Munisipalisme Libertarian: Mengembalikan Politik ke Tangan Warga
Politik Ekologi Sosial – Munisipalisme Libertarian
Janet Biehl (Penerjemah: Setiaji Purnasatmoko)
Daun Malam, 2016
Edisi Asli: The Politics of Social Ecology – Libertarian Municipalism. Montreal : Black Rose Book, 1998
Membaca buku setebal 300 halaman ini, menurut hemat saya, bukanlah perkara mudah. Hal demikian diakibatkan karena kepala kita sudah terlanjur dijejali dengan pemahaman ‘sesat’ tentang politik. Banyak di antara kita yang mungkin sudah terlalu alergi dengan kata ‘politik’. Pemaknaan politik menyempit menjadi sekedar datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih wakil-wakil di parlemen, atau dengan kata lain, ikut pemilu; seperti kata anarki yang telah terdistorsi maknanya menjadi sekedar kekacauan. Singkatnya, kita telah menjadi sinis dengan politik—karena terlibat dalam politik berarti membiarkan para pemimpin dan wakil-wakil rakyat itu menentukan hidup kita, menentukan apa yang baik dan buruk bagi kita. Tidak lebih.
Beberapa kalangan bahkan memaknai bahwa politik adalah terlibat dalam kepartaian, ikut kontestasi pemilu, masuk dalam birokrasi negara untuk kemudian melakukan perubahan dari atas ke bawah (top-down). Politik seperti ini bukan sesuatu yang murah dan mudah menurut para pengamat politik. Untuk terlibat dalam politik, setidaknya harus memiliki tiga modal, yaitu modal politik, modal sosial, dan modal ekonomi. Ketiga modal ini dibutuhkan untuk memperoleh dukungan suara dari rakyat.
Namun demikian, membaca buku Politik Ekologi Sosial ini membuka kembali pandangan kita yang telah samar-samar tentang politik. Secara gamblang, Murray Bookchin membedakan antara politik dan ke-Negara-an (statecraft). Sebelum kemunculan negara-bangsa berabad-abad lalu, politik dipahami sebagai aktivitas warga dalam sebuah badan publik yang diberdayakan dan dilaksanakan bersama melalui institusi-institusi partisipatif, bukan melalui institusi-institusi birokratis dan para profesional sehingga membuat masyarakat pasif dalam politik. Kenegaraan meng-andaikan warga sebagai entitas amatir yang tidak mampu mengurusi masalah politik.
Secara historis, politik telah dikembangkan oleh masyarakat Athena kuno pada pertengahan abad ke-lima sebelum masehi. Demokrasi face-to-face (bertatap muka) dalam polis Athena merupakan tradisi yang dibangun di atas semangat partisipatif dalam komunitas. Praktik demokrasi langsung ini memberikan keleluasaan kepada masyarakat Athena untuk memikirkan dan menyelesaikan sendiri masalahnya secara mandiri. Rapat-rapat warga hampir setiap minggu digelar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Setiap pria dewasa di Athena waktu itu memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk terlibat dalam majelis warga dan rapat-rapat warga. Institusi berupa majelis warga memungkinkan politik menjadi luas dan berlangsung terus menerus.
Meski demikian, gambaran historis demokrasi langsung di Athena sangatlah jauh dari ideal. Patriarki dan perbudakan masih terjadi dan merusak praktik-praktik demokrasi langsung warga. Akan tetapi, Munisipalisme Libertarian mengambil yang baik dari praktik demokrasi langsung di masa lalu untuk membentuk sebuah bidang politik yang tidak bersifat parlementer, tidak birokratis, tidak sentralistik, melainkan demokratis dan politis. Dengan berbasis pada masyarakat demikianlah budaya politik yang kaya akan tumbuh subur.
Pembedaan antara politik dan ke-Negara-an sangatlah penting. Secara sederhana, politik dapat diartikan sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah sendiri secara mandiri melalui institusi-institusi partisipatif yang dibangun sendiri oleh warga berdasar kebutuhannya. Sedangkan, ke-Negara-an adalah adanya kekuasaan atas segelintir elit terhadap massa. Massa yang kita sebut sebagai rakyat ini, entitas yang telah terpasifikasi oleh Negara hanya dibuat sibuk untuk mengurusi urusan pribadinya, menjadi acuh dengan kondisi sosial dengan menyerahkan kepengurusannya kepada negara.
Karena besar dan meluasnya hegemoni Negara ini, makna dasar politik memang menjadi kian kabur; menjadikan warga sebatas objek politik, bukannya subjek politik yang dinamis. Kepasifan warga dalam politik membuatnya tercerabut dari komunitas, tidak memiliki kekuatan, dan sendirian dalam masyarakat massa yang kurang bermanfaat baginya sebagai makhluk politik, menurut Bookchin. Hal demikian semakin menjauhkan warga dalam ranah politik, enggan terlibat aktivitas yang menentukan kelangsungan hidupnya sendiri dan komunitas masyarakat lebih luas. Inilah keberhasilan negara menjauhkan warga dari politik. Semakin warga menjauh dari politik, Negara akan semakin mudah menentukan hidup kita.
Dengan demikian, negara telah berhasil membuat kita menjadi pasif dan apolitis dalam artian yang sesungguhnya, yakni memilih untuk menyerahkan hal-hal yang berkaitan tentang hidup kita kepada institusi negara. Sampai-sampai untuk urusan yang paling privat, misalnya soal perkawinan dan reproduksi, kita menyerahkannya kepada negara.
