[sc:afaq1]
A.2 Apa yang diperjuangkan anarkisme?
[toc]
Pernyataan Percy Bysshe Shelley memberi suatu pemikiran mengenai apa yang diperjuangkan dan cita-cita yang mendorongnya:
Manusia dengan suara hati yang baik tidak akan mematuhi : kekuasaan, seperti wabah yang mematikan, mengotori apapun yang disentuhnya, dan kepatuhan, kutukan terhadap semua orang yang berbakat, kebaikan, kebebasan, kebenaran, memperbudak manusia, dan dalam kacamata manusia, sebuah otomatisasi mesin.
Seperti pendapat di atas, kaum anarkis menempatkan prioritas yang tinggi pada kebebasan, menginginkannya baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Mereka juga mempertimbangkan individualitas—yang membuat seseorang menjadi pribadi yang unik—sebagai aspek terpenting kemanusiaan. Namun mereka mengakui bahwa individualitas tidak berada dalam kekosongan namun dalam sebuah fenomena sosial. Di luar masyarakat, individualitas adalah hal yang mustahil, karena seseorang membutuhkan orang lain untuk berkembang, maju dan tumbuh.
Lagipula, antara individu dan perkembangan sosial terdapat efek timbal balik: individu tumbuh di dalamnya dan dibentuk oleh masyarakat tertentu, sementara pada saat yang sama mereka menolong pembentukan dan mengubah aspek-aspek masyarakat tersebut (seperti halnya diri mereka sendiri dan individu lain) dengan tindakan dan pemikiran mereka. Sebuah masyarakat yang tidak didasarkan pada individu yang bebas, harapan, pemikiran, dan impian akan melemah dan mati. Jadi,”pembuatan manusia … merupakan sebuah proses kolektif, individu dan komunitas berpartisipasi dalam proses tersebut.”(Murray Bookchin, The Modern Crisis, hal 79) Akibatnya, teori politik apapun yang mendasarkan dirinya pada sosial saja atau individu semata adalah keliru.
Supaya individualitas berkembang menuju tingkat tertinggi yang mungkin dicapai, kaum anarkis menganggap esensial untuk menciptakan suatu masyarakat yang didasarkan pada tiga prinsip: kebebasan, persamaan dan solidaritas, yang saling terkait.
Kebebasan merupakan hal yang esensial bagi perkembangan kecerdasan, kreativitas dan derajat manusia. Dominasi dari pihak lain merupakan pengingkaran kesempatan untuk berpikir dan bertindak bagi diri seseorang, sedang kebebasan adalah satu-satunya cara untuk menumbuhkembangkan individualitas seseorang. Dominasi juga menahan inovasi dan tanggung jawab dengan membawanya kepada konformitas dari keadaan yang biasa-biasa saja. Jadi masyarakat yang memaksimalkan pertumbuhan individualitas akan merasa perlu mendasarkan dirinya pada asosiasi yang sifatnya sukarela, bukan pemaksaan dan kekuasaan. Mengulang kata-kata Proudhon “semua terasosiasi dengan bebas” atau sepereti yang dikatakan Luigi Galleani, anarkisme adalah “otonomi individu dalam kebebasan berasosiasi” (The End of Anarchism?, hal.35) (Lihat juga bagian A.2.2 – Mengapa kaum anarkis menekankan kebebasan?).
Jika kebebasan merupakan sesuatu yang esensial bagi perkembangan total individualitas, maka persamaan juga esensial bagi kemerdekaan sejati. Tak ada kebebasan sejati dalam stratifikasi kelas, masyarakat hierarkis yang dipusingkan oleh ketidaksetaraan dalam kekuatan, kekayaan daan hak istimewa. Dalam masyarakat seperti itu hanya beberapa –mereka yang berada di puncak hierarki—yang memiliki kebebasan secara relatif, sementara sisanya adalah semi budak. Karenanya tanpa kesetaraan, kebebasan menjadi sebuah olok-olok–paling bagus, “kebebasan” untuk memilih seorang tuan (bos), seperti di bawah kapitalisme. Bahkan elit di bawah kondisi seperti itu tidak sepenuhnya bebas karena harus tinggal di dalam masyarakat yang kerdil dan diperburuk serta dimandulkan oleh tirani serta alienasi mayoritas. Dan karena individu berkembang sepenuhnya hanya melalui kontak dengan individu bebas lainnya, para anggota elit terhambat kemampuannya untuk berkembang karena kelangkaan individu bebas yang berinteraksi dengannya. (lihat juga bagian A.2.5-Mengapa anarkis membutuhkan kesetaraan)
Akhirnya, solidaritas berarti pertolongan bersama: bekerja secara rela dan kooperatif dengan lainnya melalui tujuan dan kepentingan yang sama. Namun tanpa kebebasan dan kesetaraan masyarakat menjadi piramida persaingan kelas-kelas yang didasarkan pada dominasi terhadap strata yang lebih rendah oleh yang lebih tinggi. Dalam masyarakat seperti itu, seperti yang kita ketahui dari masyarakat kita sendiri, yang terjadi adalah “mendominasi atau didominasi”, “anjing makan anjing”, dan “setiap orang dibutuhkan bagi dirinya sendiri.” Jadi “individualisme yang kasar” ditingkatkan dengan mengorbankan semangat komunitas, dengan kemarahan dari mereka yang berada di bawah terhadap orang-orang yang di atas dan dengan ketakutan mereka yang berada di puncak terhadap orang-orang yang berada di bawah. Di bawah kondisi seperti itu tak ada solidaritas sosial yang luas, melainkan hanyalah bentuk solidaritas parsial dalam kelas yang kepentingannya terancam, yang melemahkan masyarakat sebagai sebuah kesatuan. (lihat juga bagian A.2.6—Mengapa solidaritas penting bagi kaum anarkis?)
Harus dicatat bahwa solidaritas tidak menunjukkan pengorbanan atau pengingkaran diri. Seperti yang dijelaskan Errico Malatesta:
“Kita semua egois, mencari kepuasan sendiri. Namun kaum anarkis mendapati kepuasan terbesarnya dalam perjuangan untuk kebaikan bersama, untuk mencapai masyarakat yang di dalamnya ia (demikian) dapat menjadi saudara di antara lainnya, dan diantara orang-orang yang sehat, cerdas, terdidik, dan bahagia. Namun ia yang dapat beradaptasi, yang puas hidup diantara budak dan mendapat keuntungan dari kerja budak tersebut, bukanlah, dan tidak bisa menjadi, seorang anarkis.” (Life and Ideas, hal 23)
Bagi kaum anarkis, kekayaan sejati adalah orang lain dan planet yang ditempati.
Juga, mempertahankan individualitas tidak berarti bahwa kaum anarkis idealis, berpikir bahwa orang atau pemikiran berkembang di luar masyarakat. Individualitas dan pemikiran tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, merespon pengalaman dan interaksi intelektual maupun material, yang secara aktif dianalisa dan diinterpretasikan oleh orang-orang. Oleh karena itu, anarkisme merupakan sebuah teori materialis, mengakui bahwa pemikiran berkembang dan tumbuh dari interaksi sosial serta aktifitas mental individu (lihat God and The State, karya Michael Bakunin untuk diskusi klasik mengenai materialisme versus idealisme)
Hal ini berarti bahwa sebuah masyarakat anarkis akan menjadi ciptaan manusia, bukan prinsip ketuhanan atau transendental lainnya, Karena “tidak ada yang pernah menyusun dirinya, paling tidak dalam hubungan dengan manusia. Manusia lah (demikian) yang menyusunnya, dan mereka melakukannya sesuai dengan tingkah laku mereka serta pemahaman terhadap sesuatu.” (Alexander Berkman, ABC of Anarchism, hal 42)
Oleh karena itu, anarkisme mendasarkan dirinya pada kekuatan pemikiran dan kemampuan orang untuk bertindak dan mengubah kehidupannya berdasarkan apa yang mereka anggap benar. Dengan kata lain, kebebasan.
A.2.1 Apa esensi anarkisme?
Seperti yang pernah kita lihat, “an-arki” berarti “tanpa peraturan” atau “tanpa kekuasaan (hierarkis)”. Kaum anarkis tidak melawan “penguasa” dalam pengertian para pakar yang khusunya memiliki banyak pengetahuan, terampil, atau bijak, meski mereka percaya bahwa penguasa tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa orang lain mengikuti rekomendasi yang mereka berikan (lihat bagian B.1 untuk pembedaan lebih jauh). Singkatnya, anarkisme adalah anti otoritarianisme.
Kaum anarkis anti otoritarianisme karena mereka percaya bahwa tidak ada manusia yang boleh mendominasi sesamanya. Anarkis, dalam kalimat L. Susan Brown, “Percaya dalam derajat dan nilai manusia yang inhern.” (The Politics of Individualism, hal.107) Dominasi secara inhern menurunkan dan merendahkan diri, karena meletakkan kehendak dan penilaian orang yang didominasi di bawah kehendak dan penilaian yang mendominasi, sehingga menghancurkan derajat dan harga diri yang hanya datang dari otonomi personal. Lagi pula, dominasi, memungkinkan dan pada umumnya memunculkan eksploitasi, yang merupakan akar dari ketidaksetaraan, kemiskinan, dan gangguan sosial.
Dengan kata lain, esensi anarkisme (untuk menyatakannya dengan positif) adalah kooperasi yang bebas diantara kesetaraan untuk memaksimalkan kebebasan dan individualitas mereka.
Kooperasi diantara kesetaraan adalah kunci bagi anti otoritarianisme. Dengan koopeerasi kita dapat berkembang dan melindungi nilai intrinsik diri sebagai individu yang unik sama halnya memperkaya kehidupan dan kebebasan kita karena “tidak ada individu yang dapat mengakui kemanusiaanya, dan akibatnya menyadarinya dalam hidupnya, jika tidak dengan mengenalinya dalam diri orang lain dan bekerja sama dalam realisasi untuk yang lain.” (Michael Bakunin, disebutkan oleh Malatesta dalam Anarchy, hal 27)
Meski anti otoritarian kaum anarkis mengakui bahwa manusia memiliki lingkungan sosial dan bahwa mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Kita tidak bisa lari dari “kekuasaan” pengaruh mutual ini, karena seperti yang diingatkan oleh Bakunin kepeda kita :
“Penghapusan pengaruh mutual ini akan hilang. Dan ketika kita membela kebebasan massa, kita sama sekali tidak mengusulkan penghapusan pengaruh alami apapun yang digunakan individu atau kelompok. Yang kita inginkan adalah penghapusan pengaruh yang artifisial, legal, resmi, dan hak istimewa.”(dikutip oleh Malatesta dalam Anarchy, hal 50)
Dalam kata lain, pengaruh-pengaruh yang berasal dari kekuasaan hierarkis.
A.2.2 Mengapa anarkis menekankan kebebasan?
Seorang anarkis, akan dianggap, dalam kata-kata Bakunin, sebagai seorang ”pecinta kebebasan yang fanatik, yang menganggap kebebasan sebagai lingkungan yang unik dan di dalamnya , kecerdasan, derajat, dan kebahagiaan seseorang dapat berkembang dan meningkat.” (Michael Bakunin: Selected Writings, hal. 196) Karena manusia merupakan makhluk berpikir, mengingkari kebebasan mereka sama artinya dengan mengingkari kesempatan memikirkan dirinya sendiri dan juga mengingkari eksistensi mereka sebagai manusia. Bagi kaum anarkis, kebebasan adalah hasil kemanusiaan, karena:
“Fakta seperti itu …bahwa seseorang memiliki kesadaran diri, akan perbedaannya dengan orang lain. Keinginan untuk kebebasan dan ekspresi diri sangat fundamental dan karakter yang dominan.”(Emma Goldman, Red Emma Speaks, hal. 393)
Karena alasan inilah, anarkisme “bermaksud menyelematkan harga diri dan kebebasan individu dari semua pengekangan dan invasi oleh penguasa. Hanya dalam kebebasan seseorang dapat (lalu) tumbuh hingga mencapai tingkat tertinggi. Hanya dalam kebebasan ia akan belajar berpikir dan bertindak, dan memberi yang terbaik bagi dirinya. Hanya dalam kebebasan ia akan menyadari kekuatan sejati ikatan-ikatan sosial yang mengikat manusia bersama-sama, dan merupakan dasar yang sesungguhnya bagi kehidupan sosial yang normal.” (Ibid.,hal 59)
Jadi bagi kaum anarki, kebebasan secara dasar adalah pengejaran individu terhadap apa yang mereka anggap baik dengan caranya sendiri. Melakukan apa yang disebut sebagai aktivitas dan kekuasaan individu karena mereka membuat keputusan untuk dan mengenai diri dan kehidupan mereka sendiri. Hanya kebebasan yang dapat menjamin kebebasan dan perbedaan individual. Hal ini karena, ketika individu memerintah diri dan membuat keputusan sendiri, mereka harus melatih pikirannya dan hal ini tidak memiliki efek lain kecuali mengembangkan dan merangsang individu yang terlibat.
Jadi, kebebasan merupakan pra-kondisi bagi perkembangan yang maksimum dari seorang individu yang memiliki potensi, yang juga merupakan produk sosial dan dapat dicapai hanya di dalam dan melalui komunitas. Komunitas yang bebas dan sehat akan menghasilkan individu yang bebas, yang pada akhirnya akan membentuk komunitas dan memperkaya hubungan sosial antara orang-orang yang menyusunnya. Kebebasan, secara sosial diprediksi, “tidak eksis karena mereka secara sah ditulis pada sehelai kertas namun hanya kebebasan yang menjadi kebiasaan yang mendarah daging dalam diri, dan ketika usaha apapun untuk mengganggunya akan mendapatkan perlawanan yang keras dari populasi itu…seseorang merasa terdorong untuk menghormati orang lain ketika ia mengetahui bagaimana mempertahankan derajat seseorang sebagai manusia. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kehidupan pribadi; namun juga dalam kehidupan politik.” (Rudolf Rocker, Anarcho- Syndicalism, hal.64)
Singkatnya kebebasan berkembang hanya dalam masyarakat bukan dalam hal yang berlawanan. Oleh karena itu seperti yang ditulis oleh Murray Bookchin:
“Kebebasan, kemerdekaan dan otonomi yang dimiliki seseorang dalam periode sejarah tertentu merupakan hasil dari tradisi sosial yang panjang dan …sebuah perkembangan kolektif – yang tidak mengingkari bahwa individu memainkan sebuah peran penting di dalamnya, dan pada akhirnya diwajibkan melakukannya jika ingin bebas.” (Social Anarchism or Lifestyle, hal 15)
Namun, kebebasan mensyaratkan jenis lingkungan sosial yang baik untuk tumbuh dan berkembang. Lingkungan seperti itu harus terdesentralisasi dan didasrkan pada manajemen kerja yang langsung oleh pekerja itu sendiri. Sentralisasi berarti penguasa yang koersif (hierarki), mengingat manajemen diri merupakan esensi kebebasan. Manajemen diri memastikan bahwa individu yang terlibat menggunakan (dan juga mengembangkan) semua kemampuan yang dimiliki—khusunya mental. Hierarki, sebaliknya menggunakan aktifitas dan pemikiran sejumlah orang untuk menggantikan aktifitas dan pemikiran semua orang yang terlibat. Jadi, bukannya mengembangkan kemampuan mereka sampai maksimal, hierarki memarginalkan banyak hal dan dapat dipastikan bahwa perkembangan mereka tumpul.
Untuk alasan inilah kaum anarkis melawan kapitalisme dan negara. Seperti dikatakan oleh seorang anarkis Perancis, Sebastien Paure, penguasa “mendadani dirinya dalam dua bentuk utama : bentuk politis, yaitu negara, dan bentuk ekonomi, yaitu kepemilikan pribadi.”(disebutkan oleh Peter Marshall, Demanding The Impossible, hal.43) Kapitalisme, seperti negara, di dasarkan pada kekuasaan yang terpusat (contohnya majikan dengan pekerja), tujuannya adalah menjaga manajemen kerja tetap berada di luar campur tangan pekerja. Artinya “bahwa kebebasan pekerja yang nyata, dan yang sesungguhnya, hanya dimungkinkan terjadi pada satu kondisi: yaitu pemberian modal, yang terdiri atas bahan mentah dan semua alat kerja, termasuk tanah, kepada keseluruhan pekerja.”(Michael Bakunin, disebutkan oleh Rudolf Rocker, Anarcho-Syndicalism, hal. 45)
Karena itu, seperti pendapat Noam Chomsky, seorang “anarkis yang konsisten harus melawan kepemilikan pribadi alat produksi dan buruh upahan yang merupakan komponen sistem ini, karena bertentangan dengan prinsip bahwa pekerja harus bekerja dengan bebas dan di bawah kontrol produsen.” (“Note on Anarchism”, For Reasons of State, hal 158)
Jadi, kebebasan bagi kaum anarkis berarti masyarakat non-otoritarian dan di dalamnya individu atau kelompok melatih manajemen diri, seperti memerintah diri sendiri. Implikasi yang dihasilkan merupakan hal penting. Pertama, menunjukkan bahwa sebuah masyarakat yang anarkis akan bersifat non-koersif, yaitu kekerasan atau ancaman kekerasan tidak akan digunakan untuk “meyakinkan” individu agar melakukan sesuatu. Kedua, bahwa anarkis merupakan pendukung yang tangguh terhadap kedaulatan individu, dan bahwa karena dukungan ini mereka juga melawan institusi yang didasarkan pada kekuasaan yang koersif, seperti hierarki. Dan terakhir, menunjukkan bahwa oposisi anarkis terhadap “pemerintah” memiliki arti bahwa mereka melawan pemerintah atau organisasi birokratik, hierarkis dan terpusat. Mereka tidak melawan pemerintahan untuk sendiri melalui konfederasi yang terdesentralisasi, organisasi-organisasi akar rumput, karena didasarkan pada demokrasi langsung, bukan pada delegasi kekuasaan untuk “perwakilan”. Karena kekuasaan merupakan lawan kebebasan, maka bentuk apapun dari pendelegasian kekuasaan merupakan ancaman bagi kebebasan dan derajat orang yang tunduk pada kekuasaan.
Kaum anarkis menganggap kebebasan sebagai satu-satunya lingkungan sosial dan di dalamnya derajat manusia serta perbedaan dapat berkembang. Namun, di bawah kapitalisme dan negara, tidak terdapat kebebasan bagi pihak mayoritas, karena kepemilikan pribadi dan hierarki memastikan bahwa inklinasi dan penilaian sebagian besar individu akan disub-ordinasikan terhadap kehendak sang tuan, sama sekali menghambat kebebasan mereka dan membuat “perkembangan total semua kapasitas moral, intelektual dan material, yang bersifat laten dalam diri setiap orang dari kita” menjadi tidak mungkin terjadi.(Bakunin, Bakunin on Anarchism, hal. 261)
A.2.3 Apakah kaum anarkis memerlukan pengaturan?
Ya. Tanpa berkumpul, kehidupan manusia yang sesungguhnya tidak mungkin terjadi. Kebebasan tidak dapat ada tanpa masyarakat dan pengaturan. Seperti yang ditunjukkan George Barrett dalam Objections to Anarchism:
“Untuk mendapatkan arti sesungguhnya dari kehidupan, kita harus bekerja sama, dan untuk bekerja sama kita harus membuat kesepakatan dengan teman kita. Namun untuk berpendapat bahwa kesepakatan seperti itu beraarti juga pembatasan kebebasan dan sudah pasti merupakan sebuah absurditas; sebaliknya hal tersebut adalah pelaksanaan kebebasan.
“Jika kita akan menciptakan sebuah dogma bahwa membuat kesepakatan membahayakan kebebasan, maka pada akhirnya kebebasan menjadi tirani, karena melarang orang untuk bersenang-senang tiap harinya. Sebagai contoh saya tidak dapat berjalan-jalan dengan seorang teman karena melanggar prinsip kebebasan bahwa saya seharusnya sepakat untuk berada dalam tempat dan waktu tertentu untuk menemuinya. Pada akhirnya saya tidak dapat memperluas kekuasaan di luar diriku, karena untuk melakukannya saya harus bekerjasama dengan orang lain, dan kerjasama menunjukkan kesepakatan, dan hal ini melawan kebebasan. Akan terlihat bahwa pada akhirnya argumen ini absurd. Saya tidak membatasi kebebasanku namun sungguh-sungguh menggunakannya ketika menyetujui teman untuk berjalan-jalan.”
Sejauh pengaturan ada, kaum anarkis berpikir bahwa “jauh dari penciptaan kekuasaan (pengaturan) adalah satu-satunya obat bagi kekuasaan dan satu-satunya sarana bagi masing-masing kita yang akan mengambil bagian yang aktif dan sadar dalam kerja kolektif, dan berhenti menjadi instrumen pasif di tangan pemimpin.” (Errico Malatesta, Life and Ideas, hal 86)
Kenyataan bahwa kaum anarkis membutuhkan suatu pengaturan mungkin tampak aneh pada awalnya, namun hal ini terjadi karena kita hidup dalam masyarakat dengan semua bentuk pengaturan yang benar-benar otoriter, sehingga membuat hal tersebut tampak sebagai satu-satunya yang mungkin. Apa yang umumnya tidak diketahui adalah bahwa cara pengaturan secara historis terkondisi, yang muncul di dalam satu jenis masyarakat yang khusus—yang prinsip-prinsip motifnya adalah dominasi dan eksploitasi. Menurut ahli Anthropologi dan Arkeologi, jenis masyarakat ini hanya ada kira-kira selama lima ribu tahun dan telah menghilang bersama dengan negara-negara primitif pertama yang didasarkan pada penaklukan dan perbudakan. Di dalam masyarakat ini, kerja para budak menghasilkan surplus yang menyokong kelas berkuasa.
