Penyakit Populisme Hanya Menjangkiti Negara

Democratic States Genetical Syndrome karya Bima Satria Putra


Kita tahu bahwa kelompok fundamentalis agama dan ultra-nasionalis sedang ada pada posisi puncak dalam pertarungan politik di banyak negara saat ini. Kekuatan ini bangkit di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia, tidak terkecuali di Indonesia. Kemunculan kelompok tersebut di Indonesia, sering kali diiringi dengan krisis finansial dan ketidakpercayaan mereka terhadap para elit politik yang berkuasa. Kebangkitan kelompok ini sekaligus juga menampar kita karena penggunaan senjata politik lama oleh pemain baru berupa, populisme. Donald Trump (Amerika Serikat), Beppe Grillo (Italia), Norbert Hofer (Austria), Marine Le Pen (Perancis), Geert Wilders (Belanda), Frauke Petry (Jerman), Nigel Farage (Inggris), Pablo Iglesias (Spanyol) dan sederetan nama lain adalah tokoh-tokoh yang dianggap populis.
Doktrin politik populisme, meyakini bahwa para elit politik sering memanfaatkan kehendak rakyat (populi), dan mereka hendak menyelesaikan persoalan yang dialami oleh rakyat. Karena itu, jika permasalahan tersebut hendak selesai, mereka harus berkuasa dan mendapatkan dukungan rakyat. Dalam The Populist Persuasion (1998), sejarawan Michael Kazin menjelaskan populisme sebagai “sebuah bahasa yang digunakan oleh pembicara untuk merebut keyakinan orang biasa sebagai kumpulan orang mulia yang tidak untuk dijual; bahwa musuh elit mereka itu terlalu mementingkan diri sendiri dan tidak demokratis; dan berusaha memobilisasinya untuk melawan mereka.” Kebangkitannya menunjukan gejala kejatuhan status quo, sebab populisme menempatkan ‘rakyat’ melawan ‘yang berkuasa’ dan karenanya ia berbahaya bagi sistem dan elit politik yang telah mapan.
Sejarawan mencatat bahwa populisme telah menjadi fenomena politik yang umum sepanjang sejarah. Dari fenomena populisme tersebut kita bisa belajar dua hal, pertama, populisme didorong oleh kehendak besar reformasi pada bidang ekonomi karena kegagalan otoritas yang sedang berkuasa. Sayangnya, banyak pengamat politik kontemporer yang melewatkan hal ini, karena mereka terlalu sibuk mengkaji kebangkitan populisme di Eropa Abad 21. Padahal sangat penting untuk diperhatikan bahwa motif pada masing-masing kasus populisme cenderung berbeda dan sebaiknya tidak dipukul rata. Kebangkitan populisme di negara-negara maju Eropa misalnya, adalah karena kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Krisis hutang Yunani membuatnya menjadi negara maju pertama yang gagal membayar kembali pinjaman IMF serta kreditur dari beberapa negara Eropa. Hal ini diperparah oleh dampak buruk embargo ekonomi Uni Eropa terhadap Rusia akibat intervensi militernya di Ukraina, serta krisis imigran yang mengungsi dari Timur Tengah karena guncangan politik dan perang sipil. Krisis imigran dianggap memboros anggaran dan menjadi bibit kriminal dan terorisme di Eropa, yang justru memperkuat konflik bersentimen politik identitas.
Para populis kanan mengkomodifikasi atribut-atribut nasionalisme dan agama, serta merasa membawa kepentingan ‘orang banyak’ dan merasa memberikan perlindungan bagi mereka. Karena itu, ‘populisme’ dan ‘populis’ sering digunakan secara peyoratif oleh lawan politik mereka. Tipe solidaritas populisme kanan adalah solidaritas bangsa atau umat, bahwa “mereka, mencuri lapangan pekerjaan kita”. Sebagian dari penduduk AS saat ini punya ketakutan berlebihan akan kebangkitan fundamentalis Islam, atas bayang-bayang teror akan peristiwa 11 September. Ketakutan ini dimanfaatkan oleh Donald Trump dalam kampanyenya. Ketika ia terpilih, ia langsung memperketat hukum imigrasi bagi pencari suaka dan pengungsi dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim dan rencana pembangunan tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko.
