BAB XXX

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


BAB XXX

DI BERBAGAI KEGIATAN

Dengan bantuan R, sekretaris salah satu perserikatan buruh yang penting, aku mengumpulkan materi berharga untuk Ekspedisi. R seorang Menshevik yang entah bagaimana caranya lepas dari “proses pembersihan” baru-baru ini. Menurutnya, popularitasnya di antara para pekerja yang menyelamatkannya. “Orang-orang Bolshevik mengawasiku, tapi sejauh ini mereka membiarkanku sendiri,” ujarnya penuh makna.

Familier dengan kota tersebut, museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, dan arsip-arsipnya, R sangat menolong dalam misiku mengumpulkan data dan dokumen. Banyak data dan dokumen berharga telah hilang, dan masih banyak lagi yang telah dihancurkan para buruh sendiri, untuk menjaga keamanan mereka, saat pendudukan Jerman dan Teror Putih. Tapi ada sejumlah besar arsip buruh yang telah dilindungi berhasil diselamatkan, cukup untuk merekonstruksi sejarah perjuangan heroik perserikatan sejak kelahiran mereka dan selama melalui hari-hari penuh badai revolusi dan perang sipil. Sepanjang waktu itu orang-orang Menshevik memainkan peranan sebagai pemimpin intelektual, dengan orang-orang Bolshevik dan Anarkis sebagai inspirasi revolusioner para buruh.

Markas besar Soviet Buruh entah bagaimana telah menjadi tempat penyimpanan gabungan dokumenter aneh. Catatan-catatan polisi dan polisi militer, sesi-sesi Duma—semacam badan legislatif Rusia, dibentuk tahun 1906, dibubarkan pada 1917—dan statistik finansial menemukan jalan mereka ke tempat itu, hanya untuk dilupakan. Dengan keberuntungan yang sulit dipahami, Universal of Petlura pertama, dokumen langka yang berisi deklarasi original prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan demokrasi nasional Ukraina, ditemukan olehku di dalam laci yang terabaikan. Seorang pegawai Komunis mengklaim dokumen tersebut sebagai “milik pribadi”, akan tetapi dia bersedia melepasnya jika ada timbal baliknya. Karena harga yang diminta terlalu tinggi, dokumen tersebut sekarang menjadi urusan Museum.

Di dalam lingkaran Menshevik, perasaan terhadap orang-orang Bolshevik sangatlah getir. Secara umum ada sentimen di antara mereka bahwa komunis, yang sebelumnya Sosial Demokrat, mengkhianati Marx dan mendiskreditkan Sosialisme. “Revolusionis Asia,” R menyebut mereka. Tak ada bedanya antara Trotsky dan si tukang gantung Stolypin, tegasnya; metoda mereka identik. Memang, dibandingkan dengan saat ini, kehidupan politik lebih terasa pada zaman Nicholas II. Orang-orang Bolshevik, dituduh sebagai Marxis, berpikir berdasarkan dekrit dan teror untuk mengubah hukum kekal evolusi sosial; bisa dikatakan melompati beberapa anak tangga sekaligus di tangga kemajuan. Revolusi Februari pada dasarnya borjuis, tapi Lenin berusaha mengubahnya dengan memanfaatkan kekerasan kaum minoritas yang tidak penting ke dalam revolusi sosial. Kegagalan sempurna dari seluruh harapan merupakan hasilnya. Kaum komunis, menurut R, takkan bertahan lebih lama. Rusia berada di ambang tumbangnya perekonomian. Cadangan makanan lama sudah habis; produksi nyaris terhenti. Kerja keras militerisasi telah gagal. Kalkulasi Trotsky tentang peningkatan progresif dari produksi di “front buruh” telah gagal seperti nubuat Bolshevik mengenai revolusi dunia. Pabrik bukanlah medan pertempuran. Mengubah negara menjadi kamp buruh paksa tidak kondusif dalam menciptakan usaha kreatif. Malah memecah masyarakat ke dalam perbudakan dan mandor buruh, dan menciptakan kelas penguasa berupa birokrat Soviet. Yang paling signifikan dari semuanya, perubahan tersebut membuat semakin banyak buruh yang berpikiran maju melawan komunis. Sekarang kaum Bolshevik bisa menghitung baik dari pihak petani maupun proletar; seluruh negeri melawan mereka. Tapi jika bukan karena kebijakan bodoh Sekutu, mereka sudah disapu bersih sejak lama. Blokade dan invasi dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Kaum Bolshevik membutuhkan perang untuk menjaga agar mereka tetap berkuasa; kampanye Polandia saat ini cocok dengan kebutuhan mereka. Tapi itu pilihan terakhir Komunis. Pada akhirnya itu akan pecah, dan eksperimen Bolshevik yang berdarah-darah akan berakhir. “Sejarah akan menulis mereka sebagai musuh

besar Revolusi,” simpul R tegas.