Sebelumnya, selaam ratusan ribu tahun, masyarakat manusia dan proto manusia yang disebut Murray Bookchin “organis” yaitu, berdasarkan pada bentuk kerjasama aktivitas ekonomi yang meliputi tujuan bersama, akses bebas kepada sumber daya produktif, dan pembagian hasi kerja komunal sesuai dengan kebutuhan. Meski masyarakat seperti itu mungkin memiliki tingkatan status yang didasarkan pada umur, tidak terdapat hierarki dalam artian hubungan pihak yang mendominasi dan yang tersub-ordinasi terlembagakan, dan dipaksakan dengan sanksi-sanksi yang koersif dan mengakibatkan stratifikasi kelas yang meliputi eksploitasi ekonomi kelas yang satu terhadap yang lain. (lihat Muray Bookchin, The Ecology of Freedom)
Namun demikian harus ditekankan di sini bahwa kaum anarkis tidak ingin kembali ke “zaman batu”. Kami hanya mencatat bahwa sejak cara pengaturan yang otoritarian-hierarki berkembang secara relatif pada saat ini dalam evolusi umat manusia, tak ada alasan untuk meyakini bahwa bagaimanapun juga hal ini ditakdirkan untuk bersifat permanen. Kami tidak berpikir bahwa manusia secara genetis “terprogram” untuk bertingkah laku otoriter, kompetitif dan agresif, karena tidak ada bukti yang kredibel untuk mendukung klaim ini. Sebaliknya tingkah laku tersebut dikondisikan secara sosial, atau dipelajari dan juga, dapat diperoleh tanpa dipelajari. (lihat Ashley Montagu, The Nature of Human Aggression) Kami bukan seorang fatalis atau determinis genetis, melainkan percya pada kehendak bebas, yang menganggap bahwa orang dapat mengubah cara mereka melakukan sesuatu termasuk cara mereka mengatur masyarakat.
Dan tak perlu diragukan lagi bahwa masyarakat membutuhkan pengaturan yang lebih baik, karena saat ini sebagian besar kekayaan masyarakat—yang dihasilkan oleh mayoritas –dan kekuasaan didistribusikan kepada sekelompok kecil elit minoritas pada puncak piramida sosial, menyebabkan deprivasi dan penderitaan bagi lainnya, khususnya yang berada di dasar piramida. Bahkan karena elit ini mengontrol sarana koersi melalui kontrolnya terhadap negara (lihat bagian B.2.3), hal ini dapat menindas mayoritas dan mengabaikan penderitaannya—sebuah fenomena yang terjadi pada skala lebih kecil dalam semua hierarki. Kemudian tidak terlalu mengherankan bahwa rakyat dalam struktur yang otoriter dan tersentralisasi menjadi membenci mereka karena mengingkari kebebasan yang dimiliki. Seperti yang dikatakan Alexander Berkman:
“Masyarakat kapitalis diatur dengan sangat buruk sehingga anggotanya yang beraneka ragam menderita: sama halnya seperti ketika kamu memiliki luka di beberapa bagian tubuh, seluruh tubuhmu terasa sakit dan kamu tidak enak badan…, tak satu anggota organisasi atau serikat-pun yang mungkin dapat bebas dari diskriminasi penindasan atau diabaikan. Membiarkannya sama dengan mengabaikan gigi yang sakit : kamu akan kesakitan pada seluruh tubuh.” (Alexander Berkman, ABC of Anarchism, hal 53)
Kutipan diatas dengan tepat menggambarkan apa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis, dengan hasil bahwa benar-benar “sakit disekujur tubuh.”
Karena alasan-alasan inilah kaum anarki menolak bentuk-bentuk pengaturan yang otoriter dan malah mendukung serikat-serikat yang didasarkan pada kesepakatan bebas. Kesepakatan bebas penting karena, dalam ungkapan Berkman, “hanya ketika masing-masing merupakan sebuah unit yang bebas dan independen, kerjasama dengan pihak lain atas pilihan sendiri karena kepentingan bersama dunia dapat berjalan dengan sukses dan menjadi lebih kuat.” (op.cit., hal 53) Dalam bidang “politik” hal ini berarti demokrasi dan konfederasi langsung yang merupakan ekspresi dan lingkungan bagi kebebasan. Demokrasi langsung (partisipatoris) esensial karena kemerdekaan dan kesetaraan menunjukkan kebutuhan rakyat akan forum tempat berdiskusi dan berdebat dengan kedudukan yang setara dan mengijinkan keadaan yang bebas seperti apa yang disebut Murray Bookchin “perbedaan pendapat yang kreatif.”
Pemikiran anarkis mengenai pengaturan liberal dan kebutuhan akan konfederasi serta demokrasi langsung akan dibahas lebih lanjut dalam bagian A.2.9 dan A.2.10
A.2.4 Apakah Kaum Anarkis menginginkan kebasan yang “absolut”?
Tidak. Kaum anarkis tidak percaya bahwa seseorang dapat melakukan “apapun yang diinginkan”, karena beberapa tindakan tanpa kecuali mencakup pengingkaran kebebasan orang lain.
Sebagai contoh, kaum anarkis tidak mendukung “kebebasan” untuk memperkosa, mengeksploitasi, atau memaksa orang lain. Sebaliknya, karena kekuasaan merupakan sebuah ancaman bagi kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas. (belum lagi derajat manusia), dan kaum anarkis merasa perlu untuk melawan dan menghancurkannya.
Keadaan yang otoritarian bukanlah kebebasan. Tak seorang pun memiliki “hak” untuk mengatur orang lain. Seperti yang ditunjukkan Malatesta, anarkisme mendukung “kebebasan bagi setiap orang…yang hanya dibatasi oleh kebebasan yang setara dengan yang lain; yang tidak berarti…bahwa kita mengakui, dan ingin menghargai ‘kebebasan’ untuk mengeksplotasi, menekan, memerintah, yang merupakan penindasan, dan bukanlah kebebasan.” (Errico Malatesta, Life and Ideas, hal. 53)
Dalam masyarakat kapitalis, perlawananterhadap semua bentuk hierarki merupakan tanda seorang individu yang bebas—baik dalam bentuk privat (majikan) atau publik (negara). Seperti yang ditunjukkan Henry David Thoreau dalam essaynya yang berjudul “Civil Dissobedience” (1847)
“Ketidakpatuhan merupakan pondasi sejati. Orang yang patuh pastilah budak.”
A.2.5. Mengapa kaum anarkis membutuhkan kesetaraan?
Seperti yang disebutkan di atas, kaum anarkis menginginkan kesetaraan sosial karena hanya dalam konteks inilah kebebasan individu dapat berkembang. Namun demikian, ada banyak tulisan omomg kosong mengenai “kesetaraan”, dan banyak yang umumnya dipercayai isinya. Hal tersebut benar-benar aneh. Sebelum membicarakan lebih lanjut apa yang dimaksud kaum anarkis dengan kesetaraan, kita harus menunjukkan apa yang tidak kita artikan mengenainya.
Kaum anarkis tidak percaya dalam “kesetaraan anugerah”, yang tak hanya tak ada, namun akan sangat diperlukan jika dapat dilakukan. Setiap orang adalah unik. Perbedaan manusia yang ditentukan secara biologis, bukan sekedar ada, namun merupakan “penyebab kebahagiaan, dan bukan ketakutan atau penyesalan.” Mengapa? Karena “hidup di antara klon bukan sebuah kehidupan yang bernilai, dan seorang yang bijak hanya akan bergembira jika orang lain memiliki kemampuan yang tidak mereka miliki.” (Noam Chomsky, “Anarchism, Marxism and Hope for the Future”, Red and Black Revolution, no. 21)
Beberapa orang berpendapat dengan serius bahwa arti “kesetaraan” di mata kaum anarkis adalah keidentikan setiap orang. Hal tersebut merupakan refleksi yang menyedihkan pada pernyataan budaya intelektual saat ini dan korupsi kata-kata—sebuah korupsi yang digunakan untuk mengalihkan perhatian dari sistem yang tidak adil dan otoriter serta pembelokan orang lain ke dalam sebuah pembicaraan biologis.
Tak ada kaum anarkis yang menyukai apa yang disebut “kesetaraan penghasilan.” Kami tidak mengingkan untuk hidup dalam masyarakat yang di dalamya setiap orang mendapatkan barang yang sama, hidup dam jenis rumah yang sama, mengenakan pakaian yang sma, dan lain-lain. Salah satu alasan bagi kaum anarkis untuk bangkit melawan kapilaisme dan negara adalah bahwa terdapat banyak hal dalam hidup yang distandardisasikan olehnya (lihat The McDonaldisation of Society karya George Reitzer pada mengapa kapitalisme diarahkan menuju standardisasi dan keseragaman). Dalam pernyataan Alexander Berkman:
“Semangat kekuasaan, hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, tradisi dan kebiasaan memaksa kita untuk menyembah-nyembah seperti biasa serta memaksakan sebuah kehendak kepada pria (atau wanita) tanpa kemerdekaan atau individualitas…Semua dari kita adalah korban, dan hanya pengecualian bagi mereka yang kuat untuk berhasil dalam menghancurkan rantainya, dan itupun tidak semua.” (The ABC of Anarchism, hal. 26)
Oleh karena itu, kaum anarkis tidak berkeinginan memperdalam penyembahan tersebut, malahan ingin menghancurkannya dan setiap hubungan sosial serta lembaga yang menciptakannya pertama kali.
“Kesetaraan penghasilan” hanya dapat diperkenalkan dan dipertahankan dengan paksaan, yang bagaimanapun juga bukanlah merupakan sebuah kesetaraan, karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa setiap individu memiliki kekuasaan lebih dari yang lain! “Kesetaraan penghasilan” secara khusus dibenci kaum anarkis, karena seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu memiliki kebutuhan, kemampuan, keinginan dan kepentingan yang berbeda. Membuat semua konsumsi sama akan menjadi sebuah tirani. Jelasnya, jika seseorang sakit dan memerlukan perawatan kesehata sedangkan yang lainnya tidak, mereka tidak akan menerima sejumlah perawatan kesehatan yang “sama”. Hal yang sama berlaku juga pada kebutuhan manusia lainnya. Seperti yang dikatakan Alexander Berkman:
“Kesetaraan tidak berarti sebuah kesetaraan dalam jumlah, melainkan kesetaraan kesempatan…Jangan sampai salah dalam mengenali kesetaraan dalam kebebasan dengan kesetaraan yang dipaksakan oleh lembaga permasyarakatan. Kesetaraan anarkis yang sesungguhnya menunjukkan kebebasan, bukan kuantitas. Bukan berarti bahwa setiap orang harus makan, minum atau mengenakan pakaian yang sama, juga melakukan hal yang sama, serta tinggal dengan cara yang sama. Berbeda dengan hal tersebut: dalam kenyataan menimbulkan hal sebaliknya.” Ia memberikan pendapatnya bahwa “ kebutuhan dan apa yang dirasakan individu tidak sama, karena selera yang berbeda. Kesetaraan kesempatanlah yang memuaskan mereka dan merupakan kesetaraan sejati…Kesempatan bebas untuk berekspresi dan memerankan individualitasmu sendiri berarti perkembangan perbedaan dan keanekaragaman yang alamiah.”(The ABC of Anarchism, hal. 25)
Bagi kaum anarkis, “konsep kesetaraan” sebagai “persamaan penghasilan” atau “persamaan anugrah” tidak berarti apa-apa. Namun demikian, dalam masyarakt yang hierakis, “kesetaraan kesempatan” dan “kesetaraan penghasilan” terkait. Di baah kapitalisme sebagai contoh kesempatan masing-masing gernerasi tergantung oleh yang didapat generasi sebelumnya. Artinya, dibawah kapitalisme “persamaan kesempatan” tanpa “persamaan penghasilan” yang kasar (dalam arti pendapatan dan sumber daya) menjadi tidak berarti, karena tidak ada persamaan kesempatan yang sesungguhnya bagi keturunan milyuner dengan keturunan penyapu jalan. Mereka yang berpendapat tentang “kesetaraan kesempatan” namun mengabaikan rintangan yang diciptakan oleh penghasilan sebelumnya menunjukkan bahwa mereka tidak tahu apa-apa mengenai apa yang sedang mereka bicarakan—kesempatan dalam masyarakat hierarkis tidak hanya tergantung pada jalan yang terbuka melainkan juga pada awal yang sama. Dari kenyataan ini jelas telah terjadi kesalahan konsepsi bahwa kaum anarkis menginginkan “kesetaraan penghasilan”—namun hal ini hanya terjadi dalam sistem yang hierarkis, bukan dalam masyarakat yang bebas (seperti yang akan kita lihat).
Kesetaraan, dalam teori anarkis, tidak berarti pengingkaran perbedaan atau keunikan. Seperti yang dikatakan Bakunin:
“Setelah kesetaraan dicapai dan ditegakkan, akankah keanekaragaman kemampuan individu dan tingkat energi mereka dihilangkan? Beberapa akan tetap ada, barangkali tidak sebanyak sekarang, namun tentu saja beberapa akan tetap eksis. Seperti kata pepatah bahwa pohon yang sama tidak akan pernah menghasilkan dua daun yang identik, dan hal ini mungkin akan selalu benar. Bahkan lebih benar lagi dengan menghormati manusia, yang lebih kompleks daripada dedaunan. Namun perbedaan ini tidak sepenuhnya jahat. Sebaliknya… perbedaan tersebut merupakan sumber bagi hubungan manusia. Terimakasih pada perbedaan, kemanusiaan merupakan kolektifitas yang didalamnya seorang individu melengkapi yang lain dan membutuhkannya. Hasilnya, perbedaan manusia yang tak terbatas adalah penyebab dasar dan fundamental bagi solidaritas mereka. Hal ini adalah argumen yang penuh kekuatan.” (“All-Round Education”, The Basic Bakunin, hal 117-8)
Kesetaraan bagi kaum anarkis berarti kesetaraan sosial, atau menggunakan kata-kata Murray Bookchin,”kesetaraan bagi yang tidak sama” (beberapa orang seperti Malatesta menggunakan term “kesetaraan keadaan” untuk menyatakan pemikiran yang sama). Dengan ini, ia mengartikan bahwa sebuah masyarakat anarkis mengakui bahwa terdapat perbedaan dalam kemampuan dan kebutuhan individu namun tidak mengubah perbedaan-perbedaan ini ke dalam kekuasaan. Perbedaan-perbedaan individu, dalam kata lain, ”tidak memiliki akibat, karena ketidaksetaraan pada kenyataannya hilang dalam kolektivitas ketika tidak dapat melekat pada beberapa khayalan atau lembaga resmi.” (Michael Bakunin, God and the State, hal. 53)
Jika hubungan sosial yang hierarkis, dan kekuatan yang menciptakannya dihapus agar seseorang dapat meningkatkan pertisipasinya dan didasarkan pada prinsip “satu orang, satu suara” maka perbedaan alami tidak akan dapat diubah ke dalam kekuasaan hierarkis. Sebagai contoh, tanpa hak kepemilikan kapitalis, tidak akan ada alat yang digunakan minoritas untuk memonopoli sarana hidup (mesin dan tanah) dan memperkaya diri dengan hasil kerja orang lain melalui sistem upah dan riba (keuntungan, rente, dan suku bunga). Jika pekerja mengatur kerja mereka, tidak akan ada kelas kapitalis yang semakin kaya karena kerja buruh. Jadi menurut Proudhon:
“Sekarang, apa menjadi ujung pangkal ketidaksetaraan ini?
“Seperti yang kita lihat … ujung pangkalnya adalah realisasi dalam masyrakat dengan tiga abstraksi ini: kapital, kerja, dan bakat.
“Karena masyarakat membagi dirinya dalam tiga kategori warga negara, menanggapi tiga term dari formula tersebut… perbedaan kasta selalu terjadi dan setengah dari umat manusia memperbudak lainnya…sosialisme berasal dari pereduksian formula aristokratis dari kapital -kerja- bakat ke dalam formula kerja yang lebih sederhana!…untuk membuat setiap warga negara secara simultan, equal dan berada dalam tingkat yang sama dengan kapitalis pekerja dan pakar atau artis.”(No Gods, No Master, hal 57-8)
Seperti semua kaum anarkis Proudhon melihat integrasi fungsi-fungsi ini sebagai kunci menuju kesetaraan dan kebebasan serta menyarankan manajemen diri sebagai sarana untuk mencapainya. Jadi manajemen diri adalah kunci menuju kesetaraan sosial. Kesetaraan sosial dalam tempat kerja, contohnya, berarti bahwa setiap orang memiliki hak berpendapat yang sama dalam pembuatan kebijaksanaan mengenai bagaimana tempat kerja berkembang dan berubah. Kaum anarkis sangat percaya pada pepatah “yang menyentuh semua diputuskan oleh semua.”
Tentu saja hal ini tidak berarti pada ahli akan diabaikan atau bahwa setiap orang akan memutuskan segalanya. Sejauh yang dilakukan para ahli, setiap orang memiliki perbedaan kepentingan, bakat, dan kemampuan, sehingga jelas mereka akan mempelajari hal yang berbeda dan melakukan jenis-jenis pekerjaan yang berbeda. Juga menjadi jelas bahwa ketika orang sakit mereka berkonsultasi kepada seorang dokter—seorang ahli yang mengatur kerjanya sendiri daripada diatur oleh komite. Kami minta maaf mengemukkan poin ini, namun sekali topik kesetaraan sosial dan manajemen diri pekerja diungkapkan beberapa pekerja mulai bicara omong kosong. Masuk diakal bahwa sebuah rumah sakit yang diatur dalam cara yang setara secara sosial tidak melibatkan orang-orang diluar staf medis memberikan pendapatnya mengenai bagaimana seorang dokter melakukan suatu operasi! Kenyataannya, kesetaraan sosial dan kebebasan individu tidak dapat dibebaskan tanpa manajemen diri kolektif terhadap keputusan yang mempengaruhi kelompok (kesetaraan) untuk melengkapi manajemen diri individual terhadap keputusan yang mempengaruhi dirinya (kebebasan), sebuah masyarakat yang bebas tidak mungkin terjadi. Karena tanpa keduanya, beberapa orang akan memiliki kekuasaan lebih dari yang lain, memutuskan untuk mereka (contoh: memerintah), dan akhirnya beberapa akan lebih bebas dari yang lain.
Kesetaraan sosial mensyaratkan individu untuk mengatur dan menyatakan dirinya, karena manajemen diri menunjukkan arti “orang bekerja dalam hubungan yang berhadapan dengan rekan mereka untuk membawa keunikan perspekrif yang dimiliki dalam usaha menyelesaikan masalah bersama dan mencapai tujuan bersama.” (George Benello, From The Ground Up, hal 160)
Jadi kesetaraan mengijinkan adanya pernyataan individualitas dan oleh karenanya merupakan dasar yang diperlukan bagi kebebasan individual.
Bagian F.3 (“Mengapa ‘anarko’ kapitalis secara umum menempatka sedikit atau malah tidak sama sekali penghargaan terhadap ‘kesetaraan’, dan apa yang mereka maksudkan dengan term tersebut?) membicarakan pemikiran anarkis mengenai kesetaraan lebih lanjut lagi.
A.2.6 Mengapa soidaritas penting bagi kaum anarkis?
Solidaritas, atau saling menolong merupakan pemikiran kunci dari anarkisme. Hal ini merupakan hubungan individu dan masyarakat, sarana yang digunakan individu untuk dapat bekerja sama memenuhi kepentingan bersama dalam sebuah lingkungan yang mendukung dan memelihara baik kebebasan maupun kesetaraan. Bagi kaum anarkis, saling menolong merupakan ciri-ciri dasar kehidupan manusia, sumber dari kekuatan dan kebahagian serta sebuah syarat yang fundamental bagi eksistensi manusia seutuhnya.
Erich Fromm, seorang psikolog dan ahli sosial humanis menunjukkan bahwa “keinginan manusia untuk berkumpul dengan yang lain berakar dalam kondisi khusus eksistensi yang mencirikan spesies manusia dan merupakan salah satu motifasi terkuat dari tingkah laku manusia.” (To Be or To Have, hal 107)
Oleh karena itu kaum anarkis menganggap keinginan untuk membentuk “perkumpulan” (menggunakan term Max Stirner) dengan orang lain sebagai kebutuhan alami. Perkumpulan atau persatuan ini, harus didasarkan pada kesetaraan dan individualitas untuk benar-benar memuaskan mereka yang bergabung di dalamnya—contoh, mereka harus diatur dalam sebuah cara yang anarkis, contoh, sukarela, terdesentralisasi, dan non hierarkis.