Di Eropa, sentimen yang sama timbul pada imigran dari Timur Tengah, yang lari mengamankan diri dari goncangan politik dan perang sipil di negaranya. Uni Eropa dianggap tidak becus dalam mengatasi imigran, yang dituduh, menjadi kriminal dan juga terorisme di Eropa. Kesempatan ini digunakan oleh Marine Le Pen, dari Partai Front Nasional, yang beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa dirinya akan maju dalam Pilpres Perancis. Ia terus menyuarakan perlunya referendum bagi masyarakat Perancis. Ia juga melakukan kampanye Frexit atau French Exit. Kampanye ini digencarkan menyusul keluarnya Inggris dari Uni Eropa, yang kemudian dikenal dengan Brexit atau British Exit. Hal yang sama terjadi pula di Belanda, di mana Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan dari Belanda, menuduh bahwa UE merampas uang, identitas, demokrasi dan kedaulatan Eropa. “Kami ingin berkuasa di negeri sendiri, menguasai uang sendiri, perbatasan sendiri dan kebijakan imigrasi sendiri. Jika saya menjadi perdana menteri, akan ada referendum bagi Belanda untuk meninggalkan Uni Eropa. Biarkan rakyat Belanda yang memilih,” kata Wilders dalam situs pribadinya. Hal serupa juga terjadi di Jerman, Italia dan Austria.
Hal ini yang menyebabkan kenapa populisme menjadi berkonotasi negatif. Ia dilabelkan pada sosok elit politik serta pendukungnya yang dianggap rasis, seksis dan xenofobik, dan secara peyoratif digunakan oleh lawan politiknya. Sentimen yang sama tapi dengan rupa yang berbeda bisa kita temui di Indonesia soal konspirasi ekonomi etnis Tionghoa, bahwa mereka, elit-elit politik dan ekonomi non-pribumi, mencoba mengeksploitasi dan mengeruk kekayaan Indonesia. Mereka punya afiliasi politik dengan negara asalnya dan mereka akan merugikan perekonomian pribumi atau penduduk asli. Isu ini disebar dalam berita-berita online dan propaganda hitam pada Pilpres 2014 lalu. Tabloid Obor Rakyat misalnya menjelaskan bahwa dana kampanye pasangan calon Jokowi-JK berasal dari cukong-cukong keturunan Cina. Sentimen ini semakin menguat baru-baru ini dalam Pilkada DKI Jakarta, karena calon petahana Basuki Thahaja Purnama (Ahok), keturunan Cina yang beragama Kristen. Sentimen ini berkembang dengan kedatangan buruh migran dari Cina pasca diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).[1] Omong kosong ini disebar dan seruan soal memilih pemimpin beragama Islam berdasarkan kacamata fundamental atas ayat-ayat Al-Qur’an ditekankan. Kesalahpahaman ini, bahwa populisme erat dengan rasisme, coba diluruskan kembali oleh Mudhoggir (2017). Ia menekankan bahwa yang patut dikhawatirkan di Indonesia bukanlah populisme Islam, tetapi politik yang rasis yang kerap mengikutinya.
