Mitos Bolshevik
(Diary 1920–1922)
Alexander Berkman
Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh
Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah:
Proofreading terakhir:
Bab XXIV
Yossif Sang Emigran
Seorang lelaki pendek dan kurus, dengan sepasang mata hitam cemerlang yang berjauhan, dan wajahnya berona kesedihan yang janggal. Ekspresi di matanya terus menghantuiku: penuh duka dan amarah, merefleksikan semua tragedi sebagai keturunan Yahudi. Senyumnya menggambarkan kebaikan hati yang terluka dan mencoba untuk memahami. Pikiran itu yang terus berputar di kepalaku, saat dia mengisahkan pengalamannya di dalam revolusi. Adalah kesabaran dan senyum kemenangannya yang telah menaklukkan kebrutalan orang-orang yang menghukumnya.
Aku telah mengenalnya sejak di Amerika, dia dan kawannya Lea, seorang gadis berwajah manis dengan kontrol diri dan keteguhan yang tak biasa. Keduanya telah bertahun-tahun aktif dalam gerakan radikal di AS, tetapi panggilan revolusi membawa mereka kembali ke tanah air dengan harapan bisa membantu tugas luar biasa untuk kemerdekaan. Mereka bekerja dengan kaum Bolshevik melawan Kerensky dan pemerintahan sementara, juga bekerja sama dengan mereka selama hari-hari Revolusi Oktober yang penuh badai, yang “memberikan begitu banyak harapan berwarna-warni”, begitu yang diucapkan sang emigran dengan penuh kepedihan. Tetapi segera saja kaum komunis mulai menekan kelompok-kelompok revolusioner lainnya, dan Yossif pergi bersama Lea ke Ukraina, tempat mereka membantu mengorganisasi Konfederasi Kelompok-Kelompok Anarkis Selatan, atas nama kelompoknya, Nabat (Alarm).
Dengan menggunakan nama samaran “Emigran” di dalam Nabat, organisasinya di dalam Konfederasi, Yossif dikenal luas di selatan dan begitu disayangi karena idealismenya dan disposisinya yang terang. Energik dan aktif, dia tak mengenal lelah dalam bekerja di antara kaum tani Ukraina, dan di tempat mana pun dia menjadi jiwa dan inspirasi lingkaran-lingkaran proletar.
Aku berkali-kali mengunjungi dia dan teman-temannya di toko buku anarkis Volnoye Bratstvo (Persaudaraan Bebas). Mereka telah menyaksikan banyak perubahan politik di Ukraina, mengalami pemenjaraan oleh Tentara Putih, dan menjalani penyiksaan oleh tentara Denikin. “Kaum Bolshevik tak kurang kejamnya memperlakukan kami,’ ucap Emigran, “kami tidak akan pernah tahu apa yang akan mereka lakukan kepada kami. Suatu hari mereka menahan kami, dan menutup klub dan toko buku kami; di hari yang lain mereka membiarkan kami. Kami tidak pernah merasa aman; mereka terus mengawasi kami. Mereka memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan Tentara Putih, karena di bawah kekuasaan pihak yang terakhir disebut itu kami dapat bekerja di bawah tanah, tetapi di bawah kekuasaan komunis, mereka mengenal hampir setiap orang secara personal, karena kami pernah berdiri berdampingan melawan kontrarevolusi.”
Sang Emigran, yang sebelumnya aku kenal sebagai orang paling cinta damai, mengejutkanku dengan antusiasme militannya mendukung Makhno, yang dengan akrabnya dia sebut sebagai Nestor. Dia menghabiskan banyak waktu dengan Nestor, dan menghargai lelaki itu sebagai anarkis yang teguh, yang melawan reaksi dari kaum kiri dan kaum kanan. Yossif aktif di markas Makhno sebagai pendidik dan guru, dia menjalani kehidupan para petani itu, dan menyertai mereka sebagai bagian nonperang dalam berbagai aksi mereka. Dia begitu yakin kaum Bolshevik telah mengkhianati rakyat. “Selama mereka masih revolusioner, kami bekerja sama dengan mereka,” ucapnya, “kenyataannya, kita, kaum anarkis, melakukan pekerjaan paling penting dan berbahaya selama revolusi. Di Kronstadt, di Laut Hitam, di Ural dan Siberia, dimanapun kami memberikan yang terbaik. Tetapi segera setelah kaum komunis merebut kekuasaan, mereka mulai menghancurkan elemen-elemen revolusioner, dan sekarang kami sepenuhnya dikriminalkan. Ya, kaum Bolshevik, kaum revolusioner yang hebat itu, telah mengkriminalkan kami,” dia mengulang dengan getir.
