Bab XXXII

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XXXII

Odessa: Kehidupan dan Pandangan

2 September 1920.—Menjelang malam kemarin kami tiba di Odessa, kelompok kecil kami benar-benar gelisah akan nasib Alsberg. Teman perjalanan kami itu, yang jiwa cerianya dan kesiapannya untuk menolong telah banyak membantu dalam membuat perjalanan ini lebih menyenangkan, ditangkap pada 30 Agustus saat kami berhenti di Zhmerinka. Agen-agen Tcheka setempat telah menerima perintah dari Moskow untuk “mengembalikan koresponden Amerika”, karena dia beraangkat ke Ukraina “tanpa sepengetahuan” pihak berwenang. Kami berdebat keras dan menunjukkan surat dari Zinoviev yang memberikan izin kepada Alsberg untuk bergabung dalam Ekspedisi. Dia dikeluarkan dari kereta, untuk dibawa dengan konvoi ke Moskow. Pesan kabel ke Lenin, Zinoviev, dan Balabanova memprotes penangkapan itu dan mendesak agar Alsberg dibebaskan, sejauh ini tidak dijawab.

Odessa kota yang besar, tadinya pusat pengapalan terpenting di negeri ini, sekarang diselimuti kegelapan, stasiun pemasok listriknya hampir seluruhnya hancur akibat kebakaran beberapa hari lalu. Dengan susah payah kami menemukan jalan ke salah satu jalan utama kota itu. Di sudut jalan kami ditahan oleh milisi yang mengabarkan orang-orang dilarang berkeliaran setelah matahari terbenam, kecuali memiliki izin khusus. Membutuhkan pendekatan yang cukup banyak sebelum petugas itu yakin akan “keabsahan” kami dan mengizinkan kami kembali ke kereta. Kesan pertama yang kami dapat, situasi Odessa membenarkan laporan-laporan tak mengenakan yang kami dengar sepanjang perjalanan.

Tak ada lagi keceriaan di kota yang tadinya cantik di bawah terang matahri pagi. Hanya segelintir orang di jalanan, rumah-rumah dan taman-taman diabaikan, trotar rusak dan kotor. Di mana-mana terlihat bukti kemiskinan dan penderitaan akibat penjajahan asing dan perang saudara. Makanan sangat terbatas, harga-harga melambung tinggi di pasar-pasar yang masih diizinkan beroperasi. Para petani di distrik, yang secara sistematis ditindas oleh penguasa yang berganti-ganti, sekarang menolak untuk menanam lebih dari yang mereka butuhkan, meninggalkan kota-kota untuk bergantung pada nasib.

Drai luar Odessa terlihat sunyi, dan tidak ada tanda-tanda kapal perang musuh di pelabuhan. Tetapi atmosfer ketegangan yang membuat gelisah terasa di mana-mana: gerombolan-gerombolan Tentara Hijau dan Makhno kabarnya sudah ada di sekitar kota, dan Wrangel dilaporkan telah mengusai desa-desa di timur laut, di sekitar Rostov. Semangat kewaspadaan menjangkit di biro-biro Soviet, setiap orang selalu membuka telinga seakan-akan sedang menunggu tanda bahaya dan siap untuk kabur.

Kekacauan terjadi di serikat-serikat. Manajemen komunis yang baru belum mendapatkan kontrol sepenuhnya dari kepemimpinan Menshevik dan anarkis yang mereka “likuidasi”. Banyak orang Menshevik dan anarkis yang masih mengepalai urusan perburuhan, karena dengan kukuh dipilih oleh kaum buruh sebagai pembangkangan terbuka terhadap perintah komunis. Di antara kelompo oposisi, Shakhvorostov, seorang anarkis militan, memiliki pengikut yang kuat sehingga kaum Bolshevik tidak berani menyingkirkan dia. Berkat upaya-upaya bersahabatnya, Serikat Soviet telah memutuskan untuk menggelar rapat para sekretaris, di mana aku akan berpidato demi kepentingan Museum.

