Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera
Pada awal 2000an, saya mengenal Levebvre ketika baru berkenalan dengan wacana Situasionisme, yang merupakan salah satu upaya saat itu mengatasi kebuntuan wacana (termasuk demoralisasi) ketika berhadapan dengan kefrustasian di lapangan pascareformasi. Ketika kapitalisme berhasil keluar dari krisis, perlawanan menjadi banal, banyak hal tak kunjung berubah dan banyak harapan kandas. Henri Levebvre, menulis analisisnya tentang mengapa kapitalisme dapat bertahan selama ini dan tak kunjung mampus akibat kontradiksi internalnya seperti yang banyak diramalkan oleh kaum kiri. Ia menulis teorinya tentang produksi ruang (production of space), dimana lewat penciptaan perluasan ruang, kapitalisme mampu untuk bangkit dari setiap krisis terberat sekalipun yang terus terhimpun di dalam setiap proses moda produksinya.
Levebvre tak banyak menjawab kegelisahan saat itu. Selain sulit membaca teksnya (teks-teks Situasionis pusingnya minta ampun), pula ia tak menjelaskan secara tepat bagaimana atau mengapa kapitalisme mampu bangkit dari krisis tersebut. Pemahaman saya sepotong-sepotong. Pun ketika David Harvey pada bukunya kemudian, meneruskan Levebvre, menjelaskan hubungan antara kapitalisme dengan produksi ruang, untuk orang seperti saya yang sering gagal fokus tak cukup menjelaskan banyak. Teorinya soal ‘spatio-temporal fix’ membuat saya menyeruput kopi dan mentertawakan diri sendiri, bagaimana bisa orang-orang mencerna pemikiran David Harvey dalam sekali baca.
Pada penghujung tahun 2015 lalu, saya menemukan buku ini. “Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera”. Dijual di lapak kawan-kawan Perpustakaan Jalanan pada saat rombongan kamerad dari anarkis.org berkunjung ke Bandung untuk berbagi wacana tentang pengorganisasian partisipatoris. Pascamembacanya habis dalam waktu tidak singkat, saya bisa memahami dan memberi ilustrasi bagi saya sendiri tentang apa yang dimaksud Levebvre dan Harvey dengan (re)produksi ruang. Bagaimana kapital bekerja melalui penciptaan perluasan ruang, mengeruk sumber daya alam lokal, mengorganisasi pembagian tenaga kerja yang sepenuhnya baru secara teritorial, merubah corak produksi masyarakat, membuka kawasan-kawasan baru sebagai ruang akumulasi kapital yang dinamis, membuka kompleks-kompleks sumber daya baru dan lebih murah, dan melakukan penetrasi pada formasi-formasi sosial.
Ditulis oleh Surya Saluang dan kawan-kawan (yang dengan rendah hati menyebut diri mereka ‘Tim Belajar’), buku “Perampasan Ruang Hidup” ini merupakan hasil komunikasi mereka dengan masyarakat pada rentang waktu setahun di beberapa kabupaten yang ada di Propinsi Maluku Utara yaitu Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Sula, Kabupaten Halmahera Tengah, dan Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2012.
Dengan pendekatan ‘Emik’ (mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri), buku ini saya anggap buku terbitan lokal terbaik yang saya peroleh di tahun 2015 lalu. Tak pernah sebelumnya saya membaca sebuah buku ‘ekonomi politik’ yang nyaris sempurna menceritakan perubahan corak produksi masyarakat, perampasan lahan dan skema pengerukan secara sistematis yang dituturkan dengan cara bercerita, sedemikian rupa sehingga nyaris tak ada kutipan teoritik dari para pemikir-pemikir ekonomi politik pada bab-bab buku ini. Kata ‘Marx’ atau ‘Levebvre’ hanya saya temukan pada bab pengantar. Sisanya, cerita mengalir seolah sebuah film dokumenter.
Secara keseluruhan, buku ini bercerita tentang Halmahera pascaekspansi kapital lewat narasi besar ‘Pembangunan’ dan ‘Pengembangan Daerah’ dilakukan disana. Namun Saluang dan kawan-kawan membukanya jauh hari sebelum ‘Indonesia’ ada. Bagaimana gagasan besar pembangunan telah lama mengakar hadir sejak zaman kolonial, di era primadona rempah di zaman kerajaan Ternate-Tidore. Menghasilkan cerita pundi-pundi kekayaan Spanyol, Inggris, Portugis dan Belanda yang didapat dari perampasan rempah-rempah dan perbudakan di kepulauan ini. Pada era inilah ekstraksi alam dan manusia menjadi komoditas-komoditas dan hubungan dengan pasar mulai secara massif dibangun. Kolonialisme tak menyisakan apapun kecuali kemelaratan dan ketidakmerataan.