Populisme bukanlah suatu ideologi dengan dogma-dogma yang tetap, karena itu, sentimen rasis tidak dapat kita jumpai pada kasus kebangkitan populisme di negara berkembang, atau pada negara dengan tingkat kemiskinan tinggi seperti di beberapa negara Amerika Latin. Di negara macam ini, populisme dipicu karena tidak meratanya distribusi kesejahteraan, sehingga populisme kiri lebih mudah terjadi dengan retorika perjuangan kelas. Robert Samuel (2016) menjelaskan bahwa populisme kiri tidak terletak pada tipe konflik dengan politik identitas, sebagaimana dilakukan kelompok kanan, tetapi berdasarkan konflik kelas. Tipe solidaritas yang mereka gunakan adalah solidaritas kelas, bahwa “mereka, kelas atas, mengeksploitasi kita, kelas bawah”. Hal ini kemudian menyebabkan gejala kedua, elit politik yang memanfaatkan hal pertama tersebut mengklaim tahu kebutuhan rakyat. Seperti bisa diperhatikan pada sosok Hugo Chávez di Venezuela, yang melakukan pendekatan kepada massa miskin dengan menjanjikan kebijakan redistributif dan kontrol negara atas sumber daya energi nasional.[2] Sepanjang sejarah, populisme tidak hanya digunakan oleh kelompok atas—beberapa orang menyebutnya sebagai kelompok ekstrem kanan atau kanan jauh (far right), tapi ia juga digunakan oleh kelompok kiri.
Populisme, Penyakit Genetik Demokrasi Negara (State Democracy)
Dari penjelasan di atas, maka tepat kiranya jika kita membenarkan pernyataan Cas Mudde (2004) bahwa, “banyak pengamat telah mencatat bahwa populisme melekat pada demokrasi perwakilan.” Begitu pula Thomas Piketty (dalam Hazareesingh, 2015), saat menyatakan bahwa kebangkitan populisme bisa disalahkan karena semakin membesarnya kesenjangan dalam distribusi kesejahteraan. Penting untuk diperhatikan, pada konteks sistem sosial-politik apa populisme dapat tumbuh. Populisme, bukan penyakit bagi demokrasi, tapi demokrasi itu sendirilah yang membawa bibit penyakit populis, atau juga bisa dibilang, penyakit turunan. Dengan catatan, bahwa hanya bentuk demokrasi perwakilan saja yang secara genetik memang membawa populisme sebagai konsekuensi logisnya. Demokrasi negara memang dirancang dan dilahirkan untuk berpenyakit sangat banyak, bertubuh lemah, rentan, cacat dan seharusnya, mati muda, mengingat organ-organ didalamnya sangat busuk dan rusak.
Populisme, ketimbang dipandang sebagai suatu perilaku politik tunggal yang tidak bermoral dari para elit saja, sebenarnya ia adalah salah satu proses sosial dan institusional biasa dimana kelompok elit ekonomi dan politik berusaha mempengaruhi keputusan untuk mengalokasikan faktor produksi untuk masa sekarang atau mendatang, dengan selubung untuk kepentingan masyarakat luas, yang bisa saja diragukan kesungguhannya. Ia tidak lain adalah salah satu metode ekonomi-politik yang hanya dapat tumbuh pada organisme sosial yang tepat, dalam hal ini adalah negara dengan demokrasi parlementer.
Elit politik populis, seperti saya jelaskan di atas, merendahkan harkat demokrasi yang sesungguhnya. Sudahlah demokrasi yang sesungguhnya rusak, ia memperburuk demokrasi negara yang sudah rusak, dengan mengkooptasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), dan mereka merasa bertanggungjawab atas suara tersebut. Dengan demikian, memenuhi kehendak kelompok tersebut, bisa mengarah kepada kedikatoran oleh mayoritas (dictator by majority) atau justru sebaliknya, yang pada kebanyakan kasus, berdasarkan kepada politik identitas. Ini yang berbahaya.
