Bagaimana Kasus Setya Novanto Mengaburkan Permasalahan yang Sebenarnya
SEMENTARA negara selalu melakukan pembodohan publik secara tersembunyi, teratur, dengan kemasan-kemasannya yang tampak mulus, Setya Novanto (yang kerap disebut dengan nama berbau Rusia, Setnov) telah melakukan suatu bentuk pembodohan publik paling terang yang pernah kita saksikan. Tentu saja, setiap tindakan politikus dan negara selalu tidak bermoral dan terlegitimasi. Namun kali ini, perilaku Setnov benar-benar mewakili betapa para politikus bisa menjadi tidak bermoral, sungguh menabrak nalar. Sudah sejak awal saya jengah, sehingga tidak memberikan komentar-komentar kritis apapun yang tidak berguna. Namun di saat bersamaan saya justru menemukan suatu hal menarik yang dilakukan oleh publik. Sungguh di luar dugaan, publik jauh lebih mampu melakukan ‘investigasi’ mandiri kecil-kecilan secara sporadis dalam rangka melakukan suatu penghakiman sosialnya sendiri, sementara banyak institusi negara saja dibuat jadi tidak berdaya atas perilakunya ini. Seorang dokter mengomentari bagaimana mungkin Setnov dipasang infus dengan ukuran yang seharusnya digunakan untuk bayi. Sementara seorang yang lain telah memeriksa di toko online, bahwa mobil yang digunakannya adalah mobil bekas. Artinya, publik tidaklah bodoh untuk memahami bahwa kecelakaan Setnov adalah sebuah skenario yang telah dipersiapkan dengan ceroboh dan tolol dalam rangka menghindari jeratan pelanggaran hukumnya.
Saya tidak banyak melihat komentar dari para anarkis soal kasus ini. Mereka sangat sadar bahwa fenomena kali ini adalah sesuatu yang normal, biasa, tidak ada hebatnya. Ada banyak skenario lain yang lebih mengerikan. Karena memang begitulah perilaku politikus. Namun di balik sentimen buruk yang menguat kepada para pejabat negara, ada suatu bentuk serangan yang salah tempat. Kasus Setnov telah mengalihkan pandangan orang banyak bahwa permasalahan politik utama kita hari ini adalah perkara moral, bukan struktural. “Kita membutuhkan negarawan yang lebih bermoral,” ujar orang banyak. Beberapa orang lagi menyatakan bahwa negeri ini butuh lebih banyak pejabat, seperti yang banyak mereka sebut, Ahok misalnya. Artinya, kondisi bisa jauh lebih baik jika negara ini dipimpin oleh orang-orang yang tepat, politikus yang bermoral.
Jujur saja, saya secara terbuka menyatakan simpati yang mendalam terhadap keteguhan Ahok dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih. Tapi saya tidak senaif itu untuk mendukung orang-orang yang baik, ketika menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam institusi yang buruk. Apalagi mendukung orang-orang yang buruk dalam institusi yang buruk pula, misalnya Setnov. Kasus Setnov jauh tidak dapat ditolerir lagi. Lagipula, orang sebodoh apa yang bisa mentolerirnya?
Karena itu, seperti dianjurkan Ted Kaczynski, kita harus menyerang di tempat yang mematikan. Anarkisme, lebih dari pandangan politik yang lain, sudah selesai dengan urusan moralitas. Selama seorang pejabat publik masuk ke dalam struktur negara, sebaik dan semulia apapun ia, sama saja seperti masuk ke dalam kandang singa. Seperti dikatakan Dante Alighieri soal neraka (inferno): “siapapun yang telah masuk ke sini telah meninggalkan seluruh harapan di belakang.” Para politisi tentunya tidak mengambil suatu keputusan karena ia jahat, walau tentu memang ada yang demikian, misalnya (dan lagi-lagi) Setnov. Politisi yang baik pada mulanya pastilah memasuki bidang pelayanan publik dengan motivasi-motivasi idealistis. Sayangnya, keputusan-keputusan buruk yang diambilnya tidak lain adalah karena ia telah menjadi bagian dari sistem interaksi kekuasaan yang perintah-perintahnya telah berkuasa atas diri mereka. Sistem interaksi kekuasaan ini tidak lain adalah negara itu sendiri, yang dikendalikan oleh tangan-tangan jahat sistem ekonomi kapitalisme. Dengan menjalankan fungsinya berdasarkan kerangka ini, mereka sama-sama bertujuan mengamankan dan mempertahankan monopoli kekuasaan bagi sekelompok elit profesional, juga melindungi dan menjalankan kepentingan-kepentingan para pemilik modal. Siapapun politisinya, ia akan selalu menjadi tidak bermoral lagi dalam stuktur negara.
Saya tidak pernah bosan untuk terus mengatakan bahwa negara adalah institusi politik yang manipulatif dan amoral. Dengan menggunakan kedok demokrasi yang diserukan secara berkala melalui pemilihan umum, negara telah menghina ideal demokrasi yang sesungguhnya. Sifatnya yang elitis, hierarkis dan sentralistik, telah membuat setiap orang tidak lebih daripada pembayar pajak, pemberi suara dan konstituen. Partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, kontrol sosial media massa dan konsep-konsep good governance lainnya jelas-jelas adalah bentuk ilusi kelas sipil.
