Mitos Bolshevik
(Diary 1920–1922)
Alexander Berkman
Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh
Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah:
Proofreading terakhir:
Bab XXII
Hari Pertama di Kharkov
Pekerjaan mengumpulkan material sejarah dibagi di antara anggota ekspedisi kami berdasarkan pada kecocokan bidang dan minat masing-masing. Sesuai dengan kesepakatan bersama, dan demi kepuasan dirinya, satu-satunya komunis di tengah kami, seorang pemuda cerdas dan idealis, ditugaskan untuk mengunjungi markas Partai Komunis. Selain tugas utamaku sebagai ketua tim, aku juga harus mengurusi serikat-serikat buruh,organisasi-organisasi revolusioner, dan lembaga-lembaga semiligal atau yang “bawah tanah”.
Di lembaga-lembaga Soviet, begitu juga di tengah masyarakat secara umum, terasa semangat nasionalistik yang intens, bahkan chauvinistik. Bagi penduduk asli Ukraina hanya ada satu Rusia yang sejati: budayanya, bahasanya, dan tradisi-tradisinya yang superior terhadap orang-orang utara. Penduduk asli Ukraina membenci “orang Rusia” dan menolak dominasi Moskow di wilayah itu. Antagonisme terhadap kaum Bolshevik dan kebencian terhadap Tcheka terjadi secara umum. Bahkan orang-orang komunis Ukraina keberatan dengan metode-metode hukum dari pemerintah pusat, dan menuntut kemerdekaan yang lebih luas dan hak untuk menentukan jalan sendiri. Tetapi kebijakan Kremlin malah menempatkan orang-orang dari pusat sebagai kepala di berbagai lembaga Ukraina, dan seringkali sekereta penuh Bolshevik Moskow, termasuk juru tulis dan juru ketik dikirim ke selatan untuk menjabat di departemen atau biro tertentu. Pejabat-pejabat yang diimpor itu tidak akrab dengan kondisi-kondisi dan psikologi negeri itu, bahkan sering tak peduli dengan bahasanya, menerapkan metode Moskow dan memaksakan cara pandang Moskow terhadap masyarakat dan hasilnya mengasingkan mereka bahkan juga elemen-elemen yang bersahabat.
**
Satu hari di bulan Juli, bersama matahari selatan yang begitu terik, dan trotoar batu yang terasa meleleh di bawah kakiku. Jalanan sesak dengan orang-orang berpakaian dalam beragam model dan warna, permainan warnanya sedang dipandang. Warga Ukraina berpakaian lebih bagus dan mendapatkan asupan makanan yang lebih baik dibanding orang-orang di Petrograd atau Moskow. Kaum perempuannya benar-benar cantik, dengan mata gelap yang ekspresif dan wajah oval, kulitnya berkilau bak minyak zaitun. Kaum laki-lakinya kurang menarik, banyak yang berdahi rendah dan berpenampilan kasar, menghadirkan jejak bangsa Mongol. Sebagian besar perempuan, terbuka dan sintal, mengenakan rok pendek dan menunjukkan kakinya; sementara yang lainnya berpakaian lebih tertutup tapi tanpa stoking, menghadirkan pemandangan yang kontradiktif. Beberapa mengenakan “lapti”, sandal kayu kasar yang berketipak keras di trotoar. Hampir setiap orang mengunyah “semetchki”, biji bunga matahari yang dikeringkan, dengan terampil mengeluarkan kulitnya, dan menutupi trotoar kotor dengan lapisan putih kelabu.
Di sebuah pojokan dua anak laki-laki berseragam sekolah memanggil-manggil dengan suara keras, menarik perhatian orang-orang yang lewat untuk membeli “pirozhki” panas, kue donat Rusia berisi daging atau kubis. Sekelompok perempuan muda, mungkin masih anak-anak, dengan wajah berbedak, berbibir merah tua, mendekati penjual kue itu.
“Berapa harga kenikmatan ini?”tanya seorang anak perempuan, suaranya melengking.
“Lima puluh rubel.”
“Oh, kau spekulator kecil,” goda anak perempuan itu. “Kau mau memberi aku harga yang lebih murah, bukan, sayang?” dia mencondongkan tubuhnya ke anak laki-laki.