Solidaritas – kerjasama diantara individu –penting untuk kehidupan dan jauh dari pengingkaran terhadap kebebasan. “Hasil mengagumkan dari kekuatan individualitas manusia yang unik tercapai ketika diperkuat dengan kerjasama dengan individualitas lainnya,” kata Emma Goldman. “Kerjasama – sebagai lawan dari slaing berselisih dan memusuhi – telah berkarya demi survival dan evolusi spesies….(H)anya tujuan bersama dan Cupertino sukarela… dapat menciptakan dasar bagi individu yang bebas dan kehidupan yang saling terkait.” (Red Emma Speaks, hal 95)
Solidaritas berarti berkumpul bersama secara setara untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama. Bentuk-bentuk perkumpulan yang tidak didasarkan pada solidaritas (contoh: yang didasarkan pada ketidaksetaraan) akan menghancurkan individualitas yang tunduk kepadanya. Seperti yang ditunjukkan oleh Ret Marut, kebebasan memerlukan solidaritas,pengakuan mengenai kepentingan bersama:
“Cinta yang paling berharga, sejati dan murni dalam umat manusia adalah mencintai diri sendiri. Aku ingin bebas! Aku berharap untuk berbahagia! Aku ingin menapresiasikan semua keindahan dunia. Namun kebebasanku hanya diperoleh ketika melihat orang lain disekelilingku bebas. Aku hanya dapat berbahagia ketika semua orang disekelilingku berbahagia. Aku hanya akan bersuka ria ketika semua orang yang aku lihat dan temui di dunia matanya penuh dengan kegembiraan. Dan aku hanya dapat makan kenyang dengan kebahagiaan sesungguhnya ketika aku tahu pasti bahwa orang lain juga makan dengan kenyang seperti halnya diriku. Dan karena alasan itulah, menjadi sesuatu yang menyenangkan diriku, hanya bagi diriku sendiri, ketika aku memberontak melawan setiap bahaya yang mengancam kebebasan dan kebahagiaanku….”[Ret Marut (a.k.a. B. Traven), majalah The BrickBurner dikutip oleh Karl S. Guthke, B. Traven: The life behind the legends, hal 133-4]
Mempraktekan solidaritas berarti bahwa kita mengakui, seperti dalam slogan Industrial Workers of the World, bahwa “penderitaan bagi seseorang merupakan penderitaan bagi semua”. Solidaritas, oleh karena itu, merupakan sarana untuk melindungi individualitas dan kebebasan dan dengan demikian merupakan ekspresi kepentingan diri. Seperti yang ditunjukkan Alfie Kohn:
“Ketika kita berpikir mengenai kerjasama…kita cenderung untuk menghubungkan konsep dengan idealisme pemikiran yang kabur…hal ini mungkin merupakan hasil dari kebingungan antaar kerjasama dengan altruiesme…kerjasama struktural menentang dikotomi egoisme/altruisme biasa. Kerjasama struktural menyusunnya sedemikian rupa sehingga dengan menolong Anda, saya sekaligus juga menolong diri saya sendiri secara bersamaan. Kerjasama merupakan suatu strategi yang baik dan terbukti sering berhasil-sebuah pilihan pragmatis yang sering berhasil dalam pekerjaan dan sekolah, bahkan lebih efektif dari kompetisi… Ada juga bukti yang bagus bahwa kerja sama lebih kondusif bagi kesehatan psikologis dan kebahagiaan satu sama lain.” (No Contest: The Case Againts Competition, hal 7)
Dan, dalam sebuah masyarakat yang hierarkis, solidaritas penting bukan hanya karena kepuasan yang diberikan, namun juga karena diperlukan untuk melawan mereka yang berkuasa. Dengan berdiri bersama, kita dapat menambah kekuatan dan mendapatkan yang kita ingini. Akhirnya, dengan mengatur ke dalam kelompok, kita dapat mulai mengatur urusan kolektif bersama-sama dan dengan demikian menggantikan majikan. “Perkumpulan akan … menggandakan sarana individual sarana individual dan menjamin hak miliknya yang dirampas.” (Max Stirner, The Ego and Its Own, hal 258) Dengan bertindak dalam solidaritas, kita juga dapat menggantikan sistem yang ada dengan yang kita inginkan. Ada kekuatan di dalam “perkumpulan”.
Jadi, solidaritas adalah sarana bagi kita untuk mencapai dan menjamin kebebasan kita. Kita sepakat untuk bekerja sama sehingga kita tidak harus bekerja untuk orang lain. Dengan menyepakati kerjasama satu sama lain kita menambah pilihan-pilihan kita sehingga kita lebih menikmati. Saling membantu berada dalam kepentingan diriku – yaitu, saya melihat bahwa merupakan keuntungan mencapai kesepakatan dengan orang lain yang didasarkan pada kesetaraan sosial dan saling menghargai; karena jika saya mendominasi seseorang hal ini berarti bahwa kondisi yang ada mengijinkan dominasi, sehingga sangat mungkin pada akhirnya saya pun akan didominasi.
Seperti yang dilihat Max Stirner, solidaritas adalah sarana bagi kita untuk menjamin bahwa kebebasan memperkuat dan mempertahankan dari mereka yang berkuasa yang ingin mengatur kita: “Apakah dirimu tidak berharga di kemudian hari?” ia bertanya. “Apakah kamu terikat untuk membiarkan orang lain melakukan apapun yang ia inginkan padamu? Bertahanlah dan tak ada seorang pun yang akan menyentuhmu. Jika jutaan orang berada di belakangmu, mendukungmu, kemudian kamu merupakan sebuah kekuatan yang hebat dan kamu akan menang tanpa kesulitan.” (dikutip dalam The End of Anarchism? Karya Luigi Galleani, hal 79-terjemahan yang berbeda dalam The Ego and Its Own, hal 197)
Oleh karena itu solidaritas penting bagi kaum anarkis karenma merupakan sarana bagi terciptanya kebebasan dan bertahan terhadap kekuasaan. Solidaritas adalah kekuatan dan hasil sifat kita sebagai manusia. Namun demikian, solidaritas tidak boleh dikacaukan dengan “herdisme”, yang menunjukkan kepatuhan kepada pemimpin secara pasif. Agar efektif, solidaritas harus diciptakan oleh orang-orang yang bebas, yang bekerja bersama sebagai pihak yang setara. Ke-kita-an yang besar bukanlah sebuah solidaritas, walaupun keinginan akan “herdisme” merupakan hasil dari kebutuhan kita akan solidaritas dan perkumpulan. Dalam solidaritas yang disalahgunakan oleh masyarakat yang hierarkis, manusia dikondisikan untuk mematuhi pemimpin secara buta.
A.2.7 Mengapa kaum anarkis mengusulkan pembebasan diri?
Kebebasan sesuai dengan sifatnya tidak dapat diberikan. Seorang individu tidak dapat dibebaskan oleh orang lain, namun harus menghancurkan belenggu dengan usahanya sendiri. Tentu saja, usaha sendiri dapat juga menjadi bagian dari aksi kolektif, dan dalam banyak kasus harus dilakukandemi mencapai tujuan. Seperti kata Emma Goldman:
“Sejarah mengatakan bahwa setiap kelas yang tertindas (atau kelompok atau individu) meraih kebebasan sejati dari majikannya melalui usaha sendiri.”(Red Emma Speaks, hal.142)
Kaum anarkis memiliki pendapat bahwa orang hanya dapat membebaskan diri sendiri hanya dengan usaha yang mandiri. Bermacam-macam metode yang diusulkan oleh kaum anarkis untuk membantu prose ini akan dibicarakan dalam bagian J (“Apa yang dilakukan kaum anarkis?”) dan bukan disini. Namun semua metode ini melibatkan orang untuk mengatur dirinya menyusun agenda mereka sendiri dan bertindak dengan cara yang memperkuat mereka serta mengurangi ketergantungan kepada pemimpin untuk melakukannya bagi mereka. Anarkisme didasarkan pada orang “yang bertindak untuk dirinya” (menunjukkan apa yang disebut kaum anarkis “tindakan langsung”).
Tindakan langsung memiliki effek yang membebaskan dan memperkuat mereka yang terlibat di dalamnya. Aktifitas diri merupakan sarana untuk mengembangkan kreatifitas, inisiatif, imajinansi, dan pemikiran kritis orang-orang yang tunduk pada penguasa. Juga sarana untuk mengubah masyarakat. Seperti yang ditunjukkan oleh Errico Mallatesta “(d)i antara manusia dan lingkungan sosialnya terdapat tindakan rediprokal. Manusialah yang membentuk masyarakat dan masyarakat juga membentuk manusia seperti adanya, dan oleh karena itu hasilnya adalah lingkaran yang tak akan berakhir…. Untungnya masyarakat yang ada tidak diciptakan oleh kehendak yang diilhami oleh kelas yang mendominasi, yang telah berhasil mereduksi masyarakat menjadi pasif dan menjadi instrumen yang tak sadar….Masyarakat adalah hasil dari ribuan perjuangan, ribuan faktor alamiah dan manusia….”(Life and Ideas, hal 188)
Masyarakat, sementara membentuk semua individu, juga dibentuk oleh individu, melalui tindakan, pemikiran, dan cita-cita. Menentang lembaga yang membatasi kebebasan seseorang secara mental memerdekakan, karena menggerakkan proses mempertanyakan hubungan otoriter secara umum. Proses ini memberi kita wawasan bagaimana masyarakat bekerja, mengubah pemikiran kita dan mengembangkan cita-cita baru. Mengutip kembali kata-kata Emma Goldman : “Emansipasi sejati mulai … dalam jiwa perempuan.” Dan juga dalam jiwa pria dapat kita tambahkan. Hanya disinilah kita dapat “memulai regenerasi pribadi (kita), (melepaskan diri) dari pengaruh-pengaruh prasangka, tradisi dan kebiasaan.” (op.cit., hal 142 ) Namun proses ini harus ditujukan pada diri sendiri, karena seperti yang diucapkan oleh Max Stirner, “orang yang bebas tidak lain merupakan orang yang membebaskan… seekor anjing yang menyeret sepotong rantai bersamanya.”(Max Stirner, The Ego and its Own, hal. 168)
Dalam sebuah percakapan selama Revolusi Spanyol, seorang anarkis Spanyol yang militan, Durutti, berkata,”Kita telah memiliki sebuah dunia baru dalam hati kita.” Hanya aktivitas dan pembebasan diri yang yang membuat kita menciptakan pandangan semacam itu dalam hati kita dan memberi kepercayaan diri untuk mencoba mengaktuakisasikan dalam dunia nyata.
Namun kaum anarkis tidak berpikir bahwa pembebasan diri harus menunggu masa depan, setelah “revlolusi kejayaan”. Personal, merupakan sifat dari masyarakat, secara politis tindakannya di saat sekarang dan di tempat ini, akan mempengaruhi masa depan masyarakat dan kehidupan kita. Oleh karena itu, bahkan di dalam masyarakat pra-anarkis, kaum anarkis mencoba menciptakan, seperti yang dikatakan Bakunin, “bukan hanya cita-cita melainkan juga kenyataan masa depan itu sendiri. Kita dapat melakukannya dengan menciptakan hubungan dan pengaturan sosial alternatif, bertindak sebagai orang bebas dalam masyarakat yang tidak bebas. Hanya denagn tindakan kita di sini dan saat ini, dapat kita letakkan dasar bagi masyarakat yang bebas. Terlebih lagi, proses pembebasan ini berlangsung setiap saat:
“Adanya sub ordinasi semacam itu melatih kapasitas mereka untuk refleksi diri secara kritis setiap harinya-itulah mengapa para majikan terhalang, tertekan, dan kadang-kadang dijatuhkan. Namun tak akan ada refleksi kritis yang akan mengakhiri kepatuhan mereka dan membawa menuju kebebasan, kecuali jika para majikan digulingkan, atau kaum yang subordinat tersebut terlibat dalam aktivitas politik. (Carole Pateman, The Sexual Contract, hal. 205)
Kaum anarkis berusaha mendorong kecenderungan-kecenderungan ini dalam kehidupan sehari-hari untuk menolak, melawan dan menggulingkan kekuasaan serta membawanya pada kesimpulan logis—masyarakat yang terdiri dari individu bebas, kerjasama dalam kesetaraan yang merdeka, perkumpulan yang mengatur dirinya sendiri. Tanpa proses refleksi diri yang kritis, perlawanan dan pembebasan diri masyarakat yang bebas tidak mungkin terjadi. Jadi, bagi kaum anarkis, anarkisme datang dari perlawanan yang normal para orang tersub-ordinasi yang berusaha keras untuk bertindak sebagai individu bebas dalam dunia yang hierarkis. Banyak anarkis menyebut proses ini sebagai “perjuangan kelas” (seperti halnya kelas pekerja yang secara umum merupakan kelas yang paling tersub-ordinasi dalam masyarakat) atau, lebih umum lagi. “perjuangan sosial”. Hal ini merupakan perlawanan sehari-hari kepada penguasa (dalam semua bentuknya) dan kerinduan akan kebebasan yang merupakan kunci bagi revolusi anarkis. Karena alasan inilah maka ”kaum anarkis menekankan berulangkali bahwa perjuangan kelas menyediakan satu-satunya sarana bagi para pekerja (dan kelompok tertindas lainnya) untuk mendapatkan kendali atas nasib mereka sendiri.” (Marie-Louise Berneri, Neither East nor West, hal. 32)
Revolusi adalah sebuah proses, bukan peristiwa, dan setiap “aksi revolusioner yang spontan” biasanya merupakan akibat dan berdasarkan kerja yang sabar selama bertahun-tahun oleh orang-orang dengan pemikiran yang “utopis” untuk mengorganisir dan mendidik. Proses “penciptaan dunia baru dalam dalam sebuah kerangka tua” (untuk menggunakan ekspresi I.W.W yang lain), dengan membangun institusi dan hubungan alternatif, hanyalah sebuah komponen yang harus menjadi tradisi tetap militansi dan komitmen revolusioner.
Deperit yang dijelaskan Malatesta, “untuk mendorong semua jenis organisasi rakyat apapun merupakan konsekuensi logis dari pemikiran dasar kita, dan oleh karenanya menjadi sebuah bagian yang integral dari rencana kita … kaum anarkis tidak ingin mengikutsertakan orang; kami ingin mereka mengikutsertakan diri mereka sendiri…, kami ingin cara hidup yang baru bangkit dari tubuh rakyat dan berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan mereka. (op.cit., hal. 90)
Tanpa terjadinya proses emansipasi diri, masyarakat yang bebas adlah sesuatu hal tak mungkin. Hanya ketika individu memerdekakan dirinya sendiri, baik secara material (dengan menghapuskan negara dan kapitalisme) maupun secara intelektual (dengan membebaskan diri dari sikap patuh di hadapan penguasa), sebuah mayarakat yang bebas mungkin terjadi. Kita tak boleh lupa bahwa kapitalis dan kekuasaan negara, dalam cakupan yang luas, merupakan kekuasaan terhadap pikiran mereka yang tunduk kepadanya ( disokong dengan kekuatan besar jika dominasi mental gagal dan rakyat mulai memberontak serta melawan). Akibatnya, kekuasaan spiritual sebagai gagasan dari kelas berkuasa mendominasi masyarakat dan meresap ke dalam pikiran kaum tertindas. Selama ini berlangsung, kelas pekerja akan terus menyetujui dalam diam terhadap penguasa, penindas dan eksploitasi sebagai keadaan hidup yang normal. Kepatuhan pikiran terhadap doktrin dan dan posisi majikan mereka tak dapat berharap untuk memenangkan kebebasan, revolusi dan pertempuran. Jadi kaum tertindas harus mengatasi dominasi mental dari sistem yang ada sebelum mereka dapat meruntuhkan penindasan (dan kaum anarkis berpendapat, aksi langsung merupakan sarana untuk mengerjakan kedua hal tersebut — lihat bagian J.2 dan J.4). Kapitalisme dan negara harus dihancurkan secara spiritual dfan teoretis sebelum dihancurkan secara material (banyak anarkis yang menyebut pembebasan mental ini “kesadaran kelas” — lihat bagian B.7.3). Dan pembebasan diri melalui perjuangan melawan penindasan adalah satu-satunya cara untuk melakukannya. Jadi kaum anarkis mendorong (menggunakan kata-kata Kropotkin) “semangat revolusi”.
Pembebasan diri merupakan hasil dari perjuangan, pengaturan diri, solidaritas dan aksi langsung. Aksi langsung adalah sarana menciptakan anarkis, orang-orang yang bebas, dan sehingga “kaum anarkis selalu menyarankan untuk mengambil peran aktif dalam organisasi pekerja yang meneruskan perjuangan langsung para buruh melawan kapital dan pelindungnya,- negara.” Karena “perjuangan seperti itu … lebih baik dari sarana tak langsung, membuat pekerja mencapai beberapa perbaikan sementara dalam kondisi kerja sekarang ini, sementara hal tersebut membuka mata mereka terhadap kejahatan yang dilakukan kapitalisme dan negara sebagai pendukungnya, serta membangkitkan pemikiran mereka akan kemungkinan pengaturan konsumsi, produksi dan pertukaran tanpa intervensi kapitalis dan negara,” yaitu, melihat akan kemungkinan terciptanya masyarakat yang bebas. Kropotkin, seperti halnya anarkis lainnya menujukkan Syndicalis dan gerakan serikat dagang sebagai alat untuk mengembangkan pemikiran liberal dalam masyarakat yang ada (meski ia, seperti kebanyakan anarkis, tidak membatasi aktivitas anarkis secara eksklusif pada hal itu saja). Tentu saja gerakan apapun yang “membuat pekerja pria (wanita) menyadari solidaritas dan memahami kepentingan komunitasnya … menyiapkan jalan bagi konsepsi-konsepsi” mengenai anarkisme- komunis ini, contoh: mengatasi dominasi spiritual masyarakat yang ada dalam pikiran kaum tertindas. (Evolution and Enviroment, hal. 83 dan 85)
Bagi kaum anarkis, dalam kata-kata seorang anarkis Skotlandia yang militan, “sejarah kemajuan umat manusia terlihat sebagai sejarah pemberontakan dan ketidakpatuhan, dengan individu yang direndahkan derajatnya oleh kepatuhan terhadap penguasa dalam berbagai bentuknya dan mampu mempertahankan harga dirinya melalui pemberontakan dan ketidakpatuhan.” (Robert Lynn, Not a Life Story, Just a Leaf From It, hal. 77) Inilah mengapa kaum anarkis menekankan pembebasan diri (dan organisasi serta manajemen diri berikut aktivitas diri) Tak mengherankan Bakunin menganggap “pemberontakan” sebagai salah satu dari “tiga prinsip fundamental (yang ) merupakan kondisi esensial semua perkembangan manusia, kolektif maupun individual, dalam sejarah.” (God and The State, hal. 12) Hal ini sederhana karena individu dan kelompok tak dapat dibebaskan oleh pihak lain. hanya oleh mereka sendiri. Pemberontakan seperit itu (pembebasan diri) adalah satu-satunya cara yang dapat digunakan oleh masyarakat yang ada untuk menjadi lebih liberal dan masyarakat anarkis adalah sesuatu yang mungkin terjadi.
A.2.8 Mungkinkah menjadi seorang anarkis tanpa melawan hierarki?
Tidak, Telah kita lihat bahwa kaum anarkis membenci otoritarianisme, Namun jika seseorang adalah anti otoritarian, ia harus melawan semua institusi hierarki, karena institusi tersebut mewujudkan kekuasaan. Argumen untuk hal ini (jika seseorang membutuhkan orang lain) tertulis di bawah ini:
Suatu hierarki adalah organisasi yang terstruktur secara hierarkis, tersusun atas serangkaian tingkat, golongan, atau jabatan yang meningkatkan kekuasaan, gengsi, dan (biasanya) pembayaran gaji. Ilmuwan yang telah meneliti bentuk hierarki telah menemukan bahwa dua prinsip utama yang mewujudkannya adalah dominasi dan eksploitasi. Contohnya, dalam artikel “What do Bosses Do?” (Review of Radical Political Economics, 6,7), sebuah penelitian mengenai pabrik modern, telah menemukan bahwa fungsi utama hierarki korporat bukanlah sebuah efisiensi produktif yang lebih besar (seperti yang dinyatakan para kapitalis), melainkan kontrol yang lebih besar terhadap pekerja, tujuan kontrol seperti itu menjadi eksploitasi yang lebih efektif.
Kontrol dalam hierarki dipertahankan oleh pemaksaan, yaitu, oleh ancaman sanksi negatif satu jenis atau lainnya: fisik, ekonomi, psikologi, sosial, dan lain-lain. Kontrol macam itu, meliputi represi terhadap perbedaan dan pemberontakan, oleh karena itu membutuhkan sentralisasi: seperangkat hubungan kekuasaan. Di dalam hubungan kekuasaan tersebut, kontrol terbesar dipegang oleh sedikit orang yang berada di puncaknya (khususnya pemimpin kekuasaan), sementara orang-orang yang berada di tingkat menengah memiliki kekuasaan lebih sedikit dan yang berada di bawah tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
Karena dominasi, penindasan dan sentralisasi merupakan ciri esensial dari otoritarianisme, dan karena ciri-ciri tersebut terwujud dalam hierarki, semua institusi hierarki adalah otoriter. Lagipula, bagi kaum anarkis, organisasi apapun yang ditandai dengan hierarki, sentralisme dan otoritarianisme bersifat seperti negara, atau
“statist.” Dan karena kaum anarkis melawan baik negara maupun hubungan otoriter, siapapun yang tidak berusaha untuk membongkar semua bentuk hierarki tidak bisa disebut anarkis. Hal ini berlaku untuk perusahaan-perusahaan kapitalis. Seperti yangn ditunjukkan Noam Chomsky, struktur perusahaan kapitalis sangat hierarkis,benar-benar fasis, dalam bentuk:
“Sistem yang fasis… (merupakan) kekuasaan absolut dari atas ke bawah… negara yang ideal memiliki kendali dari atas ke bawah dengan rakyat yang mematuhi perintah secara esensial.