**

Jumat malam.- Di meja makan di rumah Reb Zakhare, seorang zionis tua, tiga lilin menyala, nyonya rumah memberkatinya secara ortodoks. Seluruh keluarga berkumpul untuk perayaan ini. Tapi tak tersaji sup tradisional dan daging: ikan herring dan bubur yang disajikan, dan seketul Khale, roti Sabat, sekarang terigunya hanya setengah takaran biasa. Selain para orangtua, dua anak perempuan dan anak lelaki berusia delapan belas tahun ikut hadir. Anak lelaki tertua—”Yankel namanya,” ujar Reb Zakhare sambil mengembuskan napas berat. “Sekarang seharusnya dia berusia 23 tahun, semoga kenangan akannya diberkati”—terbunuh saat pengusiran dan penyiksaan yang dilakukan pasukan Denikin tepat sebelum mereka akhirnya pergi dari kota. Dia bermaksud membela adik perempuannya—yang bungsu, saat itu baru lima belas tahun. Mereka sedang mengunjungi teman di Podol ketika mob turun ke jalan, menjarah setiap rumah, merampok, dan membunuh.

Perempuan tua itu duduk di pojokan, menangis tanpa suara. Tatapan ketakutan yang membeku, yang akhir-akhir ini sering kulihat, ada di sorot mata para gadis. Si pemuda mendekati ibunya dan dengan lembut berbicara kepadanya. Sebagai Zionis murni, keluarga itu berbincang dengan bahasa Ibrani kuno, jelas-jelas membuat kelonggaran dengan mengajakku mengobrol menggunakan bahasa Yahudi masa kini.

“Setidaknya kau terbebas dari pengusiran dan penyiksaan di bawah kaum Bolshevik,” ujarku.

“Dari sudut pandang tertentu,” si lelaki tua mengiyakan; “tapi kaum Bolshevik-lah yang bertanggung jawab atas pengusiran dan penyiksaan. Ya, ya, kami mengalaminya saat di bawah kekuasaan Tsar juga,” dia menyela protesku, “tapi itu sama sekali tak serupa dengan yang kami alami setelahnya. Kebencian terhadap kami meningkat. Bagi para non-Yahudi, Bolshevik sekarang berarti Yahudi; komisar adalah Zhid (istilah yang menghina untuk Yahudi), dan setiap orang Yahudi bertanggung jawab atas pembunuhan Tcheka. Seumur hidup aku tinggal di kampung Yahudi, dan aku sudah menyaksikan pengusiran dan penyiksaan selama bertahun-tahun, tapi tak pernah seburuk sejak Bolshevik masuk ke Moskow.”

“Tapi mereka menghilangkan pengusiran dan penyiksaan,” aku bersikukuh.

“Mereka juga membenci Yahudi. Kami selalu menjadi korban. Di bawah komunis kami tak mengalami pengusiran dan penyiksaan yang penuh kekerasan; setidaknya aku tidak mendengar kejadian semacam itu. Tapi kami mengalami ‘pengusiran dan penyiksaan diam-diam,’ penghancuran sistematis atas semua yang kami sayangi—tradisi, adat istiadat, dan budaya kami. Mereka membunuh kami sebagai bangsa. Aku tidak tahu apakah itu pengusiran dan penyiksaan yang paling parah,” tambahnya getir.

Setelah beberapa saat dia kembali ke pokok pembicaraan itu lagi:

“Beberapa Yahudi bodoh bangga melihat beberapa orang kami ada di pemerintahan, dan bahwa Trotsky menjadi menteri pertahanan. Seakan-akan Trotsky dan orang-orang semacam itu benar-benar Yahudi! Apa gunanya semua itu, aku tanya, jika bangsa kami harus menderita lebih daripada sebelumnya, dan semakin menderita?”

“Para Yahudi mendapatkan kesetaraan politik dan sosial seperti non-Yahudi,” tawarku.

