Mitos Bolshevik
(Diary 1920–1922)
Alexander Berkman
Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh
Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah:
Proofreading terakhir:
Bab XXVIII
Pengusiran dan Penyiksaan Yahudi di Fastov
12 Agustus, 1920.- Kelompok kecil kami melangkah lambat di jalanan berdebu dan tak bertrotoar, yang terentang hampir lurus menuju pasar di pusat kota. Tempat itu kosong. Rumah-rumah tak berpenghuni, sebagian besar tanpa jendela, pintu-pintunya rusak dan terbuka—pemandangan yang menekan akan kehancuran dan kesunyian. Semuanya hening di sekitar kami, dan kami merasa seperti berada di kuburan. Mendekati pasar, kelompok kami berpencar, setiap orang melangkah masing-masing untuk memeriksa situasi sendirian.
Seorang perempuan lewat, ragu, dan berhenti. Dia mengeratkan kerudungnya di dahi, menatapku dengan keheranan dan kesedihan di matanya yang tua.
“Selamat pagi,” aku mengucapkan salam dalam bahasa Yahudi.
“Kau orang asing,” jawabnya ramah. “Kau tidak seperti kami.”
“Ya,” timpalku, “baru-baru ini aku datang dari Amerika.”
“Oh, dari Amerikeh,” dia menghela napas dengan sedih. “Anakku ada di sana. Dan apakah kau tahu apa yang terjadi pada kami?”
“Tidak begitu tahu, tapi aku ingin tahu.”
“Oh, hanya Tuhan yang tahu apa yang telah kami alami.” Dia terdiam. “Maafkan aku, aku tidak dapat menahannya”—dia mengusap air mata di wajahnya yang berkerut. “Mereka membunuh suamiku di depan mataku. aku harus melihatnya, tak berdaya. aku tak bisa membicarakannya.”
Di berdiri lemah di hadapanku, tubuhnya membungkuk bukan karena tua, tapi karena kesedihan, seperti simbol tragedi yang mengerikan.
Setelah sedikit menenangkan diri, dia berkata, “Ikutlah denganku, jika kau mau tahu. Ikutlah ke Reb Moishe, dia dapat menceritakan segalanya.”
Kami berada di pasar. Ada dua baris lapak, semuanya tidak lebih dari selusin, tampak berantakan dan rusak, hampir seperti tumpukan rongsokan. Segenggam gandum besar, garam kasar, beberapa tangkup roti hitam yang bebercak kuning tebal karena jamur, sedikit tembakau—hanya itu yang dijual di sana. Tidak ada uang yang dibayarkan. Beberapa pembeli menggunakan pola barter: sekitar sepuluh pon roti untuk satu pon garam, tembakau yang cukup untuk satu pipa untuk sebutir bawang. Di lapak-lapak berdiri para lelaki dan perempuan tua, dan beberapa gadis di antara mereka. Aku tidak melihat pemuda. Mereka, seperti kebanyakan lelaki dan perempuan lain yang tubuhnya masih sehat, begitu aku diberitahu, diam-diam kabur dari kota sejak lama, karena takut akan pengusiran dan penyiksaan. Mereka pergi dengan berjalan kaki, sebagian menuju Kiev, sebagian menuju Kharkov, berharap menemukan keamanan dan kenyamanan di kota besar. Sebagian besar tidak pernah mencapai kota tujuan mereka. Makanan sangat langka, sehingga mereka pergi tanpa membawa bekal, dan sebagian besar mati di jalan karena cuaca akibat tak mengenakan penutup tubuh yang layak dan kelaparan.
Para pedagang tua mengerumui aku. “Khaye,” mereka berbisik pada perempuan tua yang menyertaiku, “siapa dia?”
“Dari Amerikeh,” jawabnya, ada seberkas harapan di suaranya, “sedang memeriksa pengusiran dan penyiksaan. Kami akan menemui Reb Moishe.”
“Dari Amerikeh? Amerikeh?” mereka begitu antusias. “Apakah dia datang dari tempat begitu jauh untuk mencari kita? Apakah mereka akan menolong kita? Oh, Tuhan yang pengasih di surga, semoga itu benar!” Suara-suara terdengar bersamaan, bergairah karena harapan yang datang tiba-tiba, bagai keyakinan baru. Semakin banyak orang mengelilingi kami: perdagangan berhenti. Aku memperhatikan kawan-kawanku juga dikelilingi orang.
