Kekerasan Negara adalah Keniscayaan. Kita Hanya Perlu Jujur.
30 Oktober 2015. Polisi membubarkan aksi damai buruh di depan Istana Negara untuk menuntut pencabutan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Polisi merusak mobil komando, memukuli dan menangkapi buruh. Paling sedikit, 25 buruh ditangkap. Buruh yang luka-luka lebih banyak lagi.
18 November 2015. Aksi damai sepuluh ribu buruh di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Jombang karena alasan yang sama diganjar kekerasan serupa dari aparat negara. Polisi membubarkan aksi tersebut dengan memburu, memukuli dan menangkapi buruh. Paling tidak, lima buruh luka-luka sementara dua lainnya ditangkap.
25 November 2015. Aksi damai ribuan buruh menuju PT. Kalbe, Bekasi, dihantam dengan kebrutalan serupa. Kali ini bersama ormas setempat, aparat negara memaksa buruh-buruh yang tengah mogok untuk masuk ke pabrik untuk kembali bekerja. Buruh luka-luka, dan ditangkap.
Kutukan dan penyesalan ramai-ramai ditujukan pada aparat negara. Seperti biasanya, banyak yang kemudian menyesalkan polisi yang provokatif, tidak ‘netral’, brutal, melanggar konstitusi karena mengabaikan peraturan tentang hak mogok kerja dan kebebasan pengemukaan pendapat di muka umum, dan perlakuan polisi tidak ‘proporsional’.
Kutukan, pernyataan sikap, dan penyesalan terhadap respons aparat negara ini tidaklah salah sejauh ia berfungsi tak lebih sebagai pernyataan posisi diri. Yang berbahaya adalah saat rutinitas ini membuat banyak dari kita percaya bahwa kutukan, pernyataan sikap, dan penyesalan dapat menekan negara, membuat aparat-aparatnya ‘insyaf’ dan tidak mengulangi perilaku yang sama di kemudian hari. Kepercayaan macam ini adalah kenaifan.
Kenaifan ini membuat banyak dari kita mencari-cari pembenaran bahwa aparatus negara seharusnya ‘proporsional’, ‘netral’, tak provokatif, konstitusional, menjauhi kekerasan, apalagi brutal; sambil menghimbau polisi untuk sekadar menjaga barisan buruh yang tengah mogok dengan tenang. Tentu saja ini adalah pesan yang meneduhkan hati, tapi kenyataan tak pernah meneduhkan hati.
Jikalau mogok memang dimaknai sebagai upaya untuk melakukan tekanan secara ekonomi-politik pada negara dan kapitalis supaya mereka memenuhi tuntutan buruh, maka sangatlah logis kalau negara dan kapitalis meresponsnya dengan kekerasan. Kalau mogok memang dimaknai sebagai upaya untuk menyebabkan kerugian negara dan kapitalis milyaran-triliunan rupiah, membuat sirkulasi uang macet untuk beberapa waktu hingga menyebabkan ketidak-stabilan ekonomi-politik (atau sederhananya, mengancam pundi-pundi uang negara dan kapitalis), maka kekerasan adalah keniscayaan.
Kekerasan aparat negara adalah konsekuensi logis dari mogok dan dari perjuangan apa pun yang benar-benar mengancam negara dan kapitalis. Andai hari itu polisi memutuskan untuk mengawal mogok dengan tenang dan ‘netral’, dan tidak membubarkan ribuan buruh yang berkumpul di depan Istana Negara (entah lewat himbauan atau kekerasan), tentu jumlah buruh yang bergabung akan bertambah tiap jam, keberanian buruh makin kuat, atmosfir perjuangan merebak, semangat menjalar, dan aksi akan makin mengancam. Bisa jadi ribuan buruh merobohkan pagar-pagar, merangsek masuk ke Istana Negara, lalu mendudukinya berhari-hari. Saat ini terjadi, negara dan kapitalis makin tertekan untuk mencabut PP Pengupahan sesuai keinginan buruh. Apakah logis kalau polisi melakukan hal ini?
Andai saja hari itu polisi bersikap santun, ‘proporsional’, dan mematuhi konstitusi, bisa jadi buruh-buruh Jombang menduduki Kantor Pemerintahan dan menyandera beberapa pejabat negara. Lagi-lagi, tentu situasinya akan makin tak berpihak pada negara dan kapitalis. Apakah realistis kalau polisi menggorok leher tuannya sendiri?
Dengan kata lain, kekerasan polisi bukanlah hal insidental, bukanlah sesuatu yang tidak disengaja. Kekerasan adalah respons logis dari aparatus negara atas ancaman terhadap hal yang dilindunginya.
Dari laporan seorang peserta aksi di lapangan, pasca pembubaran aksi buruh di depan Istana Negara tanggal 30 Oktober tersebut, seorang polisi berkata, “Lagian kalian (buruh) ini gimana sih? Sudah tahu aksi di depan Istana Negara dilarang, apalagi kalian bakal ngelakuin aksi sampai larut malam dan menginap segala, ya pasti kami (polisi) bubarin lah!”