“Setara apa? Dalam penderitaan dan korupsi. Tapi bahkan dalam hal itu pun kami tidak setara. Yahudi harus menanggung beban lebih berat dibandingkan dengan yang lain. Kami tidak cocok di pabrik—dari dulu kami selalu menjadi pelaku bisnis, pedagang, dan sekarang kami sudah hancur sehancur-hancurnya. Mereka telah menanamkan benih korupsi di para pemuda kami yang sekarang hanya memikirkan kekuasaan; atau bergabung dengan Tcheka untuk mendapatkan keuntungan. Dulu tidak begitu. Mereka menghancurkan mimpi tentang Palestina, rumah sejati kami; mereka menekan setiap usaha untuk mendidik anak-anak kami dalam semangat Yahudi yang sebenar-benarnya.”

**

Di Kulturliga berkumpul penulis, penyair, dan guru Yahudi, kebanyakan mereka merupakan anggota Volkspartei ketika partai politik itu diwakili di Rada oleh Menteri Urusan Yahudi. Dulu Liga itu merupakan organisasi yang kuat, dengan 230 cabang di seputar wilayah Selatan, mengerjakan kegiatan budaya di antara orang-orang seagama. Institusi itu melalui banyak penderitaan selama terjadinya berbagai perubahan politis, kaum Bolshevik awalnya toleran, bahkan membantu secara finansial dalam urusan pendidikan. Tapi sedikit demi sedikit bantuan itu ditarik dan rintangan mulai dipasang di jalan Liga itu. Komunis mengerutkan dahi melihat karakter pekerjaan yang terlalu nasionalistis. Yovkom, cabang Yahudi dari Partai itu, bersikap lebih antagonis. Guru-guru dan murid-murid Liga yang lebih tua dimobilisasi untuk melayani negara, dan bidang-bidang yang ditangani dipersempit cakupannya. Di berbagai provinsi, banyak dari cabang ini telah ditutup sepenuhnya, tapi di Kiev, pengabdian dan kegigihan semangat pemimpinnya masih memungkinkan Liga untuk berlanjut.

Itu satu-satunya oase di dalam kota yang kehidupan intelektual dan sosialnya nonpartisan. Kendati aktivitasnya sekarang terbatas, Liga itu masih populer di kalangan pemuda Yahudi. Kelas-kelas seninya, termasuk kelas menggambar, melukis, dan mematung, memiliki pengunjung yang antusias, sementara studio teaternya mengembangkan aktor-aktor dan aktris-aktris muda yang menjanjikan. Latihan-latihan teater yang kukunjungi, terutama “The World’s End,” karya anumerta penulis drama tak dikenal, unik dalam konsepsi artistik dan ekspresi yang kuat.

Elemen-elemen lebih muda yang sering mendatangi Kulturliga memiliki mimpi akan Zion, dan mengharapkan bantuan Inggris untuk mengamankan bangsa Yahudi dalam mendapatkan rumah tradisional mereka. Mereka tak bersentuhan dengan dunia Barat dan peristiwa-peristiwa terkini, tapi keyakinan mereka pada harapan-harapan yang diangkat Kongres Yahudi tak tergoyahkan. Entah bagaimana, entah kapan, bahkan mungkin dalam jangka waktu yang tak lama lagi, akan terjadi peristiwa besar dan Yahudi akan bermukim kembali di Palestina. Dengan keyakinan penuh semangat itu mereka terus membawa-bawa eksistensi mereka dari hari ke hari, tumbuh dalam kehidupan intelektual, sementara secara fisik berada dalam penderitaan.

Sumber dukungan mereka yang lama telah ditiadakan, pemerintah menyuplai mereka dengan kartu-ransum kategori keempat. Kategori keempat merupakan label Bolshevik untuk “bourzhooi”, kaum terpelajar yang sekarang dicela dengan sebutan seperti itu, kendati pada kenyataannya orang kaya kelas menengah mencari aman saat revolusi pecah. Kebencian terhadap kaum borjuis beralih kepada kaum intelektual, agitasi resmi berkembang dan memperhebat semangat ini. Mereka direpresentasikan sebagai musuh proletar, pengkhianat revolusi—paling banter spekulator, jika bukan kotrarevolusionis aktif. Tak ada yang membendung gelombang ketakutan yang menyapu mereka. Begitu juga dengan gelombang spontanitas lepasnya sentimen populer. Apinya dikipasi Moskow. Agen-agen Bolshevik dari pusat dikirim sebagai ketua dan “instruktur” yang secara sistematis membangkitkan insting-insting paling mendasar. Zinoviev sendiri mencela komunis lokal dan “saudara-saudara proletariat”-nya yang toleran terhadap borjuis. “Mereka masih melangkah di jalanan kalian,” serunya di pertemuan publik, “terbalut pakaian terbaik, sementara kalian ke sana kemari dalam baju compang-camping. Mereka tinggal di rumah-rumah mewah, sementara kalian menghinakan diri dengan tinggal di gudang bawah tanah. Kalian tak boleh mengizinkan hal semacam itu terjadi lebih lama.”