Tiga pelaut mendekat, sambil menyiulkan nada Stenka Razin yang terkenal. “Betapa cantiknya!” ucap seorang pelaut, dengan santai memeluk seorang perempuan di dekatnya.
“Hey, nona-nona, ikut dengan kami,” perintah yang lainnya. “Jangan bergaul dengan para spekulator itu.”
Dengan tawa genit anak-anak perempuan itu bergabung bersama mereka. Saling bergandengan tangan mereka melangkah di jalan.
“Terkutuklah tentara Soviet itu,” gerutu anak laki-laki penjual kue. “Pirozhki panas! Belilah, siapa yang mau beli, tovarishtchi!”
Dengan susah payah aku menemukan rumah Nadya, anggota Revolusioner Sosial Kiri, yang kepada dia aku harus menyampaikan pesan dari kawan-kawannya di Moskow. Ketukanku di pintu dijawab oleh seorang perempuan tua berwajah ramah dan berambut putih bagai salju. “Puteriku sedang bekerja,” ucapnya, dengan curiga menelisik aku. “Boleh aku tahu kau mau apa?”
Setelah yakin dengan penjelasanku, dia mempersilakan aku masuk, tetapi sikapnya tetap berhati-hati. Butuh beberapa saat sebelum dia yakin benar dengan niat baikku, lalu dia mulai bercerita. Dia memiliki rumah itu, tetapi hanya bisa mengisi satu kamar bersama anak perempuannya, sedangkan ruangan lain disita oleh Komite Perumahan Soviet. “Cukup untuk kebutuhan dasar kami,” ucap perempuan tua itu dengan pasrah, dia melirik ruang kecil berisi kasur tunggal, meja makan, dan beberapa kurs kayu. “Saat ini aku hanya memiliki Nadya,” imbuhnya, suaranya bergetar.
Terdiam sesaat, lalu dia melanjutkan, “Puji Tuhan aku memiliki dia. Oh, betapa buruknya waktu yang kami lalui. Kau pasti tidak akan percaya— aku belum lagi berusia lima puluh tahun.” Dia menyibak rambutnya yang putih dengan tangannya yang kurus. “Aku tidak tahu bagaimana situasinya di tempat asalmu, tetapi di sini hidup bagai mimpi buruk. Aku sudah terbiasa dengan kelaparan dan kedinginan, tetapi rasa takut terus menerus akan keselamatan puteriku membuat hidup tersiksa. Tapi mengeluh adalah dosa,” dia memberi tanda salib di tubuhnya dengan hikmat. “Puji Tuhan, karena dia masih memberkahiku dengan puteriku.”
Selama percakapan aku mengetahui anak laki-laki tertuanya dibunuh orang-orang Denikin; anak laki-laki bungsunya, Volodya, dua puluh tahun, ditembak orang Bolshevik. Dia tidak mampu menemukan penjelasan pembunuhan-pembunuhan itu. “Tcheka yang mengerikan,” dia menghela napas, air mata menggenang di matanya. “Tetapi ketuanya orang baik,” dia melanjutkan, “Justru dia yang menyelamatkan Nadya kecilku. Nadya sebenarnya telah dijatuhi hukuman mati. Suatu hari mereka membawanya ke penjara bawah tanah, telanjang—semoga Tuhan mengampuni mereka! Mereka menekannya ke lantai, dengan wajah menelungkup. Kemudian mereka menembakkan pistol di atas kepalanya. Oh, sungguh mengerikan! Dia diperintahkan untuk mengaku dan dia akan dibiarkan hidup. Tetapi apa yang harus diakui oleh anak itu? Dia tidak punya apa-apa untuk diakui. Sesungguhnya dia tidak akan buka mulut walau bisa, karena Nadya seperti baja. Kemudian dia dimasukkan lagi ke selnya, dan setiap malam dia menunggu untuk dibawa dan ditembak, dan setiap dia mendengar langkah kaki, dia pikir mereka akan membawanya. Siksaan mengerikan yang dilalui anak itu! Tetapi selalu orang lain yang mereka bawa, dan tidak pernah ada yang kembali. Lalu suatu hari ketua Tcheka mendatanginya dan mengatakan dia tidak ingin Nadya ditembak, dan dia dibebaskan untuk pulang ke rumah. Sebelumnya, Tcheka telah meyakinkan aku bahwa puteriku telah dikirim ke Moskow untuk diadili. Lalu, di sana dia berdiri di hadapanku—ah, begitu pucat dan lemah, bagai hantu dirinya sendiri. Terpujilah Tuhan atas kebaikannya,” dia mengisak pelan.
