Bab XV

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XV

Kembali di Petrograd

2 April, 1920.—Aku melihat Zinoviev sangat sakit. Kondisinya itu— menjadi rumor—akibat tindakan buruk kaum buruh. Cerita itu berlanjut, bahwa beberapa pabrik telah mengedarkan resolusi yang mengkritik pemerintahan atas korupsi dan inefisiensi, dan segera saja beberapa orang ditangkap. Saat Zinoviev mendatangi pabrik, dia diserang.

Persoalan itu tidak muncul di dua koran resmi pemerintah, Pravda dan Krasnaya Gazetta. Dua Koran itu memuat berita-berita kecil tentang apa pun, dan hampir secara eksklusif mengabdikan diri pada agitasi dan meminta rakyat untuk mendukung pemerintah dan Partai Komunis demi menyelamatkan negeri ini dari kontrarevolusi dan kehancuran ekonomi.

Bill Shatov sedang ditunggu pulang dari Siberia. Istrinya, Nunya, dirawat di rumah sakit, sedang menunggu ajal, dan Bill sudah dikabari. Aku terkejut ketika tahu Shatov tidak bisa membalas panggilan radio kami atau untuk bertemu dengan kelompok Buford di perbatasan karena dia dilarang oleh “pihak berwenang yang lebih tinggi”. Itu menjelaskan kenapa Zorin berbohong bahwa Shatov pergi ke Timur, padahal sebenarnya dia ada di Petrograd.

Tampaknya, terlepas dari kontribusi besarnya kepada revolusi, Bill dianggap sebagai halangan. Tuduhan mematikan dilontarkan kepadanya, dan bahkan dia beresiko kehilangan nyawa. Lenin menyelamatkan Shatov karena dia dianggap sebagai organisator yang baik dan “masih bisa berguna”. Bill jelas dibuang ke Siberia, dan diyakini dia tidak akan diizinkan kembali ke Petrograd untuk bertemu dengan istrinya yang sekarat.

Sebagian besar orang buangan yang tergabung dalam kelompok Buford masih belum memiliki pekerjaan. Data yang aku siapkan untuk Zorin, dan rencana-rencana yang aku buat untuk mempekerjakan orang-orang itu, belum ditanggapi. Antusiasme kelompok kami telah berubah menjadi kekecewaan.

“Birokrasi Bolshevik,” ucap S kepadaku, “telah menghabiskan waktu dan tenagaku. Sepatu keduaku sampai rusak dipakai hanya untuk mencari pekerjaan. Mereka melakukan diskriminasi terhadap orang-orang nonkomunis. Orang-orang Bolshevik mengatakan mereka membutuhkan pekerja yang baik, tapi jika kau bukan seorang komunis mereka tidak menginginkanmu. Kita disebut sebagai kontrarevolusi, bahkan Kepala Tcheka mengancam untuk memenjarakan kita.”

**

Di rumah temanku, M, di Vassilevsky Ostrov, aku bertemu beberapa laki-laki dan perempuan, duduk sambil membalut diri dengan jubah mengelilingi “bourzhuika”—kompor besi kecil—yang terus diberi santapan lembaran-lembaran koran lama agar apinya tetap menyala.

“Bukankah ini luar biasa,” ucap tuan rumah, “Petrograd, dengan hutan lebat di dalam wilayahnya, harus membeku karena kekurangan bahan bakar? Kita akan mengambil kayu jika mereka mengizinkan kita. Kau ingat perahu-perahu di Neva? Mereka diabaikan, dan akhirnya hancur berkeping-keping. Para pekerja di pabrik N berniat membawa perahu-perahu itu dan menggunakan kayunya sebagai bahan bakar. Tetapi pemerintah melarangnya. ‘Kami akan mengurusnya,’ kata mereka. Lalu, apa yang terjadi? Tidak ada yang melakukan apa pun, tentu saja, dan gelombang laut tidak menunggu rutinitas pejabat. Perahu-perahu itu akhirnya terseret ke laut dan hilang.”

“Kaum komunis tidak mau membela inisiatif mandiri,” timpal seorang perempuan, “ini saat yang berbahaya untuk rezim mereka.”

“Tidak, kawan, tidak ada gunanya menyesatkan diri sendiri,” seorang lelaki jangkung dan berjanggut menyela. “Rusia tidak disiapkan untuk komunisme. Revolusi sosial hanya mungkin terjadi di sebuah negeri dengan perkembangan industrial yang tinggi. Ini adalah kejahatan terbesar kaum Bolshevik karena mereka dengan paksa menunda Majelis Konstituen. Mereka merebut kekuasaan pemerintahan, tetapi seluruh negeri melawan mereka. Apa yang kau harapkan di dalam situasi seperti itu? Mereka harus melakukan teror untuk memaksa rakyat melakukan apa yang mereka inginkan, dan tentu saja semuanya menjadi hancur.”