“Kita lihat sebuah korporasi…(jika) anda melihat, kekuasaan datang dengan keras dari atas ke bawah, dari meja direktur ke manajer, lalu ke manajer lebih rendah, dan akhirnya kepada orang-orang di lantai bawah, pengetik pesan dan lain-lain. Tidak ada arus kekuasaan atau perencanaan dari bawah ke atas. Orang dapat mengacaukan dan memberi pendapat, hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat budak. Struktur kekuasan bersifat linear dari atas ke bawah.” (Keeping the Rabble in Line, hal. 237)
David Deleon menunjukkan persamaan antara perusahaan dengan negara ketika ia menuliskan:
“Sebagian besar perusahaan menyerupai kediktatoran militer. Mereka yang berada di bawah adalah prajurit, supervisor adalah sersan, dan pada tingkat atas melalui hierarki, organisasi dapat memerintah segalanya dari pakaian kita dan gaya rambut, sampai pada bagaimana kita menghabiskan sejumlah besar waktu dalam hidup kita, selama bekerja. Organisasi tersebut dapat memaksa sampai di luar waktu kerja; mensyaratkan kita ke dokter perusahaan jika memiliki masalah medis; melarang kita menggunakan waktu bebas untuk terlibat dalam politik; dapat menekan kebebasan berbicara, pers dan berkumpul – menggunakan kartu identitas dan polisi keamanan bersenjata dengan TV yang memiliki sirkuit tetutup untuk mengawasi kita; menghukum pelanggar dengan “penghentian disipliner”(seperti yang disebut GM), atau dapat memecat kita. Kita dipaksa, oleh keadaan, untuk menerima ini, atau bergabung dengan jutaan penganggur…Di hampir setiap pekerjaan, kita hanya memiliki “hak” untuk berhenti. Kaputusan utama dibuat di puncak dan kita diharapkan mematuhinya, baik kita bekerja di menaar gading maupun terowongan pertambangan.” [“For Democracy Where We Work: A rationale for social self-management”, Riventing Anarchy, Again, Howard J. Ehrlich (ed.), hal. 193-4]
Jadi anarkis yang konsisten harus melawan hierarki dalam semua bentuknya, termasuk perusahaan kapitalis. Tidak melakukan hal ini berarti mendukung archy – yang tidak bisa dilakukan kaum anarkis, seperti definisinya. Dengan kata lain, bagi kaum anarkis, “(j)anji untuk mematuhi, kontrak (upah) perbudakan, kesepakatan memberikan penerimaan atas status sub-ordinat, semuanya tidak sah, karena mereka membatasi dan mengekang otonomi individu.” [Robert Graham, “The Anarchist Contract, Reiventing Anarchy, Again, Howard J. Ehrlich (ed), hal 77]
Beberapa orang berpendapat bahwa selama sebuah perkumpulan bersifat sukarela, apakah ia memiliki struktur yang hierarkis ataupun tidak adalah tidak relevan. Kaum anarkis tidak menyetujui pendapat tersebut karena dua alasan. Pertama, di bawah kapitalisme pekerja dikendalikan oleh kebutuhan ekonomi untuk menjual tenaga mereka (sekaligus kebebasan) bagi mereka yang memiliki sarana hidup. Proses ini menyelenggarakan kembali kondisi yang dihadapi pekerja dengan menciptakan “perbedaan masif dalam kesejahteraan…(karena) pekerja…menjual tenaga mereka pada kaum kapitalis pada harga yang tidak merefleksikan nilai sesungguhnya.”(Robert Graham, Op. Cit., hal 70) Oleh karena itu:
“Untuk menggambarkan orang-orang yang membuat kontrak dengan pekerja, sebagai contoh, sebagai pihak yang setara dan merdeka satu sama lain adalah mengabaikan ketidaksetaraan yang serius dalam posisi tawar yang ada di antara pekerja dan yang mempekerjakannya. Kemudian untuk menggambarkan hubungan subordinasi dan eksplotasi secara wajar sebagai akibat dari simbol kebebasan merupakan ejekan bagi kebebasan individu dan keadilan sosial.” (ibid.)
Karena alasan inilah, kaum anarkis mendukung aksi dan organisasi kolektif: menambah posisi tawar pekerja dan membuat mereka untuk menuntut otonomu mereka (lihat bagian J)
Kedua, jika kita mengambil elemen kunci baik sebagai perkumpulan sukarela maupun bukan, kita harus berpendapat bahwa sistem negara saat ini harus dianggap sebagai “anarki” – tak ada seseorang yang memaksa individu untuk hidup dalam negara tertentu. Kita bebas tinggal dan pergi ke mana saja. Dengan mengabaikan sifat hierarkis perkumpulan, anda dapat mengkahiri dukungan terhadap organisasi yang didasarkan pada organisasi yang didasarkan pada pengingkaran kebebasan (termasuk perusahaan kapitalis, angkatan bersenjata, negara) karena mereka semua bersifat “sukarela”. Seperti pendapat Bob Black,
“(m)enunjukkan kejahatan otoritarianisme negara, sementara di saat yang sama ia mengabaikan tatanan kepatuhan terhadap kontrak yang disakralkan dalam korporasi skala besar yang mengendalikan ekonomi dunia –hal tersebut sebenarnya identik dengan otoritarianisme negara, merupakan fetishisme yang paling buruk.” (Libertarian as Conservative) Anarki lebih dari sekedar bebas untuk memilih seorang majikan.
Oleh karena itu melawan hierarki adalah posisi kunci anarkis, jika tidak anda hanyalah seorang “anarrkis sukarela” yang sulit menjadi anarkistis. Untuk lebih jelas, lihat bagian A.2.14 (Mengapa kesukarelaan saja tidak cukup?)
Kaum anarkis berpendapat bahwa organisasi tidak perlu hierarkis, mereka dapat didasarkan pada kerjasama antara pihak yang setara untuk mengatur masalah mereka sendiri secara langsung. Dalam cara ini kita dapat melakukannya tanpa struktur hierarkis (contoh: penyerahan kekuasaan di tangan beberapa orang). Hanya ketika sebuah perkumpulan dikelola sendiri oleh para anggotanya maka perkumpulan tersebut baru dapat dianggap benar-benar anarkistis.
Kami minta maaf mengulang poin ini berkali-kali, namun beberapa pembela kapitalis, tampaknya ingin mengambil nama “anarkis” karena hubungannya dengan kebebasan, baru-baru ini telah membuat penyataan bahwa seseorang daapt menjadi seorang kapitalis maupun anarkis pada saat yang bersamaan (seperti yang disebut dengan kapitalisme “anarko”). Sekarang telah menjadi jelas bahwa karena kapitalisme didasarkan pada hierarki (untuk tidak menyebut negara dan eksploitasi), “kapitalisme anarko merupakan sebuah kata yang penuh kotradiksi. (Untuk lebih jelas, lihat bagian F)
A.2.9 Masyarakat macam apa yang diinginkan kaum anarkis?
Kaum anarkis mengingkan masyarakat yang terdesentralisasi, dan didasarkan pada perkumpulan yang bebas. Kami menganggap bentuk masyarakat ini yang terbaik untuk memaksimalkan nilai-nilai yang telah kami kemukakan di atas – kebebasan, kesetaraan dan solidaritas. Hanya dengan suatu desentralisasi kekuasaan yang rasional, baik secara struktural maupun teritorial, individu bebas dapat dicaapi dan dibantu perkembangannya. Penyerahan kekuasaan ke tangan minoritas merupakan pengingkaran yang nyata terhadap kebebasan dan derajat individu. Daripada mengambil pengelolaan urusan orang-orang dari tangan mereka sendiri dan menyerahkannya ke tangan beberapa orang, kaum anarkis lebih menyukai organisasi yang meminimalkan kekuasaan, menjaga kekuasaan pada dasarnya, di tangan mereka yang dipengaruhi oleh keputusan apapun yang diambil.
Perkumpulan bebas adalah batu landasan masyarakat yang anarkis. Individual harus bebas untuk bergabung bersama karena mengetahui kelayakannya, karena hal ini merupakan dasar kebebasan dan derajat manusia. Namun, kesepakatan bebas semacam itu harus didasarkan pada desentralisasi kekuasaan, jika tidak akan menjadi sebuah kepura-puraan (seperti di dalam kapitalisme), karena hanya kesetaraan yang memberikan konteks sosial yang diperlukan bagi kebebasan untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu kaum anarkis mendukung secara langsung kumpulan-kumpulan yang demokratis, didasarkan pada “satu orang satu suara” (karena rasionalitas demokrasi langsung sebagai rekan politis kesepakatan bebas, lihat bagian A.2.11- Mengapa sebagian besar kaum anarkis mendukung demokrasi?)
Harus kita tunjukkan di sini bahwa masyarakat anarkis tidak menunjukkan secara nyata beberapa jenis negara harmonis idilis yang disetujui orang-orang. Jauh dari itu! Seperti yang ditunjukkan Luigi Galleani, “(k)etidaksepakatan dan friksi akan selalu ada. Pada kenyataannya mereka merupakan sebuah kondisi esensial dari kemajuan yang tak terbatas. Namun, setelah area berdarah dari kompetisi hewan yang tajam—perjuangan untuk makan –telah dikurangi, masalah ketidaksepakatan dapat dipecahkan tanpa ancaman apapun bagi tatanan sosial dan kebebasan individu.”(The End of Anarchism?, hal 28)
Oleh karena itu sebuah masyarakat anarkis akan didasarkan pada konflik kooperatif karena “(k)onflik, pada hakekatnya, tidak merugikan… ketidaksepakatan ada (dan tidak boleh disembunyikan)… Yang membuat ketidaksepakatan menjadi destruktif bukanlah kenyataan dari konflik itu sendiri melainkan pertambahan kompetisi.” (Alfie Kohn, No Contest: The Case Againts Competition, hal 156) Tentu saja, “tuntutan yang keras terhadap kesepakatan memiliki arti bahwa setiap orang akan secara efektif dicegah dari penyumbangan kebijaksanaan mereka bagi usaha kelompok.” (ibid) Untuk alasan inilah sebagian besar kaum anarkis menolak pembuatan keputusan secara konsensus dalam kelompok yang besar (lihat bagian A.2.12)
Jadi dalam masyarakat anarkis, kelompok akan dijalankan oleh kumpulan massa yang terlibat, didasarkan pada diskusi yang ekstentif, debat dan konflik kooperatif diantara pihak yang setara, dengan tugas-tugas administratif yang ditangani oleh komite yang dipilih. Komite ini terdiri dari orang-orang yang mendapat mandat. Orang-orang ini dapat diganti dan bersifat sementara. Mereka menjalankan tugas di bawah pengawasan masyarakat. Jika delegasi tersebut bertindak melawan mandat atau mencoba memperluas pengaruh mereka, maupun bekerja diluar apa yang telah diputuskan oleh masyarakat (contoh: jika mereka mulai membuat putusan kebijakan), mereka dapat segera direcall dan keputusan mereka dihapuskan. Dengan cara ini, pengaturan tetap berada di tangan kesatuan individu yang menciptakannya.
Pengelolaan organisasi secara mendasar oleh anggota kelompok dan kekuasaan untuk merecall merupakan prinsip esensial organisasi anarkis apapun. Perbedaan kunci antara sistem negara atau hierarkis dengan komunitas anarkis adalah pada pemegang kekuasaannya. Dalam sistem parlementer, sebagai contoh, rakyat menyerahkan kekuasaan kepada sebuah kelompok perwakilan untuk membuat keputusan bagi mereka selama periode yang ditetapkan. Apakah mereka melaksanakan janji mereka ataupun tidak adalah tidal relevan, karena rakyat tidak dapat merecall mereka hingga pemilihan berikutnya. Kekuasaan terletak di atas dan mereka yang ada di bawah diharapkan untuk patuh. Hal yang sama terjadi di tempat kerja yang kapitalis. Kekuasaan dipegang oleh minoritas bos dan manajer yang berada di atas tanpa dipilih, dan pekerja diharapkan untuk mematuhinya.
Dalam sebuah masyarakat anarkis hubungan tersebut dibalik. Tidak ada individu ataupun kelompok (terpilih atau tidak) yang memegang kekuasaan dalam komunitas anarkis. Keputusan benar-benar di buat dengan menggunakan prinsip demokrasi langsung dan, jika diperlukan, komunitas dapat memilih atau menunjuk delegasi untuk menjalankan keputusan ini. Terdapat perbedaan jelas (terletak pada orang yang dipengaruhi) dan koordinasi serta administrasi dari kebijakan apapun yang diadopsi. (yang menjadi tugas delegasi)
Komunitas egaliter ini dibangun oleh kesepakatan bebas, juga dengan bebas berkumpul bersama dalam konfederasi. Konfederasi bebas macam itu akan dijalankan dari bawah ke atas, dengan keputusan yang berasal dari elemen masyarakat ke atas. Konfederasi akan dijalankan dengan tata cara yang sama seperti perkumpulan. Akan terdapat konferensi tingkat lokal regional, “nasional”, dan internasional yang membicarakan semua masalah dan isu penting yang mempengaruhi perkumpilan yang terlibat. Tambahan lagi, yang mendasar, prinsip-prinsip pedoman dan pemikiran mengenai masyarakat akan diperdebatkan, kemudian diambil keputusan, diterapkan, ditinjau dan dikoordinasi.
Komite aksi akan dibentuk, jika diperlukan, untuk mengkoordinasi dan menjalankan keputusan masyarakat dan kongres mereka, di bawah kontrol yang ketat dari masyarakat seperti yang telah dibicarakan di atas. Delegasi memiliki jabatan terbatas dan mandat yang ditentukan—mereka tidak dapat membuat keputusan atas nama rakyat yang mendelegasikan mereka.
Yang paling penting, masyarakat komunitas ini dapat membatalkan keputusan apapun yang dicapai oleh konferensi dan mengundurkan diri dari konfederasi. Kompromi apapun yang dibuat seorang delegasi selama negoisasi harus kembali ke masyarakat umum untuk melakukan ratifikasi. Tanpa ratifikasi itu, kompromi yang dibuat oleh seorang delegasi tidak mengikat komunitas yang telah mendelegasikan tugas tertentu kepadanya atau komite. Tambahan lagi, mereka dapat mengadakan konferensi konfederal untuk membicarakan perkembangan baru dan menginformasikan kepada komite aksi mengenai keinginan perubahan dan menginstruksikan mereka apa yang harus dilakukan mengenai pemikiran dan perkembangan tersebut.
Jaringan komunitas anarkis akan bekerja pada tiga tingkat. Terdapat “komune-komune independen untuk organisasi teritorial, dan federasi serikat perdagangan (contoh: pekumpulan tempat kerja) bagi organisasi pria (dan wanita) sesuai dengan fungsi-fungsi yang berbeda…(dan) masyarakat dan campuran yang bebas…untuk kepuasan semua kebutuhan yang mungkin dan ada, ekonomi, sanitasi, dan pendidikan; untuk proteksi bersama, untuk propaganda gagasan, seni, hiburan, dan lain-lain.” (Peter Kropotkin, Evolution and Environment, Hal. 79) Semua itu didasarkan pada pengelolaan yang mandiri, perkumpulan dan federasi bebas, serta pengaturan yang mandiri dari bawah ke atas.
Dengan mengatur tingkah laku ini, hierarki dihapuskan dalam semua aspek kehidupan, karena orang yang berada di bawah lah yang mengontrol, bukan perwakilan mereka. Hanya bentuk organisasi macam ini yang dapat menggantikan pemerintah (inisiatif dan kekuasaan yang dimiliki oleh sedikit orang) dengan sistem anarki (Isiatif dan kekuasaan di tangan semua orang). Bentuk organisasi ini hadir dalam segala aktivitas yang membutuhkan kerja kelompok dan koordinasi banyak orang. Seperti yang dikatakan Bakunin, hal itu akan menjadi alat “untuk mengintegrasikan individu ke dalam struktur yang dapat mereka pahami dan kendalikan.” Untuk inisiatif-inisiatif individu, akan dikelola oleh yang bersangkutan.
Seperti yang dapat dilihat kaum anarkis ingin menciptakan masyarakat yang didasarkan pada struktur yang memastikan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang dapat memperluas kekuasaannya terhadap yang lain. Kesepakatan bebas, konfederasi dan kekuasaan merecall, mandat yang ditetapkan dan masa jabatan tertentu, merupakan mekanisme untuk memindahkan kekuasaan dari tangan pemerintah dan meletakkannya ke tangan orang-orang yang secara langsung terkait dengan suatu kebijakan. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai seperti apa masyrakat anarkis: lihat bagian L
A.2.10 Apa arti penghapusan hierarkis dan apa yang akan diraih melaluinya?
Penciptaan masyarakat baru yang didasarkan pada pengaturan liberal akan memiliki sebuah efek yang tak terhitung dalam kehidupan sehari-hari. Kekuasaan juataan orang akan mengubah masyarakat dalam cara yang hanya bisa kita perkirakan saat ini. Namun demikian banyak orang menganggap bentuk-bentuk pengaturan ini sebagai sesuatu yang mustahil dan memiliki kemungkinan besar untuk gagal.
Terhadap mereka yang mengatakan bahwa konfederal dan pengaturan seperti itu akan menghasilkan kekacauan dan kebingungan, kaum anarkis mempertahankan pendapat bahwa bentuk pengaturan yang hierarkis, tersentralisasi dan berbentuk negara, akan menghasilkan akan lebih menghasilkan pengabaian daripada keterlibatan, ketidakpedulian daripada solidaritas, kesegaraman daripada kesatuan, dan hak- hak istimewa bagi kaum elit daripada kesetaraan. Lebih penting lagi, pengaturan semacam itu merusak inisiatif individu serta menghancurkan tindakan bebas dan pemikiran kritis. (untuk keterangan lebih lanjut mengenai hierarki lihat bagian B.1—“Mengapa kaum anarki melawan otoritas dan hierarki?”—dan bagian-bagian lain yang terkait)
Gerakan anarkis Spanyol menunjukkan bahwa pengaturan secara liberal dapat berlangsung dan didasarkan pada ( juga meningkatkan) kebebasan. Fenner Borckway, sekretaris Partai Buruh Independen Inggris ketika mengunjungi Barcelona selama revolusi 1936, mencatat bahwa “solidaritas besar yang ada diantara kaum anarkis dilakukan oleh masing-masing individu dngan menyandarkan pada kekuatan sendiri dan tiodak bergantung pada kepemimpinan…. Untuk berhasil, pengaturan harus dikombinasikan dengan pikiran bebas orang-orang; bukan massa melainkan individu-individu bebas” (dikutip oleh Rudolf Rocker, Anarcho—Syndicalism, hal 58)
Seperti yang telah ditunjukkan, struktur hierarkis dan tersentralisasi membatasi kebebasan. Seperti yang dikatakan Proudhon: “Sistem sentralis sangat baik bila menyangkut ukuran, konstruksi dan kemudahan; namun ada kekurangannya—dalam sisitem seperti ituindividu tidak lagi memiliki dirinya sendiri, tidak dapat merasakan nilai-nilai dirinya, kehidupan, dan tak ada nilai yang dimilikinya.” (dikutip dalam Paths in Utopia, Martin Buber, hal 33)
Akibat dari hierarki dapat dilihat di sekeliling kita. Hierarki tidak berhasil. Hierarki ada di mana-mana; tempat kerja, rumah, jalan. Seperti pendapat Bob Black, “Jika kamu menghabiskan sebagian besar waktumu dengan mematuhi perintah dan menjilat, terbiasa dengan hierarki, kamu akan bersikap pasif agresif, sado-masokistis, bersikap seperti budak dan terbius, anda akan terbebani dalam setiap aspek kehidupan anda.” (The Libertarian as Conservative)
Artinya, akhir hierarki merupakan transformasi masif dalam kehidupan sehari-hari, melibatkan penciptaan pengaturan yang berpusat pada individu, dan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Di dalamnya, semua individu dapat mempergunakan, dan juga mengembangkan, kemampuan mereka sampai ke tingkat puncak. Dengan melibatkan diri sendiri dan berpartisipasi dalam setiap keputusan yang berkenaan dengan diri, tempat kerja, komunitas dan masyarakat, mereka sdapat memastikan perkembangan yang total dari kapasitas individual mereka.
Hanya pembebasan diri sendiri dan kesepakatan bebas pada setiap tingkat yang daapt mengembangkan tanggung jawab, inisiatif, kecerdasan dan solidaritas individu dan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Hanya pengaturan anarkis yang membuat banyak bakat yang ada dalam kemanusiaan untuk dapat digunakan dan diakses, serta memperkaya masyarakat dengan proses memperkaya dan mengembangkan individu itu sendiri. Hanya melalui keterlibatan individu dalam proses berpikir, merencanakan, koordinasi dan pengimplementasian keputusan yang menyangkut mereka, kebebasan dapat tumbuh subur dan individualitas dapat berkembang secara total dan juga terlindungi. Anarki akan melepaskan kreativitas dan bakat massa rakyat yang diperbuadak oleh hierarki.
Anarki juga akan menjadi keuntungan bagi mereka yaang mengatakan untung dari kapitalisme dan hubungan kekuasaannya. Kaum anarkis “mempertahankan pendapat bahwa baik penguasa maupun yang dikuasai terganggu oleh kekuasaan; baik orang mengeksploitasi maupun yang dieksploitasi dirusak oleh eksploitasi.” (Peter Kropotkin, Act for Yourselves, hal 83) Hal ini terjadi karene “(d)alam hubungan hierarkis apapun orang yang mendominasi sama seperti orang yang ditekan untuk membayar hutangnya. Harga yang dibayar untuk ‘kejayaan perintah’ benar-benar berat. Setiap tiran membenci tugasnya. Ia dipaksa menarik beban berat potensi kreatif yang tertidur dari kaum tertindas disepanjang jalan yang menyimpang dari hierarkis.” (For Ourselves, The Right to Be Greedy)
A.2.11 Mengapa sebagian besar kaum anarkis mendukung demokrasi langsung?
Bagi sebagian besar kaum anarkis, pemungutan suara untuk memutusan kebijakan pada demokrasi langsung dalam perkumpulan bebas adalah secara politis sejalan dengan kesepakatan bebas. Alasannya, bahwa “banyak bentuk dominasi dapat dilaksanakan dalam tingkah laku yang berdasarkan perjanjian, non-koersif dan bebas…dan adalah naif…berfikir bahwa oposisi belaka terhadap kontrol politis akan membawa dengan sendirinya menuju akhir penindasan.” (John P. Clark, Marx Stirner’s Egoism, hal. 93)
Jelas bahwa individu harus bekerja sama untuk menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Jadi, “(d)engan bergabung bersama manusia lainnya…(individu memiliki tiga pilihan) ia harus tunduk pada kehendak lainnya (diperbudak) atau dipatuhi lainnya (berkuasa) atau tinggal bersama dalam kesepakatan persaudaraan demi kepentingan bersama (berkumpul). Tak ada seorangpun yang dapat lari dari kebutuhannya.” (Errico Malatesta, The Anarchist Revolution, hal. 85)
Kaum anarkis jelas memilih yang terakhir, perkumpulan, sebagai satu-satunya cara bagi individu untuk dapat bekerja sama sebagai manusia yang setara dan bebas, menghargai keunikan dan kebebasan satu sama lain. Hanya di dalam demokrasi langsung individu dapat mengekspresikan diri, melatih berpikir kritis, dan memimpin diri sendiri, sehingga mengembangkan intelektualitas dan kapasitas etis mereka secara total. Dalam term menambah kebebasan individu dan kemampuan intelektual, etis serta sosial mereka, jauh lebih baik seringkali berada di kalangan minoritas daripada tunduk pada kehendak majikan setiap saat. Jadi apa teori di balik demokrasi langsung kaum anarkis?
