Kejahatan Tambang Bijih Besi di Pulau Taliabu
Aksi perlawanan dan teror sepatu lars[1]
Kamis, 23 Februari pukul 12.00 WIT, warga Desa Tikong, Batang Kuning, Padang, Todoli, dan Tolong, Kecamatan Lede, Pulau Taliabu, Maluku Utara, kembali melakukan aksi unjuk rasa di Pelabuhan Kapal Pengangkut PT. Adidaya Tangguh yang terletak di pesisir Desa Tolong. Aksi yang diikuti oleh massa berkisar 50-an orang ini, digelar sebagai bentuk protes warga atas kehadiran PT. Adidaya Tangguh yang melakukan aktivitas penambangan bijih besi dengan membabat hutan dan lahan produktif mereka.
Aksi ini terpaksa dilakukan di area pelabuhan, sebab area camp perusahaan tidak dapat diakses oleh warga yang melakukan protes. Gerbang masuk camp perusahaan dan area penambangan dijaga ketat oleh satpam dan brimob. Untuk masuk ke area tersebut, warga harus mengantongi surat keterangan dari kecamatan dan desa. Setiap orang yang melewati gerbang diperiksa dan diharuskan tidak membawa parang, pisau, sabit, tombak dan benda tajam lainnya. Padahal 32 kepala keluarga di Dusun Fango, Desa Tolong, mempunyai kebun cokelat di sekitar area penambangan.
“Kalau ke kebun tidak bawa parang mau buat apa kasihan?,” ujar salah satu warga Dusun Fango.
Akhirnya, warga yang memiliki kebun di sekitar area PT. Adidaya Tangguh ini sudah tidak lagi ke kebun selama lima tahun terakhir. PT. Adidaya Tangguh tidak memiliki kantor cabang—baik itu di lokasi pertambangan maupun di Bobong, Ibukota Kabupaten Pulau Taliabu. Hanya ada kantor pusat yang berada di Jakarta, sehingga warga yang melakukan protes tidak tahu harus menuju ke mana, selain melakukan aksi langsung dengan memblokade area konsesi.
Sekitar pukul 15.00 WIT, pasukan brimob yang bertugas mengamankan perusahaan memukul mundur massa aksi hingga ke area pemukiman warga Desa Tolong. Saat massa berlarian masuk ke kampung, pasukan pengaman modal ini semakin ganas menyerang dan memukul setiap orang yang ditemui dengan menggunakan popor senjata dan apa saja yang ada di tangan mereka. Akibat penyerangan aparat di Desa Tolong ini, tercacat 25 orang mengalami luka-luka berat dan ringan, enam di antaranya perempuan, serta 15 orang ditangkap, satu di antaranya perempuan, dan dibawa ke Sanana menggunakan speedboat Polairud. Salah satu korban, Sayaf (40 th), mengalami luka cukup serius. Setelah mengalami pemukulan, korban lalu pingsan hingga keesokan harinya hingga akhirnya dilarikan ke Rumah Sakit Bobong.
Sebelumnya, pada Kamis, 9 Februari, warga juga sempat melakukan aksi di lokasi penambangan PT. Adidaya Tangguh yang berada sangat dekat dengan perkampungan Desa Tolong. Aksi tersebut juga dipaksa bubar oleh pasukan brimob bersenjata lengkap. Massa aksi dilucuti dengan tembakan peluru karet. Empat orang menjadi korban, tiga mendapatkan luka tembak dan seorang lagi terkena bacokan parang di bawah ketiaknya.
Pada Desember 2016, warga lingkar konsesi pertambangan yang terdiri dari beberapa desa, di antaranya Desa Tolong, Batang Kuning, Tikong, Todoli, Padang, Lede, Nunca, Air Bulan, dan Ufung, melakukan konsolidasi sejak 23 hingga 26 Desember, lalu menggelar deklarasi Pengakuan Hak Wilayah Kelola Rakyat dan Penolakan Warga Terhadap Aktivitas Pertambangan pada keesokan harinya, 27 Desember. Sebelum dan pada saat aksi digelar, seorang pendamping warga dari WALHI Maluku Utara juga mengalami intimidasi berupa pemukulan dan perampasan telepon genggam. Aksi penyerangan itu dilakukan oleh tiga orang tak dikenal yang diduga merupakan orang suruhan perusahaan.
Menurut keterangan yang dihimpun dari warga, sejak perusahaan mulai beroperasi, ratusan brimob dan tentara dikirimkan ke kampung mereka. Bahkan untuk saat ini, satuan polisi dari Polres Taliabu juga disiagakan di sana. Kehadiran aparat keamanan yang mengenakan seragam, sepatu lars, dan menenteng senjata telah menjadi teror bagi warga kampung, apalagi penanganan masalah antara warga dengan perusahaan yang selalu menghadirkan pasukan pengamanan ini. Warga kampung yang jauh dari akses media dan telekomunikasi ini pun kian terintimidasi. Di dalam berbagai pertemuan, ketika negosiasi berlangsung, perusahaan senantiasa menggunakan kekuatan bersenjata negara untuk menekan warga.