“Tidak adakah jalan untuk rekonsiliasi?” tanyaku, merujuk pada niatku untuk menjembatani persoalan itu dengan Rakovsky, Lenin-nya Ukraina.
“Tidak, sudah terlambat,’ jawab Yossif dengan yakin. “Kami telah mencobanya berulang kali, tetapi kaum Bolshevik selalu melangar janji dan mengeksploitasi perjanjian-perjanjian itu hanya untuk melemahkan semangat kami. Kau harus mengerti bahwa Partai Komunis saat ini telah menjadi pemerintah yang seutuhnya, mencari cara untuk memaksakan aturan mereka terhadap rakyat, dan melakukannya dengan metode-metode yang drastis. Tidak ada lagi harapan untuk mengembalikan kaum Bolshevik ke kubu revolusioner. Hari ini mereka musuh terburuk revolusi, jauh lebih berbahaya dibandingkan kelompok Denikin dan Wrangel, yang telah dikenal kaum tani. Satu-satunya harapan Rusia sekarang adalah mengusir kaum komunis dengan pemberontakan rakyat.”
“Aku tidak melihat kemungkinan itu,” bantahku.
“Seluruh kaum tani di selatan sudah menentang mereka,” jawab Yossif, “tetapi, tentu saja, kita harus membelokkan kebencian mereka yang buta menjadi pemberontakan penuh kesadaran. Dalam hal ini aku menganggap gerakan Makhno sebagai yang paling menjanjikan, yang menjadi awal pemberontakan rakyat yang besar melawan tirani baru.”
“Aku telah mendengar beragam cerita berlawanan mengenai Makhno,” kataku. “Dia digambarkan sebagai iblis atau juga santo.”
Yossif tersenyum. “Sejak tahu kau berada di Rusia,” ucapnya dengan serius, “aku terus berharap kau akan datang ke sini.” Dengan berbisik dia menambahkan, “Cara terbaik untuk menemukan kebenaran tentang Makhno adalah dengan memeriksanya sendiri.”
Aku menatapnya penuh tanya. Kami sendirian di toko buku, cukup aman dari seorang perempuan yang menyibukkan diri di rak-rak buku. Mata Yossif memeriksa jalanan, dan tatapannya terpaku pada dua lelaki yang sedang bercakap-cakap di trotoar. “Tcheka,” ujarnya singkat, “selalu mengintai di sini.
“Aku punya tawaran untukmu,” lanjutnya, “tetapi kita harus mencari tempat yang lebih aman. Besok malam aku akan mengajak beberapa kamerad untuk menemuimu. Datanglah ke datcha—” dia menyebutkan nama pondok musim panas yang dihuni seorang teman, “tetapi waspada, jangan sampai dikuntit.”
Di datcha, yang terletak di sebuah taman di dalam kota, aku bertemu teman-teman Yossif. Mereka merasa aman di tempat istirahat itu, mereka yakin itu, tetapi wajah ketakutan tidak lepas dari mereka, dan mereka bicara dengan berbisik. Seseorang mengatakan, pertemuan itu mengingatkannya pada masa-masa kuliah di universitas, di masa Nicholas II, saat para mahasiswa berkumpul di hutan untuk membicarakan pertanyaan-pertanyaan politis yang terlarang. “Dalam hal itu tidak ada yang berubah,” tambahnya, sedih.
“Kalau dibandingkan sebenarnya sekarang jauh lebih buruk,” seorang Ukraina berkulit gelap menimpali dengan empati.
“Jangan tanggapi dia secara harfiah,” Yossif tersenyum, “dia kawan kami yang paling pesimis.”
“Justru aku bermaksud harfiah,” orang Ukraina itu kukuh. “Tidak ada yang tersisa dari revolusi untuk menutupi ketelanjangan Bolshevik. Rusia tidak pernah mengalami hidup di bawah despotisme absolut seperti ini. Sosialisme, komunisme, yang benar saja! Kita tidak pernah mengalami kekurangan kebebasan dan keadilan seperti hari ini. Kita telah benar-benar hanya menukar Nicholas dengan Ilyitch.”
“Kau hanya melihat bentuk,” timpal seorang pemuda yang mengenalkan diri sebagai “Sang Penyair”, “tetapi kau melewatkan intisari dari Rusia saat ini. Ada revolusi spiritual yang menjadi simbol dan inti sebuah kebudayaan baru. Untuk setiap kebudayaan,” lanjutnya, “ada wujud dari sebuah kesatuan organik, yaitu mengetahui sesuatu sebagai kaitan dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, kesadaran. Ekspresi tertinggi dari kebudayaan adalah kesadaran diri manusia, sebagai wujud spiritual, dan di rusia saat ini kebudayaan itu sedang dilahirkan.”