“Ssst… ssst… Teman-teman,” pemanduku menyela mereka, “jangan bersamaan bicaranya. Kami akan menemui Reb Moishe, dia akan menceritakan semuanya.”
“Oh, sebentar, sebentar saja, Pak,” seorang perempuan muda berwajah pucat dengan putus asa menarik tanganku. “Suamiku di sana, di Amerikeh. Kau kenal dia? Rabinovitch—Yankel Rabinovitch. Dia terkenal di sana, pasti kau pernah mendengar namanya. Bagaimana kabar dia, ceritakan kepadaku, tolonglah.”
“Dia tinggal di kota mana?”
“Di Nai-York, tetapi aku belum mendapat surat darinya sejak perang.”
“Menantuku, Khayim sedang di Amerikeh,” seorang perempuan, rambutnya putih semua, menyela, “mungkin kau pernah melihatnya?” Dia begitu tua dan bungkuk, dan jelas tidak memiliki pendengaran yang jelas. Dia menangkupkan tangan di belakang telinganya untuk mendengar jawabanku, sementara wajahnya yang keriput seperti lemon menatapku dengan berharap dan gelisah.
“Di mana menantumu tinggal?”
“Apa yang dia katakan? Aku tak mengerti,” teriaknya.
Orang-orang yang berdiri berteriak di telinganya, “Dia bertanya, di mana Khayim, menantumu, tinggal?”
“Di Amerikeh, di Amerikeh,” jawabnya.
“Di Amerikeh,” seorang lelaki di sampingku mengulang jawaban perempuan tua itu.
“Amerika itu negara yang luas. Khayim tinggal di kota apa?” tanyaku.
Dia terlihat kebingungan, terdiam, lalu menjawab, “Aku tidak tahu— aku tidak ingat sekarang—Aku—”
“Bobeh—Nenek—kau memiliki suratnya di rumah,” seorang anak laki-laki berteriak di telinganya. “Dia menulis surat kepadamu sebelum perang dimulai, kau ingat, kan?”
“Ya, ya! Maukah kau menunggu, orang baik?” perempuan tua itu memohon. “Aku akan pergi sekarang juga mengambil surat itu. Mungkin kau mengenal Khayhim.”
Dia bergerak dengan berat. Yang lain melontarkan berbagai pertanyaan, tentang kerabat, teman, saudara laki-laki, suami. Hampir semuanya memiliki seseorang di Amerika yang jauh, yang bagai negeri dongeng bagi orang-orang sederhana itu—tanah yang dijanjikan, kedamaian, dan kekayaan, tempat menyenangkan, dari mana hanya sedikit orang yang kembali.
“Mungkin kau mau membawa surat untuk suamiku?” perempuan muda berwajah pucat memohon. Secara bersamaan selusin orang mulai meminta izin untuk menulis dan menitipkan surat kepadaku, agar diberikan kepada orang-orang terkasih, “di sana, di Amerikeh.” Aku berjanji membawa surat-surat mereka, dan kerumunan itu mulai bubar, sambil memintaku agar menunggu mereka. “Hanya beberapa kata—kami akan segera kembali.”
“Mari kita pergi ke Reb Moishe,” pemanduku mengingatkan. “Mereka tahu,” tambahnya, sambil melambaikan tangan ke orang-orang, “mereka akan membawa surat mereka ke sana.”
Saat kami mulai melangkah, seorang lelaki dengan berewok hitam lebat dan mata menyala menahanku. “Berbaik hatilah, sebentar saja.” Dia berbisik, tetapi dengan upaya yang keras untuk menahan emosinya. “Aku tidak punya siapa-siapa di Amerika,” ucapnya, “aku tidak punya siapa pun dimana pun. Kaulihat rumah itu?” terdengar suaranya bergetar karena gugup, tetapi dia mencoba tenang. “Di sana, di seberang jalan, yang jendela-jendelanya pecah, dilapisi kertas, menempel di mana-mana. Ayahku yang renta, semoga Yang Kuasa memberkati kenangan tentang dia, dan dua saudara laki-lakiku, dibunuh di sana. Dipotong-potong dengan pedang. Rambut di tepi kepalanya, yang dibiarkan memanjang tanda keimanan, dipotong, bersama telinganya, dan perutnya terburai…aku kabur bersama anak perempuanku demi menyelamatkannya. Lihat, dia di sana, di lapak ketiga sebelah kanan.” Matanya, yang berurai air mata, mengarah ke seorang anak perempuan yang berdiri beberapa meter dari kami. Usianya sekitar 15 tahun, berwajah oval, tampilannya menarik, pucat dan rapuh bagai bunga lili, dan dengan mata yang sangat aneh. Dia menatap lurus, sementara tangannya secara mekanis mencomoti roti dari gumpalan yang besar. Aku melihat ekspresi ketakutan di matanya, sama dengan yang pernah aku lihat di wajah perempuan-perempuan muda di kota-kota yang mengalami pengusiran dan penyiksaan Yahudi. Mata yang menyimpan teror mengerikan yang membeku di tatapannya, begitu mencengkeram hati. Sebelum tahu kisah selanjutnya, aku berbisik ke sang ayah, “Dia buta?”
