Bab XXIII

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XXIII

Di Lembaga-Lembaga Soviet

Petrovsky, Ketua Komite Eksekutif Sentral Seluruh Ukraina, lembaga pemerintah tertinggi di selatan, duduk di mejanya, sibuk dengan setumpuk dokumen. Lelaki separuh baya, wajahnya tipikal Ukraina dengan janggut hitam lebat, bercahaya dengan mata yang menunjukka kecerdasan dan senyum kemenangan. Dia seorang petani komunis yang ditunjuk Moskow untuk memimpin lembaga itu, tetapi dia tetap menjaga sikapnya yang demokratis dan sederhana.

Setelah mempelajari misi ekspedisi kami, Petrovsky menunjukkan minat dan dukungannya. “Aku sungguh-sungguh bersimpati dengan ekspedisi ini. Ini luar biasa, ide untuk mengumpulkan materi-materi revolusi besar kita sebagai informasi bagi generasi sekarang dan masa depan. Aku akan membantu kalian semua semampuku. Di sini, di Ukraina, kau akan menemukan dokumen-dokumen yang kaya, meliputi semua perubahan-perubahan politik yang terjadi di sini sejak 1917. Tentu saja,” lanjutnya, “kami belum sampai pada kondisi Rusia yang tertata dan terorganisasi dengan baik. Perkembangan negeri kami berbeda, dan sejak 1918 kami hidup dalam gejolak terus menerus. Baru dua bulan lalu kami mengusir pasukan Polandia dari Kiev—tetapi kami berhasil mengusir mereka selamanya,” dia tertawa riang.

“Ya, kami telah mengusir mereka selamanya,” dia mengulangi ucapannya setelah beberapa saat. “Tetapi kita harus melakukan lebih banyak lagi. Kita harus memberi pelajaran kepada Polandia terkutuk itu—maksudku para juragan Polandia,” dia mengoreksi dirinya sendiri. “Tentara Merah kami yang baik hampir tiba di gerbang Warsawa. Proletariat Polandia sudah siap untuk menumbangkan pusat penindas mereka.. Mereka tinggal menunggu kita memberikan bantuan. Kami berharap revolusi akan pecah dalam beberapa hari,” dia menyimpulkan dengan percaya diri. “Dan Soviet Polandia akan bergabung secara federatif dengan Soviet Rusia, seperti yang telah dilakukan Ukraina.”

“Tidakkah kau pikir kebijakan agresif itu akan menghasilkan dampak yang merugikan?” tanyaku. “Invasi yang mengancam mungkin akan melahirkan gairah patriotik.”

“Bah!” sang ketua tertawa. “Jelas kau tidak mengenal sikap revolusioner kaum buruh Polandia. Seluruh negeri sedang terbakar. Tentara Merah akan menerima ‘roti dan garam’, dalam bahasa kami artinya akan mendapat sambutan hangat.”

Percakapan beralih ke situasi di selatan. “Pekerjaan mengorganisasi kondisi-kondisi Soviet,” ujar Petrovsky, mengalami kemajuan memuaskan di distrik-distrik yang yang dikuasai orang-orang Polandia. Sedangkan situasi ekonomi, Ukraina tadinya lumbung makanan untuk Rusia, tetapi para petani menderita perampasan dan perampokan oleh Tentara Putih. Bagaimanapun, kaum tani telah belajar, hanya di bawah kekuasaan komunis mereka merasa aman dalam menikmati lahan mereka. Memang benar, sebagian besar mereka adalah ‘kulaki’, yaitu petani-petani kaya yang tidak rela membagi kelebihan panennya dengan Tentara Merah dan kaum buruh. Mereka dan sejumlah kelompok kontrarevolusi menyulitkan kerja pemerintah Soviet. Makhno, terutama, orang yang menjadi sumber banyak kesulitan. Tetapi Tentara Hijau dan kelompok-kelompok bandit lain secara bertahap telah diberantas, dan tidak lama lagi Makhno juga akan ditumpas. Pemerintah telah mengeluarkan dekrit perang tanpa ampun terhadap musuh-musuh Soviet, dan kaum tani membantu kami dalam upaya ini.”