Pintu terbuka dan seorang perempuan dua masuk, membawa tas yang diselempangkan di pundaknya. Dia muda dan menarik, umurnya tak lebih dari dua puluh tahun, wajahnya bersinar dengan mata gelap yang mengkilap.
Dia terpaku ketakutan saat melihatku. “Aku seorang teman,” segera aku meyakinkannya, memberikan pesan yang dipercayakan kepadaku di Moskow. Wajahnya cerah lagi, meletakkan tasnya di meja, dan mencium ibunya. “Hari ini kita akan merayakannya, mamenka—ibu,” dia mengabarkan, “aku mendapatkan jatah makanan.” Dia mulai mendaftar jatah makanan yang diperolehnya dengan riang, “Ikan herring, dua pon; setengah pon sabun, satu pon mentega sayur; seperempat pon tembakau. Itu semua dari Sobezh (Departemen Pelayanan Sosial),” jelasnya, berpaling kepadaku. “Aku bekerja di sana, tetapi ‘pelayanan sosial’ yang utama diberikan sebagai jatah makanan,” ucapnya bersemangat. “Kualitas dan jumlahnya lebih baik dibandingkan dua tempat lainnya. Kau tahu, sebagian dari kami harus memegang tiga atau empat posisi untuk mencapai tujuan. Ibu dan aku bersama-sama mendapat satu tiga per empat roti per hari, dan juga jatah bulanan ini. Dan juga yang aku dapat dari posisi-posisiku yang lain. Kami bertahan hidup. Bukankah begitu, mamenka?” dan dia memeluk ibunya dengan penuh kasih.
“Berdosa kalau kita mengeluh, anakku,” jawab perempuan tua itu, “orang lain hidupnya lebih buruk.”
Nadya masih menyimpan rasa humornya, dan tawa riangnya kerap mewarnai percakapan kami. Dia begitu peduli dengan nasib kawan-kawannya di utara, dan dia begitu gembira mendapatkan kabar langsung dari Marusya, begitu panggilan sayangnya kepada Maria Spiridonova. Dengan penuh perhatian dia menyimak cerita tentang berkali-kali kunjunganku ke pemimpin Revolusioner Sosial Kiri yang terkenal itu, yang sekarang sedang bersembunyi di Moskow. “Aku mencintai dan memuja dia,” tegasnya bersemangat, “dia pahlawan hidupku. Dan membayangkan bagaimana kaum Bolshevik mencarinya! Di sini, di selatan,” ucapnya lebih pelan, “Partai kami hampir semuanya telah dihancurkan. Penghukuman dipaksakan kepada pihak-pihak yang lebih lemah agar berdamai dengan kaum komunis; beberapa bahkan bergabung dengan mereka. Mereka yang tetap setiap bergerak di ‘bawah tanah’. Teror Merah adalah aktivitas yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Dengan koran-koran, press, dan semuanya yang dinasionalisasi, kami bahkan tak bisa lagi mencetak selebaran, seperti yang pernah kami lakukan di zaman Tsar. Lagipula, kaum buruh begitu ketakutan, kebutuhan mereka sangat mendesak, mereka hanya akan mendengarkanmu jika kau menawarkan roti. Lebih jauh lagi, pikiran mereka tela diracuni untuk melawan kaum intelektual. Kaum yang terakhir itu benar-benar sekarat karena kelaparan. Di sini, di Kharkov, contohnya, mereka hanya menerima tujuh ribu rubel per bulan, sementara satu pon roti harganya dua atau tiga ribu rubel. Beberapa cendikiawan melihat, gaji Soviet bagi dua puluh profesor Rusia paling terkenal sama dengan—mengacu pada nilai tukar rubel saat ini—jumlah yang diizinkan anggaran rezim lama untuk membayar pengawas di lembaga-lembaga pemerintah.”