“Tidak, bukan buta,” teriaknya. “Semoga Tuhan—tidak, ini lebih buruk. Dia selalu menatap seperti itu sejak malam aku kabur dari rumah bersamanya. Malam itu begitu mengerikan. Bagai hewan liar mereka memotong, menyayat, dan berteriak. Aku bersembunyi bersama Rosele di atap, tetapi kami tidak aman di sana, jadi kami lari ke hutan terdekat. Mereka menangkap kami. Mereka mengambilnya dariku dan meninggalkan aku untuk mati. Lihat—” dia membuka topinya dan aku melihat sayatan pedang yang memanjang, baru sebagian yang sembuh, memarut sisi kepalanya. “Mereka meninggalkan aku untuk mati,” ulangnya. “Saat para pembunuh pergi, tiga hari kemudian, anak perempuanku ditemukan di ladang dan dia tampak seperti itu. dengan tatapan itu di matanya. sejak saat itu dia tak pernah lagi bicara. Ya Tuhan, kenapa Kau menghukumku seperti ini?”
“Reb Sholem yang baik, jangan menghujat Tuhan,” pemanduku mengingatkannya. “Apakah kau sendirian yang menderita? Kau tahu kehilanganku yang besar. Kita semua berbagi nasib yang sama. Ini selalu menjadi nasib kita, Yahudi. Kita tahu ini bukan cara Tuhan, terberkatilah kesucian namanya. Biarkan kami pergi ke Reb Moishe,” ucapnya, menoleh kepadaku.
Di belakang lapak yang tadinya toko kelontong, berdiri Reb Moishe. Dia lelaki Yahudi separuh baya, dengan wajah cerdas yang sekarang hanya menunjukkan senyum bersahabat. Sebagai warga senior di kota itu dan tetua di sinagoge, dia mengenal semua penduduk dan semua sejarah kota itu. Dia dikenal sebagai orang yang mampu mengerjakan apa pun, dan bahkan sekarang dia tidak sanggup untuk tidak bersikap ramah, yang menjadi tradisi rasnya. Secara otomatis matanya memeriksa rak yang nyaris kosong, yang memuat hanya beberapa botol tak berisi. Ruangan itu remang-remang dan rusak parah; kertas pelapis dinding yang koyak menggantung, menunjukan plester yang menguning karena lembab. Di etalase terdapat beberapa papan roti hitam, bebercak, dan baki kecil berisi bawang-bawang hijau. Reb Moishe membungkuk, mengambil sebotol soda dari bawah etalase, dan menyajikan harta karun itu kepadaku, dengan tersenyum ramah. Tatapan tak setuju terlihat di wajah istrinya, yang duduk terdiam di pojok, saat Reb Moishe dengan wajah malu menolak bayaran dariku. “Tidak, tidak, aku tidak dapat menerimanya,” ucapnya dengan kewibawaan yang sederhana, tetapi aku tahu itulah puncak pengorbanannya untukku.
Setelah mengetahui tujuanku mengunjungi Fastov, Reb Moishe mengajakku ke jalan. “Ikutlah denganku,” ajaknya, “aku akan menunjukkan apa yang telah mereka lakukan kepada kami. Walaupun tak sedap dilihat”— dia menatapku seperti ingin tahu reaksiku—”hanya mereka yang berhasil hidup dalam melaluinya yang dapat mengerti, dan mungkin”—dia terdiam sesaat—”mungkin juga mereka yang benar-benar memahami perasaan kami dalam kesedihan yang luar biasa ini.”