“Itu ucapan Marxist yang baik,” seorang revolusioner sosialis kiri ikut bicara, dengan bergurau, “tapi kau jangan lupa, Rusia itu negeri agraris, bukan negeri industri, dan akan tetap begitu. Kalian kaum sosial demokrat tidak mengerti kaum tani, kaum Bolshevik tidak mempercayai mereka dan mendiskriminasi mereka. Kediktatoran proletariat mereka adalah penghinaan dan melukai kaum tani. Kediktatoran harus dilakukan dengan kerja keras, dijalankan bersama oleh kaum tani dan kaum buruh. Tanpa kerjasama kaum tani negeri ini akan kiamat.”

“Selama kau memiliki kediktatoran, kau akan tetap seperti ini,” tuan rumah yang anarkis menimpali. “Negara yang terpusat adalah kejahatan besar. Dia tidak memberi ruang untuk ide-ide kreatif rakyat untuk mengekspresikan diri mereka. Beri kesempatan kepada rakyat, biarkan mereka menjalankan inisiatif-inisiatif dan energi yang membangun. Hanya itu yang akan menyelamatkan revolusi.”

“Kalian tidak menyadari peran besar yang telah dimainkan kaum Bolshevik,” seorang lelaki kurus dan gugup ikut bicara. “Tentu saja mereka telah melakukan kesalahan-kesalahan, tetapi mereka bukan penakut atau pengecut. Mereka membubarkan Majelis Konstituen? Kekuasaan yang lebih bagi mereka! Mereka melakukan tidak lebih dari yang Cromwell lakukan pada parlemen yang lama. Mereka mengusir orang-orang malas yang lebih suka bicara. Dan, secara kebetulan, adalah seorang anarkis, Anton Zhelezniakov, yang sedang bertugas malam itu bersama para pelautnya di istana, yang memerintahkan anggota majelis untuk pulang. Kalian bicara tentang kekerasan dan teror—apakah kalian membayangkan revolusi sebagai urusan ruang menggambar? Revolusi harus dipertahankan dengan cara apa pun, semakin drastis ukurannya, semakin baik untuk kemanusiaan dalam jangka panjang. Kaum Bolshevik percaya negara, pemerintah yang ekstrem, dan pemerintahan terpusat mereka yang kejam mengandung bahaya. Tetapi periode revolusioner, seperti yang sedang kita jalani, tidak mungkin tanpa kediktatoran. Ini adalah kejahatan yang diperlukan, yang akan diakhiri dengan kemenangan penuh oleh revolusi. Andai oponen-oponen politis kiri mau berjabat tangan dengan kaum Bolshevik dan membantu tugas berat ini, rezim jahat saat ini akan berakhir dan upaya-upaya yang membangun akan dipercepat.”

“Kau anarkis Soviet,” yang lain mengejeknya.

**

Hampir semua pejabat komunis pergi ke Moskow untuk menghadiri Kongres Kesembilan Partai Komunis. Pertanyaan-pertanyaan berbahaya beredar, dan Lenin serta Trotsky telah menggaungkan pidato mereka— militerisasi buruh. Koran-koran dipenuhi dengan diskusi tentang usulan pembentukan manajemen industrial yang dikendalikan oleh satu orang, untuk mengganti bentuk saat ini yang berupa manajemen kolega. “Kita harus belajar dari kaum borjuis,” ucap Lenin, “dan menggunakan mereka untuk mencapai tujuan-tujuan kita.”

Di antara unsur buruh ada penolakan kuat atas usulan itu, tetapi Trotsky mengatakan, serikat buruh telah gagal dalam manajemen industri, dan sistem yang diusulkan itu untuk mengorganisasikan produksi agar lebih efisien. Kaum buruh, di seberangnya, mengatakan, kaum buruh belum diberikan kesempatan karena pemerintahan terpusat yang ekstrem telah mengambil alih semua fungsi serikat buruh. Manajemen oleh satu orang, tuding mereka, berarti pengambilalihan pabrik dan toko oleh satu orang, kelompok spesialis, yang akan menyingkirkan kaum buruh dari manajemen.