Kaum proletar nonpartisan, yang merupakan bagian terbesar kelompok buruh, melihat dengan sinis terhadap kesiapan kaum komunis untuk kabur jika musuh tiba. Terutama para pelaut dari armada perang Laut Hitam yang telah dihancurkan, banyak yang tinggal dikota, kecewa dengan situasi itu. Massa tidak dapat mengungsi, mereka mengatakan, kaum buruh akan tumpas jika tetap tinggal, siapa pun yang datang, dan melawan sekuat mungkin. Bukankah serikat-serikat buruh, dibantu kaum tani, telah melakukan perang gerilya yang berhasil melawan pasukan Yunani dan Italia dan para jenderal Putih? Maka tidak ada jarak antara partai politik—semua kaum revolusioner berperang bahu-membahu. Tetapi setiap kali musuh diusir, kaum komunis mendirikan kediktatoran mereka, mencari cara untuk mendominasi komite revolusioner yang bertanggung jawab atas keselamatan kota, dan menghabisi para pejuang yang tua dan lelah. Massa tahu bagaimana cara melindungi diri dari penjajah, tetapi mereka menolak dominasi sebuah partai politik yang ingin memonopoli

revolusi.

**

Semyon Petrovitch, yang dirumahnya aku menghabiskan cukup banyak waktu, adalah seorang cendekiawan nonpartisan dari kelompok yang memiliki pandangan independen. Seorang ahli statistik, dia diizinkan oleh Bolshevik untuk tetap bekerja di Departemen Ekonomi, tempat dia bekerja di rezim sebelumnya. Semyon yakin pemerintah Soviet akan sampai pada titik terpaksa mengubah metode-metode dan tindakan-tindakannya. “Sang perusak tidak dapat tinggal lama di negeri yang dia rusak”—dia suka mengulang ucapan yang kabarnya diucapkan Denikin. Tetapi kemarahan para dewa, tambahnya, mengejar kaum Bolshevik: bahkan niat terbaik mereka terlihat dalam tindakan untuk membuat para dewa kebingungan. “Mereka telah menutup toko-toko dan mengilangkan perdagangan swasta,” ulang Semyon Petrovitch, “mereka menasionalisasi, meregister, dan membuat catatan atas segala sesuatu di bawah matahri. Seseorang akan berpikir bahwa keteraturan yang sepenuhnya harus berkuasa. Memang, kau tidak dapat memindahkan kasur dari satu apartemen ke apartemen lain tanpa izin khusus dari pihak berwenang. Jika kau ingin menumpang kereta ke stasiun berikutnya, kau harus mendapatkan ‘perintah’, jika kau membutuhkan selembar kertas, kau harus mengisi beberapa lembar formulir. Setiap detil dari keberadaan kita berada di bawah regulasi Bolshevik. Singkatnya, kau akan menemukan situasi di Odessa kurang lebih sama dengan wilayah Rusia lainnya,” Semyon meyakinkan aku. “Tetapi kehidupan berlalu bersama aparat Soviet, karena kehidupan tak terbantahkan lagi lebih kuat dari setiap upaya aturan doktrin.”

Seperti di kota-kota Soviet lainnya, populasi disuplai dengan kartu untuk roti dan produk. Tetapi kecuali komunis, sangat sedikit yang menerima cukup roti untuk bertahan hidup. Dalam kategori “borjuis” tak seorang pun yang mendapatkan kartu roti selama berbulan-bulan; itu faktanya sejak kaum Bolshevik menguasai Odessa pada Januari. Kadang-kadang garam, gula dan korek api pun habis.

“Untungnya, pasar-pasar masih diizinkan beroperasi,” jelas Semyon. “Pemerintah tidak dapat memaksakan produksi roti dari para petani untuk memberi makan kota-kota. Pyock lebih banyak berupa impian. Itu mengingatkanku pada seorang komisar di departemen kami, tipe seorang komunis yang langka, karena dia memiliki rasa humor. Suatu waktu aku bertanya kepadanya kenapa kaum Bolshevik menasionalisasi segalanya kecuali kereta kuda. Jawabannya sangat berkarakter. ‘Kau lihat,’ ujarnya, ‘kami menemukan bahwa jika kau tidak memberi makan manusia, bagaimana pun mereka akan bertahan hidup. Tetapi jika kau tidak memberi makan kuda, binatang bodoh itu akan mati. Itu sebabnya kami tidak menasionalisasi kereta kuda.'”

Kehidupan memang lebih kuat daripada aturan-aturan, mengisi setiap retakan tameng sosialis. Saat perdagangan dilarang dan hanya koperasi yang diizinkan untuk beroperasi, semua tempat bisnis tiba-tiba terinspirasi semangat altruisme, dan setiap toko dihias dengan simbol Epo (koperasi). Kemudian, saat koperasi-koperasi juga ditutup dan hanya produksi skala kecil yang diizinkan, semua toko kecil mulai memproduksi pemantik api dan sol sepatu dengan bahan baku ban mobil bekas curian. Aturan demi aturan diterbitkan sampai hanya mengizinkan perdagangan makanan. Lalu di semua jendela toko yang terlihat hanya roti dan camilan, sementara benda-benda lain dijual di ruang belakang. Akhirnya semua toko makanan pun ditutup, sekarang perdagangan ilegal pindah ke rumah pemilik toko, dan bisnis diselesaikan di tangga belakang.