Pada titik ini, pemikiran Bookchin menjadi sangat penting, yakni bagaimana mengembalikan politik ke basis sebenarnya, yaitu warga dan komunitas. Gagasan Munisipalisme Libertarian yang diusung Bookchin berupaya membangun dan mengembangkan demokrasi langsung lokal (munisipal), yakni bahwa warga membuat keputusan-keputusan bagi diri mereka sendiri dan komunitasnya. Namun penting kita pahami bahwa, gagasan yang dimaksud Bookchin bukanlah dalam kerangka konsep negara-bangsa. Munisipalisme Libertarian justru sangat bertentangan dengan Negara.
Mengapa Munisipalisme Libertarian bertentangan dengan Negara? Munisipalisme Libertarian menolak gagasan konvensional bahwa negara-negara dewasa ini adalah demokratis. Gagasan bahwa negara modern saat ini adalah demokratis hanya merupakan retorika narsistik untuk menutupi kelemahan Negara itu sendiri. Negara merupakan institusi koersif yang bersifat memaksa. Negara memiliki logika tersendiri untuk mempertahankan kuasa dan kedaulatannya
Dalam pandangan kalangan liberal dan konservatif, negara diperlukan untuk menjaga tatanan sosial yang teratur. Melalui perangkat represifnya yaitu polisi dan tentara, Negara mampu membuat warganya untuk tunduk dalam aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga ketertiban sosial. Sebagian kalangan ini malah menilai bahwa Negara adalah berkah dan pendorong majunya peradaban. Demokrasi dalam pandangan kalangan liberal dan konservatif adalah demokrasi perwakilan. Warga adalah para amatir yang tidak mampu mengambil keputusan secara menyeluruh, makanya diperlukan profesional-profesional yang mampu mengatur dan menjalankan tugas-tugas yang tidak bisa dilakukan oleh para amatir tadi.
Sementara kalangan kiri keliru dalam membaca ciri-ciri khusus Negara. Mereka cenderung menganggap Negara sebagai refleksi dominasi kelas dan pada saat yang sama sebagai alat yang tepat untuk dimiliki dan digunakan demi kepentingan kelas pekerja. Negara yang dimaksud adalah Negara yang dikuasai oleh segelintir birokrat partai yang mengontrol masyarakat dengan mengatasnamakan kelas pekerja. Yang mesti dipahami adalah bahwa Negara memiliki logikanya sendiri, yaitu memper-tahankan kekuasaan dan kedaulatannya. Dengan sendirinya negara akan memproteksi diri dari anasir-anasir buruk yang mengancam dan mengganggu eksistensinya. Kesalahan dalam menganalisis dan mencermati Negara pada akhirnya akan mengekalkan dominasi, seperti yang telah berlangsung dalam babakan sejarah.
Sementara itu, Munisipalisme Libertarian mengembangkan demokrasi langsung dimana warga terlibat langsung (face-to-face) untuk menyelesaikan masalahnya. Munisipalisme Libertarian tidak lagi membutuhkan elit-elit yang akan mewakili rakyat, tidak ada seorang pemimpin yang memiliki kuasa untuk menentukan hidup yang lainnya, melainkan berupa delegasi yang dipilih munisipal (lokal atau komunitas) yang bisa di-recall oleh warganya. Negara tak perlu lagi ada ketika warga menjadi politis.
Pada akhirnya, sebagai sebuah gagasan politik, gagasan Bookchin dalam buku ini perlu menjadi perhatian serius dan pendiskusian lebih lanjut, kemudian mengelaborasinya dengan pengalaman-pengalaman di tempat kita berpijak untuk menciptakan alternatif-alternatif rasional untuk mengeliminasi negara dan mengembalikan politik ke tangan warga.
Penulis adalah anggota Perhimpunan Merdeka
*) Artikel ini telah dipublikasikan di Koran Bersyarekat #3
Lantas solusi apa yang ditawarkan oleh buku Ini dalam menangkal Hegemoni.”negara”?
Lantas solusi apa yang ditawarkan oleh buku Ini dalam menangkal Hegemoni.”negara”?
Saya belum membaca buku ini.
Namun dari ulasan admin di atas, dapatlah ditarik sebuah tesis yang disampaikan oleh penulis bahwa “negara meruntuhkan apa yang Politis”. Pada bagian lain, disebutkan pula bahwa munispalisme libertarian bertentangan dengan negara, karena elite yang mencaplok politik yang seharusnya ada pada warga.
Sampai di sini, saya tidak melihat adanya alasan untuk mengkonfrontasikan konsep ini dengan negara serta seluruh keberadaannya. Negara merupakan komunitas politik. Komunitas yang sama seperti polis Yunani. Perbedaannya dengan konsep negara kontemporer lebih tampak dalam tingkat kompleksitasnya yang berbeda.
Lebih jauh juga bahwa, saya tidak punya alasan untuk menolak Munispalisme Libertarian ini dalam hal perjuangan untuk mengembalikan daulat politik dalam diri individu/warga. Namun sebaliknya, saya pun tidak punya alasan untuk menyetujui Munispalisme Libertarian (jika) dalam cara pandangnya untuk mengelominasi negara.
Pada kesempatan yang pertama dan paling utama, bahwa keberadaan negara (komunitas politik) ini memberikan definisi bagi seorang individu untuk menjadi warga. Artinya bahwa “sub-keberadaan warga hanya dimungkinkan dalam keberadaan negara”.
Salam?