Setelah seorang individu bergabung dengan komunitas atau suatu tempat kerja, ia menjadi seorang “warga negara” (bagi yang menginginkan kata yang lebih baik) perkumpulan tersebut. Perkumpulan yang diatur oleh suatu dewan dari semua anggota (dalam kasus tempat kerja yang besar dan kota, hal ini menjadi sub kelompok yang fungsional seperti sebuah kantor atau lingkungan tertentu). Dalam dewan ini, bersama-sama dengan yang lain, muatan kewajiban politisnya didefinisikan. Bertindak di dalam perkumpulan, orang harus mengnguankan penilaian dan pilihannya yang kritis, contoh: mengelola aktivitasnya sendiri. Artinya bahwa kewajiban politis tidak diberikan pada entitas terpisah di luar kelompok atau masyarakat, seperti negara atau perusahaan, namun pada warga negara.
Meski dewan rakyat secara kolektif membuat peraturan yang mengatur perkumpulan, dan anggota perkumpulan terikat di dalamnya sebagai individu, poerkumpulan juga superior terhadap dewan rakyat dalam artian bahwa peraturan-peraturan ini dapat selalu dimodifikasi atau dicabut. Secara kolektif, “warga negara” yang berkumpul merupakan suatu otoritas politis, namun karena otoritas ini didasarkan pada hubungan horisontal di antara mereka daripada hubungan vertikal antara mereka dengan seorang elit, “kekuasaan” yang ada bersifat non hierarkis (“rasional” atau “natural,” lihat bagian B.1- “Mengapa kaum anarkis melawan kekuasaan dan hierarki?” untuk mengetahui dengan lebih jelas). Jadi Proudhon:
“Dalam masalah hukum, kita akan membuat kontrak (contoh: kesepakatan bebas).- Tak ada lagi hukum yang ditentukan oleh mayoritas atau bahkan dengan suara bulat sekalipun; masing-masing warga negara, kota, serikat industri, membuat sendiri hukumnya.” (The General Idea of the Revolution, hal. 245-6)
Masyarakat semacam itu akan didasarkan pada demokrasi industrial, dan di dalam serikat pekerja “semua posisi bersifat fakultatif, dan sesuai hukum tunduk dengan persetujuan anggota.” (op.cit.,hal. 222) Pengelolaan mandiri akan menjadi prinsip pedoman, daripada kapitalis atau hierarki negara, bagi perkumpulan yang terbentuk dengan bebas, untuk menyusun masyarakat bebas.
Tentu saja muncul argumentasi bahwa jika anda adalah seorang minoritas, anda diperintah oleh lainnya [“Democratic rule is still rule” (L. Susan Brown, The Politics of Individualism, hal. 53)]. Sekarang , konsep demokrasi langsung seperti yang telah kita gambarkan tidak perlu terikat oleh konsep peraturan mayoritas. Jika seseorang menemukan dirinya sendiri dalam posisi minoritas pada pemungutan suara tertentu, ia akan dihadapkan pada pilihan menyetujui atau menolak mengakuinya sebagai ikatan. Mengingkari kesempatan minoritas untuk menggunakan penilaian dan pilihannya adalah menyalahi otonomi dan membebankan kewajiban yang tidak diterimanya dengan bebas. Pembebanan kehendak mayoritas secara koersif berlawanan dengan cita-cita dari kewajiban yang dibebankan oleh diri sendiri, jadi, berlawanan dengan demokrasi langsung dan pekumpulan bebas. Oleh karena itu, jauh dari pengingkaran kebebasan, demokrasi langsung dalam konteks perkumpulan bebas dan kewajiban yang dibebankan oleh dirinya sendiri adalah satu-satunya cara untuk memelihara kebebasan. Tak perlu dikatakan, minoritas, jika masih dalam perkumpulan tersebut, dapat mengajukan kasusnya dan mencoba meyakinkan mayoritas mengenai kesalahannya.
Dan di sini harus kita tunjukkan bahwa dukungan kaum anarkis terhadap demokrasi langsung tidak mengesankan seperti yang kita pikirkan bahwa mayoritas selalu benar. Jauh dari hal tersebut! Kasus mengenai partipasi demokratis bukanlah bahwa mayoritas selalu benar, namun bahwa tak ada minoritas yang dapat dipercaya untuk tidak mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kebaikan semuanya. Sejarah membuktikan apa yang diprekdisikan oleh akal sehat, bahwa siapapun dengan kekuasan diktaktor (kepala negara, majikan, suami, apapun juga) akan menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya dan memperkuat diri dengan mengorbankan orang-orang yang tunduk pada keputusan yang dibuatnya.
Kaum anarkis mengakui bahwa mayoritas dapat membuat kesalahan dan itulah mengapa teori-teori kita mengenai perkumpulan menekankan pentingnya hak minoritas. Hal ini dapat dilihat dari teori kita mengenai kewajiban yang dibebankan oleh diri sendiri, yang didasarkan pada hak minoritas untuk menyanggah keputusan mayoritas dan membuat ketidaksepakatan sebagai faktor kunci dalam membuat keputusan. Seperti kata Carole Pateman:
“Jika mayoritas bertindak tidak jujur… (maka) minoritas harus mengambil tindakan politis, termasuk tindakan-tindakan ketidakpatuhan politis jika diperlukan, untuk mempertahankan kewarganegaraan dan kebebasannya serta asosiasi politis itu sendiri… Ketidakpatuhan politis merupakan suatu pernyataan yang mungkin dari kewarganegaraan yang aktif, yang menjadi dasar demokrasi dengan pengelolaan sendiri…Praktek sosial dari janji-janji meliputi hak untuk menolak atau mengubah komitmen; demikian pula dengan praktek kewajiban politis yang dibebankan oleh diri sendiri, menjadi tak berarti tanpa pengakuan praktis terhadap hak minoritas untuk menolak atau menarik kembali persetujuan, atau jika perlu, tidak patuh.” (The Problem Of Political Obligation, hal 162)
Bergerak diluar hubungan dalam asosiasi, kita harus menyoroti bagaimana asosiasi-asosiasi yang berbeda bekerja sama. Seperti yang dibayangkan, hubungan antar asosiasi mengikuti garis besar yang sama seperti halnya asosiasi mereka sendiri. Asosiasi-asosiasi bergabung dalam konfederasi, seperti halnya individu bergabung dalam asosiasi. Hubungan antar asosiasi dalam konfederasi bersifat horisontal dan sukarela seperti halnya dalam asosiasi, dengan hak yang sama untuk “memberikan suara dan keluar” bagi para anggota dan hak yang sama bagi para anggota. Dalam cara ini masyarakat menjadi sebuah asosiasi bagi banyak asosiasi, sebuah komunitas bagi banyak komunitas, sebuah komune bagi banyak komune, yang didasarkan pada pemaksimalan kebebasan individu melalui pemaksimalan partisipasi dan pengelolaan diri.
Kerja-kerja konfederasi seperti itu dikemukakan pada bagian A.2.9 (jenis masyarakat apa yang diinginkan kaum anarkis?) dan dibicarakan lebih detail dalam bagian I (Seperti apa masyarakat anarkis?).
Sistem demokrasi langsung ini sesuai dengan teori anarkis. Malatesta berbicara atas nama semua kaum anarkis ketika ia berpendapat bahwa “kaum anarkis mengingkari hak mayoritas untuk memerintah manusia secara umum.” (op.cit. hal 100) Seperti yang dapat dilihat, mayoritas tidak memiliki hak untuk memaksa minoritas—minoritas dapat meninggalkan asosiasi kapan saja sehingga, menggunakan kata-kata Malatesta, tidak harus “mematuhi keputusan mayoritas bahkan sebelum mereka mengetahui apa yang mungkin terjadi.” (op.cit. hal 101) Karena itu, demokarsi langsung dalam asosiasi sukarela tidak menciptakan “peraturan mayoritas” maupun pendapat bahwa minoritas harus tunduk pada mayoritas apapun yang terjadi. Akibatnya pendukung anarkis terhadap demokrasi langsung berpendapat bahwa hal tersebut sesuai dengan pendapat Malatesta:
“Tentu saja kaum anarkis mengakui bahwa di manapun hidup dan tinggal bersama, seringkali perlu bagi minoritas untuk menerima pendapat mayoritas. Ketika terdapat kebutuhan yang nyata atau kegunaan dalam melakukan sesuatu dan, untuk melakukannya dibutuhkan kesepakatan semua pihak, beberapa orang harus merasakan kebutuhan untuk beradaptasi dengan keinginan orang banyak…Namun adaptasi seperti itu di satu sisi harus bersifat resiprokal, sukarela, dan berasal dari sebuah kesadaran akan kebutuhan dan niat baik untuk mencegah kelumpuhan proses sosial, karena kekeraskepalaan. Hal tersebut tidak dapat dipaksakan sebagai prinsip atau norma yang berdasrkan undang-undang…” (op.cit. hal 100)
Karena minoritas memiliki hak untuk melepaskan diri dari asosiasi seperti halnya memiliki hak untuk bertindak, protes, dan mengajukan permohonan, peraturan mayoritas tidak dijadikan sebagai prinsip. Agaknya, hal tersebut benar-benar alat pembuat keputusan yang membuat penolakan dan pendapat minoritas dapat diekspresikan (dan ditindaklanjuti) dan juga untuk memastikan bahwa tidak ada minoritas yang memaksakan kehendaknya pada mayoritas. Dengan kata lain, keputusan minoritas tidak mengikat mayoritas. Seperti pendapat Malatesta:
“Seseorang tidak dapat berharap, atau menginginkan, orang yang telah diyakinkan bahwa tindakan mayoritas membawanya ke dalam bencana, akan mengorbankan keyakinannya dan secara pasif menyaksikan, atau lebih buruk lagi, mendukung kebijakan yang ia anggap salah.” (Life and Ideas, hal. 132)
Bahkan anarkis individual, Lysander Spooner, mengakui bahwa demokrasi langsung memiliki kegunaan ketika ia menulis “(s)emua, atau hampir semua, asosiasi sukarela memberikan mayoritas atau sebagian kecil anggota, hak untuk menggunakan beberapa keleluasaan yang terbatas sebagai sarana yang digunakan untuk menyelesaikan tujuan yang ada.” Namun demikian, hanya keputusan juri dengan suara bulat (yang “menilai hukum, dan keadilan hukum”) dapat menetapkan hak individual karena “pengadilan yang adil ini menggambarkan keseluruhan orang” sebagai “tak ada hukum yang dapat dipaksakan oleh asosiasi dalam kapasitas korporatnya, melawan barang, hak, atau prbadi individu manapun kecuali jika semua anggota asosiasi menyetujui bahwa hukum dapat melakukan pemaksaan” (dukungannya terhadap juri berasal dari pengakuan Spooner bahwa “pada prakteknya tidak mungkin” semua anggota asosiasi memberikan persetujuannya) (Trial by Jury, hal. 130-1f , hal. 214, hal. 152 dan hal. 132)
Jadi demokrasi langsung dan hak minoritas/individu tidak perlu berselisih. Pada prakteknya, kita dapat membayangkan demokrasi langsung akan digunakan untuk membuat sebagian besar keputusan dalam sebagian besar asosiasi (barangkali dengan kebutuhan mayoritas super untuk keputusan-keputusan yang bersifat fundamental) plus beberapa kombinasi sistem juri dan protes/aksi langsung minoritas serta evaluasi / melindungi klaim/hak minoritas dalam sebuah masyarakat anarkis. Bentuk aktual kebebasan hanya dapat diciptakan melalui pengalaman praktek oleh individu yang terlibat langsung.
Akhirnya, harus kita tekankan bahwa dukungan kaum anarkis bagi demokrasi langsung tidak berarti bahwa solusi ini diperlukan dalam semua peristiwa. Contohnya, banyak asosiasi kecil yang memerlukan pembuatan keputusan secara konsensus (lihat bagian berikutnya mengenai konsensus dan mengapa sebagian besar kaum anarkis tidak berpikir bahwa konsensus adalah alternatif yang dapat dipilih bagi demokrasi langsung). Namun demikian, sebagian besar anarkis berpendapat bahwa demokrasi langsung dalam asossiasi bebas merupakan bentuk pengaturan terbaik (dan paling realistis) yang konsisten denagn prisip-prinsip anarkis mengenai kebebasan, derajat dan kesetaraan inidvidu.
A.2.12 Apakah konsensus merupakan suatu alternatif bagi demokrasi langsung?
Tidak banyak anarkis yang menolak demokrasi langsung di dalam asosiasi bebas. Mereka umumnya mendukung konsesus dalam pembuatan keputusan. Konsensus didasarkan pada persetujuan setiap orang dalam sebuah kelompok terhadap suatu keputusan sebelum dilaksanakan. Jadi, mereka berpendapat, konsensus menghentikan mayoritas mengatur minoritas dan lebih konsisten dengan prinsip-prinsip kaum anarkis.
Konsensus, meski merupakan pilihan “terbaik” dalam pembuatan keputusan, karena mendapat persetujuan oleh semua pihak, memiliki masalah. Seperti yang ditunjukkan Muyrray Bookchin dalam mennggambarkan pengalamannya mengenai konsensus, bahwa konsensus memiliki implikasi otoriterian, karena;
“(u)ntuk …menciptakan konsensus penuh pada suatu keputusan, minoritas yang tidak sepakat seringkali didorong dengan halus atau mengalami pemaksaan secara psikologis untuk menolak memberikan suaranya pada isu yang menjadi masalah, karena penolakan tersebut sama dengan memberi veto. Kejadian ini dalam proses konsensus Amerika disebut “menghindar”, semua pihak terlalu sering melibatkan intimidasi terhadap pihak yang tidak sepakat dengan tujuan mereka akan mengundukan diri dari proses pembuatan keputusan, daripada membuat suatu pernyataan yang berkelanjutan dan terhormat mengenai penolakan mereka melalui voting, bahkan sebagai minoritas, sesuai denagn pandangan mereka. Setelah mengundurkan diri, mereka menghentikan bersikap politis- sehingga dengan demikian “keputusan” dapat dibuat….’(K)onsensus akhirnya dicapai setelah anggota-anggota yang memberikan penolakan mengundurkan diri sebagai partisipan dalam proses.
“Pada tingkat teoritis, konsensus menghilangakn aspek terpenting yaitu semua dialog, yaitu dissensus. Penolakan yang terus menerus, dialog yang penuh semangat dan masih terus berlangsung bahkan setelah minoritas ikut serta sementara waktu untuk keputusan mayoritas,…(dapat)digantikan…oleh monolog yang membosankan-dan tidak bertentangan serta meredam suara konsensus. Dalam pembuatan keputusan mayoritas, minoritas yang terkalahkan dapat memutuskan untuk menggagalkan keputusan dimana mereka dikalahkan—mereka bebas secara terbuka dan terus-menerus untuk mengartikulasikan alasan dan ketidaksepakatan. Konsensus, tidak menghormati minoritas, melainkan mematikan mereka demi ‘sebuah’ kelompok ‘konsensus’ metafisis.” (“Communalism:The Democratic Dimension Of Anarchism”, Democracy and Nature, no. 8, hal. 8)
Bookchin tidak “mengingkari bahwa konsensus merupakan bentuk yang tepat untuk membuat keputusan dalam kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang telah akrab satu sama lain.” Namun ia mencatat bahwa, dalam term praktek, pengalamannya menunjukkan bahwa “ketika kelompok yang lebih besar mencoba membuat keputusan melalui konsensus, mau tidak mau mereka harus sampai pada persamaan intelektual yang terendah dalam membuat keputusan: keputusan yang tak terlalu kontroversial atau bahkan keputusan paling sedang yang dapat dicapai oleh sekelompok orang dengan jumlah cukup besar, diadopsi- dengan tepat karena setiap orang harus menyepakatinya atau yang lainnya mengundurkan diri dari pemungutan suara dalam masalah tersebut.” (op.cit., hal. 7)
Oleh karena itu, sehubungan dengan sifat otoritariannya yang potensial, sebagian besar anarkis tidak sepaakt bahwa konsensus merupakan aspek politis dari asosiasi bebas. Meski mencoba meraih konsensus merupakan hal yang menguntungkan, biasanya untuk melakukannya tidaklah praktis–terutama dalam kelompok yang berukuran besar—tanpa menghiraukan hal-hal lainnya, efek-efek negatifnya. Seringkali konsensus merendahkan masyarakat atau asosiasi bebas dengan menumbangkan individualitas atas nama komunitas dan penolakan yang ada atas nama solidaritas. Baik komunitas yang baik maupun solidaritas tidaklah membantu ketika perkembangan individu dan ekspresi diri digugurkan oleh pencelaan dan tekanan publik. Karena semua individu unik, mereka akan membawa keunikan sudut pandang yang sebaiknya mereka nyatakan, karena masyarakat berkembang dan diperkaya oleh tindakan serta pemikiran individu.
Dengan kata lain, kaum anarkis yang mendukung demokrasi langsung menekankan “peran kreatif dari ketidaksepakatan” yang, dan menjadi ketakutan mereka, “cenderung menghilang dari keseragaman kelabu yang disyaratkan oleh konsensus” (op.cit., hal.8)
Harus kita tekankan bahwa kaum anarkis tidak membutuhkan proses pembuatan keputusan yang mekanis yang di dalamnya mayoritas hanya menolak suara minoritas dan mengabaikan mereka. Sangat berbeda! Kaum anarkis yang mendukung demokrasi langsung melihatnya sebagai suatu proses perdebatan dinamis dan di dalamnya mayoritas dan minoritas saling mendengarkan serta menghargai sebisa mungkin dan menciptakan keputusan yang dapat mereka terima (jika mungkin). Mereka melihat proses partisipasi di dalam asosiasi-asosiasi demokrasi langsung sebagai sarana mencapai kepentingan umum, sebagai sebuah proses yang mendorong ekspresi keanekaragaman, individual dan minoritas serta mengurangi tendensi apapun dari mayoritas untuk memarjinalkan atau menekan minoritas dengan memastikan terjadinya diskusi dan perdebatan mengenai isu-isu penting.
A.2.13 Apakah kaum anarkis individualis atau kolektivis?
Jawaban singkatnya adalah: tidak kedua-duanya. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa ahli-ahli liberal mencela kaum anarkis, seperti Bakunin, karena menjadi “kolektivis” sementara kaum Marxis menyerang Bakunin dan kaum anarkis pada umumnya karena menjadi “individualis.”
Benar-benar mengejutkan, karena kaum anarkis menolak kedua ideologi omong kosong tersebut. Apakah mereka suka atau tidak, kaum individualis dan kaum kolektivis non anarkis merupakan dua sisi dari keping mata uang kapitalis. Hal ini ditunjukkan dengan sangat baik dengan menganggap kapitalisme modern, yang didalamnya kaum individualis dan kolektivis cenderung untuk terus menerus berinteraksi, seringkali dengan struktur politik dan ekonomi yang diayunkan dari satu kutub ke kutub lainnya. Kolektivisme kapitalis dan individualisme merupakan satu sisi dari aspek-aspek eksistensi manusia, dan seperti semua manifestasi dari ketidakseimbangan, yang sangat cacat.
Bagi kaum anarkis, pemikiran bahwa individu harus mengorbankan diri demi “kelompok” atau “kebaikan yang lebih besar” merupakan hal yang tak masuk akal. Kelompok disusun oleh individu-individu, dan jika orang hanya memikirkan apa yang terbaik untuk kelompok, kelompok tersebut akan menjadi sesuatu yang mati. Hanya dinamika interaksi manusia dalam kelompok yang memberinya kehidupan. “Kelompok” tidak dapat berpikir, hanya individu yang mampu melakukannya. Kenyataan ini secara ironis, membawa “kolektivis” otoriter menuju sejenis “individualisme” tertentu, yaitu “pemujaan personalitas” dan pemujaan pemimpin. Kolektivisme mengentalkan individu ke dalam kelompok-kelompok abstrak, sehingga mengingkari individualitas mereka dan mengakhirinya dengan kebutuhan seseorang akan adanya individu yang mampu membuat keputusan—suatu masalah yang “dipecahkan” oleh prinsip pemimpin. Stalinisme dan nazisme merupakan contoh terbaik dari fenomena ini.