Dengan bantuan Nadya aku mulai mengerti beberapa orang yang “tak bisa berdamai” dari Revolusioner Sosial Kiri. Sosok paling menarik di antara mereka adalah N, seorang mantan “katorzhanin”—tahanan politik yang dihukum kerja paksa—dan kemudian menjadi pengajar kelas sastra di
Universitas Rakyat Kharkov. Baru-baru ini dia dipecat, karena komisar politik, seorang pemuda komunis, menganggap kuliahnya cenderung anti-Marxisme.
“Kaum Bolshevik mengeluh mereka kekurangan guru dan pendidik,” ucap N, “tetapi kenyataannya mereka tidak mengizinkan siapapun bekerja kecuali bagi komunis atau yang membantu sel komunis. Yang terakhir itu, unit Partai di setiap lembaga, yang menentukan kelayakan dan kecocokan—bahkan untuk para profesor dan guru.”
“Kaum Bolshevik telah gagal,” dia berkata kepadaku di acara yang lain, “terutama karena barbarisme intelektual mereka yang total. Kehidupan sosial, tidak kurang dari kehidupan individual, tidak mungkin terwujud tanpa nilai-nilai etika dan kemanusiaan tertentu. Kaum Bolshevik menghapus itu semua, dan di tempat mereka kita hanya memiliki aturan birokrasi Soviet dan teror tak bertanggung jawab.”
N menyuarakan sentimen kelompok Revolusioner Sosial Kiri, pandangannya sama dengan kawan-kawannya. Aturan terhadap minoritas, mereka sepakat, jelas berdasarkan despotisme dan penindasan dan kekerasan. Seperti 10 ribu kaum Sparta yang memerintah 300 ribu Helot, sementara di Revolusi Perancis 300 ribu Jacobin mencoba memerintah 7 juta warga Perancis. Sekarang 500 ribu komunis, dengan metode yang sama, memperbudak seluruh Rusia yang berpenduduk 100 juta orang. Rezim seperti itu telah menyangkal sumber orisinalnya. Walau lahir dari revolusi, anak dari gerakan pembebasan, mereka harus menolak dan menyesatkan ideal-ideal dan tujuan-tujuan awal yang melahirkan mereka. Akibatnya, muncul teriakan ketidakadilan dari kelompok-kelompok sosial baru, ketimbang keadilan yang diproklamasikan; penindasan atas setiap opini rakyat ketimbang janji kemerdekaan; kekerasan dan teror ketimbang kuasa persaudaraan dan cinta.
Situasi saat ini, N percaya, adalah hasil tak terhindarkan dari kediktatoran Bolshevik. Kaum komunis telah mengecilkan ide-ide dan slogan-slogan revolusi. Mereka telah memulai gelombang kontrarevolusi di tengah masyarakat yang ingin menghancurkan pencapaian Revolusi 1917. Kekuatan kaum Bolshevik dalam kenyataan tidak signifikan. Mereka tetap berkuasa karena kelemahan lawan politik mereka dan kelelahan massa. “Tetapi masa Thermidor Kesembilan—masa keruntuhan—mereka akan segera tiba,” N menyimpulkan dengan yakin, “dan tidak ada seorang pun yang akan membela mereka.”
**
Aku pulang telat pada malam hari ke kamar yang diberikan kepadaku di rumah G, seorang mantan borjuis, dan ternyata belnya rusak, jadi aku mengetuk pintu berkali-kali tanpa ada jawaban. Aku hampir putus asa untuk bisa masuk, saat terdengar rantai berdenting, dan palang yang berat diangkat, seseorang memutar kunci, dan akhirnya pintu itu terbuka di hadapanku. Aku tidak dapat melihat orang di dalam sana, dan merasa ngeri ketika tiba-tiba seseorang bertubuh besar melangkah ke hadapanku, dan aku mengenali pemilik apartemen itu.
