Primata, Hierarki, Revolusi
Pada 2013, terjadi sebuah fenomena langka dalam proses pengamatan simpanse (Pan troglodytes) di Senegal oleh kelompok peneliti primatologi dari Iowa State University. Sekawanan simpanse muda membunuh seekor simpanse tua berusia 17 tahun bernama Foudouko. Ia adalah alpha male (pemimpin) tiran kawanan simpanse dengan dominasi yang agresif. Asisten peneliti memanggilnya Saddam; terinspirasi dari nama diktator Irak, Saddam Hussein.
Di tahun 2007, kepemimpinan Foudouko lengser setelah beta male (jenderal) kawanan yang besar dan kuat, Mamadou, terluka. Melihat pendukung utama Foudouko yang lemah karena terluka, sekelompok simpanse muda dalam kawanan tersebut mengusir Foudouko. Sebagai seekor primata dengan tingkat kebergantungan sosial yang tinggi, Foudouko menampakkan gejala stres karena terisolasi dari yang lain. Karena itu pada 2013, Foudouko mencoba kembali masuk ke dalam kawanan.
David, saudara Foudouko yang sekarang menjadi pemimpin kawanan, dan Mamadou, yang masih menjadi jenderal kawanan, menerima Foudouko dengan tangan terbuka. Tapi lima simpanse muda yang lain, yang sedang berusaha naik dalam hierarki kelompok, tampak tidak terlalu senang dengan Foudouko yang kembali dari pengasingan.
Si tua Foudouko mencoba untuk kembali pada posisi lamanya, yang mana adalah hal yang bodoh untuk dia lakukan. Sehingga pada suatu malam, ketegangan itu pecah dan berujung pada fenomena yang sangat langka dari serangan sekelompok simpanse pada salah satu anggota dari kawanan mereka sendiri. Serangan tersebut diduga dipimpin oleh beberapa pejantan muda.
Para peneliti tidak dapat memastikan penyebab penyerangan itu. Mereka menduga fenomena tersebut berkaitan dengan seks. Dalam komunitas Fongoli (suatu jenis simpanse), jumlah pejantan melebihi betina. Jika Foudouko telah mendekati simpanse betina dengan feromon tinggi, itu cukup untuk memancing serangan dalam bentuk pembunuhan komunal.
“Membunuh musuh cukup mudah untuk dijelaskan, tapi membunuh teman adalah teka-teki,” ujar antropolog Michael Wilson dari University of Minnesota kepada National Geographic. Bahkan setelah tubuh Foudouka tidak lagi bernyawa, ia masih diserang secara brutal. Tenggorokan dan kakinya dicabik-cabik. Peneliti juga mengamati bahwa simpanse lain bahkan memakan dagingnya.
Aku tidak tahu bagaimana relevansi primatologi pada bidang ilmu sosial-humaniora. Tetapi sebagai seorang darwinis, aku percaya bahwa fenomena-fenomena yang bisa diamati pada saudara jauh kita seperti simpanse, gorila dan orang utan punya korelasi langsung dengan apa yang kita lakukan. Hal ini menjadi semacam cermin bagi perilaku kita.
Baiklah, kamu boleh mengatakan bahwa secara rupa, manusia punya ciri fisik lebih baik ketimbang spesies kera. Dan bahwa teori evolusi bertentangan dengan ajaran agama-agama, terutama kalangan Kristen dengan doktrin imago dei (rupa manusia adalah rupa Tuhan) sehingga menyamakan manusia dengan monyet berarti sama saja merendahkan martabat Tuhan. Islam bahkan menolak sosok Tuhan yang dimanusiakan. Terlepas dari itu, fenomena di atas sangat menarik untuk diulas. Karena pada banyak aspek, fenomena ini menimbulkan asumsi-asumsi baru terkait rasa kemanusiaan kita soal eksistensi diri sebagai bagian dari rantai spesies primata.
Belajar dari Primata
Sintasan yang terbugar (survival of the fittest) adalah sebuah frasa dalam teori evolusi untuk menyebut mekanisme seleksi alam. Dalam artian bahwa, individu-individu yang kuatlah yang akan bertahan hidup. Dalam konteks ini, ‘fit’ bukan berarti ‘bugar’ seperti maknanya kini, tetapi kemampuan untuk bertahan dalam rangka beradaptasi dengan lingkungannya.