“Kaum Bolshevik ingin menghilangkan perdagangan swasta dan menghancurkan spekulasi,” ucap Semyon, “mereka ingin setiap orang hidup hanya dengan tugasnya. Tetapi tidak ada satu tempat pun di dunia yang begitu banyak spekulasi seperti di Rusia, seluruh negeri disapu demam ini. ‘Nasionalisasi perdagangan berarti seluruh bangsa sedang berdagang,’ kata pepatah bijak. Sebenarnya, kita semua telah menjadi spekulator,” lanjutnya, sedih. “Setiap keluarga sekarang lebih tergantung pada penjualan meja atau seprai mereka ketimbang pada gaji yang dibayar pemerintah Soviet. Para pemilik toko, yang kehilangan tokonya, masih menjadi pedagang, dan mereka sekarang bergabung dengan orang-orang yang tadinya buruh, secara fisik, seperti juga kaum intelektual. Kebutuhan lebih kuat daripada aturan hukum, Kawan. Pabrik milik kaum proletar telah ditutup, mereka harus berhenti untuk ada, sebagai sebuah kelas, karena sebagian besar pabrik dan tempat pengolahan tidak lagi beroperasi. Kaum buruh harus melarikan diri ke desa atau menjadi pedagang. Kediktatoran Komunis telah menghancurkan, tetapi mereka tidak sanggup untuk membangun.”

Tcheka lebih dibenci di Odessa dibandingkan di Kiev. Beredar cerita-cerita menyeramkan tentang metode-metode dan kekejaman pemimpin mereka, seorang mantan imigran dari Detroit, Amerika Serikat. Personel lembaga itu sebagian besar terdiri atas polisi rahasia rezim lama dan kriminal yang mendapatkan pengampunan “untuk bertugas melawan kontrarevolusi dan spekulasi”. Spekulasi secara khusus akan ditindak dengan “bentuk hukuman tertinggi”—ditembak mati—bagi pelakunya. Eksekusi terjadi setiap hari. Orang-orang celaka itu dinaikkan ke truk, wajah menunduk, dan dibawa ke pinggiran kota. Pawai kendaraan kematian dikawal orang-orang yang mengemudi dengan liar dan menembakkan senjata ke udara—sebuah peringatan agar kita menutup jendela. Di tempat yang telah ditentukan, pawai itu berhenti. Para korban ditelanjangi dan dibawa ke tepian kuburan massal. Tembakan-tembakan terdengar—tubuh-tubuh, sebagian tak bernyawa, sebagian lagi hanya terluka, jatuh ke lubang dan dengan segera ditimbun tanah.

Tetapi walau “spekulasi” dilarang dan kepemilikan atau pertukaran uang Tsar kerap diganjar dengan kematian, anggota-anggota Tcheka sendiri mendapat gaji yang sebagian dibayar dalam uang Tsar, yang daya belinya jauh lebih tinggi daripada uang Soviet. Ada perputaran mata uang terlarang yang cukup besar di pasar-pasar, dan ada rumor agen-agen Tcheka sendiri yang menjadi pemimpin para pedagangnya. Aku menolak tuduhan itu sampai seorang angota Ekspedisi memberitahuku, dia berhasil menukar sebagian uang Tsar—yang secara resmi diberikan kepada kami di Moskow—secara menguntungkan ke dalam uang Soviet. “Kau mengambil risiko sangat besar dengan menukarnya,” aku menegurnya.

“Tidak ada risiko sama sekali,” jawabnya dengan santai. “Kaupikir aku sudah bosan hidup sampai mau menjualnya di pasar terbuka? Aku menjualnya melalui seorang kawan lama, dia N sendiri, yang melakukan bisnis kecil itu untukku.”

N adalah seorang pejabat tinggi Tcheka.