Oleh karena itu, kaum anarkis mengakui bahwa individu merupakan unit dasar masyarakat dan bahw hanya individu yang memiliki kepentingan dan perasaan. Artinya mereka menentang “kolektivisme” dan pemujaan kelompok. Dalam teori kaum anarkis, kelompok berdiri hanya untuk membantu dan mengembangakn individu yang terlibat di dalamnya. Inilah sebabnya mengapa kami menempatkan banyak penekanan pada kelompok-kelompok yang terstruktur dalam tata cara liberal—hanya organisasi liberal yang membuat individu di dalam sebuah kelompok mengekspresikan dirinya secara total, mengelola kepentingan mereka secara langsung dan menciptakan hubungan sosial yang mendorong individualitas dan kebebasan dan individu. Jadi, meski masyarakat dan kelompok bersama-saam membentuk individu, individu merupakan basis masyarakat yang sesungguhnya. Melihat hal itu Malatesta mengatakan:
“Banyak yang telah dikatakan mengenai peran masing-masing insiatif individu dan tindakan sosial dalam kehidupan dan kemajuan masyarakat manusia…(S)etiap hal yang dipertahankan dan terus dilaksanakan dalam dunia manusia berterimakasih pada insiatif individu…Makhluk yang sebenarnya adalah manusia, individu. Masyrakat atau kolektivitas- dan negara atau pemerintah yang mengklaim untuk mewakilinya – jika bukan merupakan suatu abstraksi palsu, pastilah tersusun oleh individu. Semua pemikiran dan tindakan manusia pasti memiliki asal-usulnya dalam organisme setiap individu, dan dari individu, pemikiran dan tindakan tersebut menjadi pemikiran dan tindakan kolektif, ketika diterima oleh banyak individu. Oleh karena itu, tindakan sosial bukanlah negasi ataupun komplemen dari inisiatif individual, melainkan hasil dari inisiatif, pemikiran, dan tindakan semua individu yang menyusun masyarakat… (H)al tersebut tidak benar-benar mengubah hubungan antara masyarakat dan individu…(H)al tersebut mencegah beberapa individu dari penindasan terhadap yang lain; memberi hak yang sama dan sarana bertindak yang sama kepada setiap individu; dan menggantikan inisiatif beberapa orang (yang didefinisikan Malatesta sebagai aspek kunci pemerintah / hierarki), yang merupakan hasil dari penindasan terhadap orang lain…” (Anarchi, hal 36-37)
Pertimbangan-pertimbangan ini tidak berarti bahwa “individualisme” sesuai dengan anarkis. Seperti yang ditunjukkan Emma Goldman, “’individualisme yang kasar’ hanyalah sebuah topeng yang berusaha menekan dan mengalahkan individu dan individualitasnya….(hal tersebut) sudah pasti merupakan hasil pembedaan kelas yang bertabrakan…(dan) mempersembahkan semua “individualisme” bagi para majikan, sementara orang-orang diatur ke dalam kasta budak untuk melayani sedikit orang yang dianggap ‘super’.” (Red Emma Speaks, hal 89)
Sementara kelompok tidak dapat berpikir, individu tidak dapat hidup atau berdiskusi dengan diri mereka sendiri. Kelompok dan asosiasi merupakan aspek esensisal dari kehidupan individu. Sudah barang tentu, karena kelompok-kelompok menggerakan hubungan sosial dengan sifat mereka yang seperti itu, mereka membantu membentuk individu. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang tersusun dalam cara otoriter akan memiliki dampak negatif pada kebebasan dan individualitas mereka yang ada di dalamnya. Namun demikian, sesuai dengan sifat abstrak “individualisme” mereka, individualis kapitalis gagal melihat perbedaan apapun antara kelompok yang tersusun dalam tata cara liberal dan yang otoriter–kedua-duanya sama-sama “kelompok”. Karena perspektif satu sisi mereka pada isu ini, “kaum individualis” dengan ironis mengakhiri dukungannya pada beberapa institusi yang paling “kolektivis” yang ada–perusahaan-perusahaan kapitalis–dan lagi, selalu merasa membutuhkan negara meskipun sering mengutuknya. Kontradiksi-kontradiksi ini berasal dari ketergantungan individualisme kapitalis pada perjanjian-perjanjian individu dalam masyarakat yang tidak setara, contoh: individualisme abstrak.
Sebaliknya, kaum anarkis menekankan “individualisme” sosial (term lain, barangkali lebih baik, untuk konsep ini adalah “individualitas komunal”). Anarkisme “tetap berpendapat bahwa pusat gravitasi dalam masyarakat adalah individu—bahwa ia harus berpikir untuk dirinya, bertindak dengan bebas dan bener-benar hidup….Untuk berkembang dengan bebas dan total, ia harus dibebaskan dari campur tangan dan penindasan orang lain….(H)al ini tidak akan terjadi bersama ….‘individualisme kasar’. Individualisme predator seperti itu benar-benar lembek, bukannya keras. Ketika muncul bahaya mereka berusaha mencari perlindungan dari negara dan merengek untuk itu… ‘individualisme kasar’ merupakan salah satu dalih kelas berkuasa untuk menutupi penghisapan politis dan urusan yang tak dapat dikendalikan.” (Emma Goldman, ibid, hal.397)
Anarkisme menolak individualisme abstrak kapitalisme dengan pemikirannya mengenai kebebasan ”absolut” individu yang dibatasi oleh orang lain. Teori ini mengabaikan konteks sosial tempat kebebasan ada dan tumbuh.
Masyarakat yang didasarkan pada “perjanjian individu” biasanya menghasilkan sebuah ketidaksetaraan kekuasaan di antara individu-individu yang melaksanakannya dan juga memiliki kebutuhan akan kekuasaan yang didasarkan pada hukum di atasnya serta menggunakan kekerasan untuk memaksakan perjanjian di antara mereka. Jelas konsekuensi ini berasal dari kapitalisme dan, khususnya, dalam teori “kontrak sosial” mengenai bagaimana negara terbentuk. Dalam teori ini di asumsikan bahwa mereka “bebas” ketika mereka terisolasi satu sama lain, karena mereka diduga keras berada dalam “keadaan alamiah” (state of nature). Setelah mereka bergabung dalam masyarakat, mereka diduga membuat sebuah “kontrak”, dan negara untuk mengaturnya. Namun demikian, disamping menjadi sebuah fantasi tanpa memiliki dasar kenyataan (manusia selalu hewan sosial), “teori” ini menjadi pembenaran aktual bagi perluasan kekuasaan yang dilakukan negara kepada masyarakat dan pada akhirnya juga menjadi pembenaran bagi sistem kapitalis, yang membutuhkan negara yang kuat. Hal tersebut juga meniru hasil hubungan ekonomi kapitalis yang diatasnya terbangun teori ini. Dalam kapitalisme individu “dengan bebas” membuat perjanjian bersama, namun dalam prakteknya si majikan mengatur pekerja selama kontrak berlaku (lihat bagian A.2.14 dan B.4 untuk keterangan lebih lanjut).
Pada prakteknya baik individualisme maupun kolektivisme mengingkari kebebasan individu dan dinamika serta otonomi kelompok. Tambahan lagi, masing-masing menunjukkan yang lainnya, dengan kolektivisme membawa kita ke bentuk khusus individualisme dan individualisme membawa kita ke bentuk khusus kolektivisme.
Kolektivisme, dengan penindasan implisitnya terhadap individu, pada akhirnya memiskinkan komunitas, karena kelompok hanya dihidupi oleh individu yang menyusunnya. Individualisme dengan penindasan eksplisitnya terhadap komunitas (contoh, orang-orang yang tinggal denganmu), pada akhirnya memiskinkan individu, karena individu tidak berdiri lepas dari masyarakat melainkan hanya bisa berada di dalamnya. Tambahan lagi, individualisme mengakhiri pengingkarannya terhadap “beberapa pengetahuan dan kemampuan pilihan” individu yang membentuk sisa masyarakat, dan juga merupakan sumber pengingkaran diri. Hal ini adalah kerusakan fatal individualisme (dan kontradiksi), yaitu “ketidakmampuan bagi individu untuk mencapai perkembangan total dalam kondisi penindasan massa oleh ‘aristokrasi yang indah’. Perkembangannya tetap unilateral.” (Peter Kropotkin, Revolutionary Pamphlets, hal. 293)
Kebebasan sejati dan komunitas berada di tempat lain.
A.2.14 Mengapa kesukarelaan saja tidak cukup?
Kesukarelaan memiliki arti bahwa asosiasi harus bersifat sukarela untuk memaksimalkan kebebasan. Kaum anarkis, yang jelas merupakan kaum yang sukarela, berpikir hanya dalam asosiasi bebaslah, yang tercipta dari kesepakatan bebas, individu dapat berkembang, tumbuh dan mengekspresikan kebebasan mereka. Namun demikian, jelas bahwa di bawah kapitalisme, kesukarelaan tidak cukup untuk memaksimalkan kebebasan.
Kesukarelaan menunjukkan janji (contohnya kebebasan untuk membuat kesepakatan), dan janji menunjukkan bahwa individu memiliki kemampuan untuk memberi penilaian secara bebas dan pertimbangan rasional. Lagipula, hal tersebut mensyaratkan bahwa mereka dapat mengevaluasi dan mengubah tindakan serta hubungan mereka. Namun demikian, perjanjian di bawah kapitalisme, merupakan kontradiksi bagi implikasi kesukarelaan tersebut. Karena, meski secara teknis “sukarela” (seperti yang kita tunjukkan dalam bagian B.4, namun bukan itu masalahnya), perjanjian kapitalis dihasilkan dalam suatu pengingkaran kebebasan. Hal ini terjadi karena hubungan sosial buruh upahan melibatkan janji kepatuhan untuk ditukar dengan upah. Dan seperti yang ditunjukkan Carole Pateman, “Janji untuk patuh merupakan pengingkaran atau pembatasan, tingkat yang lebih rendah maupun lebih besar, kebebasan individu dan kesetaraan serta kemampuan mereka untuk menggunakan kapasitas tersebut (penilaian bebas dan pertimbangan rasional). Janji untuk patuh menyatakan, bahwa dalam bidang tertentu, orang yang membuat janji tidak bebnar-benar bebas menggunakan kapasitasnya dan memutuskannya, serta tidak benar-benar setara melainkan sub-ordinat.” (The Problem of Political Obligation, hal 19) Hal ini menghasilkan kepatuhan sehingga mereka tidak dapat membuat keputusan mereka sendiri. Jadi hal rasional bagi kesukarelaan (contohnya, bahwa individu mampu untuk memikirkan dirinya dan harus diperbolehkan mengekspresikan individualitas mereka serta membuat keputusan sendiri) dilanggar dalam hubungan hierarkis, karena hanya beberapa orang yang berkuasa dan terdapat lebih banyak orang yang mematuhi (lihat juga bagian A.2.8). Jadi kesukarelaan apapun yang memunculkan hubungan sub-ordinasi, sesuai sifatnya, tidak menyelesaikan dan melanggar pembenarannya sendiri.
Hal ini terlihat dalam masyarakat kapitalis, ketika para pekerja menjual kebebasan mereka kjepada seorang majikan agar bisa hidup. Akibatnya, di bawah kapitalisme kamu hanya bebas dalam hal bahwa kamu dapat memilih siapa yang akan kamu patuhi! Namun demikian, kebebasan harus diartikan lebih dari sekedar hak untuk mengganti majikan. Penghambaan sukerela tetap saja merupakan suatu penghambaan. Menguraikan pendapat Rousseau :
Di bawah kapitalisme, pekerja menganggap dirinya bebas; namun ini jelas salah; ia hanya bebas ketika ia menandatangani perjanjian dengan majikannya. Segera setelah ditandatangani, perbudakan menyusulnya dan ia bukanlah apa-apa selain penerima perintah.
Karena itu Proudhon berpendapat bahwa “manusia mungkin dijadikan seorang budak karena hak milik atau seorang penguasa yang lalim pada gilirannya.” (What Is Property?, hal 371)
Tidak terlalu mengherankan jika kita mengetahui bahwa Bakunin menolak “perjanjian apapun dengan individu lain atas dasar apapun selain kesetaraan dan resiproksitas” karena hal ini akan “mengalienasikan kebebasannya” dan dengan demikian menjadi “sebuah hubungan perhambaan sukarela terhadap individu lainnya.” Siapapun yang membuat perjanjian semacam itu dalam masyarakat yang bebas (masyarakat anarkis) “sama sekali tidak memahami derajat manusia.” (Michael Bakunin: Selected Writings, hal. 68-69) Hanya asosiasi yang dikelola sendiri mampu menciptakan hubungan kesetaraan daripada sekedar subordinasi diantara anggota-anggotanya.
Oleh karena itu kaum anarkis menekankan kebutuhan akan demokrasi langsung dalam asosiasi-asosiasi sukarela untuk memastikan bahwa konsep “kebebasan” bukanlah sebuah kepura-puraan dan pembenaran bagi dominasi, seperti halnya yang terjadi di bawah kapitalisme.
Hubungan sosial apapun yang didasarkan pada individualisme abstrak mungkin saja di dasarkan pada paksaan, kekuasaan dan otoritas, bukan kebebasan. Tentu saja hal ini mengasumsikan definisi kebebasan sesuai dengan kesempatan individu untuk menggunakan kapasitasnya dan memutuskan tindakan yang akan dilakukan. Karenanya, kesukarelaan tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang memaksimalkan kebebasan. Itulah sebabnya mengapa kaum anarkis berpikir bahwa asosiasi sukarela harus dilengkapi dengan pengelolaan mandiri (demokrasi langsung) dalam asosiasi-asosiasi ini. Bagi kaum anarkis, asumsi kesukarelaan menunjukkan secara tidak langsung pengelolaan secara mandiri. Atau, menggunakan kata-kata Proudhon, “Karena individualisme merupakan fakta primordial kemanusiaan, maka asosiasi adalah term pelengkapnya.” (System of Economical Contradictions, hal 430)
Tentu saja muncul keberatan bahwa kaum anarkis menghargai beberapa bentuk hubungan sosial lainnya dan bahwa seorang liberal sejati harus memberikan orang lain kebebasan untuk memilih hubungan sosial. Pertama, kita jawab dulu keberatan yang kedua, dalam masyarakat yang didasarkan pada kepilikan pribadi (dan juga negara), mereka dengan hak kepemilikan memiliki kekuasaan lebih, yang digunakan untuk mengekalkan otoritas mereka. Dan mengapa kita mempersilahkan penghambaan atau mentoleransi mereka yang ingin membatasi kebebasan orang lain? “Kebebasan untuk memerintah adalah kebebasan untuk memperbudak dan dengan demikian merupakan suatu pengingkaran.
Mengenai keberatan pertama, kaum anarkis mengaku bersalah. Kami dituduh melawan reduksi kemanusiaan menuju status robot. Kami dituduh menyetujui kebebasan dan derajat manusia. Kami dituduh, dalam kenyataannya, mendukung kemanusiaan dan individualitas.
Bagian A.2.11 membicarakan mengapa demokrasi langsung merupakan sesuatau yang diperlukan untuk mendampingi kesukarelaan (contohnya kesepakatan bebas). Bagian B.4 membicarakan mengapa kapitalisme tidak didasarkan pada kekuatan tawar menawar yang setara antara pemilik barang dengan orang yang tidak memilikinya.
A.2.15 Bagaimana dengan “sifat manusia”?
Kaum anarkis, jauh dari pengabaian “sifat manusia”, hanya memiliki teori politik yang memberi konsep ini pemikiran dan refleksi yang mendalam. Terlalu sering, “sifat manusia” diletakkan sebagai garis akhir pertahannan dalam sebuah argumen dalam melawan anarkisme, karena dipikirnya, hal tersebut berada di luar jawaban. Namun, bukan ini masalahnya.
Pertama, sifat manusia merupakan hal yang kompleks. Jika, dengan sifat manusia, hal tersebut diartikan “apa yang dilakukan manusia,” jelas bahwa sifat manusia merupakan hal yang kontradiktif—cinta dan benci, berperasaan dan tidak berperasaan, perdamaian dan kekerasan, dan lain-lain, semua telah diekspresikan oleh orang-orang dan dengan demikian merupakan hasil dari “sifat manusia”. Tentu saja, apa yang dianggap sebagai “sifat manusia” dapat berubah sejalan dengan perubahan keadaan sosial. Contohnya, perbudakan dianggap sebagai bagian dari “sifat manusia” dan “normal” selama ribuan tahun, serta perang yang jadi bagian “sifat manusia” setelah negara-negara dibentuk. Oleh karena itu, lingkungan memainkan suatu bagian penting dalam mendefinisikan apa itu “sifat manusia”.
Bukan berarti bahwa manusia merupakan plastik, dengan masing-masing individu yang dilahirkan sebagai tabula rasa (lembaran yang kosong) yang menanti dibentuk oleh “masyarakat” (pada prakteknya ternyata individu-individu yang menjalankannya). Kita tidak ingin memasuki perdebatan mengenai apa yang menjadi karakteristik manusia dan apa yang bukan “pembawaan lahir”. Kita semua akan berkata bahwa manusia memiliki kemampuan yang dibawa dari lahir untuk berpikir dan belajar—yang sangat nyata, kita mampu merasakan—dan bahwa manusia merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan kebersamaan dengan orang lain untuk merasa lengkap dan berhasil.
Kami rasa dua ciri ini membantu kelangsungan hidup masyarakat anarkis. Kemampuan sejak lahior untuk berpikir bagi diri sendiri secara otomatis membuat semua bentuk hierarki menjadi tidak logis, dan kebutuhan kita akan hubungan sosial menunjukkan bahwa kita dapat mengaturnya tanpa negara. Keterasingan dan kesedihan yang mendalam menyebabkan masyarakat modern memberi pernyataan bahwa sentralisasi serta otoritarianisme kapitalisme dan otoritarianisme negara mengingkari beberapa kebutuhan dalam diri kita yang telah ada sejak lahir.
Pada kenyataannya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar umat manusia telah tinggal di dalam komunitas anarki dengan sedikit atau tanpa hierarki. Bahwa masyarakat modern menyebut mereka “liar” atau “primitif” merupakan suatu arogansi. Jadi siapa yang dapat mengatakan apakah anarkisme melawan “sifat manusia”? Kaum anarkis telah mengakumulasikan banyak bukti untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Meski muncul tuduhan bahwa kaum anarkis menuntut terlalu banyak dari “sifat manusia”, seringkali kaum non anarkislah yang membuat kalim-klaim terbesar mengenainya. Karena “meski lawan-lawan kita tampak mengakui adanya sejenis garam dunia—penguasa, majikan, pemimpin—yang dengan cukup senang mencegah orang-orang jahat itu—yang dikuasi, dieksploitasi, dipimpin—menjadi lebih buruk dari keadaan mereka yang sekarang…, terdapat (sebuah) perbedaan, dan sesuatu yang sangat penting. Kami mengakui ketidaksempurnaan sifat manusia namun kami tidak membuat pengecualian bagi para penguasa. Mereka menciptakannya, meski kadang-kadang tanpa sadar” (Peter Kropotkin, Act for Yourself, hal 83). Jika sifat manusia begitu buruk, maka memberikan beberapa orang kekuasaan diatas yang lainnya dan mengharapkan hal ini akan membawa keadilan dan kebebasan, merupakan sebuah otopia yang tidak memiliki harapan.
Namun saat ini, dengan munculnya “sosiobiologi”, beberapa orang mengklaim (dengan bukti nyata yang sangat sedikit) bahwa kapitalisme merupakan hasil dari “sifat” kita yang ditentukan oleh gen. Klaim-klaim ini digunakan oleh kekuasaan yang ada. Dengan mempertimbangkan kurangnya bukti, dukungan mereka bagi doktrin “baru” ini pasti jelas hasil penggunaannya bagi mereka yang berkuasa—contohnya fakta bahwa memiliki basis “obyektif” dan “ilmiah” berguna untuk merasionalkan kekuasaan tersebut. Seperti halnya Darwinisme sosial yang mendahuluinya, sosiobiologis mulai dengan pertama, memproyeksikan pemikiran-pemikiran dominan masyarakat sekarang ini ke dalam ilmu alam (seringkali dengan tanpa sadar, sehingga para ilmuan salah dalam menganggap pemikiran-pemikiran mengenainya sebagai “normal” dan “wajar”). Kemudian teori-teori alam yang dihasilkan dalam cara ini ditrasfer kembali ke dalam masyarakat dan sejarah, digunakan untuk “membuktikan” bahwa prinsip-prinsip kapitalisme (hierarki, kekuasaan, kompetisi, dan lain-lain) merupakan hukum-hukum yang abadi, yang kemudian diserukan sebagai sebuah pembenaraan bagi status quo! Anehnya banyak orang-orang yang dianggap cerdas mempercayainya.
Jenis apologetik ini adalah wajar, karena setiap kelas berkuasa selalu mengklaim bahwa hak mereka untuk berkuasa di dasarkan pada “sifat manusia”, dan karenanya mendukung doktrin-doktrin yang mendefinisikan hal terakhir tersebut untuk membenarkan kekuasaan elit—seperti sosiobiologi, perintah Tuhan, dosa asal, dan lain-lain. Jelas doktrin-doktrin semacam itu selalu salah…sehingga sekarang tentu saja, sementara jelas bahwa masyarakat kita sekarang ini benar-benar sesuai dengan “sifat manusia” dan secara ilmiah dibuktikan oleh kependetaan ilmiah!
Arogansi klaim ini benar-benar luar biasa. Sejarah belum berhenti. Seribu tahun mendatang, masyarakat akan benar-benar berbeda dari saat ini atau dari apa yang dibayangkan orang-orang. Tidak ada pemerintah seperti saat ini, dan sistem ekonomi saat ini tidak akan ada. Satu-satunya hal yang masih tetap sama adalah bahwa orang-orang tetap akan mengklaim bahwa masyarakat baru mereka merupakan “sebuah sistem sejati” yang benar-benar sesuai dengan sifat manusia, meskipun semua sistem di masa lalu tidak demikian.
Tentu saja hal ini tidak berbeda dengan pemikiran para pendukung kapitalisme bahwa orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda akan membuat kesimpulan berbeda dari fakta yang sama—kesimpulan yang mungkin lebih valid. Hal tersebut juga tidak terjadi bagi para apologis kapitalis, bahwa teori-teori ilmuwan “obyektif” mungkin tersusun dalam konteks pemikiran-pemikiran dominan masyarakat yang mereka tempati. Namun demikian, tidak mengejutkan bagi kaum anarkis bahwa ilmuwan yang bekerja pada masa Tsaris Rusia mengembangkan teori evolusi yang didasarkan kooperasi di dalam dan antar spesies, benar-benar berbeda dengan rekan-rekan mereka di negara kapitalis Inggris, yang mengembangkan teori yang didasarkan pada perjuangan kompetitif di dalam dan antara spesies. Bahwa teori yang terakhir merefleksikan teori-teori ekonomi politik yang dominan dalam masyarakat Inggris(khususnya individualisme kompetitif), tentu saja merupakan sebuah kebetulan belaka. Mutual Aid yang ditulis Kropotkin merupakan tanggapan terhadap ketidaktelitian yang diproyeksikan Darwinisme sosial inggris ke dalam ilmu alam dan kehidupan manusia.
A.2.16 Apakah anarkisme mensyaratkan manusia “sempurna” untuk bekerja?
Tidak. Anarki bukanlah sebuah utopia, suatu masyarakat yang “sempurna”. Anarki akan menjadi masyarakat manusia, dengan semua permasalahannya, harapan, ketakutan-ketakutan yang dihubungkan dengan manusia. Kaum anarkis tidak berpikir bahwa manusia perlu menjadi “sempurna” agar anarki dapat dilangsungkan. Mereka hanya perlu bebas.