Pertama-tama kita harus menyadari simptom penyakit populis, kemudian memahami anatomi tubuh negara. Sebab, dengan memahami tubuh dan penyakit yang tepat, kita bisa memberikan penyembuhan yang tepat pula. Gejala penyakit populis oleh Marco Tarchi (dalam Hardiman, 2017), ditandai dengan pertama, para pemimpinnya mengklaim tahu kebutuhan rakyat; kedua, ketidaksabaran dengan prosedur formal demokrasi; ketiga, acuan pada kehebatan ‘orang biasa’; keempat, ketidaksukaan kepada para politikus partai. Tidak jauh berbeda, Perdana (2017) menunjukan bahwa populisme ditandai dengan pertama, anti kemapanan, dalam arti mewakili ekspresi kelompok yang merasa termarjinalkan; kedua, adanya otoritas pemimpin, baik melalui kharisma atau figur personal maupun pesan yang bersifat apokaliptik (“Negara kita bangkrut, kita sedang menuju neraka”); serta ketiga, perasaan in-group yang kuat, yang dalam hal ditunjukan dalam sentiman ‘kita vs mereka’—garis pembatas bisa berdasarkan kelas atau status ekonomi, status kewarganegaraan, atau ras dan agama.
Dari berbagai gejala tersebut, kita dapat membedah lebih lanjut tubuh negara demokrasi parlementer, untuk menunjukan bahwa negara memang menyimpan populisme sebagai penyakit turunannya. Bagaimana mungkin?
Negara adalah sistem pemerintahan yang menguasai wilayah yang sangat luas dan tersentralisir, di mana kekuasaan hanya terakumulasi pada segelintir kelompok yang mengaku “mewakili kepentingan rakyat”. Mereka dipilih secara tahunan oleh rakyat, dan pemilihan ini, menjadi lelucon bagi kita manakala disebut sebagai pesta demokrasi. Lucu sekali, mengingat bahwa demokrasi yang sesungguhnya, adalah demokrasi langsung, yang mana rakyat membawa urusan sendiri, bahwa kekuasaan yang sebenarnya ada di tangan mereka. Sekarang posisi rakyat menjadi sangat rendah, dikerdilkan menjadi sekedar pembayar pajak, pemberi suara dan konstituen. Setelah proses elektoral selesai, peran mereka hilang dalam politik, digantikan oleh profesional yang mengaku memiliki pengalaman dan keahlian di bidang kenegaraan untuk mengurusi rakyat.
Kenyataan sosial menunjukan bahwa para elit tidak bisa benar-benar berkerja untuk rakyat. Jika disertai dengan krisis finansial dan konflik, maka penyakit populisme semakin mudah untuk kambuh. Di saat itulah elit politik memanfaatkan momen-momen kritis, rakyat kemudian terpancing oleh pemimpin kharismatik yang mengartikulasikan kegelisihan kolektif dari rakyat. Ketidaksukaan terhadap pemerintah yang berkuasa semakin besar oleh kelompok masyarakat tertentu, dan beberapa elit politik, yang punya pandangan yang sama dengan mereka tersebut, atau yang opurtunistik, tampil untuk memanfaatkan kesempatan ini.
Mereka benar dalam menyadari bahwa prosedur formal demokrasi negara, yaitu pemilihan, terlalu membuang waktu dan tenaga. Karena itu mereka sering meluapkan kegelisahannya dalam bentuk protes. Rakyat, dengan perasaan bermusuhan yang besar, dimobilisasi untuk melawan mereka yang berkuasa. Seperti nampak pada turunnya jutaan umat muslim pada aksi Bela Islam 411 dan 212 yang menuntut supaya Polri menangkap dan memenjarakan Ahok karena dugaan penistaan agama.
Padahal, belum tentu kegelisihan dan upaya menyelesaikan kegelisahan tersebut tepat. Karena biasanya, ada perbedaan pandangan dalam kehidupan berpolitik. Di Inggris dan Amerika misalnya, ada yang pro kebijakan untuk menerima imigran. Jika dipikir, siapa yang menyebabkan jutaan warga Timur Tengah menjadi pengungsi, jika bukan negara-negara demokrasi liberal itu sendiri? Mereka menciptakan konflik dengan intervensi militernya, mengacaukan kehidupan sipil, lalu tanpa sengaja (atau sengaja?) menciptakan milisi fundamentalis Islam. Mereka membom rumah-rumah, membuat mereka kelaparan dan kedinginan, lalu para ultra-nasionalis memagari perbatasan mereka, seolah-olah merasa tidak bersalah atas apa yang saudara liberal mereka ciptakan. Hal ini menjadi semakin menyedihkan ketika kita mengingat bahwa penduduk kulit putih Amerika, di mata para masyarakat adat Indian sebenarnya juga imigran. Dan sekarang giliran imigran ini, yang justru menolak imigran lain. Tepuk tangan untuk ini.
