Bab XX

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XX

Orang-Orang Lainnya

Juni.—Musim dingin telah melepaskan cengkeramannya dan matahari bersinar terang. Di taman-taman orang-orang duduk memenuhi bangku-bangku.

Maskot kelompok Buford, “Baby” lewat di depanku dan aku memanggilnya. Wajahnya begitu pucat, di tampak menguning dan kelelahan.

“Tidak, sebagian besar kawan kita belum mendapatkan pekerjaan,” ucapnya, “dan kami muak dengan birokrasi. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka membutuhkan pekerja, tetapi tidak seorang pun yang benar-benar menginginkan kita. Tentu saja, orang-orang komunis di kelompok kita semuanya telah mendapatkan posisi yang bagus. Kau sudah mendengar tentang Bianki? Kau ingat bagaimana dia menyerang mereka saat pertemuan di Belo-Ostrov? Bagaimana dia bergabung dengan Partai Komunis dan mendapatkan pekerjaan sebagai atasan? Pelaut dari Boston, kau ingat dia? Aku bertemu dengannya sedang berjalan-jalan suatu hari, mengenakan pakaian kulit, dengan pistol sebesar lenganmu. Dia bergabung dengan Tcheka. Itu pekerjaan lamanya. Kau tahu dia adalah seorang detektif di Boston?”

“Aku pikir dia seorang pelaut.”

“Tahun-tahun sebelumnya. Kemudian dia bergabung dengan agen detektif swasta.”

“Beberapa kawan kita bekerja untuk sementara waktu di Petrotop— Departemen Perminyatkan Petrograd,” lanjut “Baby”. “Kemudian Tcheka berpikir terlalu banyak anarkis yang bekerja di sana dan mereka mengusir kami. Dzerzhinsky—Presiden Tcheka Seluruh Rusia—mengatakan Petrotop adalah sarang anarkis, tetapi semua orang tahu kota ini sudah membeku kalau tidak ada orang seperti Kolobushkin. Dia seorang anarkis dan otak departemen itu, tetapi mereka malah mengusulkan untuk menangkapnya. Orang tua dari Schlpsselburg, menghabiskan sepuluh tahun di penjara bawah tanah di sana.”

Dengan ketidakpedulian primitif terhadap orang-orang di sekelilingnya, seorang petani perempuan tua menggendong seorang perempuan muda di sampingnya dan dengan lekat menatap kain itu. Dengan gerakan lamban jempol dan telunjuknya menyatu, dia menarik tangannya, menegakkan tubuh, dan melepaskan gendongannya di tanah. Orang di sebelahnya menyingkir dengan gugup. “Hati-hati, bu,” lelaki itu mengibaskan tangan, “Aku cukup dengan milikku sendiri.”

“Katakan padaku, sayang,” pinta perempuan tua itu, “apakah benar yang dikatakan orang-orang tentang perang yang baru?”

“Ya.”

“Dengan siapa lagi?”

“Dengan Polandia.”

“Oh, Tuhan Maha Pengasih! Dan kenapa harus selalu ada perang, anak muda?”

Lelaki itu terdiam. Perempuan muda itu mengangkat wajah dari pangkuan perempuan tua. “Di sini dingin, bibi. Apakah kau sudah selesai?”

“Sudah, nak.”

Di pojokan, dua orang milisi sedang mengarahkan sekelompok petugas pembersih jalan, para lelaki tua dan pemuda dari kamp konsentrasi, dan para perempuan yang ditangkap karena tidak membawa dokumen perjalan di kereta. Beberapa diantara mereka mengenakan sepatu bot tinggi, solnya yang lepas mengepak-ngepak berisik pada kotoran cair. Yang lainnya bertelanjang kaki. Mereka bekerja dengan enggan, membawa kotoran dari taman ke jalan dan mengangkutnya ke atas gerobak. Baunya membuat mual.

Seorang milisi bertubuh besar dengan santai menghampiri seorang di antara perempuan pekerja paksa itu. Dia perempuan muda dan menarik, walau tampak sangat pucat dan begitu kurus.

“Sedang mimpi apa kau! Kerja, kau perempuan kampung!” bentaknya, sambil mencolek pinggang perempuan itu.

“Kasihanilah,” perempuan muda itu memohon. “Aku sangat lemah, baru saja keluar dari rumah sakit saat mereka menangkapku.”

“Mereka cukup baik dengan membawamu tanpa surat jalan.”