Di kalangan biologis modern, frasa ini banyak dihindari karena bisa mengarah pada kesalahpahaman. Seperti misalnya, menyintas (survival) bukanlah satu-satunya aspek dalam seleksi alam, dan bahkan tidak selalu menjadi yang terpenting. Masalah lain karena bugar (fit), seringkali dicampuradukan dengan kekuatan fisik, padahal yang dimaksud lebih mengarah kepada kemampuan untuk bereproduksi yang lebih baik, atau “keberlangsungan suatu bentuk makhluk hidup yang akan meninggalkan sebanyak mungkin tiruan dirinya pada generasi selanjutnya” (Darwin, 2003).
Herbert Spencer (1820-1903) adalah yang pertama kali menggunakan istilah itu setelah membaca On the Origin of the Species (1859) karya Charles Darwin (1809-1882). Ini membuatnya banyak mendapatkan serangan karena secara serampangan menerapkan dalil dalam bidang biologi pada kajian sosial, yang sering disebut sebagai darwinisme sosial.
Thomas Hobbes (1588-1679) juga menggunakan negara alam (state of nature) sebagai analogi persaingan untuk memperebutkan sumber daya dan kesempatan yang terbatas. Ini menyebalkan dan sialnya banyak dipakai oleh pemikir liberalisme klasik sebagai ‘kebebasan ekonomi’, yaitu pasar bebas, perdagangan bebas dan kepemilikan pribadi. Dalam pandangan liberalisme klasik, Laissez-faire dianggap sebagai satu-satunya pendekatan ekonomi yang dimungkinan, dan intervensi apapun dari pemerintah adalah sesuatu yang tidak berguna bahkan berbahaya. Pada akhirnya mereka juga diserang karena dianggap gagal untuk menjawab bagaimana pemerataan kesejahteraan individu lain dapat diwujudkan dalam suasana yang kompetitif itu.
Baiklah, mungkin Darwin percaya bahwa persaingan untuk sumber daya ini memperbolehkan individu dengan fisik dan mental tertentu untuk bertahan lebih baik ketimbang yang lain, dan bahwa hal ini terakumulasi dalam populasi dengan jangka waktu tertentu, yang mengarah kepada terciptanya spesies baru yang jauh berbeda.
Tetapi perlu diingat, Darwin juga merasa bahwa insting sosial seperti simpati dan sentimen moral juga berkembang melalui seleksi alam, dan hal ini menghasilkan penguatan hubungan masyarakat seperti yang sekarang terjadi. Hal ini ia tulis dalam Descent of Man (1871) :
“The following proposition seems to me in a high degree probable –namely, that any animal whatever, endowed with well-marked social instincts, the parental and filial afections being here included, would inevitably acquire a moral sense or conscience, as soon as its intellectual powers had become as well, or nearly as well developed, as in man. For, firstly, the social instincts lead an animal to take pleasure in the society of its fellow, to feel a certain amount of sympathy with them, and to perform various service for them.”
Dari fenomena di atas kita dapati bahwa hierarki dengan demikian adalah sesuatu yang alamiah, terutama pada makhluk-makhluk yang berkelompok. Komunitas Fongoli mengenal strata, mengenal kepemimpin dan penggunaan kekerasan (coersive) dari yang kuat. Apakah usaha yang kita lakukan, para anarkis, bertentangan dengan kehendak alam seperti ditunjukan pada kerabat dekat kita, simpanse? Tentu saja tidak.
Pembebasan adalah kehendak alamiah dari seleksi alam
Mungkin kita tidak menemukan pengambilan keputusan yang egalitarian pada kelompok simpanse. Namun seperti Darwin bilang, insting sosial akan berkembang melalui seleksi alam. Persaingan terhadap sumber daya mengajarkan kita rasanya penindasan dan eksploitasi secara ekonomi-politik. Ketika gudang makanan yang dimiliki oleh segelintir orang dan dipagari dengan tembok tinggi, sedangkan di luar tembok itu orang-orang mati kelaparan, kita merasakan ketidakadilan. Ketika lahan yang kita tanami dirampas sehingga kita tidak menikmati apa yang seharusnya kita tuai, kita merasakan penindasan.