Kunjungan pemimpin-pemimpin komunis selalu diikuti dengan “rekuisisi dari para borjuis” yang telah diperbarui. Metodenya sederhana. Portir rumah diinstruksikan untuk menyusun daftar pemegang kartu kategori keempat. Kebanyakannya mereka proletariat intelektual—guru, penulis, ilmuwan. Tapi kepemilikan kartu kategori keempat adalah malapetaka bagi mereka: mereka sasaran-sasaran yang sah untuk rekuisisi. Pakaian, pakaian dalam, barang-barang rumah tangga—semuanya disita dan dinyatakan sebagai “izhlishki” atau barang-barang mewah yang tak perlu.

“Bagian paling tragis adalah,” ujar C—, penulis Yiddish terkenal, “‘izlishki’ itu jarang mencapai tujuan proletariatnya. Kita semua tahu benda-benda paling berharga yang disita hanya bergerak paling jauh sampai ke Tcheka, sementara kain-kain rombeng tua dan nyaris tak berguna dikirim ke perserikatan-perserikatan, untuk dibagikan ke para buruh.”

“Seringkali seseorang juga bahkan tidak tahu siapa yang melakukan “rekuisisi”,” ujar seorang anggota Liga; “terkadang agen-agen Tcheka melakukannya atas keputusan sendiri.”

“Apa tidak ada yang minta ganti rugi?” tanyaku; “tak ada yang protes?”

C membuat gerakan mencela. “Kami sudah banyak belajar,” jawabnya, “dari nasib mereka yang berani melakukan itu.”

“Kau tak bisa protes melawan ‘perintah revolusioner’ Bolshevik, begitu istilah mereka,” ujar seorang guru muda. “Aku pernah mencoba. Kejadiannya begini. Suatu hari, ketika kembali ke kamar, aku menemukan seorang asing ada di dalamnya. Ketika menuntut jawaban atas apa yang sedang dia lakukan di sana, dia berkata dia ditugaskan untuk berada di sana, menunjukkan dokumen dari Biro Perumahan. ‘Lalu aku harus bagaimana?’ tanyaku. Dia menjawab, ‘Kau bisa tidur di lantai,” dan meregangkan tubuh di kasurku. Aku protes ke otoritas tertinggi, tapi mereka menolak masalah yang kubawa. ‘Kamar itu cukup besar untuk kalian berdua,’ mereka bersikukuh, kendati masalahnya sama sekali bukan itu. ‘Tapi kalian menempatkan seorang asing di kamarku,’ aku memohon. “Tak lama lagi kalian akan akrab,’ cemooh mereka, ‘kami tak membeda-bedakan jenis kelamin.’ Aku akhirnya menginap di tempat teman-temanku selama beberapa waktu, tapi disana juga terlalu sesak, aku harus mencari tempat lain. Selama berhari-hari aku mengantri di Biro Perumahan, tapi mustahil mendapatkan surat untuk memperoleh kamar. Sementara itu Ketua mengancam akan melaporkanku karena mengabaikan pekerjaan, karena aku menghabiskan banyak waktu di kantor-kantor Soviet. Akhirnya aku mengeluh ke Rabkrin, yang seharusnya melindungi kepentingan proletar. Agen mereka mengundangku berbagi kamar dengannya, jadi kutampar wajah lelaki itu. Dia menyuruhku ditahan, dan aku dipenjara di sel Tcheka selama dua bulan atas tuduhan ‘sabotase’.”

“Bisa berakhir lebih buruk daripada itu,” seseorang berkomentar.

“Setelah dibebaskan,” aku terus mendesak, tertarik pada kisah perempuan itu, “apa yang kau lakukan untuk mendapatkan kamar?”

Perempuan itu tersenyum sedih. “Aku belajar banyak saat ditahan Tcheka,” ujarnya. “Ketika dibebaskan, aku mencari anggota Biro Perumahan. Untung aku masih memiliki sepasang sepatu Prancis yang bagus, dan kupersembahkan untuknya. ‘Hadiah kecil untuk istrimu,’ kataku, tak peduli yang mana yang akan mendapatkannya, karena dia terkenal memiliki lebih daripada satu istri. Dalam 24 jam aku mendapatkan kamar luas yang bagus, perabotannya bergaya borjuis sungguhan.”