Tubuh Demokrasi Tanpa Negara: Kebal Populisme
Ada dua sistem yang kebal dari penyakit populisme. pertama, monarki absolut. Jelas, populisme tidak akan bisa hidup dalam monarki absolut. Alih-alih sebagai organisme, monarki absolut adalah robot, rakyat secara otomatis harus wajib tunduk kepada pemimpinnya yang otoritarian, mengingat pengambilan keputusan dimonopoli oleh satu orang. Tidak akan ada partai, tidak akan ada pemilihan, karena itu, tidak ada pula elit politik yang perlu menjadi populis. Berupaya menghindari populisme dengan kembali pada sistem monarki absolut seperti kerajaan adalah tindakan bodoh. Karena itu saya langsung saja kepada sistem kedua, konfederalisme demokratik.[3]
Berbeda dengan negara, konfederasi[4] menerapkan demokrasi langsung. Di dalamnya semua warga dalam komunitas-komunitas mengelola urusan mereka sendiri melalui proses pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), yang berbeda dengan yang dilakukan negara untuk mereka. Sebab “politik kelewat genting untuk diserahkan kepada profesional”, tulis Janet Biehl (2016), sehingga “politik harus menjadi bidangnya para amatir atau rakyat biasa.” Konfederasi berorientasi kepada konsensus, artinya, semuanya sepakat untuk sepakat. Berbeda dengan negara yang pengambilan keputusan diletakan pada segelintir orang dan meminggirkan suara-suara lain yang beragam.
Demokrasi langsung, jelas tidak dapat diterapkan pada wilayah yang luas dan populasi yang banyak. Karena itu konfederasi juga menerapkan desentralisasi. Pengambilan keputusan dilakukan pada skala lokal yang sekecil mungkin, dalam bentuk komunitas yang dapat diidentifikasi sesuai dengan kedekatan geografis, bukan berdasarkan unsur primordial. Komunitas yang menerapkan demokrasi langsung ini harus dibagi berdasarkan jumlah warga yang bisa dianggap rasional untuk melakukan rapat-rapat, dan semua yang dianggap dewasa dapat dengan setara menyampaikan suaranya. Komunitas-komunitas ini kemudiang berjejaring, tanpa menghilangkan otonomi mutlak yang dimilikinya, untuk berkoordinasi dan berkerjasama.
Komunitas-komunitas tidak mengirimkan perwakilan seperti pada sistem parlementer negara, yang suara mereka dianggap mewakili suara konstituennya. Delegasi pada sistem konfederasi adalah delegasi yang ditunjuk langsung oleh komunitasnya, yang membawa mandat sesuai hasil keputusan, dan karenanya bisa di-recall sewaktu-waktu. Pada sistem politik yang sehat seperti ini, penyakit populisme tidak akan mewabah. Konfederasi yang ditandai dengan demokrasi langsung, konsensus dan jaringan komunitas yang otonom dan terdesentralisasi, tidak memungkinkan populis untuk muncul.