“Sedikit demi sedikit kita kehilangan semua yang telah kita dapatkan melalui revolusi,” seorang lelaki dari komite toko berkata kepadaku. “Rencana baru itu berarti kembalinya tuan lama. Kaum spesialis adalah para intelek lama, dan sekarang mereka akan kembali untuk mencambuk kami lagi agar bekerja. Tahun lalu Lenin sendiri yang menolak rencana itu dan menyebutnya sebagai kontrarevolusi, saat kaum Menshevik mengajukannya. Sampai sekarang orang-orang Menshevik masih dipenjara karena mengajukan ide itu.”

Peserta kongres yang lain tidak lantang bicara. Pagi ini aku bertemu N, salah satu dari kelompok Buford, lelaki yang dikenal cerdas dan memiliki sikap politis yang jernih. “Bagaimana menurutmu?” tanyaku, tak sabar untuk mengetahui pandangannya atas usulan Lenin itu.

“Aku tidak memiliki kemewahan untuk mengungkapkan opiniku,” jawabnya, dengan senyum sedih. “Aku telah dijanjikan sebuah posisi di dalam komisi yang akan dikirim ke Eropa. Itu satu-satunya kesempatan yang aku miliki untuk bergabung dengan istri dan anak-anakku.”

**

4 April.—Minggu yang cantik dan cerah. Pagi hari aku menghadiri pemakaman Semyom Voskov, agitator komunis berpengaruh yang terbunuh di garis depan pertempuran oleh tipus. Aku pernah bertemu dia di Amerika, dan dia memberiku kesan sebagai tipe revolusionis yang baik, dan pengabdi yang antusias bagi kaum Bolshevik. Sekarang jasadnya terbaring di Istana Uritsky, penghormatan yang tinggi diberikan kepadanya sebagai korban revolusi yang heroik.

Di sepanjang Jalan Nevsky prosesi pemakaman menuju taman makam Field of Mars, berbaris diiringi musik dan koor Archangel. Ribuan buruh mengikuti kereta mayat, baris demi baris lelaki dan perempuan dari toko dan pabrik, pekerja yang kelelahan, tanpa jiwa, dengan gerak yang mekanis. Tembakan penghormatan militer di makam, dan ucapan-ucapan pujian disampaikan oleh beberapa orang—terasa resmi, aku pikir, dan terlalu partisan, kehilangan hangatnya ungkapan personal.

Demonstrasi besar-besaran itu—disiapkan dalam 24 jam oleh Soviet Petrograd untuk serikat buruh, begitu informasi yang aku terima—tampaknya sebagai pembuktian organisasi itu. Aku memberi selamat kepada ketua komite atas kerja yang cepat dan efisien.

“Dibereskan tanpa aku meninggalkan kantor,” ucapnya bangga. “Keputusan Soviet disebarkan ke setiap pabrik, memerintahkan setiap pabrik untuk mengirim kontingen buruhnya ke demonstrasi. Dan semuanya siap.”

“Orang-orang itu tidak melakukannya dengan sukarela?” tanyaku terkejut.

“Begitulah,” dia tersenyum, “kami tidak memberi pilihan.”

Pulang dari pemakaman Voskov aku berpapasan dengan prosesi yang lain. Dua lelaki dan seorang perempuan berjalan di belakang kereta dorong, yang di atasnya tersimpan peti mati yang dibuat dari kayu pinus kasar tanpa cat, tempat menyimpan jasad saudara mereka. Seorang gadis muda menuntun seorang anak kecil di tangannya, kelelahan mengikuti prosesi ke pemakaman.

Tiga lelaki di trotoar terpaku menatap pemandangan yang tragis itu. Rombongan orang-orang yang berduka itu berlalu dalam keheningan, meninggalkan bayangan penderitaan dan kesendirian—menjadi torehan hitam di hari yang cerah ini. Di kejauhan terdengar musik militer dari pemakaman orang Bolshevik, dan barisan panjang tentara dalam seragam parade, senapan-senapan bayonet mereka mengkilap oleh matahari, berbaris menuju Field of Mars untuk menghormati Voskov, sang martir komunis.

**

Minggu Paskah.—Tidak ada koran yang muncul dalam beberapa hari ini. Muncul rumor akan adanya upacara-upacara oleh elemen keagamaan, tetapi kota ini sepi.

Pada tengah malam, 10 April, aku menghadiri misa di Katedral St. Isaac. Bangunan besar itu dingin dan melengkung. Suara pendeta yang tebal dan dalam terdengar seperti requiem dari keyakinannya. Hadirin, sebagian besar lelaki dan perempuan mantan kelas menengah, tampak tertekan, mungkin oleh pikiran tentang kejayaan yang berlalu untuk selamanya.