**

Matahari sudah terbenam, jalanan gelap, lampu-lampu yang jaraknya tak tetap bekerlip samar di udara berkabut. Berbelok di Krestchatik, dalam perjalananku ke Ispolkom, aku menemukan diriku sendiri berada di antara kerumunan yang bersemangat, dikelilingi tentara dan milisi. Ada penggerebekan mencari desertir buruh. Laki-laki dan perempuan ditahan di tengah lingkaran militer, akan dibawa ke kantor untuk diperiksa. Hanya kartu komunis yang menjamin pembebasan segera. Penangkapan berarti penahanan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu—dan aku punya janji penting di markas besar Komunis. Tapi dengan sia-sia aku menjelaskan kepada milisi bahwa ‘tovarishtch’ Vetoshkin menunggu kedatanganku. Bahkan nama kepala penguasa Komite Eksekutif tidak membuat mereka terkesan. Komite Buruh dan Pertahanan yang sekarang berkuasa; perintah mereka adalah menahan semua orang untuk diperiksa berkaitan dengan pekerjaan mereka. Laki-laki dan perempuan yang ditangkap memohon, membantah, dan mengeluarkan dokumen, tapi para tentara tetap teguh, memerintahkan semua orang berbaris. Aku menuntut dipertemukan dengan petugas yang bertanggung jawab, tapi si anggota milisi tetap berada di sampingku, mengabaikan protesku. Tiba-tiba kerumunan di depan mulai mendesak-desak dan saling dorong: perkelahian pecah di pojokan. Penjagaku bergegas ke depan dan, mengambil keuntungan dari situasi itu, aku menyeberang jalan dan masuk ke gedung Ispolkom.

Sekretaris Yetoshkin menemuiku di tangga. Meminta maaf atas keterlambatanku akibat insiden penggerebekan, aku mengusulkan sistem dan penilaian yang lebih baik dan menyenangkan dalam organisasi semacam itu. Sekretaris itu menunjukkan penyesalan atas kebodohan dan tak bertanggung jawabnya tindakan saat razia, tapi nitchevo ne podelayesh—tak ada yang bisa dilakukan—dia meyakinkanku dengan tegas.

Aula makan komunis dibanjiri cahaya; dinding-dindingnya dihias dengan umbul-umbul merah dan inskripsi, dan bendera merah kirmizi membingkai potret besar Lenin dan Trotsky, dengan sedikit kemiripan dengan Lunatcharsky di tempat yang lebih tidak mencolok. Meja makan yang panjang sarat dengan berbagai macam buah dan minuman anggur, dan hidangan pilihan disajikan untuk tamu-tamu yang diundang untuk menghormati delegasi Prancis dan Italia yang sedang mengunjungi kota. Angelica Balabanova memimpin pertemuan ini; di sebelahnya ada Vetoshkin petinggi Soviet di kota ini, bersama sejumlah besar laki-laki dalam seragam militer.

Ini merupakan pertemuan resmi aristokrat komunis, dengan Emma Goldman dan aku sendiri sebagai satu-satunya yang bukan Bolshevik yang hadir dengan undangan khusus dari kawan baik kami Angelica. Sifatnya yang keibuan dan sederhana tampak tidak cocok dengan pertemuan ini. Ada kesedihan mendalam di wajahnya, rona ketidaksetujuan akan seluruh kemewahan dan ‘gaya’ yang dikerahkan untuk acara ini. Perhatiannya disibukkan dengan lelaki-lelaki lokal di sisinya, yang berjuang keras untuk menyenangkan tokoh penting “dari pusat.” Yang lainnya menghibur delegasi-delegasi luar negeri, “tovarishtch” yang bisa berbahasa Prancis ditempatkan di sebelah delegasi Prancis. Anggurnya enak dan terus mengalir, makanannya lezat. Dalam beberapa tingkatan atmosfernya kehilangan kekakuan formalitas, dan semangat yang lebih bebas melayang turun ke meja makan.