“Aku tidak bisa apa-apa, merpatiku,” jawab perempuan muda itu dengan bergurau. “Mereka mengatakan suamiku ada di Petrograd, baru kembali dari garis depan, dan dia tidak bersamaku selama lima tahun. Jadi aku pergi ke kantor, mengantri selama tiga hari dan mereka menolak memberiku surat jalan. Aku pikir aku akan tetap pergi bagaimanapun caranya, tetapi mereka menangkapku di kereta, dan aku sangat lemah dan sakit dan mereka tidak memberiku jatah makan. Sekarang bagaimana aku bica mencari suamiku?”

“Kuatkan dirimu,” milisi itu tertawa. “Kau tidak akan bertemu dia lagi.”

“Kenapa?” perempuan muda itu marah.

“Karena tampaknya suamimu telah dikirim berperang melawan Polandia.”

“, betapa buruk nasibku!” teriak perempuan itu. “Apakah tidak akan ada akhir untuk perang?”

“Kau seorang perempuan dan secara alamiah bodoh. Aku tidak dapat

berharap kau mengerti urusan seperti ini!”

**

Di Dom Outchonikh (Rumah Kaum Terpelajar) aku bertemu para sastrawan, ilmuwan, dan intelektual dari berbagai mazhab politik, semuanya tampak seperti bayangan manusia. Mereka duduk tanpa perhatian ke sekelilingnya, beberapa menggigiti roti hitam.

Di sebuah pojok sekelompok orang sedang membicarakan rumor tentang perang.

“Ini pukulan telak pada harapan bangkitnya industri,” ucap B, seorang pakar ekonomi politik terkenal. “Dan kita baru saja bermimpi untuk mendapatkan kebebasan.”

“Hal paling buruk dari semuanya,” timpal Z, seorang etnolog, “kita tidak akan mendapatkan sumbangan buku-buku dari luar negeri seperti yang pernah dijanjikan.”

“Aku begitu dijauhkan dari kemajuan ilmiah, aku merasa sangat bodoh,” ucap Prof. L, seorang bakteriolog.

“Polandia sedang berada di tepian revolusi,” sela F, seorang komunis. “Tentara Merah akan langsung menuju Warsawa dan kita akan membantu proletariat Polandia untuk mengusir para tuan dan mendirikan Republik Soviet.”

“Seperti terjadi pada kita,” B menimpali dengan sinis. “Mereka akan mendapat ucapan selamat.”

Pada malam hari aku mengunjungi temanku Pyotr, seorang buruh nonpartisan di tempat pengolahan Trubotchny. “Kami telah menerima pesanan untuk perang,” ucap Pyotr pada istrinya. “Bagaimana kita akan menaklukan kesulitan ekonomi ini, jika semua bekerja untuk perang lagi?”

Seorang lelaki paruh baya, bertubuh besar dan tampak kasar, masuk.

“Pyotr Vassilitch,” dia berkata pada tuan rumah dengan riang, “ini perang dengan polandia dan kita akan memberi pelajaran pada mereka.”

“Mudah saja kau bicara, Ivan Nikolaievitch,” jawab Pyotr, “kau tidak perlu bergantung pada jatah makananmu. Dia menyuplai kayu untuk pemerintah,” jelas Pyotr sambil menengok kepadaku, “dan dia tidak kelaparan. Sama sekali tidak.”

“Kita harus membela negara kita untuk melawan Polandia,” sang kontraktor menjawab dengan bersemangat.

“Apakah mereka akan membawa Vanya?” istri Pyotr bertanya dengan berurai air mata. “Dia belum lagi berusia tujuh belas tahun.”

“Aku tidak keberatan pergi ke garis depan,” terdengar suara anak laki-laki yang sedang berbaring dekat kompor. “Tentara mendapat jatah makanan yang bagus, dan aku bisa naik pangkat menjadi Kommandir seperti sepupuku, Vaska.”

Dia bangkit, mengambil ikan dan segepok roti, dan mulai makan. Ayahnya menatapnya dengan rasa lapar. “Beri ibumu sedikit,” desak Pyotr sesaat kemudian, “dia belum makan apapun sejak kemarin.”

“Aku tidak lapar,” sang ibu membantah.

Ya, teman-temanku,” sang kontraktor berbicara lagi, seakan-akan baru ingat pada pikiran yang tertunda. “Orang-orang Polandia harus diberi pelajaran, dan kita semua harus membela revolusi.”

“Apa yang harus kita bela?” tanya Pyotr dengan pedas. “Para komisar gendut dan Tcheka dan pistol mereka, itu yang harus kita bela. Kita tidak punya apa-apa lagi untuk dibela.”

“Kau bicara seperti seorang kontrarevolusi,” bentak Vanya, bangkit dari duduknya.