Kami keluar dari toko. Menyeberangi lapangan yang sepi, di tengahnya menumpuk papan-papan lapuk dan batu bata pecah. “Tadinya itu sekolah kami,” ungkap Reb Moishe. “Hanya itu yang tersisa. Rumah di sebelah kirimu, yang jendelanya tertutup, itu rumah Zalman, guru sekolah kami. Mereka membunuh enam orang di sana—ayah, ibu, dan empat anak. Kami menemukan mereka semua dengan kepala pecah karena hantaman popor senapan. Di sana, di pojokan, seluruh jalan ini—kaulihat, setiap rumah diserang. Masih banyak jalan yang seperti ini.”
Setelah jeda sesaat dia melanjutkan, “Di rumah ini, dengan atapnya yang hijau, seluruh keluarga dibantai—sembilan orang. Para pembunuh membakarnya juga—kau bisa melihat melalui jendela yang pecah—bagian dalamnya semuanya terbakar dan hangus. Siapa yang melakukannya?” dia mengulang pertanyaanku dengan nada putus asa. “Lebih baik menanyakan siapa yang tidak melakukannya? Petlura datang lebih dahulu, kemudian Denikin, kemudian orang-orang Polandia, yang sangat membenci kami. Terakhir kali Denikin di sini, pengusiran dan penyiksaan itu berlangsung selama empat hari. Ya Tuhan!”
Tba-tiba dia terdiam, mengangkat tangannya. “Oh, kalian orang Amerika, yang hidup dalam keamanan, apakah kau tahu artinya itu, empat hari! Empat hari yang lama dan mengerikan, dan masih ada malam-malam yang lebih mengerikan, empat hari dan empat malam dan tidak ada istirahat dalam penyembelihan. Tangisan, teriakan, jeritan-jeritan kaum perempuan yang menyayat hati saat melihat bayi-bayi mereka dibantai di hadapan mereka. aku mendengarnya sekarang. horor itu membekukan darahku. membuatku gila. pemandangan itu. tumpukan daging anakku sendiri, Mirele-ku tersayang. Dia baru berusia lima tahun.” Dia terpuruk. Bersandar di dinding, tubuhnya gemetar karena isakan.
Segera dia menenangkan diri. “Di sini, kita berada di pusat penyiksaan yang paling buruk,” lanjutnya. “Maafkan kelemahanku, aku tak dapat membicarakan ini tanpa menangis. Di sana ada sinagoge. Kami, kaum Yahudi, mencari keamanan di sana. Sang Komandan menyuruh kami ke sana. Namanya? Semoga namanya yang penuh kegelapan bagai iblis tak pernah aku kenal. Salah satu dari jenderal-jenderal Denikin, sang Komandan, begitulah dia disebut. Anak-anak buahnya menggila karena haus darah saat mereka tak menemukan apa pun untuk dirampok. Kau tahu, para tentara dan petani berpikir ada emas yang bisa ditemukan di setiap rumah orang Yahudi. Kota ini tadinya makmur, tetapi orang-orang kaya yang berbisnis dengan kami tinggal di Kiev dan Kharkov. Kaum Yahudi di sini hidup seadanya, dan hanya sedikit yang hidup dengan nyaman. Begitu banyak penyerangan yang terjadi sejak dulu, merampok dan menghancurkan semua yang mereka miliki, menghancurkan bisnis mereka, dan meruntuhkan rumah mereka. Tetapi mereka tetap bertahan hidup. Kau tahu, begitulah yang terjadi pada kaum Yahudi—mereka terbiasa dengan perlakuan buruk, tetapi tetap berusaha yang terbaik. Tetapi pasukan Denikin—oh bagai neraka yang lepas. Mereka menggila ketika tidak menemukan apa pun untuk diambil, dan mereka menghancurkan semua yang tidak mereka kehendaki. Itu dua hari pertama. Tetapi di hari ketiga dimulailah pembunuhan, sebagian besar dilakukan dengan pedang dan bayonet. Di hari ketiga sang Komandan memerintahkan kami untuk menyelamatkan diri di sinagoge. Dia menjanjikan keamanan, dan kami membawa istri-istri dan anak-anak kami ke sana. Mereka menugaskan pengawal di pintu, untuk menjaga kami, begitu yang dikatakan sang Komandan. Itu jebakan. Pada malam hari pasukan