Dari sini kita tahu, polisi sudah jujur pada dirinya sendiri. Tapi banyak dari kita tidak.
Perlawanan dan kekerasan besar-besaran terhadap aparat negara adalah hal perlu sebagai bagian dari perjuangan sosial apa pun. Seringkali, takut adalah salah satu kendala utama. Ini adalah hal manusiawi. Mengapa enggan untuk mengakuinya dengan jujur? Kalau pun kita kalah, mundur, atau menghindar, setidaknya kejujuran mengantarkan kita menuju pemahaman-pemahaman yang logis dan realistis, yang berangkat dari kenyataan sebenarnya: kita kalah karena takut, karena kalah persiapan, kalah koordinasi, kalah jumlah, kalah strategi, kalah mental, kalah persenjataan dan lainnya. Dari pemahaman ini, kita bisa mengevaluasi potensi perbaikan diri untuk gerakan selanjutnya: membangun laskar buruh, garda-garda pertahanan, front gabungan, barisan-barisan pemukul, alat pertahanan diri, mengamati dan memetakan strategi aparat negara, kordinasi yang matang atau manajemen jumlah. Namun, adalah naif dan berbahaya jika kita kalah, mundur atau menghindar karena kita mengharap munculnya polisi baik hati dan negara toleran yang mengizinkan buruh seenaknya melakukan tekanan setiap kali buruh menginginkan perbaikan kondisi ekonomi. Kalau begini, kita berangkat dari kenyataan yang tidak (akan) pernah ada.
Kita berharap keadaannya tidak akan seperti ini, tapi sejarah hampir selalu menyatakan sebaliknya: aksi-aksi yang mengancam tatanan yang menindas akan diganjar dengan respons penuh kekerasan. Alasannya sederhana: Kapitalis, negara, dan aparatnya hidup dan bertindak atas dasar hubungan ekonomi-politik yang saling menguntungkan sehingga mereka akan melindungi satu-sama lain agar hidup mereka tetap berlangsung. Polisi melindungi negara sebagai sumber keberlangsungan ekonomi-politiknya, negara melindungi kapital sebagai sumber keberlangsungan ekonomi-politiknya, dan kapital menumpahkan darah para buruh karena mogok mengancam sumber keberlangsungan ekonomi-politik tersebut.
Tak sedikit yang mengelu-elukan kompromi, menanti munculnya kepolisian yang baik hati, dan negara yang pengertian: namun para penindas ini tidak peduli. Jadi, kenapa kita harus peduli?
Kenapa kita tak mulai saja peduli dan belajar dari sesama kawan dalam perjuangan ini? Sudah banyak kejujuran-kejujuran yang tumbuh dan mekar di lapangan. Contoh-contoh dan harapan muncul dari aksi-aksi langsung seperti mogok, dan penyanderaan manajemen yang dilakukan oleh buruh-buruh Batam, blokade oleh front gabungan rakyat untuk menghadang penggusuran di Bulogading-Makassar, dan aksi langsung kawan-kawan di Padarincang, Banten, saat mengusir Aqua. Ini hanya sebagian kecil. Sejarah panjang aksi langsung kelas-kelas yang ditindas oleh negara dan kapitalis jauh lebih banyak lagi. Ini adalah warisan dan harapan dari kelas kita sendiri, kelas yang ditindas. Momen-momen bentrok saat mogok buruh di sekitar PT. Kalbe pada 25 November tersebut pun tak terkecuali. Dari kesaksian di lapangan, ada momen saat sejumlah buruh kontrak yang muak akhirnya memutuskan untuk melawan dan membalas kekerasan polisi dan ormas yang memburu dan memukuli mereka.
Saat buruh-buruh kontrak memutuskan untuk melawan, saat galah-galah bendera buruh berubah jadi pentungan, saat kutukan, makian, dan amarah yang telah ditahan sepanjang tahun meledak jadi aksi pembalasan, maka saat itulah orang-orang mulai melucuti kenaifan dan menghadapi ketakutannya masing-masing. Ini adalah hal baik. Ia mendorong batas-batas dan kemungkinan-kemungkinan baru dari pencapaian perjuangan. Ia mewakili kesadaran lebih jauh untuk melawan dan akhirnya melakukan konfrontasi dengan otoritas negara dan kekuatan aparatnya.
Jadi, kenapa kita tidak mulai jujur pada diri sendiri, bersama-sama?
Penulis adalah anggota LIBERTAS (Lingkar Belajar Rakyat untuk Solidaritas). LIBERTAS adalah organisasi sosialis libertarian yang berfokus pada perjuangan anti-kapitalis. LIBERTAS memperjuangkan kepemilikan dan kontrol kolektif kaum pekerja atas alat produksi dan tempat kerjanya secara demokratis, melawan patriarkisme dan seksisme, melawan homophobia dan transphobia, melawan hierarki dan eksploitasi manusia yang satu atas manusia yang lain, serta hierarki dan eksploitasi manusia atas alam.