Bab XXVII

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XXVII

Lebih Jauh ke Selatan

7 Agustus 1920.- Perlahan kereta kami melintasi negeri ini, bukti kehancuran di setiap tempat mengingatkan kami akan tahun-tahun penuh perang, revolusi, dan perang saudara. Kota-kota kecil dan kota-kota besar di rute perjalanan kami tampak begitu miskin, toko-toko tutup, jalanan sepi. Pada derajat-derajat tertentu kondisi Soviet mulai terbentuk, prosesnya terjadi lebih cepat di beberapa tempat di banding tempat-tempat lainnya.

Di Poltava kami tidak menemukan Soviet atau Ispolkom, bentuk umum dari pemerintahan Bolshevik. Sebaliknya, kota itu diperintah oleh Revkom yang primitif, komite revolusioner yang menunjuk diri sendiri, gerakan bawah yang aktif selama rezim Putih, dan berkuasa setiap saat Tentara Merah merebut sebuah distrik.

Krementchug dan Znamenka mewakili potret umum kota kecil di wilayah selatan, dengan pasar kecil, yang dirusak kaum Bolshevik, yang menjadi pusat kehidupan sosial dan komersial. Dalam barisan yang tak rapi, perempuan-perempuan petani berbaring di atas karung-karung kentang, atau berjongkok, bertukar terigu, beras, dan kacang dengan tembakau, sabun, dan garam. Mata uang Soviet diabaikan, tidak ada yang mau menerimanya, tetapi yang dicari adalah mata uang tsarkiye dan kadang-kadang mata uang kerenki cukup membantu.

Tampaknya seluruh warga lanjut usia di kota itu berada di pasar, setiap orang menawar, menjual, atau membeli. Milisi Soviet, dengan senapan di bahu, berkeliling di antara orang-orang, dan di sana-sini hadir seorang lelaki dengan jubah dan topi kulit, menampakkan diri di tengah kerumunan orang— dia seorang komunis atau agen Tcheka. Orang-orang menghindari mereka, dan percakapan berubah menjadi bisikan saat agen-agen itu hadir. Pertanyaan-pertanyaan politis dihindari, tetapi keluhan atas “situasi yang buruk” berlaku umum, setiap orang mengeluhkan kurangnya jatah makanan, tidak teraturnya pemberian jatah itu, dan situasi umum kelaparan serta penderitaan.

Kami lebih sering berpapasan dengan laki-laki dan perempuan Yahudi, di mata mereka tergambar ketakutan, dan kisah-kisah pengusiran Yahudi yang terjadi di permukiman menjadi semakin mengerikan. Hanya sedikit orang muda yang terlihat—mereka berada di lembaga-lembaga Soviet, bekerja sebagai pegawai pemerintah. Perempuan-perempuan muda yang kami temui biasanya tampak curiga dan ketakutan, dan banyak lelaki yang memiliki parut di wajahnya, seakan-akan tersayat pisau besar atau pedang.

Di Znamenka. Henry Alsberg, koresponden Amerika yang ikut dalam ekspedisi kami, kehilangan dompetnya yang berisi cukup banyak uang asing. Ketika kami bertanya pada perempuan-perempuan petani di pasar, mereka hanya menyunggingkan senyum naif, dan menjawab tak ramah, “Mana aku tahu!” Kami datang ke kantor polisi setempat, sedikit berharap bisa mendapatkan nasihat atau bantuan, tetapi kemudian kami mengetahui seluruh pasukan polisi memburu ke tempat-tempat yang dilaporkan diserang gerombolan Makhno.

Putus asa karena kehilangan dompet itu, kami kembali ke stasiun kereta. Kami terpana karena kereta Museum tidak ada di sana. Lebih kaget lagi ketika mengetahui kereta kami dipasangkan dengan kereta yang berangkat ke Kiev, melalui Fastov, sejam lalu.

Kami sadar akan seriusnya kesulitan ini, tertinggal di sebuah kota yang tak memiliki hotel atau restoran, dan tanpa makanan yang bisa dibeli dengan uang Soviet, satu-satunya mata uang yang kami miliki. Saat berdiskusi tentang situasi ini, kami melihat kereta suplai militer yang bergerak lambat di kejauhan. Kami berlari mengejarnya dan naik ke kereta dengan sedikit lecet. Komisar yang berwenang di kereta itu awalnya sangat keberatan dengan kehadiran kami, dan tanpa sungkan menunjukkan kecurigaan atas kehadiran kami yang tiba-tiba. Setelah berdebat cukup lama dan menunjukkan dokumen-dokumen, birokrat itu bersikap lebih lunak. Bersamaan dengan disajikannya teh, dia mulai bersikap ramah, itulah cara primitif orang Rusia dalam menunjukkan sikap yang bersahabat. Tak lama kemudian kami terlibat dalam diskusi mendalam tentang revolusi dan persoalan-persoalan terkini. Tuan rumah kami adalah komunis “yang berasal dari rakyat”, begitu dia menyebut dirinya. Dia pengagum Trotsky dan metode “sapu besi”-nya. Dia yakin revolusi hanya dapat terjadi dengan penggunaan pedang; moralitas dan sentimen adalah takhayul kaum borjuis. Konsepsinya akan sosialisme kekanak-kanakan, informasinya tentang dunia sangat terbatas. Pendapat-pendapatnya menggaungkan tajuk rencana koran-koran resmi pemerintah, dia yakin seluruh Eropa Barat akan segera terbakar revolusi. Bahkan Tentara Merah sekarang berada di depan gerbang Warsawa, tambahnya, bersiap untuk masuk dan memastikan kemenangan proletariat Polandia dalam melawan para majikan.

Sore hari kami tiba di Fastov, dan disambung hangat oleh kawan-kawan kami di tim Ekspedisi, yang selama berjam-jam khawatir karena kehilangan kami.