Tanah negara, tambang dan duka kematian
PT. Adidaya Tangguh merupakan anak perusahaan atau sub-kontraktor dari Salim Group. Perusahaan ini mulai melakukan land clearing pada kawasan hutan dan lahan garapan warga beberapa desa di Kecamatan Lede, Pulau Taliabu, Maluku Utara sejak 2009, dengan mengantongi Surat Keputusan Pemerintah Provinsi Maluku Utara Nomor 01-04/IUP-OP/DEPKS/2009.
Sejak awal kedatangan perusahaan ke kampung, mayoritas warga desa di sekitar lingkar konsesi telah menolak dan berkali-kali melakukan aksi protes akibat dari aktivitas perusahaan yang menggusur kebun mereka. Namun, pihak perusahaan yang didampingi oleh pemerintah desa dan kecamatan serta aparat keamanan saat bertemu dengan warga ini berdalih, bahwa kawasan yang digusur buldoser perusahaan merupakan ‘tanah negara’ dan masyarakat hanya memiliki hak atas tanaman di atasnya. Padahal berdasarkan pengakuan warga, kawasan tersebut merupakan wilayah adat yang telah dikuasai dan dikelola warga setempat sejak dulu, bahkan sebelum NKRI ada.
Menurut WALHI Maluku Utara, aktivitas pertambangan PT. Adidaya Tangguh ini telah merombak tatanan ekosistem hutan tropis Taliabu Utara dan Lede tanpa melakukan konsultasi publik sebagaimana mestinya. Perusahaan juga menutup akses warga terhadap lahan garapan mereka dan menggusur kebun-kebun produktif yang merupakan sektor andalan dan tumpuan ekonomi warga. PT. Adidaya Tangguh dinilai telah melakukan kegiatan land clearing sebelum menyelesaikan tata batas kawasannya. Aktivitas perusahaan ini juga telah merusak fungsi area resapan air yang berakibat pada meluapnya Sungai Samada. Air sungai yang meluap ini kemudian membanjiri dan merusak tanaman komoditi andalan warga.[2]
Pembangunan infrastruktur jalan dari pelabuhan ke lokasi perusahaan seluas ±12 km2, dilakukan dengan membabat habis bukit yang di atasnya terdapat lahan perkebunan warga. Pembangunan ini bertujuan sebagai jalur truk perusahaan yang mengangkut hasil tambang dari pelabuhan hingga ke lokasi perusahaan.
Tidak cukup sampai di situ. Pada 25 Maret 2016, Ivan (9 th) dan Jhidan (3 th) meninggal dunia akibat tertimpa puing-puing bangunan bak penampung air milik PT. Adidaya Tangguh yang pecah. Kedua bocah kakak-beradik ini tengah bermain air di saluran pipa yang tertancap pada bak tersebut. Pihak perusahaan menolak bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Jeritan itu diredam: Buldoser mendepak, media tak bersuara
Perampasan ruang hidup; penyerobotan hutan adat dan lahan garapan; intimidasi dan kekerasan bertubi-tubi oleh aparat penjaga kapital; kematian dua bocah; kerusakan ekologi, dan masih banyak lagi kisah pilu yang harus dihadapi warga Desa Tolong dan desa-desa lainnya yang berada pada wilayah lingkar konsesi PT. Adidaya Tangguh.
Perusahaan berdalih bertindak atas dasar hukum yang benar. Pemerintah daerah yang mengeluarkan izin berkata “Itu Tanah Negara!”. Media massa yang biasanya ceriwis mengabarkan soal politik elektoral, gonjang-ganjing debat para elit, liburan selebriti, tiba-tiba membisu.
Jeritan warga kian membesar, namun terus diredam bertubi-tubi oleh raungan buldoser, dentuman senjata, mimpi kemajuan, dan kebisuan media. Mereka masih melawan, walau terus dipukul mundur. Mereka masih bersuara, kendati senantiasa dibungkam. Kabar perlawanan warga kampung ini diabaikan dari pemberitaan media. Media lokal juga nasional terlalu sibuk mengejar profit, dengan menampilkan sosok-sosok kandidat kepala daerah sebagai headline mereka. Perlawanan yang tak bisa mereka kabarkan ke dunia luar, sebab jaringan telekomunikasi yang tak cukup panjang untuk menjangkau kampung pesisir ini.
Jika media arus utama menolak memberitakan tentang perjuangan orang kampung mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka, maka mari menggalang solidaritas, meluaskan kabar ini. Kabar dari warga Desa Tolong dan desa-desa lingkar Adidaya Tangguh, hingga membuat panas telinga pemangku kuasa.[]
Catatan akhir
[1] Wawancara dengan Idham Panigfat, Staf WALHI Maluku Utara dan Pendamping Warga di Area Pertambangan PT. Adidaya Tangguh.
[2] http://lenteraonline.com/2017/02/14/walhi-melaporkan-pt-adidaya-tangguh-komnas-ham/