“Bahkan kita tidak dapat mempertahankan anak-anak kita,” sang ayah melanjutkan. “Anak itu berubah menjadi preman sejak dia bergabung dengan Komsomol (Serikat Pemuda Komunis). Di sana dia belajar untuk membenci orangtuanya.”

Vanya melesakkan topi bulunya sampai menutupi telinga dan melangkah ke pintu. “Hati-hati, aku tidak melaporkanmu,” ucapnya, sambil membanting pintu.

**

Misi Sosialis Italia, dipimpin oleh Seratti, sedang ada di kota ini, dan seperti biasanya, kedatangan mereka dirayakan dengan parade militer beragam demonstrasi, dan pertemuan-pertemuan. Tetapi pertunjukkan itu sudah tidak menarik minatku lagi. Aku telah melihat ada apa di balik tirai. Pertunjukan-pertunjukan itu tidak tulus, intrik politik adalah alasan utama di balik semua tontonan. Kaum buruh tidak mendapat tempat di sana kecuali sebuah kepatuhan mekanis terhadap perintah, kemunafikan membawa para delegasi ke pabrik-pabrik, berbagai informasi menyesatkan telah mengelabui mereka dari kenyataan sebenarnya, pengawasan mencegah mereka untuk berhubungan langsung dengan rakyat dan mencegah mereka dari pelajaran akan kebenaran situasi ini. Para delegasi itu makan malam, dibujuk dan dipengaruhi untuk membawa organisasi-organisasi mereka ke dalam pelukan Internasional Ketiga, di bawah kepemimpinan Moskow.

Betapa jauhnya itu semua dari konsepsiku tentang kejujuran dan tujuan revolusi!

Para pemimpin komunis telah begitu terlibat dalam upaya mendapatkan pengakuan politis dan menyianyiakan tenaga revolusi untuk menciptakan tampilan militer yang kuat dan industri yang sehat. Mereka telah kehilangan pandangan akan nilai-nilai sejati yang mendasari sebuah perubahan besar. Rakyat merasakan kecenderungan sesat dari rezim baru ini dan tanpa bisa berbuat apa-apa menyaksikan revolusi berubah menjadi praktik zaman Tsar. Proletariat semakin dikuasai ilusi, menyaksikan perjalanan revolusionernya dikorbankan satu demi satu: mantan pemenang kemerdekaan berubah menjadi penguasa yang kejam, pembela rezim saat ini, dan slogan-slogan serta harapan-harapan revolusioner berubah menjadi bara yang sekarat.

Atmosfer yang dinodai oleh ketidakberdayaan menyebar di lingkaran-lingkaran kaum intelektual, rasa yang melumpuhkan dari hilangnya kesatuan dan tujuan penuh semangat. Mereka kelelahan dengan kelaparan bertahun-tahun, dasar mental mereka dilemahkan, ikatan spiritual mereka dengan rakyat telah rusak berat.

Kaum revolusioner kiri tidak terorganisir, terpecah-belah oleh penghukuman dan perseteruan internal. Periode penuh tekanan dan badai telah menghancurkan pertahanan lama dan dipersiapkan untuk menerima pergeseran nilai-nilai. Hanya sedikit karakter yang membangun termanifestasikan dalam kebingungan massal ini. Tangan-tangan kehidupan yang kejam sedang dibuat, lebih dari sekadar aturan-aturan Bolshevik, telah menghancurkan bentukan-bentukan lama, menciptakan kekacauan secara fisik dan spiritual. Lembaga-lembaga dan ide-ide, yang terlempar menjadi sampah, berontak dalam gairah primitif dan dengan liar mencari cara membebaskan diri, dengan sia-sia saling cakar satu dengan lainnya dalam upaya mencapai permukaan. Dan di atas semua teriakan dan berisiknya massa yang sedang berjuang, menenggelamkan semua jeritan lain, terdengar suara memohon yang tak dapat dihentikan: Roti! Roti!

Moskow dimakan oleh birokrasi, Petrograd adalah kota yang sekarat. Revolusi tidak ada di sini. Jauh di pedesaan, di antara orang-orang biasa, kita harus melihat Rusia yang baru dan menghidupi hidup baru yang sedang dibangun.

Aku telah diminta untuk bergabung dengan ekspedisi yang direncanakan oleh Museum Revolusi. Tujuannya untuk mengumpulkan materi-materi sejarah gerakan revolusioner sejak masa pembentukannya, hampir seratus tahun lalu. Aku berharap untuk berpartisipasi dan kerja yang lebih konstruktif, tetapi situasi dan sikap dingin kaum komunis telah menyingkirkan aku dari kerja-kerja penting. Misi ekspedisi ini tidak politis, dan aku telah memutuskan untuk menerima tawaran itu.