Hal ini berbeda dengan negara demokrasi parlementer, yang mana elit politik opurtunis secara lihai menangkap akumulasi keresahan sebagian rakyat, dan memanfaatkannya sebagai bahan kampanye untuk kepentingan praktis diri sendiri dan golongannya. Sebagaimana Marine Le Pen, Donald Trump, dan Geerts Wilder yang populis itu. Sementara dalam pengambilan keputusan negara, struktur dominasi didirikan segelintir orang berkuasa atas mayoritas. Negara pada hakikatnya, secara struktural dan profesional, terpisah dari khalayak umum. Ia menjalankan kekuasaan atas rakyat dan membuat keputusan-keputusan atas rakyat yang bisa mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuasaan pada akhirnya bersandar pada kekerasan yang sifatnya memaksa. Sekeras apapun berusaha, perjuangan parlementer yang bergerak dalam konteks politik kenegaraan adalah jalur yang menghabiskan tenaga, dan sering kali sia-sia. Karena segelintir elit yang punya kuasa untuk mengambil keputusan belum tentu mendengar aspirasi rakyat. Sekalipun keputusan tersebut diambil sesuai dengan yang diharapkan rakyat, sesungguhnya itu adalah keputusan yang selaras dengan kepentingan lain yang menguntungkan dirinya.
Saat ini, sistem konfederalisme demokratik dikembangkan oleh Abdullah Ocalan dan sekarang dipraktikan di Kurdistan. Ocalan terinspirasi dari program politik munisipalisme libertarian yang digagas oleh teoritisi sosialis libertarian, Murray Bookchin. Namun, kita tidak menyangka sebelum melakukan penelusuran sejarah lebih lanjut, bahwa justru masa ketika rakyat mengelola urusan publik ternyata lebih dekat ketimbang yang kita pikirkan. Demokrasi langsung adalah unsur pokok tradisi politik sehingga masyarakat Barat mengklaim sangat menghargai sistem ini. Walau diartikulasikan dengan baik oleh Bookchin, munisipalisme sebenarnya sudah tercipta pada abad ketujuh SM pada zaman Yunani Kuno, hingga Liga Swabia pada Abad 18. Pada Abad 21, sistem ini juga bisa kita lihat masih dipraktikkan di Swiss, dan sekarang digempur dan kini menghilang dengan cepat di berbagai belahan dunia, termasuk budaya musyawarah di pedesaan-pedesaan di Indonesia.
Padahal, seperti bisa kita baca karya-karya Aristoteles, demokrasi langsung mencapai tingkat penerapan yang luar biasa di Yunani. Secara etimologi, politik berasal dari kata polis, dari bahasa Yunani kuno (umumnya disalahartikan sebagai “negara-kota”) yang berarti publik, sebuah dimensi partisipatif, pengelolaan langsung oleh para warga atas urusan-urusan komunitas melalui institusi demokrasi yang bersifat tatap muka, terutama berupa majelis rakyat (ecclesia). Pada masa jayanya, eklesia adalah rapat massa di tempat terbuka dengan ribuan warga pria Athena yang menghadirinya. Semua orang (kecuali budak dan perempuan, termasuk Aristoteles sendiri yang tidak diikutkan), bisa berpartisipasi dalam debat yang terbuka  dengan tertib, sesuai prinsip isegonia, hak universal untuk berbicara di dalam majelis.
Karena itu menyematkan label ‘politik’ pada sistem demokrasi parlementer adalah kesalahan penamaan yang kasar, sistem ini mestinya lebih tepat dinamai kenegaraan (statecraft), bukan politik, karena tidak memenuhi syarat-syarat sesuai dengan makna historisnya. Jika orang-orang semakin bisa menanggalkan kepasifannya dan mulai berminat aktif dalam kehidupan politik, mereka akan menciptakan masalah bagi negara dengan mengusik-usik perkara ketidakcocokan antara realitas sosial dengna retorika yang menyertainya. Jadi, penyebab utamanya justru ada di dalam sistem demokrasi parlementer, manakala kegelisahan rakyat tersumbat karena prosedur formal demokrasi melalui jalur-jalur dikuasai oleh segelintir profesional, yang menjadi populis ketika mengangkap gejala ini. Supaya populisme tidak tumbuh, kita harus membubarkan negara dengan organ-organnya yang rusak itu. Memperbarui kekebalan sistem politik kita dengan demokrasi yang lebih sehat, yaitu konfederasi, yang dalam pengertian yang sangat radikal, yaitu membangkitkan demokrasi langsung dan mengembangkannya, dengan nilai-nilai rasional dan etis beserta praktik-praktik yang mendukungnya. Percayalah, penyakit populisme tidak akan kambuh lagi.
