Resensi: Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme
Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme
oleh Martin Suryajaya
Resist Book, 2011
Terus terang, sudah lama saya menunggu seseorang mengulas atau menerjemahkan karya-karya Alan Badiou ke dalam bahasa Indonesia. Karena pertama, wacana kekirian memang membutuhkan telaah kontemporer yang tidak berhenti di Marx dan Engels. Kedua karena memang fenomena perubahan dan gerakaan sosial hari ini memerlukan wacana kiri yang lebih anti-otoritarian (jika tak boleh memakai kata anarkis) yang jumud dengan politik negara dan demokrasi perwakilan, sistem elektoral dan parlementarisme yang seringnya kehilangan relevansi ketika berhadapan dengan fenomena-fenomena kekinian.
Sebut saja ketika gerakan Occupy merebak dua tahun lalu, banyak aktivis dan penggiat perubahan sosial di tataran lokal tidak paham esensi dari gerakan itu ketika menemukan fakta bahwa gerakan Occupy tidak memiliki ‘tuntutan bersama’ dan bergerak berdasarkan platform emansipatoris dan partisipatoris, termasuk gagal paham apa itu ‘General Assembly’, ‘Dewan Kota’ dan sejenisnya. Ini bisa dimaklumi jika melihat sejarah pergerakan politik di sini selalu terbiasa dengan representasi semodel politik perwakilan. Mungkin di sinilah pentingnya teori-teori Badiou hari ini dan tentunya, buku ini.
Bagi yang sebelumnya akrab dengan Althusser, tentu tidak akan terlalu awam dengan apa yang ditulis Badiou yang berangkat dari tradisi rekonstruksi Marxisme yang sebelumnya dipelopori oleh Louis Althusser. Ia adalah satu di antara sekian banyak pemikir Marxis yang bukan hanya ingin mengembangkan Marxisme tapi juga berusaha untuk memurnikannya (dari ideologi borjuis tentunya).
Badiou memulainya dengan premis umum dari Habermas bahwa politik tak hadir dengan begitu saja. Politik itu senantiasa menuntut representasi. Politik yang terputus dengan representasi adalah adalah politik yang kehilangan legitimasi. Lewat rekonstruksi Marxismenya, Badiou menggugat hubungan premis politik terbesar ini; ia mempertanyakan eksistensi demokrasi parlementer ketika menemukan jawaban mengapa ada keterpisahan antara representasi (wakil rakyat) dan presentasi (rakyat).
Martin membuka buku ini dengan latar belakang penting dari pemikiran Badiou: peristiwa Mei’68. Momentum itu baginya adalah ‘kontradiksi’ yang mengubah pandangan banyak kaum kiri terhadap Marxisme. Kala itu revolusi diprakarsai oleh para pelajar di Paris yang memprotes kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, kemudian menemukan titik temu dengan aksi protes terhadap perang Vietnam, tepat di waktu Perancis mengalami keterpurukan ekonomi dengan tingginya inflasi. Pemberontakan ini membesar seiring dengan skala represifitas dan solidaritas yang meluas. Kaum buruh dan petani seluruh Perancis bergabung, melakukan pemogokan-pemogokan dan aksi-aksi protes di hampir semua provinsi.
Partai Komunis Prancis (PCF), yang awalnya mencibir gerakan massa ini sebagai gerakan revolusioner gadungan, akhirnya meralat pendapat mereka dan menyatakan dukungan mereka ketika bola salju perlawanan semakin membesar. Lalu terjadilah aksi massa terbesar dalam sejarah kontemporer Perancis. Konon masa aksi yang terlibat mencapai satu juta orang di jalan-jalan. Membuat posko-posko, barikade-barikade, menduduki kampus, pabrik, mengubah gedung pertunjukan elit menjadi teater rakyat. Para mahasiswa, pelajar dan para pekerja dan warga kota lainnya bahu membahu melawan polisi anti huru-hara, berperang di jalan-jalan. Meresureksi perlawanan warga di era Komune Paris melawan rezim Thiers.
Namun melemahnya rezim De Gaulle membuka ruang-ruang pertarungan kepentingan politik baru di sayap oposisi. Partai-partai mulai menunjukkan karakternya yang sebenarnya, bernafsu untuk menggantikan rezim yang segera akan berakhir. PCF merasa menjadi representasi dari gerakan ini dan merasa memiliki legitimasi untuk mulai berunding dengan pemerintah. PCF menyuruh para pekerja untuk berhenti aksi dan mulai kembali ke pabrik seperti sedia kala. Kembali ke normal. Sementara mereka merencanakan pemilu legislatif bersama rezim De Gaulle (yang memiliki waktu untuk mereorganisasi kekuatannya). Harapan pun kembali menjadi utopia ketika ternyata rezim menang dalam pemilu. Massa terdisorientasi. Normalisasi kampus-kampus dan pabrik-pabrik dilakukan.
Badiou yang terlibat di gerakan Mei’68 itu merasa perlu untuk membangun kritik terhadap gerakan kiri yang memilih jalan elektoral. Pendek kata, ia memulainya dengan menunjukkan bagaimana Demokrasi Parlementer pada hakikatnya berdiri di atas kekosongan. Ia mengemukakan bahwa “rakyat” hanyalah nama bagi sesuatu yang pada dasarnya tak memiliki nama. Selama ini kata “rakyat” adalah kategori yang mengabstraksikan segala kekhasan dari orang-orang yang ditempatkan dalam kategori itu. Cenderung menggeralisir kekhasan yang ada. Mereka yang tak terhitung inilah yang direpresentasikan melalui para wakil dalam demokrasi parlementer.