“Kau pasti sudah mendengar di Rusia tentang Makhno,” kata Petrovsky, matanya menelisik. “Banyak legenda muncul di sekitar namanya, dan bagi sebagian orang dia tampil hampir seperti pahlawan. Tetapi di sini di Ukraina, kau akan belajar kebenaran tentang dia. Hanya pemimpin seorang perampok. Di balik topeng anarkisme dia menyerbu desa-desa dan kota-kota kecil, menghancurkan komunikasi kereta api, dan begitu menikmati membunuh para komisar dan komunis. Sebelum terlalu lama kita harus menghancurkan aktivitasnya.”

Perempuan petugas administrasi bolak-balik masuk ruangan, membawa dokumen-dokumen, dan menjawab panggilan-panggilan telefon. Sebagian besar bertelanjang kaki, sedangkan sebagian lagi mengenakan sepatu bertumit tinggi tanpa stoking. Dari waktu ke waktu sang ketua menghentikan percakapan untuk melirik kertas-kertas di hadapannya, membubuhi tandatangan di beberapa kertas dan menyerahkan yang lain ke sekretarisnya. Tetapi dia tampak bersemangat melanjutkan percakapan kami, tentang upaya menghadapi masalah-masalah sulit di Ukraina, langkah-langkah yang telah diambil untuk menjamin produksi batubara yang lebih besar, melakukan reorganisasi ulang jalur kereta, dan membersihkan serikat-serikat buruh dari pengaruh antisoviet.

Dia berbicara dengan tulus, dalam bahasa seorang buruh yang kecerdasan asalnya telah diasah oleh pengalaman dalam sekolah kehidupan. Konsepsinya tentang komunisme sesederhana sebuah pemerintah yang kuat dan keinginan kuat untuk mewujudkan niat. Ini bukan pertanyaan tentang uji coba atau kemungkinan-kemungkinan idealtik. Gambarannya tentang sebuah masyarakat Bolshevik tidak berbayang. Sebuah pemerintahan terpusat, yang secara konsisten melaksanakan kebijakan-kebijakannya, dia yakin akan menyelesaikan semua persoalan. Oposisi harus diberantas: elemen-elemen pengganggu dan penghasut kaum tani yang melawan rezim Soviet, seperti Makhno, harus dihancurkan. Di saat yang sama kerja “polit-prosvet” (pendidikan politik) harus diperluas: pemuda, terutama, harus dilatih untuk menghargai kaum Bolshevik sebagai pengawal terdepan kemanusiaan. Secara keseluruhan, komunisme adalah masalah mengatur pembukuan dengan benar, seperti yang benar-benar dikatakan Lenin; mengambil hak kekayaan, atual dan potensial negeri ini, dan mengaturnya untuk distribusi yang adil.

Tema percakapan tentang ketidakpuasan kaum tani bolak-balik masuk dalam percakapan kami. Kaum “povstantsi” (pemberontak petani bersenjata), diakui Petrovsky, telah memainkan peran penting dalam revolusi. Mereka berkali-kali menyelamatkan Ukraina, dan bahkan Rusia, pada saat-saat paling kritis. Melalui perang gerilya mereka menghancurkan dan menjatuhkan moral pasukan Austro-Jerman, dan mencegah laju pasukan itu untuk mencapai Moskow dan menekan rezim Soviet. Mereka mengalahkan serangan kaum Intervensionis di selatan, dengan melawan dan mengalihkan pasukan Perancis dan Italia yang didaratkan oleh Sekutu di Odessa, yang bertujuan mendukung pemerintahan nasionalistik Directorium di Kiev. Mereka melawan Denikin dan jenderal-jenderal Tentara Putih lainnya, dan menjadi bagian instrumental bagi kemenangan Tentara Merah. Tetapi kini beberapa elemen “povstantsi” bergabung dengan Tentara Hijau dan kelompok-kelompok lain melawan kaum komunis. Mereka juga menjadi bagian terbesar dalam pasukan Makhno, bahkan memiliki senapan mesin dan artileri. Secara khusus Mahkno memang berbahaya. Pada suatu waktu di bergabung dengan Tentara Merah, tetapi kemudian dia membelot, membuka front dengan Denikin, dan karena pengkhianatan itu dia dikriminalkan oleh Trotsky. Sejak saat itu Makhno berperang melawan Bolshevik dan membantu musuh-musuh revolusi.

Dari kantor di samping, yang diisi oleh sekretaris Petrovsky, terdengar suara keras dan suara seorang perempuan yang histeris mengganggu percakapan kami. “Ada apa di sana, aku ingin tahu,” kata sang ketua, melangkah ke pintu. Saat dia membukanya, seorang petani perempuan muda memburu ke arahnya, menjatuhkan diri di kakinya.