datang, semua perusuh di kota ikut bersama mereka. Mereka datang dan menuntut emas dari kami. Mereka tidak percaya jika kami tidak memiliki emas. Mereka memeriksa Gulungan Suci, menghancurkan dan menginjak-injaknya. Sebagian dari kami tidak dapat membiarkan penghujatan itu. Kami protes. Dan dimulailah pembantaian itu. Horor, oh, betapa mengerikannya semua itu. para perempuan dipukuli, diserang, para lelaki disembelih dengan pedang. sebagian dari kami kabur menerobos penjagaan di pintu, dan kami lari ke jalan. Bagai anjing-anjing neraka, mereka mengejar kami, menyembelih, membunuh, dan memburu kami dari rumah ke rumah. Selama berhari-hari setelahnya jalanan dipenuhi mayat dan potongan tubuh. Mereka tidak membiarkan kami mendekati mayat-mayat. Mereka tidak mengizinkan kami mengubur yang terbunuh atau menolong yang terluka, yang mengerang penuh derita, memohon untuk mati. tak segelas air pun yang dapat kami berikan kepada mereka yang terluka. mereka menembak siapa pun yang mendekat. anjing-anjing kelaparan di seluruh wilayah ini datang, mereka mencium aroma korban. Aku menyaksikan anjing-anjing itu mengoyak-ngoyak tubuh orang-orang mati, juga orang-orang terluka yang tak berdaya. anjing-anjing itu memakan orang hidup-hidup. mereka memakan saudara-saudara kami…”
Dia terpuruk lagi. “Anjing-anjing itu memakan mereka. memakan mereka…” dia terisak.
Seseorang mendekati kami. Dia tampak tipikal orang Rusia berpendidikan, aura idealis dan mahasiswa menguar dari dirinya. Dia berjalan dengan pincang, matanya yang tangkas menangkap pertanyaanku yang belum terucap. “Kenang-kenangan dari hari-hari itu,” ucapnya, mencoba tersenyum. “Ini sangat menyulitkanku dan sangat menghambat pekerjaanku,” imbuhnya. “Ada banyak orang sakit dan aku harus berjalan kaki sepanjang hari. Tidak ada kendaraan—mereka merampas semua kuda dan sapi. Sekarang aku dalam perjalanan mengunjungi Fanya yang malang, salah satu pasienku yang tanpa harapan. Jangan, jangan, orang baik, tidak ada gunanya kau menjenguk dia,” dia menolak permintaanku untuk menyertainya. “Seperti banyak orang di sini, kasusnya sangat buruk, tapi sudah umum. Dulu dia seorang perawat, merawat perempuan muda yang cacat. Mereka menempati satu kamar di lantai dua sebuah rumah di dekat sini. Lantai pertama diduduki tentara. Saat penyiksaan Yahudi dimulai, para tentara menjadikan perawat dan pasiennya sebagai tahanan. Apa yang terjadi di sana, tak ada seorang pun yang tahu. Saat akhirnya para tentara pergi, kami harus menggunakan tangga untuk sampai ke kamar itu. Orang-orang jahat itu telah menutupi lantai dengan kotoran manusia—tak mungkin kami mendekat. Ketika akhirnya kami mencapai dua perempuan itu, perempuan yang cacat telah mati di pangkuan sang perawat, sedangkan sang perawat telah gila. Tidak, tidak ada gunanya mengunjungi mereka.”
“Dokter,” ucap Reb Moishe, “kenapa tak kauceritakan kepada teman Amerika kita ini bagaimana kau menjadi cacat? Dia harus mendengar semuanya.”
“Oh, itu tidak penting, Reb Moishe. Kita punya lebih banyak hal sangat buruk.” Setelah aku mendesak, dia melanjutkan, “Yah, ini bukan kisah yang panjang. Aku ditembak saat mendekati seorang lelaki terluka yang tergeletak di jalan. Saat itu gelap, dan ketika melintas, aku mendengar seseorang mengerang. Baru saja melangkah dari tepi jalan, aku ditembak. Saat itu malam pembantaian di sinagoge. Tetapi kesialan yang menimpaku, Bung—tidak berarti apa-apa jika kau mengetahui mimpi buruk di gudang.”
“Di gudang?” tanyaku. “Apa yang terjadi di sana?”