Acara minum kopi memulai serangkaian pidato. Proletariat Rusia, dengan Partai Komunis sebagai pengawal di garis depan, memuji-muji diri sebagai pembawa umbul-umbul revolusi sosial, dan menyatakan kepastian tegas akan cepatnya kehancuran kapitalisme di seluruh dunia. Tapi karena pihak Sekutu terkutuk membuat negara ini kelaparan dan menyokong kontrarevolusi bersenjata, Rusia—diklaim—pada akhirnya akan menjadi surga buruh dengan kebebasan penuh dan kesejahteraan bagi semua. Kaum Menshevik dan Revolusionis Sosial, penghianat revolusi, diberangus di dalam negeri, tapi di luar, antek kapitalisme ini, Kautsky, Lafargues, dan lain-lain, masih meneruskan pekerjaan beracun mereka, memfitnah komunis dan mencemarkan nama revolusi. Oleh karena itu, kunjungan delegasi-delegasi asing ke Rusia disambut hangat, agar mereka bisa mengetahui sendiri situasi nyatanya, dan mereka mengunjungi Ukraina supaya bisa melihat dengan mata kepala sendiri bahwa karya besar Komunis telah tercapai.

Aku melirik para delegasi. Mereka duduk bergeming selama pidato yang panjang dalam bahasa asing, tapi bahkan pengalihbahasaan Angelica yang hebat ke dalam bahasa Prancis, diperkaya dengan kepribadian dan kemampuan orasinya yang berapi-api, tampaknya tidak membuat mereka terkesan. Aku mendeteksi kekecewaan di wajah mereka. Mungkin mereka mengharapkan pertemuan yang tidak terlalu resmi, diskusi yang lebih intim mengenai masalah-masalah revolusioner. Tak diragukan lagi, mereka sudah mendengar banyak pemberontakan petani dan ekspedisi pemberian hukuman, seringnya demonstrasi, pergerakan Makhno, dan oposisi umum terhadap komunis. Tapi masalah-masalah itu dengan hati-hati dihindari oleh para pembicara, yang berusaha mempersembahkan gambaran tentang orang-orang yang bersatu, bekerja sama dalam “kediktatoran proletariat” dan dengan antusias mendukung “pengawal garis depan, Partai Komunis” mereka.

Larut malam, menemani delegasi-delegasi asing ke stasiun kereta, aku berkesempatan mengetahui sentimen mereka. “Observasi yang kami buat selama di Rusia dan materi-materi yang kami kumpulkan,” ujar salah seorang dari mereka, “seluruhnya membantah klaim Bolshevik. Kami merasa sudah menjadi tugas kami untuk menceritakan seluruh kebenarannya kepada orang-orang di negara kami.”

Keesokan paginya di jalan sempit, tempat perbekalan dibeli untuk memenuhi ransum yang jumlahnya langka, aku bertemu sekelompok kecil orang meratap dan menangis. Tak ada yang dijual: toko roti kecil dan toko-toko buah dikunjungi pihak otoritas malam sebelumnya dan semua barang jualan mereka direkuisisi. Kemuraman mendalam menggelayut di atas para penjual dan pelanggan mereka. Dengan perasaan murka mereka menunjuk toko makanan jadi di Krestchatik yang tidak diganggu. “Mereka punya perlindungan,” seseorang berkata dengan marah.

“Ya Tuhan, ya Tuhan!” seorang perempuan berteriak. “Kami si miskin yang memberi jamuan untuk para delegasi.”

**

Dia dikenalkan kepadaku sebagai Gallina—perempuan muda yang mengenakan baju petani, tapi memiliki figur yang anggun dan mata biru yang bijaksana. “Gallina?” tanyaku. “Ya. Istri Makhno.”

Rasa terkejut dan khawatir akan keamanannya bergulat dengan kekagumanku akan keberaniannya. Kehadirannya di Kiev, di sarang Tcheka, berarti kematian jika dia sampai dikenali. Akan tetapi dengan penuh keberanian dia mengambil risiko dan kesulitan besar dalam melintasi front. Dia ada urusan di kota untuk masalah “povstantsi”, katanya, masalah pemberontak; dia juga membawa pesan dari Nestor: lelaki itu berharap-harap cemas ingin agar Emma Goldman dan aku sendiri mengunjunginya. Dia tak jauh dari kota, dan pengaturan bisa dibuat untuk kami menemuinya.

Sikap perempuan itu penuh kehati-hatian, nyaris malu-malu; tapi pandangannya sangat positif, dan ekspresinya jelas serta tak ditutup-tutupi. Dia kelihatan rapuh dan kesepian, aku sangat menyadari bahaya besar yang mengancamnya karena mengekspos diri sendiri. Dia memberiku perasaan kecil David saat mendongak untuk menghantam Goliath.

