hal 1-17)

Interaksi manusia merupakan bagian eseensial kehidupan. Anarkisme mengusulkan penghapusan interaksi sosial yang tidak diinginkan sekaligus pemaksaan otoriter, yang sifatnya inhern dalam kapitalisme dan berada dalam setiap bentuk hierarkis organisasi  sosial ekonomi (contohnya sosialismee negara). Para pertapa dengan segera menjadi kurang manusiawi, karena interaksi sosial meemperkaya dan mengembangkan individualitas. Kapitalisme mungkin berusaha mereduksi kita menjadi seorang pertapa yang hanya “terhubung” dengan pasar, namun pengingkaran kemanusiaan dan individualitas semacam itu tanpa bisa dihindari meembakar semangat revolusi. Dalam prakteknya, “hukum” pasar dan hierarki kapital tidak akan pernah “membiarkan seseorang hidup sendiri”, melainkan malah menghancurkan individualitas dan kebebasan seseorang. Aspek tersebut mengalami konflik dengan “naluri kebebasan” yang dimiliki manusia, seperti yang digambarkan Noam Chomsky, dan karenanya menimbulkan suatu kontra tendensi terhadap radikalisasi dan pemberontakan diantara orang-orang teertindas (lihat bagian J ).

Leave a Reply