“Aku tak bisa memahami mistisisme-mu,” bantah sang Pesimis. “Di mana kau melihat kebangkitan ini?”
“Ini bukan kebangkitan; ini kelahiran yang baru,” sang Penyair menjawab dengan serius. “Rusia tidak dibuat hanya untuk kaum revolusioner dan kontrarevolusioner. Ada pihak-pihak lain dalam setiap jalan kehidupan, dan mereka muak dengan semua dogma politis. Ada jutaan kesadaran yang dengan susah payah berjuang menuju kriteria baru dari kenyataan. Di jiwa mereka, mereka hidup melalui benturan-benturan hebat antara hidup dan mati; mereka telah mati dan hidup kembali. Mereka telah mendapatkan nilai-nilai baru. Dari merekalah akan terbit kebudayaan Rusia yang baru.”
“Ah, revolusi telah mati,” jawab seorang lelaki pendek kelimis paruh baya, berseragam Tentara Merah. “Saat aku membayangkan hari-hari Oktober itu dan antusiasme luar biasa yang menyapu negeri, aku menyadari sedalam apa kita telah tenggelam. Kemudian kebebasan, memang benar, dan persaudaraan. Kenapa, kesenangan rakyat begitu hebat, orang-orang asing berciuman di tengah jalan. Bahkan kemudian, saat aku berperang melawan
Czecho-Slovaks di Ural, tentara begitu terinspirasi. Setiap orang merasa dirinya orang merdeka yang membela revolusi sebagai miliknya sendiri. Tetapi setelah pulang dari garis depan, kami menemukan kaum Bolshevik memproklamasikan diri sebagai diktator, atas nama Partai. Sudah mati, revolusi kita,” dia menyimpulkan, menghelas napas.
“Kau salah, Kawan,” Yossif protes. “Kaum Bolshevik memang telah merusak jalannya revolusi dan mereka mencoba menghancurkannya sekaligus, untuk mengamankan kekuasaan politik mereka. Tetapi semangat revolusi masih hidup, setelah apapun yang mereka lakukan. Maret, 1917, hanyalah bulan madu revolusioner, ucapan janji di antara kekasih. Itu bersih dan murni, tetapi tidak terjelaskan dengan baik, impoten. Gairah yang sebenarnya belum datang. Oktober lahir dari rahim Rusia sendiri. Benar, kaum Bolshevik telah berubah menjadi Jesuit, tetapi revolusi telah meraih banyak hal—revolusi telah menghancurkan kapitalisme dan menyingkirkan prinsip-prinsip kepemilikan pribadi. Dalam perwujudan konkretnya sekarang ini, Bolshevisme adalah sistem dari despotisme paling kejam. Dia telah mengorganisasikan perbudakan sosialistis. Tetapi, tanpa ragu, aku menegaskan bahwa revolusi Rusia masih hidup. Para pemimpin dan bentuk-bentuk Bolshevisme hanyalah elemen-elemen sementara. Mereka hanyalah ledakan kegilaan di dalam keseluruhan proses. Ledakan-ledakan kekerasan akan lewat, sementara inti dari revolusi yang sehat akan menetap. Semua hal yang baik dan bernilai dalam sejarah manusia selalu lahir dan berkembang di dalam atmosfer kejahatan dan korupsi, bercampur dan berjalinan di dalamnya. Itulah nasib setiap perjuangan untuk kebebasan. Itu juga terjadi di Rusia hari ini, dan misi kitalah untuk membantu serta menguatkan yang benar dan yang baik, yang permanen, dalam perjuangan itu.”
“Aku duga itulah alasan kau begitu membela Makhno,” timpal sang Tentara Merah.
“Makhno menampilkan semangat Oktober yang paling nyata,” jawab Yossif dengan hangat. “Dalam masyarakat tani revolusioner, yang dia pimpin, terletak satu-satunya harapan negeri ini. Petani Ukraina itu anarkis yang instingtif, dan pengalaman telah mengajarinya bahwa semua pemerintahan pada dasarnya serupa—mengambil segalanya dan tak memberikan apa pun. Dia ingin menyingkirkan semua itu, ingin ditinggalkan sendiri untuk mengatur hidup dan urusannya sendiri. Dia akan melawan tirani baru itu.”