“Tadi aku tidak melihatmu,” ucapku terkejut.
“Tindakan berjaga-jaga yang sederhana,” jawabnya, menunjuk ke ruang di antara pintu ganda di mana dia baru saja bersembunyi.
“Tidak ada yang pasti belakangan ini,” dia berkata dengan gugup, “mereka memiliki kebiasaan mendatangi kami tiba-tiba. Aku bisa meloloskan diri,” tambahnya dengan tegas.
Aku mengundangnya ke kamarku, dan kami mengobrol sampai pagi. Kisah G menunjukkan halaman paling menarik dari kehidupan Rusia terkini. Tadinya dia tinggal di Petrograd, dan dia bekerja sebagai insinyur mesin di tempat pengolahan Putilov, sedangkan saudara iparnya menjadi asistennya. Mereka berdua tidak ikut berpolitik, dan mereka mengabdikan semua waktunya untuk bekerja. Suatu pagi Petrograd heboh karena pembunuhan Uristky, kepala Tcheka. G dan saudara iparnya tidak pernah mendengar nama Kannegisser, yang melakukan pembunuhan itu, tetapi mereka berdua ikut ditahan bersama beberapa ratus borjuis lainnya. Saudara iparnya ditembak mati karena salah paham, begitu yang kemudian diakui Tcheka, karena namanya mirip dengan kerabat jauh dari seorang perwira di pasukan Tsar. Istri saudara iparnya itu, adik G, mengetahui kematian suaminya dan akhirnya bunuh diri. G sendiri kemudian dibebaskan, kemudian ditangkap kembali, dan dikirim ke kamp kerja paksa di Vologda sebagai borjuis.
“Itu terjadi tiba-tiba,” ucanya, “mereka tidak memberi kami waktu untuk berkemas. Saat itu cuaca berangin dan dingin pada Oktober 1918. Aku menyeberangi Nevsky dalam perjalanan ke rumah dari tempat kerja, ketika aku menyadari seluruh distrik itu dikepung oleh tentara dan Tcheka. Semua orang ditangkap. Mereka yang tidak dapat menunjukkan kartu anggota Partai Komunis atau dokumen yang menunjukkan mereka buruh Soviet ditahan. Para perempuan juga, walau mereka dilepaskan pada pagi hari. Sialnya aku meninggalkan portofolioku di kantor, bersama semua dokumenku di dalamnya. Mereka tidak mau mendengarkan penjelasanku atau memberiku kesempatan untuk menghubungi siapa pun. Dalam 48 jam, semua laki-laki dikirim ke Vologda. Keluargaku—istriku tercinta dan tiga anakku—masih tidak mengetahui nasibku.”
G terdiam.
“Kau mau minum teh?” dia bertanya, mencoba menyembunyikan emosinya.
Saat dia melanjutkan kisahnya, aku mengetahui, bersama beberapa ratus lelaki lainnya, hampir semuanya dituduh borjuis, G ditahan di penjara Vologda selama beberapa pekan, diperlakukan sebagai penjahat berbahaya, dan akhirnya diperintahkan ke garis depan pertempuran. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok pekerja beranggotakan sepuluh orang, dengan beban tanggung jawab kolektif: jika seorang anggota kelompok kabur, yang sembilan akan dibunuh.
Para tahanan itu harus menggali parit, membangun barak untuk tentara, dan membangun jalan. Seringkali mereka dipaksa untuk menjadi sasaran tembak tentara Inggris, demi menyelamatkan senapan mesin yang ditinggalkan Tentara Merah saat pertempuran. Sebenarnya, merujuk pada keputusan Soviet, para tahanan itu hanya bekerja selama tiga bulan di garis depan, tetapi kenyataannya mereka dipaksa tinggal sampai perang berakhir. Dalam situasi bahaya, kedinginan, dan kelaparan, juga tanpa pakaian hangat di tengah kejamnya musim dingin utara, jumlah para tahanan itu berkurang setiap hari, dan diganti oleh kelompok-kelompok pekerja paksa baru yang ditangkap dengan cara serupa yang dialami G dan kawan-kawannya.