**

Bersama Emma Goldman aku menghadiri acara Anarkis lokal yang akan bertemu dengan “kamerad-kamerad dari Amerika”. Ruangan besar itu dipenuhi berbagai macam orang—para mahasiswa dan buruh, pekerja Soviet, tentara, dan beberapa pelaut. Setiap kelompok nonpemerintah terwakili: ada pengikut Kropotkin dan Stirner, penganut positivisme dan aksionis, dan sejumlah Anarkis Soviet, disebut demikian karena sikap bersahabatnya terhadap kaum Bolshevik.

Itu adalah pertemuan informal dengan opini yang sangat beragam. Sebagian menuding kaum Komunis sebagai kelompok reaksioner, yang lain percaya pada motif revolusionernya, tetapi semuanya tidak setuju dengan metode-metode Komunis. Beberapa orang menganggap tahapan saat ini sebagai masa transisi, fase yang tak terhindarkan dari revolusi. Tetapi sebagian besar membantah periode seperti itu pernah hadir di dalam sejarah. Kemajuan, klaim mereka, adalah proses yang berlanjut, setiap langkah membayangi dan membentuk langkah berikutnya. Keberlanjutan despotisme dan teror menghancurkan kemungkinan masa depan yang merdeka dan persaudaraan.

Diskusi yang paling seru berkisar pada tema kediktatoran proletariat. Itu masalah mendasar, ditentukan oleh konsepsi seseorang tentang revolusi dan sebagai akibatnya menentukan sikap seseorang pada kaum Bolshevik. Elemen pemuda tanpa ragu mengutuk kediktatoran Partai Komunis dengan kekerasan dan pertumpahan darahnya, ukuran-ukurannya yang menghukum, dan efek-efek umum kontrarevolusi. Anarkis Soviet, walau menyesalkan kekejaman tindakan Komunis, menganggap kediktatoran sebagai hal tak terhindarkan pada tahapan-tahapan tertentu dalam revolusi. Diskusi berlangsung selama berjam-jam, dan pertanyaan utama dikaburkan oleh penjelasan-penjelasan teoritis. Aku merasa, bertahun-tahun badai dan tekanan telah benar-benar mencabut akar nilai-nilai lama tanpa ada kejelasan akan konsep-konsep baru tentang kenyataan dan pandangan.

“Dapatkah kau menyarankan sesuatu yang pasti untuk mengganti kediktatoran?” akhirnya aku bertanya. “Situasi ini menuntut sebuah tujuan bersama.”

“Yang kita miliki adalah kediktatoran terhadap proletariat,” celetuk seorang pengikut Kropotkin yang bersemangat.

“Itu menuntut pertanyaan. Bukan kegagalan dan kedatangan kaum Bolshevik yang menjadi persoalan, tetapi kedikatoran itu sendiri. Tidakkah revolusi yang berhasil seharusnya memaksakan penghapusan borjuis dan memaksakan keinginan proletar terhadap masyarakat? Pendeknya, sebuah kediktatoran?”

“Tentu saja,” timpal seorang perempuan muda di sampingku, seorang Revolusioner Sosial Kiri, “tetapi bukan hanya kediktatoran proletariat. Lebih baik kediktatoran kaum pekerja, termasuk kaum tani dan juga buruh kota.”

“Andai kaum Komunis tidak menghukum kaum Anarkis, aku akan mendukung mereka,’ ucap seorang Anarkis Individualis.

Yang lain mencemooh sikap partisannya yang sempit, tetapi pengikut Kropotkin menolak kediktatoran. Mungkin ada sebuah periode selama revolusi di mana kekerasan, bahkan pasukan yang terorganisasi, memiliki nilai penting, mereka mengakui. Tetapi hal-hal tersebut harus berada di tangan buruh dan tidak dilembagakan dalam badan semacam Tcheka, yang tugasnya melukai dan menumbuhkan semangat kontrarevolusi di tengah massa yang menjadi korban kekerasan.

Diskusi itu tidak memberi harapan untuk mencapai dasar kerja sama dengan kaum Bolshevik. Sebagian besar yang hadir telah bertahun-tahun mengabdikan diri pada idealisme mereka, mengalami hukuman dan pemenjaraan sampai akhirnya revolusi berjaya. Sekarang mereka menemukan diri mereka dikriminalkan bahkan oleh Komunis. Mereka benar-benar marah terhadap “penjaga utama proletariat” yang berubah menjadi tukang jagal elemen-elemen revolusioner terbaik. Palung ini terlalu lebar untuk dijembatani. Dengan kesedihan mendalam aku memikirkan pengabdian, kemampuan, dan idealisme yang hilang untuk revolusi, dan konflik dalam

situasi saling membunuh yang tak terhindarkan.