“Selamatkan kami, Bapak Kecil!” jeritnya. “Bermurah hatilah!”

Petrovsky membantunya berdiri. “Ada masalah apa?” dia bertanya

lembut.

Di tengah isakan-isakan di bercerita tentang suaminya, yang sedang cuti pulang dari dinas militer, pergi ke Kharkov untuk menjenguk ibunya yang sakit. Di sana dia ditahan dalam sebuah razia di jalan dan dituduh sebagai buruh paksa yang melarikan diri. Dia tidak bisa membuktikan dirinya sebagai tentara, karena dalam perjalanan ke kota itu dia dirampok: semua dokumen dan uangnya hilang. Dia mengirim pesan tentang kesialan itu, tetapi saat perempuan itu sampai di Kharkov suaminya telah dibawa pergi bersama sekelompok tahanan. Sejak saat itu dia tidak berhasil mendapatkan kabar apapun tentang suaminya. “Oh, Bapak Kecil, mereka pasti telah menembaknya,” rintihnya, “dan dia seorang Tentara Merah yang memerangi Denikin.”

Petrovsky mencoba menenangkan perempuan yang kebingungan itu. “Tidak akan terjadi apa-apa pada suaminya,” dia meyakinkan, “jika dia bisa membuktikan dirinya seorang tentara.”

“Tetapi mereka telah membawanya pergi ke suatu tempat,” jeritnya, “dan mereka menembak mati desertir. Oh, Tuhan, kasihani aku!”

Sang ketua menanyai perempuan itu, dan kemudian dia merasa yakin dengan kebenaran ceritanya. Dia memerintahkan sekretarisnya memberikan sebuah “surat” untuk membantunya mencari suaminya. Perempuan itu lebih tenang, dan dengan impulsif dia mencium tangan Petrovsky, memohon kepada

para santo untuk “memberkahi komisar yang baik ini”.

**

Di kantor pusat serikat buruh aku melihat aliran manusia berdesak-desakan di sepanjang koridor. Para lelaki, perempuan, dan anak-anak memenuhi kantor-kantor dan aula dengan teriakan dan asap tembakau. Sungguh itu kumpulan orang-orang dekil—yang tak mendapatkan cukup makanan dan pakaian yang layak. Para perempuan mengenakan kerudung kain katun, para lelaki mengenakan sepatu bersol kayu tebal, sebagian besar anak-anak bertelanjang kaki. Selama berjam-jam mereka berdiri di antrian, membicarakan masalah-masalah yang mereka hadapi. Upah mereka, begitu mereka mengeluhkan, walau terus naik tetapi tidak mampu mengejar kenaikan harga makanan. Kerja selama sepekan tidak cukup untuk membeli dua pon roti. Lebih jauh lagi, upah mereka tertunggak tiga bulan: pemerintah gagal menyuplai uang yang cukup. Pusat-pusat distribusi Soviet kekurangan pasokan makanan, dan orang harus mencari makanan mereka sendiri, atau kelaparan. Sebagian orang datang untuk meminta ijin cuti sepuluh hari untuk mengunjungi keluarga mereka di desa. Di sana mereka bisa mendapatkan beberapa pon terigu atau sekarung kentang untuk memberi makan keluarganya untuk sementara waktu. Tetapi sulit untuk mendapatkan keistimewaan itu, karena ada aturan baru yang mengikat kaum buruh ke pabriknya, seperti di masa lalu, saat para petani dirantai ke lahan mereka. Tetapi desa adalah satu-satunya harapan mereka.

Sebagian lagi datang untuk untuk mendaftarkan permohonan ke serikat buruh agar membantu mencari para saudara laki-laki, para ayah, para suami, yang tiba-tiba menghilang—tak diragukan lagi ditangkap dalam kerapnya razia untuk menangkap para desertir tentara dan buruh. Mereka telah berusaha dengan putus asa mencari informasi di berbagai biro. Mungkin kali ini serikat buruh akan membantu.