“Yang terburuk yang dapat kubayangkan,” jawab sang dokter. “Tak ada manusia yang sanggup mengisahkannya. Bukan pembunuhan yang terjadi di sana—hanya beberapa orang yang dibunuh di gudang. Di sana ada kaum perempuan, para gadis, bahkan anak-anak kecil. saat para tentara menyerang sinagoge, banyak perempuan yang berhasil kabur ke jalan. Seakan-akan karena insting mereka berkumpul di gudang—bangunan besar yang tak pernah digunakan selama bertahun-tahun. Ke mana lagi para perempuan itu harus pergi? Terlalu berbahaya jika tinggal di rumah, gerombolan mencari para lelaki yang kabur dari sinagoge dan membantai mereka di jalan, di rumah-rumah, di mana pun mereka ditemukan. Jadi para perempuan dan gadis berkumpul di gudang. Saat itu larut malam dan tempat itu gelap dan sunyi. Mereka nyaris takut untuk bernapas, begitu ketakutan tempat persembunyian mereka akan ditemukan para perusuh. Sepanjang malam lebih banyak lagi perempuan, dan sebagian di antaranya bersama suami mereka, menemukan jalan ke gudang itu. Di sana semuanya berbaring, meringkuk di lantai dalam keheningan yang mengerikan. Tangisan dan jeritan di jalan terdengar oleh mereka, tetapi mereka tak bisa melakukan apa-apa dan setiap saat mereka takut ditemukan. Bagaimana terjadinya aku tidak tahu, tetapi beberapa tentara menemukan mereka. Tidak ada pembantaian di sana, dalam logika umum.
Yang terjadi lebih buruk daripada itu. Sang Komandan sendiri yang memerintahkan sepasukan tentara untuk bermarkas di gudang itu, tidak boleh melakukan pembunuhan, dan tidak seorang pun boleh keluar tanpa izinnya. Awalnya kami tidak mengerti arti semua itu, tetapi kenyataan yang mengerikan segera kami ketahui. Di malam kedua, beberapa perwira tiba, disertai pasukan yang kuat, semuanya berkumpul dan membawa lentera. Dengan cahaya lentera mereka memeriksa wajah para perempuan. Mereka memilih lima perempuan tercantik, menyeretnya dan membawa mereka pergi. Kemudian datang lagi dan lagi sepanjang malam. mereka datang setiap malam, selalu membawa lentera. Awalnya yang dibawa adalah perempuan-perempuan paling muda, yang berusia 15 atau 12 tahun, bahkan yang berusia 8 tahun. Kemudian mereka membawa yang lebih dewasa dan perempuan-perempuan yang sudah menikah. Hanya perempuan-perempuan sangat tua yang ditinggalkan. Ada lebih dari 400 perempuan di gudang itu, dan sebagian besar dibawa pergi. Sebagian di antara mereka tidak pernah kembali dalam keadaan hidup, banyak yang kemudian ditemukan mati di jalanan. Sebagian lagi ditinggalkan di sepanjang rute pasukan yang ditarik mundur. mereka kembali berhari-hari, berminggu-minggu kemudian. sakit, tersiksa, semuanya terinfeksi penyakit yang mengerikan.”
Sang dokter terdiam, lalu membawaku ke pinggir jalan. “Dapatkah seorang asing memahami kedalaman bencana kami ini?” tanya dia. “Berapa banyak penyerangan yang kami rasakan! Yang terakhir, oleh Denikin, berlangsung selama delapan hari. Pikirkan itu, delapan hari! Lebih dari 10 ribu warga kami dibantai, sebanyak 3 ribu orang mati karena kedinginan dan terluka.” Melirik ke Reb Moishe, dia menambahkan dengan bisikan parau, “Tidak ada perempuan atau gadis di atas usia 10 tahun di kota kami yang tidak pernah diperkosa. Sebagian diperkosa sebanyak empat, lima, bahkan sampai 14 kali. Kau bilang akan pergi ke Kiev. Di rumah sakit kota kau akan menemukan tujuh anak perempuan berusia di bawah 13 tahun, yang berhasil kami bawa ke sana untuk mendapat perawatan, sebagian besar untuk dibedah.
Setiap anak perempuan itu diperkosa enam kali atau lebih. Ceritakan kepada Amerika tentang ini—apakah kalian akan tetap diam?”