**

3 September 1920.- Wrangel dilaporkan mendesak maju di barat laut setelah mengalahkan Tentara Merah di beberapa pertempuran. Kavaleri Budenny mundur, meninggalkan jalan terbuka untuk Rostov. Alyoshki, wilayah pinggiran Kherson diduduki Tentara Putih, dan para pengungsi membanjiri Odessa. Kebisuan pemerintah menciptakan kegugupan massal, dan rumor-rumor paling liar beredar luas.

Kerja kami di kota telah selesai, tetapi situasi militer terkini membuat kami tidak mungkin melanjutkan perjalanan ke tenggara, menuju Kaukasus, sebagaimana direncanakan. Kemudian kami memutuskan Ekspedisi tetap di Odessa, sementara dua anggota kami mencoba mencapai Nikolayev, dan di sana melihat kemungkinan untuk bergerak lebih jauh. Ketua dan sekretaris Ekspedisi terpilih untuk melakukan tugas itu.

Kawan-kawanku telah meninggalkan kota untuk menempati ruang di kereta. Bersama sekretaris kami, Alexandra Shakol, aku menaikkan materi-materi yang terkumpul ke sebuah gerobak. Jumlahnya sangat banyak, dan kuda tua yang kelaparan itu tidak sanggup menarik beban. Saat itu hujan deras, trotoar rusak dan licin, binatang nahas itu tampak akan pingsan.

“Kudamu kelelahan,” kataku kepada kusir, seorang perempuan petani.

Dia tidak menjawab. Tali kekang terjatuh dari tangannya, kepalanya menunduk, dan tubuhnya gemetar seakan terserang malaria.

“Ada apa, mathuska?” aku bertanya.

Dia menengadah. Matanya merah dan air mata mengalir di pipinya, meninggalkan bekas kotoran. “Terkutuklah kalian!” gumamnya di antara isakan.

Kuda itu berhenti. Hujan semakin deras, dinginnya menusuk tulang.

“Terkutuklah kalian semua!” dia berteriak keras.

Kami mencoba menenangkannya. Sang sekretaris, seorang Rusia asli, keluarganya petani, secara impulsif mencium kedua pipi perempuan itu. Secara sepotong-sepotong kami mengetahui, dua hari lalu dia mengangkut segerobak rumput ke kota, yang menjadi bagian dari kewajiban desanya. Dalam perjalanan pulang dia dihentikan detasemen penyitaan. Dia memohon, sapinya telah disita dan dia hanya memiliki kuda itu; sebagai janda seorang Tentara Merah dia dikecualikan dari penyitaan. Tetapi dia tidak membawa dokumen, dan dia dibawa ke kantor polisi. Komisar memarahi anak buahnya yang akan mengambil seekor binatang yang tidak sehat untuk menjalankan tugas, dan perempuan itu sangat gembira. Tetapi saat dia akan pergi, komisar itu menahannya. “Kudamu akan mengerjakan pekerjaan ringan,” ucapnya, “kau akan melakukan kerja paksa selama tiga hari.”

Sekarang dia sudah bekerja dua hari, hanya menerima setengah pon roti dan tak ada makanan untuk kudanya kecuali sedikit jerami. Pagi ini dia diperintahkan untuk ke tempat kami.

Sebagian besar kendaraan dan kuda telah dinasionalisasi, yang masih dimiliki secara pribadi disita sementara oleh Biro Transportasi untuk jam kerja yang ditentukan selama sepekan. Dengan gugup kami memberi hormat kepada pasukan yang lewat, semuanya berpura-pura “sedang mengerjakan tugas Soviet”. Perempuan itu semakin histeris. Kuda itu jelas tidak sanggup bergerak lagi. Hujan membasahi material yang kami kumpulkan, angin menyobek kliping-kliping koran kami dan menerbangkan lembaran-lembaran berharga ke jalan. Akhirnya dengan teriakan dan bahu, kami mendorong kuda itu untuk melangkah, dan setelah perjalanan yang panjang kami tiba di stasiun kereta. Di sana kami segera menulis “kwitansi” yang menjelaskan petani dan kuda itu telah memenuhi kerja paksa mereka, memberi perempuan itu sepotong roti dan sedikit camilan untuk anak-anaknya, dan dia pulang dengan membungkuk dan berkata berulang-ulang, “Teberkatilah kau, Tuan yang baik, Tuhan memberkatimu.”