“Aku tidak takut,” ujarnya lugas. “Kau tahu, aku terbiasa menemani Nestor, dan dia selalu berada bersama pasukannya,” tambah Gallina dengan bangga.

Dengan hangat dia membicarakan kemampuan militer Makhno, popularitas besarnya di antara petani, dan kesuksesan kampanye melawan Denikin. Tapi Gallina tidak tanpa kritik, ataupun pemuja pahlawan yang buta. Sebaliknya, dia lebih memikirkan dengan mendalam kepentingan dan tujuan gerakan pemberontakan petani dibandingkan dengan peranan pemimpin-pemimpin individualnya. Di Makhnovstchina dia melihat harapan pembebasan Rusia dari penindasan jenderal-jenderal Putih, “pomeshtchiki” (tuan-tuan tanah), dan kepemimpinan komisar Bolshevik. Masing-masing dibenci Gallina, masing-masing sama subversifnya pada kebebasan dan Revolusi.

“Aku menganggap gerakan ‘povstantsi’,” katanya, “sebagai satu-satunya revolusi proletar sesungguhnya. Bolshevisme adalah penguasaan atas Partai Komunis, secara salah disebut sebagai kediktatoran proletar. Itu jauh sekali dengan konsep kami mengenai revolusi. Itu adalah kepemimpinan kasta, intelegensia sosialis, yang membebankan teori-teorinya kepada pekerja. Tujuan mereka adalah Komunisme Negara, dengan buruh dan petani di seluruh negeri bertindak sebagai pekerja dari satu penguasa pemerintahan yang kuat. Hasilnya sudah bisa dipastikan adalah perbudakan, penindasan, dan pemberontakan, seperti yang kita lihat di setiap sisi. Tapi orang-orangnya sendiri—kaum proletar di kota dan desa—memiliki ideal yang sama sekali berbeda, kendati sebagian besarnya hanya berdasarkan dorongan naluri.

“Mereka mengabaikan semua partai dan melawan intelektual politik; mereka tak memercayai orang-orang yang tak bekerja, elemen-elemen yang mendapatkan hak istimewa. Tujuan kami adalah organisasi kelas dari massa pekerja revolusioner. Itulah inti pergerakan besar Ukraina, dan pengejawantahan paling baiknya bisa ditemukan di Makhnovstchina. Tanpa bantuan pemerintah atau partai-partai politik, para petani mengusir tuan-tuan tanah; dengan usaha sendiri mereka mengamankan tanah mereka. Unit-unit militer mereka dengan sukses melawan setiap kekuatan kontrarevolusioner. Kaum Bolshevik dengan Tentara Merah mereka biasanya datang ke daerah yang sudah dibebaskan, untuk memaksakan kekuasaan mereka atas sebuah kota dan desa, dan memproklamasikan kediktatoran mereka. Masihkah ada yang heran kenapa orang-orang membenci dan melawan mereka segetir kebencian dan perlawanan terhadap Tentara Putih?

Gallina tipikal spesimen pemberontak Ukraina, jenis yang ditempa kehidupan revolusioner yang keras dan berat. Sepanjang malam kami membicarakan masalah-masalah yang meletup di Selatan, mengenai kebutuhan-kebutuhan para petani, kegiatan-kegiatan “povstantsi”, yang pemimpinnya yang dicintai serta nyaris mulia adalah “bat’ka”—bapak atau pemimpin—Makhno, Stenka Razin-nya Revolusi.

Dia menghubungkan kisah-kisah pengabdian besar petani terhadap Nestor dan menceritakan anekdot-anekdot menarik tentang kampanye lelaki itu. Suatu kali, ketika Makhno dan sejumlah kecil rombongan dikepung kekuatan besar Bolshevik, dia meminta diadakan pernikahan di desa yang dikuasai musuh. Orang-orang Makhno dalam busana perayaan pinjaman menghadiri acara tersebut, senapan-senapan barel pendek mereka yang terkenal disembunyikan di tubuh mereka. Di tengah-tengah pesta minum-minum, dengan tentara-tentara Merah mabuk minuman keras yang disajikan gratis oleh penduduk desa, si penyelenggara perayaan palsu menembakkan senjata, mengejutkan garnisun Bolshevik dan membuat mereka kabur.