Jelas kita berpikir bahwa suatu masyarakat bebas akan menghasilkan orang-orang yang lebih mampu bersuara bagi individualitas dan kebutuhan mereka sendiri atau orang lain, sehingga mengurangi konflik indiviudal. Perselisihan yang ada akan diselesaikan dengan metode yang tepat, contohnya, penggunaan juri, pihak ketiga, atau dewan komunitas dan tempat kerja.
Seperti pendapat “anarkisme berlawanan dengan sifat manusia” (lihat bagian A.2.15), lawan-lawan anarkisme biasanya mengasumsikan orang-orang “sempurna” – orang-orang yang tidak rusak karena kekuasaan ketika ia berada dalam posisi tersebut, orang-orang yang dengan anehnya tidak terpengaruh oleh efek-efek yang menyimpang dari hierarki, hak istimewa, dan lain-lain. Namun, kaum anarkis tidak membuat kalim seperti itu mengenai kesempurnaan manusia. Kita mengetahui bahwa pengakuan kekuasaan di tangan seseorang atau elit bukanlah suatu ide yang bagus, karena tidak ada orang sempurna dan mereka selalu harus bertanggung jawab kepada lainnya.
Perlu dicatat bahwa pemikiran yang menyatakan bahwa anarkisme memerlukan seorang pria atau wanita “baru” seringkali diangkat kapitalis “anarko” sayap kanan untuk mendiskreditkan anarkisme sesungguhnya dan membenarkan hak kepemilikan kekuasaan hierarkis, khususnya dalam hubungan produksi kapitalis. Namun, refleksi peristiwa akan menunjukkan bahwa “keberatan” mereka mendeskreditkan klaim mereka sendiri sebagai anarkis karena secara eksplisit mereka mengasumsikan sebuah masyarakat anarkis tanpa kaum anarkis! Tak perlu dikatakan lagi, “anarki” yang dibentuk oleh orang-orang yang masih memerlukan kekuasaan dan negara, dengan segera akan menjadi otoriter dan menjadi negara (contoh non anarkis) kembali.
Hal tersebut terjadi karena meski pemerintah digulingkan besok, sistem yang sama dengan segera muncul kembali, karena “kekuatan pemerintah tidak terletak dalam dirinya, melainkan pada rakyat. Seorang tirani yang besar mungkin seorang tolol dan bukan superman. Kekuatannya terletak bukan dalam dirinya, melainkan dalam kepercayaan rakyat yang berpikir bahwa mematuhinya merupakan tindakan yang benar. Selama kepercayaan itu ada, sisa-sialah usaha beberapa pembebas untuk memotong kepala tirani; rakyat akan membuat yang lain karena mereka memiliki kebiasaan untuk mengandalkan sesuatu di luar diri mereka sendiri.” (George Barret, Objections to Anarchism)
Dengan kata lain, anarki membutuhkan kaum anarkis untuk dapat tercipta dan bertahan hidup. Namun kaum anarkis ini tidak perlu sempurna, hanyalah rakyat yang telah membebaskan dirinya sendiri, dengan usahanya sendiri, dari kepercayaan bahwa hubungan memerintah dan mematuhi diperlukan. Asumsi implisit dalam pemikiran seorang anarkis “baru” adalah bahwa kebebasan akan diberikan, bukan diambil; karena itu kesimpulan nyata yang mengikuti bahwa anarki membutuhkan orang-orang “sempurna” akan gagal. Namun argumen ini mengabaikan kebutuhan akan aktivitas dan pembebasan diri untuk menciptakan masyarakat bebas.
Kaum anarkis tidak menyimpulkan bahwa orang-orang yang “sempurna” diperlukan, karena kaum anarkis “bukanlah pembebas dengan misi ketuhanan untuk membebaskan manusia, namun ia merupakan bagian dari perjuangan manusia tersebut menuju kebebasan.
“Jika kemudian, dengan beberapa sarana eksternal, sebuah revolusi anarkis dapat, pendek kata, disiapkan dan ditimpakan kepada rakyat, mereka akan menolaknya dan membangun kembali masyarakat yang lama. Jika di sisi lain, rakyat mengembangkan pemikiran mereka mengenai kebebasan, dan mereka sendiri melepaskan diri dari benteng tirani–pemerintah—maka revolusi yang sesungguhnya akan diselesaikan secara permanen.” (ibid.)
A.2.17 Tidakkah sebagian besar orang terlalu bodoh bagi suatu masyarakat bebas untuk bekerja?
Kami minta maaf karena harus memasukkan pertanyaan ini kedalam FAQ anarkis, namun kita tahu bahwa banyak ideologi politik yang secara eksplisit berasumsi bahwa orang biasa terlalu bodoh untuk dapat mengelola kehidupan mereka sendiri dan menjalankan masyarakat. Semua aspek agenda politis kapitalis, dari kiri ke kanan, berisikan orang-orang yang membuat klaim ini. Baik kaum leninis, Fabians atau obyektifis, mengasumsikan bahwa hanya beberapa orang terpilih yang kreatif dan cerdas, dan orang-orang inilah yang seharusnya memerintah yang lainnya. Biasanya, elitisme ini ditutupi oleh retorika yang menyenangkan dan terus mengalir mengenai “kebebasan”, “demokrasi” dan kata-kata hampa lainnya. Dengan kata-kata hampa dan retorika semacam itu, ideologi-ideologi berusaha menumpulkan pemikiran kritis dengan mengatakan apa yang ingin mereka dengar.
Tentu saja, hal ini tidak terlalu mengejutkan bahwa mereka yang percaya dalam elit-elit “alami” selalu mengkelaskan mereka di puncak. Kami belum menemukan seorang “obyektivis”, sebagai contoh, yang menganggap dirinya sebagai bagian dari massa besar “kelas kedua” atau orang yang akan menjadi pembersih toilet dalam cita-cita yang tak dikenal dari kapitalisme “sejati”. Setiap orang yang membaca tulisan seorang elitis akan menganggap dirinya bagian dari “sedikit orang terpilih”. Wajar dalam masyarakat elitis untuk menganggap kehadiran elit sebagai hal yang biasa dan dirimu sebagai anggota yang potensial!
Penelitian sejarah menunjukkan bahwa terdapat sebuah ideologi elitis dasar yang merupakan rasionalisasi esensial semua negara dan kelas berkuasa sejak kemunculan mereka di awal zaman perunggu. Ideologi ini hanya mengubah pakaian luar mereka, bukan isi yang mendasar.
Selama abad kegelapan, sebagai contoh, yang diwarnai oleh kristianitas, disesuaikan dengan kebutuhan terhadap hierarki gereja. Dogma “pernyataan ketuhanan” yang paling berguna bagi elite pendeta adalah “dosa asal”: gagasan bahwa manusia secara dasar memiliki akhlak yang bejat dan makhluk yang tidak mampu serta membutuhkan “perintah dari atas”, dengan pendeta sebagai mediator yang diperlukan antara manusia biasa dengan “Tuhan”. Pemikiran bahwa kebanyakan orang pada dasarnya bodoh dan sehingga tidak mampu memimpin dirinya sendiri berasal dari doktrin ini, peninggalan Abad Kegelapan.
Dalam menjawab semua yang mengklaim bahwa sebagian besar orang merupakan “kelas kedua” atau tak dapat mengembangkan apapun lebih dari “kesadaran serikat dagang”, kita semua dapat mengatakan bahwa hal ini merupakan absurditas yang tak dapat bertahan, bahkan pemahaman dangkal terhadap sejarah, khususnya gerakan buruh. Kekuatan kreatif perjuangan tersebut bagi kebebasan seringkali benar-benar luar biasa, dan jika kekuatan intelektual dan inspirasi ini tidak terlihat dalam masyarakat normal, hal ini merupakan tuduhan yang mungkin paling jelas dalam menghilangkan efek-efek hierarki dan keseragaman yang dihasilkan dari kekuasaan. (Lihat juga bagian B.1 untuk mengetahui lebih detail mengenai efek hierarki). Seperti yang ditunjukkan Bob Black:
“Kamu merupakan apa yang kamu lakukan. Jika kamu melakukan pekerjaan yang membosankan, bodoh dan monoton, mungkin kamu akan mengakhiri kebosanan, kebodohan dan kemonotonan tersebut. Kerja merupakan eksplanasi yang lebih baik mengenai kretinisasi yang terjadi secara perlahan di sekeliling kita daripada mekanisme yang membodohkan kita secara signifikan seperti televisi dan pendidikan. Orang-orang yang diatur seluruh hidup mereka, menerima pekerjaan dari sekolah, terkurung oleh keluarga pada awalnya dan rumah jompo pada akhirnya, terbiasa terhadap hierarki dan perbudakan psikologis. Bakat mereka untuk otonomi dihentikan pertumbuhannya sehingga ketakutan mereka akan kebebasan berada di antara phobia-phobia yang tidak terlalu rasional. Kepatuhan mereka pada saat bekerja di bawa ke dalam keluarga, tempat mereka memulainya, dan kemudian mereproduksi sistem dengan lebih dari satu cara, ke dalam politik, budaya dan lain-lain.setelah kamu menyalurkan vitalitas dari tempat kerja,mereka mungkin akan tunduk kepada hierarki dan pakar-pakar di segala bidang. Mereka digunakan untuk itu.” (The Abolition of Work)
Ketika kaum elit mencoba memahami kebebasan, mereka hanya dapat berpikir kebebasan diberikan kepada kaum tertindas karena kebaikan kaum elit (menurut Leninis) atau kebodohan (menurut obyektivis). Kemudian sangat mengejutkan bahwa hal tersebut gagal. Hanya pembebasan diri yang dapat menghasilkan masyarakat bebas. Efek-efek kekuasaan yang menghancurkan dan menyimpang hanya dapat diatasi oleh aktivitas mandiri. Tidak banyak contoh pembebasan mandiri semacam itu yang membuktikan bahwa sebagian besar orang, setelah menganggap tak mampu untuk bebas, menyerah kepada tugas tersebut.
Orang-orang yang memproklamasikan “superioritas” mereka sering kali merasa cemas bahwa kekuasaan dan kekuatan mereka akan dihancurkan setelah orang-orang membebaskan dirinya dari tangan-tangan kekuasaan yang melemahkan dan menjadi sadar bahwa, dalam kata-kata Max Stirner, “Si besar menjadi besar karena kita berlutut.”
Seperti kata-kata Emma Goldman, “Keberhasilan luar biasa kaum wanita dalam setiap langkah kehidupan telah membungkam selamanya kata-kata yang tidak tepat mengenai inferioritas wanita. Mereka yang masih melekat pada kepercayaan ini melakukannya karena mereka sangat benci melihat kekuasaan mereka terancam. Hal ini merupakan karakteristik semua kekuasaan, baik majikan terhadap budak ekonominya maupun pria terhadap wanita. Namun demikian, kemanapun wanita berusaha melarikan diri dari sangkarnya, ke manapun ia berusaha untuk bebas, hal tersebut merupakan langkah besar.” (Vision on Fire, hal 256)
Komentar yang sama dapat diterapkan, contohnya, terhadap pengalaman yang sangat berhasil dalam pengelolaan mandiri para pekerja selama revolusi Spanyol, mengutip kata-kata Rosseau :
“Ketika aku melihat banyak orang-orang liar yang sama sekali telanjang menolak kegairahan orang-orang Eropa dan menahan lapar, api, pedang, dan kematian hanya demi mempertahankan kemerdekaan mereka, aku merasakan bahwa hal tersebut tidak mencerminkan tingkah laku budak karena alasan mereka mengenai kebebasan.” (dikutip oleh Noam Chomsky, “Anarchism, Marxism and Hope for the future”, Red and Black Revolution, no.2)
A.2.18 Apakah kaum anarkis mendukung terorisme?
Tidak, dan hal ini dikarenakan tiga alasan. Terorisme memiliki arti baik mentargetkan atau tidak takut membunuh orang yang tidak bersalah. Agar anarki berdiri, harus didirikan oleh orang biasa. Orang tidak musti meyakinkan orang lain mengenai pemikirannya lewat cara meledakkan kepala mereka. Kedua, anakisme merupakan pembebasan diri. Seseorang tidak dapat meledakan sebuah hubungan sosial. Kebebasan tidak dapat tercipta dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menghancurkan peraturan atas nama mayoritas. Karena telah sekian lama orang membutuhkan peraturan, maka hierarki ada (lihat bagian A.2.16 untuk lebih detail). Karena seperti yang telah kita tekankan sebelumnya, kebebasan tidak dapat diberikan, hanya dapat diambil. Pada akhirnya anarkisme bertujuan untuk kebebasan. Karena itu komentar Bakunin bahwa “ketika seseorang melakukan sebuah revolusi demi pembebasan kemanusiaan, ia seharusnya menghargai kehidupan dan kebebasan manusia”. (dikutip oleh KJ Kenafick, Michael Bakunin and Karl Marx, hal.125) Bagi kaum anarkis, sarana menentukan tujuan dan terorisme dengan sifatnya yang seperti itu mengganggu kehidupan dan kebebasan individu sehingga tak dapat digunakan untuk menciptakan masyarakat anarkis.
Lagipula, kaum anarkis tidak melawan individu melainkan institusi dan hubungan sosial yang menyebabkan individu tertentu memiliki kekuasaan terhadap yang lain dan menyalahgunakan (contoh : menggunakan) kekuasaan tersebut. Karena itu revolusi anarkis menghancurkan struktur bukan orang. Seperti yang ditunjukkan Bakunin, “Kami tidak ingin membunuh orang, namun menghapuskan status dan keuntungannya”. Dan anarkisme “tidak berarti kematian bagi individu yang menyusun borjuis, melainkan kematian borjuis sebagai entitas politik dan sosial yang secara ekonomi berbeda dari kelas pekerja.” (The Basic Bakunin, hal 71dan 70) “Dengan kata lain kamu tak bisa meledakkan hubungan sosial” (mengutip judul pamflet anarkis yang menggambarkan kaum anarkis melawan terorisme)
Lalu bagaimana anarkisme dapat diasosiasikan dengan kekerasan? Sebagian karena negara dan media tetap menghubungkan teroris yang bukan anarkis sebagai anarkis. Contohnya, kelompok Bader-Meinhoff Jerman seringkali disebut “anarkis” meski mereka sendiri mengklaim diri sebagai Marxis-Leninis. Sayangnya fitnahan tersebut berhasil. Sama halnya, seperti yang ditunjukkan Emma Goldman, “sebuah kenyataan yang diketahui hampir setiap orang yang akrab dengan gerakan anarkis bahwa sejumlah besar aksi (teroris) berasal dari pers kapitalis maupun penyelidikan polisi, jika bukan tindakan langsung. Kaum anarkis menderita karenanya.” (Red Emma Speaks, hal.216)
Tidak berarti bahwa kaum anarkis tidak melakukan aksi kekerasan. Mereka pun melakukannya (seperti yang dilakukan tindakan religius dan politik lainnya). Alasan utama dari asosiasi terorisme dengan anarkisme adalah dikarenakan periode “propaganda melalui aksi” dalam gerakan anarkis.
Periode ini – kira-kira dari tahun 1880-1900—ditandai oleh sejumlah kecil kaum anarkis yang membunuh anggota-anggota kelas berkuasa (keluarga raja, politisi dan lain-lain) Lebih buruk lagi, periode ini melihat teater dan toko-toko yang sering dikunjungi kaum borjuis yang sebagai sasaran. Tindakan ini disebut “propaganda” melalui aksi. Kaum anarkis mendukung taktik yang digunakan dalam pembunuhan Tsar Alexander II oleh kaum populis Rusia (kejadian ini didorong oleh editorial terkenal Johann Mosts dalam Freiheit, berjudul “At Last!”, memperingati regicide dan pembunuhan para tiran). Namun ada alasan yang lebih dalam mengenai dukungan anarkis terhadap taktik ini : pertama, sebagai balas dendam atas tindakan represi yang ditujukan kepada kelas pekerja; dan kedua, sebagai sarana untuk mendorong rakyat melakukan revolusi dengan menunjukkan bahwa penindas dapat dikalahkan.
Dengan mempertimbangkan alasan-alasan tersebut bukan suatu kebetulan bahwa aksi yang dimulai di Perancis setelah 20.000 lebih kematian terjadi karena tekanan brutal dari negara Perancis terhadap Paris Commune, dan di dalamnya banyak kaum anarkis yang terbunuh. Menarik untuk dicatat bahwa meski kekerasan kaum anarkis dalam balas dendam untuk Commune tersebut relatif terkenal, pembunuhan yang dilakukan negara terhadap Communalds relatif tidak diketahui. Hal yang sama terjadi di Italia. Pembunuhan Raja Umberto 1900 oleh anarkis Italia Gaetano Bresci atau bahwa percobaan pembunuhan manajer Carnegie Steel Corporation Henry Clay Frick 1892 oleh Alexander Berkman diketahui. Apa yang sering kali tidak diketahui bahwa pasukan Umberto telah menembaki dan membunuh para petani yang melakukan protes atau bahwa Frick’s Pinkertons juga telah membunuh para pekerja yang terkunci dalam barak.
Permainan licik kekerasan negara dan kapitalis tidak terlalu mengherankan. “Tingkah laku negara memang kekerasan,” kata Max Stirner, “dan kekerasan tersebut disebutnya ‘hukum’; sedang yang dilakukan individu, ‘kejahatan’” (The Ego and Its Own, hal. 197) Sehingga, menjadi sesuatu yang tidak terlalu aneh bahwa kekerasan yang dilakukan kaum anarkis dikutuk, sedangkan penindasan (dan lebih buruk lagi adalah kekerasan) yang memancing kekerasan kaum anarkis diabaikan dan dilupakan.
Kita dapat merasakan adanya kemunafikan di sekeliling kutukan terhadap kekerasan yang dilakukan kaum anarkis untuk menanggapi kekerasan negara. Contohnya, banyak individu dan tulisan kaum kapitalis di tahun 1920-an dan 1930-an yang memuji fasisme seperti Mussolini dan Hitler. Sebaliknya, kaum anarkis menentang kaum fasis sampai mati dan berusaha membunuh Mussolini dan Hitler. Mendukung secara terang-terangan kediktaktoran yang melakukan pembunuhan bukanlah “kekerasan” dan “terorisme”, namun melawannya disebut demikian! Hal yang sama juga tampak dalam dukungan kaum non anarkis terhadap negara otoriter dan represif, perang serta usaha menekan pemogokan dan kerusuhan dengan menggunakan kekerasan (“menegakkan hukum dan ketertiban”) dan mereka tidak menganggapnya kekerasan. Sebaliknya, kaum anarkis dikutuk sebagai :kejam” dan “teroris” karena terdapat sebagian kecil anggota yang mencoba membalas dendam atas tindakan penindasan dan kekrasan negara/kapitalis!
Harus dicatat bahwa mayoritas anarkis tidak mendukung taktik ini. Mereka yang melakukan “propaganda melalui aksi” (kadang-kadang disebut “attentats”), seperti yang ditunjukkan oleh Murray Bookchin, hanya “beberapa…anggota kelompok anarkis. Mayoritas …mewakili perseorangan.” (The Spanish Anarchist, hal. 102) Tak perlu dikatakan lagi, negara dan media menggambarkan semua anarkis dengan kuas yang sama. Mereka masih melakukannya, kadang-kadang tanpa teliti (seperti menyalahkan Bakunin atas aksi-aksi semacam itu meski ia telah mati 5 tahun sebelum taktik tersebut dibicarakan dalam lingkungan kaum anarkis!)
Setelah semua dipertimbangkan, fase “propaganda melalui aksi” merupakan sebuah kegagalan, karena sebagian besar kaum anarkis segera mengetahui. Kropotkin dapat dipertimbangkan secara khusus. Awalnya, ia menyetujui aksi kekerasan yang ditujukan terhadap anggota-anggota kelas berkuasa yang represif. Namun, di tahun 1890-an, ia tidak menyetujui tindakan kekerasan kecuali aksi mempertahankan diri dalam sebuha revolusi. Hal ini sebagian karena perubahan sederhana yang lebih buruk dalam aksi (seperti pembomam Teater Barcelona untuk menanggapi pembunuhan yang dilakukan negara terhadap kaum anarkis yang terlibat dalam pemberontakan Jerez 1892 dan pembomam sebuah kafe yang dilakukan Emile Henry untuk menanggapi penindasan negara) dan sebagian lagi karena kesadaran bahwa aksi-aksi semacam itu menghalangi maksud kaum anarkis. Semakin banyak lagi kaum anarkis yang melihat bahwa proganda melalui aksi” memberikan alasan bagi pemerintah untuk mengawasi gerakan anarkis dan buruh. Tambahan lagi, aksi-aksi semacam itu memberi media (dan lawan-lawan anarkisme) peluang untuk menghubungkan anarkisme dengan kekerasan yang tak beralasan, sehingga mengasingkan masyarakat dengan gerakan. Kesalahan dalam menghubungkan ini diperbaiki pada setiap kesempatan, bagaimanapun keadaannya (contohnya, meski anarkis individualis menolak total “propaganda melalui aksi”, mereka juga dicap pers sebagai “kejam” dan “teroris”)
Lagipula, asumsi yang mengikuti propaganda melalui aksi, contohnya bahwa setiap orang menunggu kesempatan untuk memberontak, ternyata salah. Kenyataannya, rakyat merupakan hasil dari sistem di tempat mereka berada; karena itu mereka menerima sebagian besar mitos yang digunakan untuk mempertahankan sistem tersebut. Dengan kegagalan propaganda ini, kaum anarkis kembali ke sebagian besar hal yang telah dikerjakan gerakan: mendorong perjuangan kelas dan proses pembebasan diri. Kembalinya kaum anarkis ke akar anarkisme dapat dilihat dari kebangkitan serikat sindikalis anarko setelah 1890 (lihat bagian A.5.2).