Saluang dkk. memulai dari gerbang ini untuk menjelaskan inti dari cerita orang Halmahera yang menjadi ruh buku ini, bahwa semangat keruk ini diteruskan di era modern, pascakebangkitan nasionalisme yang melahirkan kemerdekaan dan republik. Pembangunan post-kolonial justru mengulang tipologi yang sama dari kolonialisme, terutama pada masa Orde Baru dengan pembangunan yang menerima model pertumbuhan makro (modal). Negara yang miskin modal namun kaya akan sumber daya alam akhirnya mengikuti dunia modern barat bahkan dalam skala kebutuhan dan produktivitas. Konsep pembangunan ekonomi dan komodifikasi alam pun berlanjut dengan asumsi menuju industrialisasi.
Dengan awal narasi itulah, Saluang dkk. memulai cerita tentang perampasan ruang hidup dengan memaparkan hasil belajar latar belakang ekologi dua wilayah, Maba dan Wasile. Sebagian besar lewat penuturan warga lokal. Menggali sejarah lokal, berbagai ragam perubahan moda produksi ruang kapital baru di tingkatan masyarakat yang paling umum dan sehari-hari.
Ini merupakan bagian terpenting dalam buku ini. Dengan jelas dituturkan bagaimana bentuk-bentuk penguasaan tanah dan sumber penghidupan yang berbasis alam di Maba dan Wasile dimana semangat dasar dari sistem penghidupannya yang komunal, kolektif dan berdasar kemashlahatan hidup bersama.
Kemudian dituturkan bagaimana ketika perubahan-perubahan besar datang seiring masuknya moda ekonomi keruk. Halmahera, setelah terkotak-kotakan secara sosial pasca kerusuhan SARA, termasuk satu di antara sekian banyak daerah yang saat ini sedang secara masif mengubah bentang alamnya dengan banyak investasi baru atas nama pembangunan dan pengembangan daerah. Sebutlah, dalam satu periode yang hampir bersamaan bermunculan blok-blok pertambangan, penebangan hutan, sekaligus Taman Nasional.
Saat itu MP3EI dan mitos peluang kerja hadir, tambang nikel berekspansi dan fenomena kapling dan ganti rugi menjadi ujung tombak rusaknya hubungan sosial. Antara sesama masyarakat, marga dan keluarga saling bersaing demi mendapatkan jatah ganti rugi. Masyarakat kehilangan hubungan primordialnya dengan tanah, bagaimana warga menggunakan uang ganti rugi sebagai sumber penghidupan dan menghabiskannya begitu cepat. Bagaimana kemudian, bukan hanya efek ekologi (hancurnya alam) yang hadir, tapi juga efek sosial yang berkembang dalam bentuk kesenjangan ekonomi dan kriminalitas.
Pascatambang hadir, warga lokal bukan hanya kehilangan ruang hidup aslinya dan menemukan alamnya luluh lantak, namun mereka pula kehilangan ikatan sejarahnya dengan tanahnya sendiri dan pada akhirnya kehilangan pilihan dan kebebasan.
Buku ini sangat penting untuk belajar bagaimana kapital dan semangat keruk bekerja, untuk kemudian mencari jalan ke arah pembalikan krisis. Karena ada kesamaan semangat di setiap tingkat kapital, dari sub-lokal, lokal, regional, nasional hingga global. Dengan belajar dari krisis di Halmahera, kita bisa belajar membaca arus kapitalisme global yang bekerja di periferi (pinggiran-pinggiran) dan dalam dunia harian orang banyak. Termasuk mempelajari bagaimana dibentuknya ruang kapital itu sendiri, sebagai suatu usaha mengalihkan surplus dari tempat lain ke wilayah periferi yang belum tersentuh sebelumnya. Karena, mengutip Harvey, proses sirkulasi kapital di dalam kapitalisme ini harus terus bergerak. Jika kapital tidak bergerak keluar, kapital akan mengalami kehancuran dan devaluasi.
Proses belajar dalam upaya pembalikan krisis ini semakin signifikan dirasakan hari ini, dimana rezim sekarang tak berubah sedikitpun dalam semangat keruk dan kebijakan ‘pembangunan’nya yang ekspansif. Ketika MP3EI yang banyak dikutuk di era SBY menemukan pengejewantahan nyatanya pada RPJMN rezim hari ini.[]
Judul: “Perampasan Ruang Hidup; Cerita Orang Halmahera”
Penulis: Surya Saluang, Didi Novrian, Risman Buanona, Meifita Handayani
Penerbit: Tanah Air Beta