Apa yang mampu kita lakukan, misalnya, ketika diperhadapkan pada drama paling menyebalkan dan kocak seperti Setya Novanto? Membuat meme lalu tertawa menutupi kesedihan mendalam bahwa kita seperti penonton yang dibodoh-bodohi? Bagi saya, kemunculan meme dan sarkas-sarkas lainnya yang bertebaran di jagat media sosial menunjukan ketiadaan kontrol langsung dari rakyat. Ini merupakan suatu bentuk pengalihan dari kontrol langsung rakyat terhadap pejabat publik, dengan menjadikannya sebatas sebagai bentuk lelucon, suatu bentuk penghinaan yang tidak langsung. Tindakan lain yang tampaknya lebih progresif adalah dengan melakukan demonstrasi membawa tuntutan-tuntutan ke pejabat publik yang lain (yang tidak berdaya untuk memenuhi tuntutan demonstran, namun sengaja didorong maju menemui mereka hanya karena atasannya enggan berpanas terik, kecuali massa yang hadir sangat banyak, karena sangat baik untuk pencitraan media), kemudian menandatangi spanduk raksasa sebagai bukti komitmen untuk pemberantasan korupsi, lalu pulang dan berdoa bahwa permasalahan ini bisa dapat dengan cepat diselesaikan. Ya, itu saja. Di balik ‘partisipasi’ (tanda kutip sebagai bentuk sinisme) tersebut, segala urusan publik tetap bergantung kepada segelintir profesional. Katakanlah KPK dan Polri. Kita bukan pemeran penting dalam suatu pertunjukan. Mungkin penonton dapat berseru dalam suatu pertunjukan dan bercakap-cakap dengan aktor, namun bagaimanapun juga, penonton adalah penonton. Sekarang kita dipaksa menonton salah satu drama terburuk yang pernah ada (bagi anarkis, semuanya pertunjukan politik saat ini adalah buruk).
Sialnya, masih banyak orang tampaknya masih kabur dalam memandang permasalahan yang sesungguhnya. Kebanyakan orang sudah terlampau malas untuk mencari alternatif lain dalam mengorganisir masyarakat. Kalau tidak kerajaan, ya negara, dengan segala macam bentuknya, baik itu negara kesatuan atau federal dengan pilihan presidensial atau parlementer. Beberapa tahun terakhir bahkan ada tawaran yang lebih buruk dari kelompok fundamentalis Islam: khilafah. Khilafah sedikit banyak tidak hanya melandaskan serangannya terhadap permasalahan struktural negara, tetapi juga moral, dengan harapan bahwa di bawah kepemimpinan otoritas Islam, maka kehidupan yang lebih baik pasti akan tercapai.
Sayangnya semua pilihan yang ditawarkan tidaklah memadai dan hanya membuka kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut atas monopoli kekuasaan oleh segelintir orang. Namun tetap saja kita selalu mendengar penyataan-pernyataan kompromis sebagai bentuk penyerahan diri, ketertundukan, kepasrahan, kepasifan. Bahkan Franz Magnis Suseno dengan sembrono menyatakan bahwa “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Ini adalah pernyataan ketika seseorang dalam situasi menyadari bahwa tidak mungkin ada politisi yang sempurna, namun di satu sisi ia tidak menemukan alternatif lain yang jauh lebih rasional dan demokratis ketimbang negara. Jika pernyataan Fransz Magnis Suseno memang demikian adanya, mengapa pula kita masih melanjutkan untuk memilih politisi yang tidak mungkin sempurna dalam sistem yang tidak sempurna pula? Atau dalam pertanyaan yang lebih jelas, kenapa masih mempertahankan sistem yang buruk ini jika sistem yang lain sangatlah memungkinkan? (Lebih lanjut sebagai contoh tawaran alternatif dari anarkis silahkan baca Demokrasi Tanpa Negara).
Kita semakin diperhadapkan pada sebuah kebutuhan mendesak bahwa negara dan kapitalisme tidak dapat direformasi. Permasalahan politik kita hari ini tidak hanya terletak pada siapa yang mengendalikan sistem, tapi juga eksisnya sistem itu sendiri. Bukan perkara moral, tapi struktural. Sudah saatnya kita memperjuangkan kembali relasi-relasi sosial yang lebih manusiawi dan kooperatif. Kita harus berjuang membangkitkan dan mengembangkan kembali kekuatan sipil, dalam bentuk demokrasi langsung swa-pemerintahan yang terkonfederasi secara global, yang jauh lebih mampu melampaui proses-proses sosial destruktif seperti saat ini. Kita harus membangun kembali bentuk politik yang sesungguhnya, suatu bentuk politik dimana setiap orang mempunyai kesempatan yang nyata dalam mengendalikan hidup, serta dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik yang terdesentralisir. Kita ciptakan bentuk kehidupan yang menuntut tidak hanya hilangnya kehidupan miskin, tetapi juga kemiskinan hidup. Jika sistem ini masih dibiarkan tegak berdiri, kita akan selalu dipecundangi dari atas. Namun yang lebih buruk, akan ada lebih banyak tiang listrik yang tersakiti. ‘Kan kasihan. Pada akhirnya saya juga terpaksa membuat lelucon untuk menghibur diri menghadapi ketidakberdayaan ini.
Tulisan terburuk hari ini. Judul dengan isi gak nyambung, terus yang dikaburkan itu apa?