Anarkisme lahir dari sini: penindasan dan ketidakadilan. Ia lahir dari cakrawala sosial dan tidak bisa dibayangkan oleh sebagian orang dengan pemikiran yang mapan. Jika evolusi pemikiran menghasilkan spesies ide baru, maka anarkisme muncul karena seleksi alam seperti Darwin bilang. Kita juga telah mengalami perkembangan fisik dan mental tertentu untuk bertahan lebih baik ketimbang yang lain. Sebagian dari kita kemudian menyadari bahwa asosiasi bebas non-hierarkis, penghapusan otoritas, pemerataan kesejahteraan, desentralisasi dan kerjasama adalah hal yang lebih baik supaya kita mampu bertahan, bersama-sama.
Dengan demikian, darwinisme sosial melupakan sesuatu yang penting dalam relasi sosial kita; solidaritas dan kerjasama. Dalam banyak contoh sejarah, kelompok-kelompok manusia yang menerapkan prinsip-prinsip anarkisme akan mengerti rasanya pembebasan dan keadilan.
Hal ini tidak bisa dirasakan simpanse berhubung interaksi sosial mereka masih sangat sederhana, mereka bahkan tidak masuk dalam zaman feodal. Karena itu mereka masih mempertahankan hierarki, dan bagi simpanse manapun yang kuat, ia yang memimpin.
Seperti simpanse, kita mengekalkan hierarki. Tapi pada kenyataannya hal ini adalah kesalahan besar. Pengambilan keputusan diserahkan kepada segelintir orang, otonomi lokal dihapuskan dan diganti dengan sentralisasi kekuasaan. Ada sedikit orang kaya yang memiliki lebih banyak ketimbang jutaan orang lain. Dan mereka yang mencuri dari orang kaya dikutuk. Seorang miskin yang mencuri tidak pernah bisa layak untuk dihukum. Karena dalam kamus sosial, ada pencurian yang diperbolehkan dan dilarang. Karena dalam payung hukum, ada pencurian yang legal dan ilegal. Mencuri bagi orang miskin berarti menempuh yang dilarang dan ilegal. Karena itu penjara nyaris kosong oleh pencuri-pencuri kaya. Dan kematian adalah berkat bagi pencuri miskin, tapi tidak bagi anak-anaknya yang ditinggalkan dan menangis meminta susu.
Namun kita belajar dari sejarah panjang kemanusiaan, menikmati kesengsaraan dan diinjak sepatu tentara, dan pemikiran anarkisme menjadi jawaban atas permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di sekeliling kita. Karena itu kita tidak menentang kehendak alam, anarkisme secara naluri adalah sesuatu yang alamiah. Anarkisme adalah penguatan masyarakat sebagai hasil dari seleksi alam pemikiran sosial.
Dan karenanya, ada perang yang sedang berlangsung saat ini dalam perebutan sumber daya. Pertanyaannya sekarang: Siapakah yang menang? Mereka yang bersaingan atau berkerjasama? Mereka yang mempraktikan penindasan atau pembebasan? Apakah anarkisme adalah the fittest one? Kita tidak perlu menghantam darwinisme sosial, sebab sebenarnya mereka berkontribusi secara positif untuk pembenaran anarkisme. Toh Foudouko akhirnya stres karena hidup sendiri, ia menyadari bahwa hidup berkelompok adalah lebih baik.
Laporan pembunuhan Foudouko juga tidak merinci bagimana perilakunya ketika berkuasa. Tapi ada beberapa hal penting yang dapat kita pelajari: kita tahu bagaimana nasib para tiran. Kemarahan massa adalah teror di atmosfer, dalam rupa badai dan petir di tengah malam. Sehingga tiran tidak akan tidur nyenyak dengan selimut tebal hangatnya, bahkan untuk mantan tiran sekalipun. Terkutuklah Foudouko karena menikmati pemberontakan simpanse muda.
Simpanse juga merasakan bahwa ketika ada semangat penindasan yang hendak dikembalikan Foudouko. Sekelompok simpanse muda menolaknya. Adalah insting alamiah untuk menolak penindasan, untuk menghirup udara pembebasan. Jika simpanse saja mampu meredamnya, kenapa sebagian besar dari kita, Homo Sapiens yang mengaku lebih baik ketimbang simpanse, justru pasrah? Ini tidak alamiah.
Rujukan
http://www.sciencealert.com/in-a-rare-group-killing-chimpanzees-abused-and-cannibalised-their-former-tyrant-s-corpse
Darwin, Charles. 2003. Asal Usul Spesies. Yayasan Obor. Jakarta.