Setelah menunggu lama aku mendapatkan izin bertemu Sekretaris Soviet Serikat Buruh. Ternyata dia seorang anak muda tidak lebih dari 23 tahun, dengan sikapnya yang tergesa dan gugup, dan mata yang menunjukkan kecerdasan. Ketua Soviet Serikat Buruh sedang dipanggil untuk pertemuan khusus, sang sekretaris memberitahu aku, tetapi dia akan membantu misi kami sebisa mungkin. Dia ragu, bagaimanapun, jika kami dapat menemukan materi berharga di kota. Sebagian besar telah diabaikan atau dihancurkan—karena selama ini tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu dalam hari-hari revolusioner yang berlalu di Kharkov. Tetapi catatan apa pun yang dapat ditemukan, dia akan memerintahkan mereka untuk memberikannya kepadaku. Lebih baik lagi, dia akan memberiku surat tembusan ke sekretaris-sekretaris di serikat-serikat buruh lokal, dan aku dapat secara personal memilih materi yang aku butuhkan, dan menyimpan salinannya di arsip.

Sang sekretaris sendiri hanya dapat memberiku sedikit informasi tentang situasi buruh di kota dan provinsi, karena dia baru saja duduk di jabatan itu. “Aku bukan penduduk lokal,” katanya, “aku dikirim dari Moskow baru beberapa pekan lalu. Kau lihat, kamerad,” jelasnya, tampak dia menyimpulkan aku anggota Partai Komunis, “Penting untuk melikuidasi seluruh manajemen Soviet dan sebagian besar serikat buruh. Di dalam kepalanya mereka adalah kaum Menshevik. Mereka menyelenggarakan organisasi dengan prinsip menjaga kepentingan buruh. Menjaga dari apa?” dia marah. “Kau paham bagaimana kontrarevolusionernya konsepsi itu! Itu tindakan kaum Menshevik yang terselubung untuk melawan kita. DI bawah kapitalisme, serikat buruh menghancurkan kepentingan borjuis. Tetapi bersama kita serikat buruh lebih konstruktif. Lembaga-lembaga buruh harus bekerja sama dengan pemerintah, karena kenyataannya, merekalah pemerintah yang sebenarnya, atau salah satu bagian yang vital. Mereka harus bekerja sebagai sekolah-sekolah komunisme dan pada saat yang sama melaksanakan keinginan proletariat di industri seperti yang ditunjukkan pemerintah Soviet. Ini kebijakan kita, dan kita harus menghancurkan semua oposisi.”

Seorang lelaki bertubuh gempal, bertinggi sedang, masuk dengan tergesa ke ruangan, menatapku penuh tanya. “Seorang kamerad dari pusat,” sang sekretaris memperkenalkan aku,” dikirim untuk mengumpulkan data tentang revolusi. Ini ‘predsedate’l—ketua—kami,” jelasnya.

Ketua Serikat Buruh Soviet menjabat tanganku dengan enggan. “Permisi,” ucapnya, “kami baru saja ditimbun dengan pekerjaan. Aku harus pergi rapat dengan komisi upah sebelum rapat ditutup, karena aku baru ditelefon untuk menghadiri konferensi penting Komite Partai kita. Kaum Mensehvik baru mendeklarasikan mogok makan di penjara, dan kami akan mengambil tindakan.”

Saat kami melangkah keluar kantor, sang ketua dihalangi kerumunan orang-orang yang kecewa. “Tovarishtch, mohon waktu sebentar,” seorang buruh tua memohon, “saudaraku sakit tifus, dan aku tidak mendapatkan obat untuknya.”

“Kapan kami akan dibayar? Sudah tiga bulan upah kami ditunggak,” yang lain mendesak.

“Pergi ke serikatmu,” jawab sang ketua.

“Tetapi aku baru saja dari sana.”

“Aku tidak punya waktu, tovarishtch, aku tidak punya waktu sekarang,” sang ketua melangkah ke kiri dan ke kanan, perlahan menerobos kerumunan.

“Oh, Bapak Kecil!” seorang perempuan berteriak, mencengkeram tangan ketua. Ternyata dia petani muda yang aku lihat di kantor Petrovsky. “Apakah suamiku telah ditembak mati?”

Sang ketua melotot. “Siapa suamimu?”

“Seorang Tentara Merah, tovarishtch. Ditangkap di razia di jalan dengan tuduhan desertir buruh.”

“Seorang desertir! Itu buruk.” Melangkah ke jalan, dan melambaikan tangannya kepadaku, sang ketua melompat ke mobilnya yang sedang menunggu, dan dia pun pergi.