Meski sebagian besar kaum anarkis tidak sepakat terhadap taktik tersebut, beberapa orang akan menganggapnya sebagai terorisme atau menyingkiran pembunuhan di bawah semua keadaan. Membom sebuah desa dalam perang karena mungkin ada musuh di dalamnya merupakan sebuah tindakan terorisme. Seperti yang telah ditunjukkan kaum anarkis sekian lama, jika dengan terorisme hal tersebut diartikan “membunuh orang-orang yang tak bersalah” maka negara adalah teroris terbesar di antara yang lain (seperti memiliki bom-bom terbesar dan senjata-senjata destruksi lain yang ada di planet ini). Jika orang-orang yang melakukan “aksi-aksi teror” benar-benar seorang anarkis, mereka akan melakukan semua hal yang mungkin untuk menghindari merugikan orang-orang tak bersalah dan tak pernah menggunakan pernyataan negara bahwa “kerusakan yang mengikutinya” merupakan sesuatu yang disesali, namun tak dapat dielakan. Inilah sebabnya mengapa mayoritas tindakan “propaganda melalui aksi” ditujukan terhadap individu dari kelas berkuasa, seperti presiden dan pemilik perusahaan, serta merupakan akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan negara dan kapitalis sebelumnya.
Jadi aksi-aksi teroris telah dilakuakn oleh kaum anarkis. Hal ini adalah kenyataan. Apa yang seringkali dilupakan adalah bahwa anggota-anggota kelompok politis dan religius lainnya juga telah melakukan aksi semacam itu. Seperti yang dikatakan oleh Freedom Group London:
“terdapat sebuah kebenaran yang tak dapat disangkal lagi bahwa orang-orang di jalanan selalu tampak lupa, ketika ia menyalahkan kaum anarkis, atau kejadian apapun yang menimpa bete noirenya saat itu, akan penyebab terjadinya kebiadaban tersebut. Fakta yang tak dapat disangkal ini menunjukkan pada kita bahwa kebiadaban, dari waktu yang lalu, merupakan jawaban dari kelas yang putus asa dan tertekan, serta individu yang putus asa dan tertekan, terhadap kesalahan dari teman-teman mereka, yang mereka rasa tak dapat ditoleransi. Tindakan seperti itu merupakan recoil kejam dari kekerasan, baik segresif maupun represif…penyebabnya tidak berada dalam keyakinan tertentu apapun, melainkan kedalaman …sifat manusia itu sendiri. Keseluruhan peristiwa sejarah, politik, dan sosial, penuh dengan bukti mengenainya.” (dikutip oleh Emma Goldman, op.cit., hal 213)
Terorisme digunakan oleh banyak kelompok dan anggota politik, sosial, dan religius. Contohnya; kaum Kristen, Marxis, nasionalis, republik, muslim, sikh, fasis, yahudi, dan patriot, telah melakukan aksi terorisme. Tidak banyak dari gerakan atau pemikiran ini yang dicap sebagai “bersifat teroris” atau terus menerus dihubungkan dengan kekerasan—yang menunjukkan ancaman anarkisme terhadap status quo. Tidak ada yang lebih mungkin untuk mendiskreditkan atau memarjinalkan suatu pemikiran dari orang-orang yang dilaporkan jahat dan/atau gila, untuk menggambarkan mereka yang percaya dan mempraktekkannya sebagai “pembom gila” yang tidak memiliki pendapat atau cita-cita, melainkan hanyalah sebuah dorongan gila untuk menghancurkan.
Tentu saja, mayoritas orang-orang Kristen dan yang lainnya, melawan terorisme karena secara moral merupakan tindakan yang menjijikkan dan tidak produktif. Seperti halnya yang dilakukan oleh mayoritas kaum anarkis di setiap tempat dan waktu. Namun, dalam kasus kita tampaknya perlu untuk menyatakan posisi kita terhadap terorisme dengan terus menerus.
Jadi, sebagai kesimpulan—hanya sebagian kecil teroris yang anarkis, dan hanya sebagian kecil anarkis yang teroris. Gerakan kaum anarkis secara keseluruhan selalu mengakui bahwa hubungan sosial tidak dapat dibunuh atau dihancurkan eksisitensinya. Dibandingkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh negara dan kapitalisme, yang dilakukan kaum anarkis bagaikan setetes air dalam lautan. Sayangnya sebagian besar orang lebih mengingat tindakan beberapa kaum anarkis yang telah melakukan kekerasan dari pada tindakan kekerasan dan represi oleh negara serta kapital yang mendorong aksi-aksi kaum anarkis.
A.2.19 Pandangan etis apakah yang dipegang kaum anarkis?
Sudut pandang kaum anarkis mengenai etika sangat bermacam-macam, meskipun mereka semua memiliki kepercayaan yang sama mengenai kebutuhan seorang individu untuk berkembang dalam dirinya. Semua kaum anarkis setuju dengan pendapat Max Stirner bahwa seorang individu harus membebaskan dirinya dari batas-batas moralitas yang ada dan hal-hal mengenai moralitas—“aku memutuskan entah hal tersebut benar bagi diriku; tidak ada kebenaran diluar diriku.” (The Ego and Its Own, hal 189)
Namun tidak banyak kaum anarkis yang berpendapat sejauh Stirner dan menolak konsep etika sosial apapun (mereka mengatakan bahwa Stirner menghargai beberapa konsep universal meskipun bersifat egoistik). Relativisme moral yang ekstrim seperti itu nyaris sejelek absolutisme moral bagi sebagian besar kaum anarkis (relativisme moral merupakan pandangan bahwa tidak ada yang benar atau salah di luar hal-hal yang sesuai bagi individu, sementara absolutisme moral merupakan pandangan bahwa apa yang benar dan salah bebas dari yang dipikirkan individu).
Seringkali diklaim bahwa masyarakat modern rusak karena “egoisme” yang berlebihan atau relativisme moral. Sejauh relativisme melangkah, hal ini merupakan langkah maju dari absolutisme moral, yang di dorong kepada masyarakat oleh bermacam-macam moralis dan pengikutnya, karena mendasarkan dirinya, meski sedikit, pada pemikiran individu. Namun karena mengingkari eksistensi (atau sifat yang diinginkan) etika, hal tersebut hanya bayangan mengenai apa yang menjadi lawan pemberontakan. Tak ada pilihan menguasai atau membebaskan individu.
Akibatnya, kedua sikap ini menjadi ketertarikan besar bagi para otoritarian, karena rakyat, baik yang tidak dapat membentuk suatu opini mengenai suatu hal (dan akan mentolerasi apapun) atau yang akan mengikuti secara buta perintah dari kelas berkuasa merupakan hal-hal yang bernilai besar bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Sebagian besar kaum anarkis menolak keduanya dan mendukung sebuah pendekatan evolusioner pada etika yang didasarkan pada akal budi manusia untuk mengembangkan konsep-konsep etis dan empati antarpersonal untuk menggeneralisasikan konsep-konsep ini ke dalam sikap etis di dalam masyarakat seperti halnya di dalam individu. Oleh karena itu, suatu pendekatan anarkistik terhadap etika juga menggunakan investigasi individu yang kritis yang ditunjukkan dalam relativisme moral namun mendasarkan dirinya kepada perasaan yang umum mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Seperti pendapat Proudhon:
“Semua kemajuan berawal dari penghapusan sesuatu; setiap perbaikan terletak pada beberapa kesalahan; masing-masing pemikiran baru didasarkan pada ketidakcukupan bukti pemikiran lama.”
Sebagian besar kaum anarkis menggunakan sudut pandang bahwa standar-standar etis, seperti hidup itu sendiri, merupakan proses konstan evolusi. Hal ini membuat mereka menolak bermacam-macam gagasan mengenai “hukum Tuhan”,”hukum alam”, dan lain-lain demi teori perkembangan etis yang didasarkan pada pemikiran bahwa individu-individu sama sekali dikuasai untuk mempertanyakan dan menilai dunia sekeliling mereka—kenyataanya mereka membutuhkannya untuk benar-benar bebas. Kamu tidak dapat menjadi seorang anarkis dan menerima apapun dengan buta! Michael Bakunin, salah seorang pemikir pendiri anarkis, menyatakan skeptisisme radikal seperti ini:
“tak ada teori, sistem yang siap pakai, buku yang telah ditulis akan menyelamatkan dunia. Aku tidak menggantungkan diri kepada sistem apapun. Aku merupakan pencari sejati.”
Oleh karena itu, kaum anarkis secara esensial menggunakan pendekatan ilmiah dalam menyelesaikan masalah. Kaum anarkis sampai pada penilaian etis tanpa mengandalkan mitologi bantuan spiritual, namun pada kemampuan pikiran mereka sendiri. Hal ini dilakukan melalui logika dan akal budi. Cara ini jauh lebih baik daripada sistem absolut dan otoriter seperti religi ortodoks serta tentu saja dari “tidak ada yang benar maupun salah” dalam relativisme moral, untuk memecahkan pertanyaan moral.
Jadi, apa yang menjadi sumber konsep etis? Bagi Kropotkin, “alam telah diakui sebagai guru etis pertama manusia. Insting sosial ada sejak lahir dalam manusia seperti halnya semua hewan sosial,-hal ini merupakan asal semua konsepsi etis dan semua perkembangan moralitas berikutnya.” (Ethics, hal. 45)
Kehidupan, dalam kata lain, merupakan dasar etika kaum anarkis. Artinya bahwa secara esensial (sesuai dengan kaum anarkis), sudut pandang etis individu diturunkan dari tiga sumber dasar:
1) dari masyarakat yang ditinggali individu. Seperti yang ditunjukkan Kropotkin,”konsepsi manusia mengenai moralitas benar-benar tergantung terhadap bentuk bahwa kehidupan sosial yang ada pada waktu tertentu dalam lokalitas tertentu…hal ini (kehidupan sosial) direfleksikan dalam konsepsi moral manusia dan dalam ajaran moral epos tertentu.” (op.cit., hal.135) Dalam kata lain, pengalaman hidup dan kehidupan.
2) Evaluasi kritis oleh individu mengenai norma-norma etis masyarakat mereka, seperti yang ditunjukkan di atas. Hal ini menjadi inti argumen Erich Fromm bahwa “Manusia harus meneriam tanggungjawab atas dirinya sendiri dan kenyataan bahwa hanya dengan menggunakan kekuatannya sendiri ia dapat memberi arti pada kehidupannya…tidak ada arti bagi kehidupan kecuali arti yang diberikan seseorang pada hidupnya dengan kekuatannya yang nyata, dengan hidup secara produktif.” (Man for Himself, hal.45) Dalam kata lain, individu berpikir dan berkembang.
3) Perasaan empati – “asal sentimen moral yang sebenarnya…berada dalam perasaan simpati.” (“Anarkis Morality”, Kropotkin’s Revolusionary Phamplets, hal 94) Dalam kata lain kemampuan individu untuk merasakan dan berbagi pengalaman serta konsep dengan orang lain.
Faktor terakhir ini sangat penting bagi perkembangan pemahaman etika. Seperti pendapat Kropotkin “Semakin tinggi imajinasimu semakin baik kamu menggambarkan bagi dirimu sendiri bagaimana rasanya menderita, dan pemahaman moralmu semakin baik dan halus… dan semakin kamu terbiasa oleh keadaan, oleh hal-hal yang ada di sekelilingmu, atau oleh intensitas pemikiran dan imajinasimu sendiri, untuk bertindak karena dorongan pemikiran dan imajinasimu, semakin sentimen moral tumbuh dalam dirimu, hal tersebut semakin menjadi kebiasaan.” (op.cit., hal 95)
Jadi, anarkisme (secara esensial) didasarkan pada pepatah etis “perlakukan orang lain sama seperti apa yang ingin kamu inginkan dari orang lain dalam keadaan yang sama”. Kaum anarkis bukanlah egois ataupun altruis ketika tiba pada masalah moral, mereka benar-benar manusia.
Seperti kata Kropotkin, “egoisme” dan “altruisme” berakar dalam motif yang sama-“betapa pun besarnya perbedaan antara dua tindakan dalam hal kemanusiaan motifnya adalah sama. Motifnya adalah pencarian kesenangan.” (op.cit.,hal 85)
Bagi kaum anarkis pemahaman seseorang mengenai etika harus dikembangkan oleh dirinya sendiri dan membutuhkan penggunaan penuh kemampuan mental individu sebagai bagian dari kelompok sosial, dan komunitas. Karena kapitalisme dan bentuk kekuasaan lainnya melemahkan imajinasi individu dan mengurangi sejumlah jalan keluar bagi mereka untuk menggunakan akal budi di bawah beban mati hierarki sama halnya seperti mengganggu komunitas, sehingga tidak mengherankan jika kehidupan dalam sistem kapitalisme di tandai oleh sikap acuh yang dingin terhadap yang lain dan kurangnya tingkah laku etis.
Ketidaksetaraan memainkan peranan dalam masyarakat yang berupa perpaduan faktor-faktor tersebut. Tanpa kesetaraan tak akan ada yang menjadi etika sesungguhnya bagi “Keadilan yang menunjukkan kesetaraan…hanya mereka yang menganggap orang lain sebagai pihak yang setara dapat mematuhi aturan:’ Perlakukanlah orang lain seperti halnya kamu ingin diperlakukan oleh mereka.’ Seorang pemilik budak dan penjual budak jelas tidak mengakui.. .‘perintah kategorial’ (mengenai memperlakukan orang lain bukan untuk menjadikannya sebagai sarana melainkan sebagai tujuan) seperti menguasai pelayan (budak) karena mereka tidak dipandang sebagai pihak yang setara.” Karena itu ”halangan terbesar” untuk mempertahankan tingkatan moral tertentu dalam masyarakat kita terletak pada ketiadaan kesetaraan sosial. Tanpa kesetaraan yang sejati, rasa keadilan tak akan pernah berkembang secara universal, karena keadilan menunjukkan pengakuan terhadap kesetaraan.” (Peter Kropotkin, Evolution and Enviroment, hal. 88 dan 79)
Kapitalisme, seperti masyarakat manapun, juga memiliki sikap etis yang sesuai.
Dalam masyarakat yang bergerak di antara relativisme dan absolutisme moral, bukanlah sesuatu yang terlalu aneh bila egoisme dikacaukan dengan egotisme. Dengan mencegah individu untuk mengembangkan pemikiran etis mereka sendiri, serta malah mendorong bentuk kepatuhan buta terhadap kekuasaan eksternal (dan begitu juga dengan relativisme moral ketika individu berpikir bahwa tak kekuatan kekuasaan di atasnya), masyarakat kapitalis memastikan terjadinya pemiskinan individualitas dan ego. Seperti yang dikatakan Erich Fromm:
“Kegagalan budaya modern terletak bukan pada prinsip individualisme, bukan pada pemikiran bahwa kebajikan yang besar merupakan hal yang sama dengan pengejaran kepentingan pribadi, namun pada kemerosotan makna kepentingan pribadi tersebut; bukan bahwa mereka tidak memberikan perhatian pada kepentingan pribadi mereka, melainkan bahwa mereka tidak cukup memperhatikan kepentingan pribadi yang sesungguhnya; dalam kenyataan bukan bahwa mereka terlalu egois, melainkan bahwa mereka tidak mencintai dirinya sendiri.” (Man for Himself, hal 139)
Karena itu, dengan suara lantang, anarkisme yang di dasarkan pada kerangka referensi egoistis- pemikiran-pemikiran etis harus menjadi sebuah ekspresi mengenai hal-hal yang mampu menyenangkan kita sebagai suatu kesatuan individu (baik rasional dan emosional, akal budi dan empati). Hal ini membuat kaum anarkis menolak pembagian yang keliru antara egoisme dan altruisme serta mengakui bahwa apa yang disebut “egoisme” oleh banyak orang (contohnya kapitalis) dihasilkan dalam pengingkaran diri individu dan reduksi kepentingan pribadi individu. Seperti pendapat Kropotkin :
“Apakah itu berarti bahwa moralitas, yang menyusun masyarakat manusia dan hewan, memperjuangkan, jika bukan sebagai perlawanan terhadap dorongan-dorongan egoisme yang picik, dan mengungkapkan kemanusiaan dalam semangat perkembangan altruisme? Pernyataan ‘egoisme’ dan ‘altruisme’ seperti itu tidak tepat karena altruisme yang murni tidak dapat muncul tanpa percampuran kesenangan individu– dan akibatnya tanpa egoisme. Karena itu hampir tepat jika mengatakan bahwa etika bertujuan mengembangkan kebiasaan sosial dan melemahkan kebiasaan personal yang picik. Hal yang disebutkan terakhir membuat individu kehilangan pandangan sosialnya karena rasa hormatnya kepada kepribadian yang dimiliki, dan karenanya mereka tetap gagal mecapai tujuan mereka, misalnya kesejahteraaan individu, sementara perkembangan kebiasaan kerja bersama, dan saling membantu, membawa serangkaian hasil yang bermanfaat dalam keluarga seperti jalanya dalam masyarakat.” (Ethics, hal. 307-8)
Karena itulah anarkisme didasarkan pada penolakan absolutisme moral (contohnya “Hukum Tuhan”, “Hukum Alam”, “Sifat Manusia”, “A adalah A”) dan egotisme sempit yang dapat dengan mudahnya menggunakan relativisme moral. Malah, kaum anarkis mengakui bahwa terdapat konsep benar dan salah yang ada di luar evaluasi individu terhadap tindakannya sendiri.
Hal ini disebabkan oleh sifat sosial kemanusiaan. Interaksi antar individu berkembang di dalam pepatah sosial yang, menurut Kropotkin, diringkas sebagai” Bergunakah bagi masyarakat? Jika ya, berarti baik. Apakah hal tersebut merugikan? Jika ya, berarti buruk.” (“Anarchist Morality”, Op. Cit., hal.91) Namun, tindakan apa yang dianggap benar ataupun salah, tidak tetap dan “estimasi mengenai apa yang berguna atau merugikan …berubah, namun dasarnya tetap sama.” (Op.Cit., hal.92)
Rasa empati ini, yang didasarkan pada pikiran kritis, merupakan basis fundamental etika sosial-’apa yang seharusnya terjadi’- dapat dilihat sebagai kriteria etis bagi kebenaran atau validitas sesuatu obyek ‘apa itu’. Jadi, meski mengakui akar etika berada di dalam, kaum anarkis menganggap etika sebagai pemikiran manusia -hasil kehidupan, pemikiran dan evaluasi yang diciptakan oleh individu dan digeneralisasikan oleh kehidupan sosial dan komunitas.
Jadi, bagi kaum anarkis, apa yang tidak termasuk tingkah laku etis? Secara esensial, apapun yang mengingkari pencapaian sejarah yang paling berharga: kebebasan, keunikan dan derajat individu.
Individu dapat melihat tindakan yang tergolong tidak etis karena, adanya empati, mereka dapat menempatkan diri mereka ke dalam keadaan dalam tingkah laku yang membuatnya menderita.Tindakan-tindakan yang membatasi individualitas dapat dianggap tidak etis karena dua alasan (yang sering terkait):
Pertama,perlindungan dan perkembangan individualitas dalam segala sesuatu yang memperkaya kehidupan setiap individu dan memberinya kebahagiaan karena keanekaragaman yang dihasilkan. Basis etika kaum egois ini memperkuat alasan (sosial) kedua, yaitu bahwa individualitas merupakan hal yang baik untuk masyarakat karena memperkaya komunitas dan kehidupan sosial, memperkuat dan membuatnya tumbuh serta berkembang. Seperti pendapat Bakunin, kemajuan ditandai oleh gerakan dari “hal sederhana menuju kompleks” atau, dalam kata-kata Herbert Read, hal tersebut “diukur dengan derajat keanekaragaman dalam masyarakat. Jika individu merupakan unit-unit dalam massa korporasi, hidupnya akan dibatasi, tumpul, dan mekanis. Jika individu merupakan unit miliknya sendiri, dengan ruang dan potensi bagi tindakan terpisah…ia dapat berkembang–dalam arti yang sesungguhnya- berkembang dalam kesadaran kekuatan fitalitas dan kebahagiaan.” (“The Philosophy of Anarchism”, dalam Anarchy and Order, hal 37)
Pertahanan individualitas dipelajari dari alam. Dalam sebuah ekosistem, keanekaragaman adalah kekuatan dan keanekaragaman biologis menjadi sumber pengetahuan etika dasar. Dalam bentuk yang paling dasar, ia memberikan petunjuk untuk “membantu kita membedakan tindakan mana yang melayani kepercayaan evolusi alam dan yang mana yang menghalanginya.” (Murray Bookchin, The Ecology of Freedom, hal.342)
Jadi, konsep etis “terletak pada perasaan sosialitas, inheren dalam keseluruhan dunia hewan dan dalam konsepsi kesetaraan, yang merupakan salah satu penilaian utama yang fundamental mengenai akal budi manusia” (Ethics, hal 311) Karena itu kaum anarkis mempercayai “keberadaan tendensi ganda yang permanen– terhadap perkembangan yang lebih besar di satu sisi, sosialitas, dan di sisi lain pertambahan intensitas kehidupan yang dihasilkan dalam peningkatan kebahagiaan bagi individu, dan dalam kemajuan– fisik, intelektual, dan moral.” (op.cit., hal 19-20)
Sikap kaum anarkis terhadap penguasa, negara, kapitalisme, kepemilikan pribadi dan lain-lain, datang dari kepercayaan etis kami bahwa kebebasan individu merupakan perhatian utama dan kemampuan kita untuk berempati dengan yang lain, untuk memahami diri kita di dalam orang lain (kesetaraan dasar dan individualitas bersama, dalam kata lain)
Karena itu anarkisme mengkombinasikan penilaian subyektif individu mengenai serangkaian keadaan dan tindakan tertentu dengan menggambarkan kesimpulan interpersonal yang obyektif mengenai penilaian tersebut yang di dasarkan pada ikatan empati dan pembicaraan di antara pihak yang setara. Karena itu anarkisme di dasarkan pada pendekatan humanistik terhadap pemikiran etis, yang mencakup masyarakat dan perkembangan individu.
Karena itu sebuah masyarakat etis yang di dalamnya “perbedaan di antara manusia akan dihargai, malah dibantu perkembangannya sebagai elemen-elemen yang memperkaya kesatuan pengalaman dan fenomena… (perbedaan) akan dipahami sebagai bagian individu dari kekayaan keseluruhan karena kompleksitasnya.” (Murray Bookchin, Post Scarcity Anarchism, hal 82)
[printfriendly]