Rujukan Lebih Lanjut
Argandoña, Antonio. 2017. Why Populism Is Rising And How To Combat It. Diakses dari Forbes.com pada Senin, 27 Februari 2017.
Aspinall, Edward. 2014. Prabowo dan Bahaya Terhadap Demokrasi Indonesia. Diakses dari Indoprogress.com pada Selasa, 28 Februari 2017.
Biehl, Janet. 2016. Politik Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian. Daun Malam. Yogyakarta.
Bremmer, Ian. 2015. These 5 Facts Explain the Worrying Rise of Europe’s Far-Right. Diakses dari Time.com, pada Jumat, 4 Maret 2017.
Hardiman, F. Budi. 2017. Populisme Kanan dalam Negara Hukum Demokratis. Makalah dalam Seminar “Indonesia dan Bangkitnya Populisme dalam Politik Global” di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, pada Sabtu, 25 Februari 2017 di Jakarta.
Kazin, Michael. 1998. The Populist Persuasion: An American History. Cornell University. New York.
Mudde, Cas. 2006. The Populist Zeitgeist. Dalam Government and Opposition. Blackwell Publishing. Oxford.
Mudhoggir, Abdil Mughis. 2017. Yang Patut Dikhawatirkan adalah Politik yang Rasis, bukan Populisme Islam. Diakses dari Indoprogress.com pada Selasa, 28 Februari 2017.
Perdana, Ari A. 2017. Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga FPI. Diakses dari Indoprogress.com pada Selasa, 28 Februari 2017.
Pribadi, Airlangga. 2016. Jalan Sosialisme Hugo Chavez Melalui Proyeksi Politik Populisme. Diakses dari Indoprogress.com pada Senin, 27 Februari 2017.
Samuels, Robert. 2016. Psychoanalyzing the Left and Right after Donald Trump: Conservatism, Liberalism and Neoliberal Populism. Palgrabe Macmillan. California.
Catatan Akhir
[1] Walau demikian, klaim banyak pengamat politik Indonesia bahwa Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto adalah seorang populis, patut diperdebatkan. Beberapa sarjana yang menilai bahwa Prabowo seorang populis misalnya Edward Aspinall (2014) dan Arie A. Perdana (2017). Memang, Prabowo bisa diuntungkan karena calon yang diajukannya, pasangan Anies-Sandiaga, bisa mendulang suara dengan sentimen ini dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun Prabowo berbeda dengan kebanyakan populis di Eropa dan Amerika. Ia tidak pernah secara terbuka menyampaikan sentimen anti-tionghoa dan kewajiban untuk memilih pemimpin Islam. Apalagi mengingat Prabowo juga mengajukan Ahok mendampingi Joko Widodo dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2012. Karena itu saya mencabut pernyataan saya dalam tulisan Kebangkitan Global Fundamentalis dan Ultra-Nasionalis: Bukan Akhir dari Sejarah (2017) yang terbit di anarkis.org, bahwa Prabowo adalah seorang populis. Berbeda misalnya dengan Ketua FPI Habib Rizieq Shihab yang aktivitas politik diuntungan dengan sentimen anti-pemimpin Kristen. Ia juga secara terbuka mendukung dua pasangan lain dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
[2] Ulasan yang baik soal populisme kiri bisa kita baca pada karya Airlangga Pribadi (2016) dengan judul Jalan Sosialisme Hugo Chavez Melalui Proyeksi Populisme Kiri.
[3] Bacaan lebih lanjut soal ini bisa dilihat pada karya Janet Biehl, Politik Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian (2016).
[4] Konfederasi harap tidak disamakan dengan federalisme yang dikembangkan di Amerika Serikat.
 


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana.

Leave a Reply