Setelah beberapa bulan G jatuh sakit. Dengan pertolongan seorang dokter bedah militer, mahasiswa kedokteran yang terkena wajib militer dan dia kenal sebelumnya, dia berhasil dikirim pulang. Tetapi ketika dia sampai di Petrograd, dia tidak dapat menemukan keluarganya. Semua penghuni borjuis telah diusir dari rumah mereka, untuk digantikan oleh kaum buruh, dan dia tidak dapat menemukan jejak istri dan anak-anaknya. Karena tubuhnya lemah akibat demam yang dia bawa dari garis depan, G dibawa ke rumah sakit. Para dokter tidak memberikan harapan besar untuk kesembuhannya, tetapi keinginan untuk menemukan keluarganya membuatnya tetap hidup. Setelah empat minggu, G keluar dari rumah sakit.
Dia baru akan memulai lagi pencariannya ketika dia menerima perintah dari pemerintah yang menugaskannya sebagai insinyur ke sebuah pabrik mesin di Ural. Upayanya untuk menunda kepergian ke Ural tidak berhasil. Teman-temannya berjanji untuk melanjutkan pencarian keluarganya, dan dia pun diberangkatkan ke timur. Di sana dia mengabdikan dirinya pada pekerjaan, membuat perbaikan-perbaikan penting, agar pabrik itu dapat beroperasi lagi. Setelah beberapa lama dia meminta izin untuk pulang, tetapi dia malah diberitahu akan dipulangkan sebagai tahanan, karena seorang komisar politik telah menuduhnya “bersikap tak bersahabat” terhadap kaum Bolshevik. G pun ditahan dan dikirim ke Moskow. Tiba di ibukota, dia mengetahui tuduhan kepadanya adalah melakukan sabotase. Tetapi dia berhasil membuktikan tuduhan itu salah, dan setelah ditahan selama empat bulan di penjara dia dibebaskan. Pengalaman itu begitu mempengaruhinya sampai dia dua kali menderita serangan tifus, yang membuatnya sama sekali tidak dapat bekerja. Dia pun meminta izin untuk mengunjungi kerabatnya di Kharkov agar dapat pulih kembali. Di sana, ada kejutan yang sangat menyenangkan, karena dia menemukan keluarganya. Mereka telah lama berpikir dia mati, karena berbagai pertanyaan dan sejumlah surat yang dikirim ke perintah tak pernah dijawab. Kembali berkumpul dan istri dan anak-anaknya, G tetap tinggal di kota itu, dan mendapatkan posisi di sebuah lembaga lokal. Dia menemukan hidupnya di Kharkov jauh lebih ringan untuk dipikul, walau kampanye kaum komunis terhadap kaum intelektual kerap membuat orang-orang menentangnya.
“Kaum Bolshevik telah mengubah kaum intelektual menjadi kelas binatang buruan,” ucap G. “Kami bahkan dipandang lebih buruk dari kaum borjuis. Kenyataannya, situasi kami memang lebih buruk dari borjuis, karena mereka biasanya memiliki ‘koneksi’ di tempat-tempat berpengaruh, dan sebagian besar masih memiliki kekayaan yang mereka sembunyikan. Mereka dapat berdagang, ya, bahkan bertambah kaya, sementara kami kaum profesional tidak memiliki apa pun. Kami dikutuk dengan kelaparan pelan-pelan.”
Sayup-sayup terdengar lagu dan musik dari seberang jalan, tampaknya dari rumah di seberang rumah ini, jendelanya mengeluarkan cahaya. “Salah seorang komisar Tcheka,” jelas G, menjawab tatapanku yang penuh tanya. “Omong-omong, ada insiden aneh terjadi kepadaku,” lanjutnya, tersenyum sedih. “Pada suatu hari aku bertemu dengan aparat Tcheka. Ada sesuatu di dirinya yang menarik perhatianku—sebuah perasaan akrab tetapi tak dapat aku jelaskan. Tiba-tiba aku tersadar—jas cokelat gelap yang dia kenakan, tadinya itu milikku! Mereka merampasnya dariku saat terakhir merazia rumahku, dua pekan lalu. ‘Untuk proletariat,’ kata mereka.”