“Mereka hanya petani dengan ide kepemilikan borjuis kecil,” bantah sang Pesimis.
“Ada juga elemen seperti itu,” Yossif mengaku, “tetapi mayoritas tidak seperti itu. Gerakan Makhno menawarkan lahan yang sangat luas untuk propaganda. Nestor, dia sendiri seorang anarkis, menawari kita kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja bersama pasukannya, bahkan sampai menawari kita suplai materi cetak dan mesin untuk publikasi guna memproduksi koran dan selebaran. Wilayah yang dikuasai Makhno adalah satu-satunya tempat di mana kebebasan berbicara dan pers terwujud.”
“Tetapi tidak untuk kaum komunis,” bantah sang Tentara.
“Secara adil Makhno menganggap kaum komunis sama kontrarevolusinya dengan kaum Putih,” jawab Yossif. “Tetapi untuk kaum revolusioner—untuk anarkis, maximalis, dan Revolusioner Sosial Kiri— diberikan kemerdekaan penuh di distrik-distrik petani.”
“Bisa saja Makhno menyebut dirinya anarkis,” ucap M, seorang anarkis individualis, “tetapi aku sepenuhnya tidak setuju dengan Yossif tentang nilai penting gerakannya. Aku menganggap ‘tentaranya’ hanyalah kelompok besar petani pemberontak tanpa tujuan atau kesadaran revolusioner.”
“Mereka bersalah atas kebrutalan dan pengusiran Yahudi,” tambah sang Pesimis.
“Ada akibat-akibat,’ jawab Yossif, “seperti juga yang terjadi di setiap pasukan, komunis tidak terkecuali. Tetapi Nestor tak memberi ampun terhadap mereka yang bersalah atas pembunuhan Yahudi. Sebagian besar kalian telah mendengar banyak pernyataan menentang pengusiran yahudi, dan kau tahu betapa kejamnya dia terhadap mereka yang melakukan itu. Aku ingat, sebagai contoh, insiden di Verkhny Takmar. Itu sangat khas. Peristiwanya terjadi setahun lalu, pada 4 atau 5 Mei 1919, Makhno ditemani beberapa anggota staf militernya, dalam perjalanan dari garis depan menuju Gulyai-Pole, markas besarnya, untuk rapat dengan perwakilan-perwakilan khusus Soviet yang dikirim dari Kharkov. Di stasiun Verkhny Takmar dia melihat poster besar bertuliskan “Bunuh Semua Yahudi! Selamatkan Rusia! Panjang umur Makhno!” Makhno mendatangi kepala kepala stasiun. ‘Siapa yang memasang poster itu?’ desaknya. ‘Aku,’ jawab kepala stasiun itu, seorang petani yang pernah berperang melawan Denikin. Tanpa berkata apa-apa lagi Makhno menembak mati orang itu. Itulah cara Nestor menghukum pembunuh Yahudi,” Yossif menyimpulkan.
“Aku mendengar banyak kisah tentang kekejaman dan pembunuhan Yahudi yang dilakukan unit-unit Makhno,” aku ikut bicara.
“Itu kebohongan yang sengaja disebarkan kaum Bolshevik,” tukas Yossif. “Mereka membenci Nestor, lebih daripada kebencian terhadap Wrangel. Suatu hari Trotsky berkata, lebih baik Ukraina dikuasai Denikin daripada membiarkan Makhno berkuasa di sana. Dengan alasan: karena kekuasaan kejam jenderal-jenderal Tsar akan segera membuat kaum tani melawan dan selanjutnya memberi jalan bagi Bolshevik untuk mengalahkan mereka, sementara penyebaran Makhnovstchina—begitu gerakan Makhno disebut—bersama ide-ide anarkisnya mengancam seluruh sistem Bolshevik. Pembunuhan Yahudi yang dituduhkan kepada Makhno berdasarkan investigasi selalu terbukti dilakukan Tentara Hijau atau bandit-bandit lain. Kenyataanya, Makhno dan stafnya terus melakukan agitasi melawan keyakinan dan praduga religius dan nasionalistis.”
Walau ada perbedaan radikal menyangkut karakter dan nilai penting gerakan Makhno, semua yang hadir setuju bahwa Nestor adalah figur yang unik dan salah satu yang memiliki kepribadian mencolok dalam cakrawala revolusioner. Bagi para pemujanya, seperti Yossif, dia mewujudkan jiwa revolusi seperti yang terekspresikan sendiri dalam perasaan, pikiran, dan hidup kaum tani pemberontak Ukraina.