Disebutnya nama Makhno, ujar Gallina, mengantarkan teror kepada musuh dan seringkali seluruh kompi Tentara Merah bergabung dengan pasukannya. Komisar dan Komunis—dua istilah yang identik bagi ‘povstantsi’—tak kenal belas kasih, tapi prajurit biasa selalu diberikan pilihan untuk tetap bersama mereka atau bebas.

“Itu juga kasus yang sama,” lanjut Gallina dengan suaranya yang mengalun, “dengan pasukan Grigoriev. Kau sudah pernah dengan tentang dia, kan, Kamerad? Dia perwira Tsar, tapi saat revolusi pecah dia menjadi tentara lepas. Sekali waktu dia bersama Pelura, kemudian dia malah balik melawan, lalu bergabung dengan Tentara Merah. Dia hanya petualang militer, walaupun bukannya tidak memiliki keahlian. Dia sangat angkuh, suka menyebut diri sendiri sebagai Ataman dari Khersonstchina, karena sukses besarnya dia raih di provinsi itu. Kemudian dia berpaling dari Bolshevik dan mengundang Makhno untuk membuat tujuan bersama dengannya. Tapi Nestor tahu Grigoriev berencana untuk bergabung dengan Denikin; lagi pula, dia terbukti bersalah atas banyak pengusiran dan penyiksaan. Pembantaian Yahudi yang dia atur di Yekaterinoslav pada Mei tahun lalu (1919) benar-benar kejam. Makhno memutuskan untuk menyingkirkannya. Pada 27 Juli 1919 dia mengadakan pertemuan di desa Sentovo, provinsi Kherson. Ataman dan orang-orangnya juga diundang. Itu pertemuan besar, ada sekitar 20.000 petani dan ‘povstantsi’ hadir. Di depan publik Nestor menuduh Grigoriev atas rancangan-rancangan kontrarevolusi, mendakwanya atas pengusiran dan penyiksaan, dan menyatakan dia sebagai musuh rakyat. Ataman dan stafnya dieksekusi di tempat. Nyaris seluruh kekuatannya bergabung dengan ‘povstantsi’ kami.”

Gallina membicarakan eksekusi dengan nada yang datar dan biasa-biasa saja, seakan-akan itu hal yang biasa terjadi. Hidup di Ukraina, di antara petani-petani pemberontak, membuat pergulatan dan kekerasan konstan menjadi sesuatu yang lumrah. Terkadang suaranya akan meninggi dengan amarah ketika laporan tentang penyiksaan Yahudi oleh ‘povstantsi’ disebut-sebut. Dia merasa benar-benar murka dengan kekeliruan mendasar semacam itu. Kisah-kisah ini dengan sengaja disebarluaskan oleh para Bolshevik, tegas Gallina. Tak ada yang bisa lebih kejam dalam menghukum perbuatan keterlaluan semacam itu dibandingkan Nestor. Beberapa kamerad terbaiknya adalah Yahudi; ada sejumlah kecil mereka di Revolusioner Soviet dan di cabang-cabang tentara lainnya. Sedikit orang dicintai dan dihormati ‘povstantsi’, seperti Yossif, si Emigran, yang seorang Yahudi, dan teman baik Makhno.

“Kami bukan kaum barbar seperti yang digambarkan,” ujar Gallina dengan senyuman menawan. “Tapi kau akan mempelajari tentang kami ketika kau mengunjungi kami, yang takkan lama lagi, kuharap.”

Dengan sendu dia mendengarkan kabar dari dunia Barat, dan menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup di Amerika dan sikap para buruhnya terhadap Rusia. Peranan kaum perempuan di “sisi lain” itu merupakan hal yang menjadi ketertarikannya, dan dia sangat ingin mendapatkan buku-buku yang berkaitan dengan subjek tersebut. Dia tampak patah hati ketika mengetahui di Amerika nyaris tak ada yang tahu tentang gerakan petani Ukraina, tapi dia pulih dengan segera, dan berkata, “Bisa dimengerti, karena kami sangat terisolasi. Tapi suatu hari mereka akan tahu.”

Malam berganti fajar, dan dengan cepat pagi pun tiba. Sudah waktunya Gallina meneruskan perjalanan. Kendati enggan, dia harus meninggalkan kami, dan dengan yakinnya menyinggung pertemuan yang akan segera terjadi di kamp Makhno. Dengan kepercayaan diri penuh dia melangkah keluar rumah, sementara dengan napas tertahan kami menemaninya dari kejauhan, mengkhawatirkan kemungkinan dia dikenali, yang akan berakibat fatal bagi gadis pemberani itu.