Ini jelas merupakan fondasi gugatan Badiou terhadap demokrasi parlementer sebagai sistem politik yang bergantung pada representasi atau perwakilan. Bagi Badiou, tak ada model representasi apapun yang dapat mengklaim seluruhnya massa-rakyat yang sejatinya tak bernama, kondisi seperti inilah yang ia sebut sebagai kekosongan.
Kekosongan ini bagi Badiou merupakan asal mula emansipasi. Dalam situasi kosong inilah Badiou menjelaskan banyak hal (yang bagi pembaca seperti saya agak ribet dan memaksa membacanya berulang-ulang) perihal ‘situs peristiwa’, ‘ensiklopedia’, ‘intervensi politik’, ‘penamaan’, ‘kesetiaan’, ‘subyek’ dan ‘pemaksan kebenaran’. Semua ini adalah usaha Badiou untuk menjelaskan bahwa eksistensi dan intervensi politik di luar politik parlementer dalam mencapai kesetaraan adalah tawaran alternatif terhadap kontradiksi dari demokrasi perwakilan/representasi yang tidak akan pernah mampu untuk mewakili presentasi.
Ketika menggugat demokrasi, tentunya Badiou tidak sedang mencoba mengganti demokrasi dengan totaliarianisme, namun lebih merujuk dan mengemansipasi bentuk demokrasi dalam formatnya yang paling mendasar; demokrasi langsung atau sering disebut sebagai demokrasi partisipatoris. Ia mencontohkan “dewan rakyat” a la Komune Paris pada 1871, dimana perwakilan/representasi tunduk pada presentasi dasarnya.
Yang menarik dari usaha rekonstruksi Marxisme-nya ini adalah implikasi ketika ia melihat Komunisme lebih sebagai ide tentang kesetaraan sepanjang zaman selama masih ada yang memperjuangkan kesetaraan radikal. Ini jelas berbeda dengan Marxisme klasik yang menempatkan komunisme sebagai tahap terakhir perkembangan masyarakat. Komunisme bagi Badiou adalah substansi dari ide yang telah diperjuangkan sejak lama, dalam bentuk pemberontakan budak Roma yang dipimpin oleh Spartakus atau gerakan petani Jerman yang diorganisir oleh Thomas Munzer.
Implikasinya adalah hilangnya basis material (aspek ekonomi) dari pemikirannya yang berarti pula tidak melulu membicarakan ‘kelas’ yang sejatinya merupakan nyawa dalam Marxisme. Badiou melihat subjek revolusioner yang emansipatoris lebih cair, bisa datang dari mana saja, selama ia memperjuangkan kesetaraan radikal tadi. Menjadi ‘pemaksa kebenaran’ dalam ‘ensiklopedia’ para tiran.
Implikasi terpenting, menurut saya pribadi, dari pemikiran Badiou adalah bagaimana ia menempatkan perjuangan menuntut kesetaraan dengan mengambil jarak terhadap Negara. Ia layaknya seorang anarkis yang tak hanya anti-parlemen, namun juga menolak terlibat dalam pemerintahan, menolak berpartisipasi dalam pemilu, tak mengindahkan partai politik dan lain sebagainya. Visi politiknya mungkin tak aneh bagi mereka yang cukup mendalami anarkisme dan beragam variannya, namun jelas ia merupakan perspektif baru dalam tradisi Marxisme yang seringnya terjebak dalam kebuntuan presentasi-representasi ini.
Kecenderungan revisionis Badiou ini yang mungkin cukup ramai belakangan ketika pergolakan-pergolakan baru terjadi di berbagai belahan dunia. Kita bisa melihat idenya hidup ketika gerakan Occupy merebak dan menebar ide baru tentang bagaimana alternatif-alternatif gerakan radikal dapat dibangun. Atau ketika revolusi di Yunani memberikan inspirasi ketika perjuangan menuntut kesetaraan radikal bagi mayoritas dibangun dari isu kecil tentang subsidi. Atau bahkan ketika Arab Spring pecah menyebar bagai dandelion, memberikan kita visi bahwa perjuangan melawan tiran bisa terjadi kapan saja, di mana saja ketika ‘kesetiaan’ terhadap peristiwa menemukan wujudnya dalam militansi.
Membaca buku ini beriringan dengan seri Empire dan Multitude dari Hardt dan Negri memberikan banyak jawaban atas banyak hal ketika inspirasi mentok pada kebanalan gerakan yang begitu-begitu saja dan wacana lama tak lagi memberikan kontribusi dan miskin emansipasi.
Tentu saja pada akhir buku, Martin membuat kesimpulan kritiknya sendiri. Karena tujuan ia menulis buku ini mempertanyakan konsep subyek Alan Badiou tadi. Terutama pada jarak antara representasi dan presentasi. Tepatnya ia menekankan pentingnya pengakhiran atas mediasi (yang disembah-sembah borjuis) melalui presentasi yang mengorganisasikan dirinya dalam representasi. Tugasnya dalam menulis buku ini adalah menanggapi pokok-pokok yang bermasalah dari sistem filsafat Badiou yang ia anggap utopia steril.
Artikel ini sudah pernah dimuat sebelumnya di blog personal Herry Sutresna, www.gutterspit.com.