Setelah misa, orang-orang beriman itu bergabung dalam prosesi di jalan, tiga kali mengelilingi katedral. Mereka melangkah lambat, dalam keheningan, tidak ada keceriaan dalam ucapan salam traditional, “Kristus telah bangkit!”, “Benar dia telah bangkit”. Ucapan-ucapan itu terlontar tanpa semangat. Di kejauhan terdengar suara-suara tembakan. Dua perempuan terpuruk di tangga gereja dan mengisak keras.

Di Katedral Kazan hadirin kebanyakan kaum proletar. Aku merasakan ketegangan yang sama di atmosfer, seakan-akan ketakutan yang membingungkan merasuki orang-orang. Prosesi di jalanan yang gelap begitu sedih, bagai upacara pemakaman. Api dari lilin-lilin kecil tampak seperti hantu rawa saat tertiup angin. Gerakannya yang tak beraturan menyapa ikon-ikon dan bendera-bendera yang melambai-lambai di atas kepala orang-orang yang berdoa. Agama masih hidup, tetapi kekuasaan gereja telah kalah.

**

Bieland tiba dari Amerika, membawa kabar langsung pertama dari negara itu. Reaksinya begitu buas, ujarnya, Amerikanisme benar-benar merayakan kejayaannya yang berdarah. Undang-undang darurat perang yang dulu diterapkan sebagai kebutuhan terbatas selama masa perang ternyata masih berlaku dan diterapkan dengan lebih keras dibanding sebelumnya. Penjara-penjara dipenuhi oleh tahanan-tahanan politik. Orang-orang yang paling aktif di I.W.W (Industrial Workers of the World/Buruh Industrial Sedunia) dipenjarakan, dan para penentang wajib militer, serta orang-orang yang keberatan terhadap perang, juga masih ditahan. Radikalisme dikriminalkan, opini-opini independen disebut kejahatan. Humanisme militeristik Presiden Wilson telah menjadi perang melawan kemajuan.

Warisan dari semboyan “perang untuk melawan perang” menjadi lebih mematikan dari pembantaian itu sendiri.

Bill Haywood, yang sebelumnya dibebaskan dengan jaminan uang, ditangkap lagi. Rose Pastor Strokes diekstradisi ke Illinois karena pidatonya tidak disukai beberapa pejabat. Larkin sedang menunggu sidang, dan Gitlow divonis 15 tahun.

Semangat yang sama juga mewujud di seluruh Eropa. Teror Putih sedang menyebar. Jack Reed ditahan di Finlandia dan dikembalikan ke Amerika.

“Hanya di sini kita bisa bernapas bebas,” ucap Bieland bersemangat. Aku tidak menimpalinya. Walau aku tidak mendukung kesalahan-kesalahan dan apa yang akan dilakukan oleh kaum Bolshevik, aku masih merasa Rusia sebagai jantungnya revolusi. Negeri ini adalah obor yang menyinari dunia, dan hati kaum proletar di mana pun merasa hangat dengan cahayanya.

**

12 April.—Hari yang murung; mendung dan gerimis—sangat menekan setelah cuaca yang bagai musim panas belakangan ini. Hari masih terang sampai jam 10 malam, jarum jam telah berputar dua jam dan kemudian satu jam lagi.

Liza Zorin dibawa ke rumah sakit hari ini, menanggung sakit yang luar biasa: anaknya akan lahir dalam beberapa hari. Liza menolak kamar privat, bahkan menolak dirawat oleh dokter, dan dia memilih bidan, seperti para ibu proletar lainnya. Fisiknya lemah dan menderita lemah jantung pula, tetapi semangatnya kuat: seorang komunis sejati yang menolak pelayanan istimewa. Dia tidak punya apa pun untuk bayinya. “Para ibu yang lain juga tidak punya, jadi kenapa aku harus punya?” ucapnya.

Moskow telah menolak permintaan Bill Shatov untuk meninggalkan Siberia demi menjenguk istrinya yang sekarat. Walau jabatannya Komisar

Jalur Kereta di Republik Timur Jauh, jelas Bill sedang diasingkan.

**

Berita di koran Pravda tentang badan rehabilitasi anak-anak Petrograd menjadi perbincangan. Komite Pemuda Komunis telah menginvestigasi lembaga itu, dan sekarang laporannya menunjukkan persoalan yang sangat mengecewakan. Lembaga rehabilitasi itu dituduh menjadi penjara yang sesungguhnya bagi anak-anak yang dituduh sebagai penjahat. Anak-anak bermasalah itu menjadi korban hukuman yang sangat keras, dan kejailan anak-anak disikapi sebagai pelanggaran berat.

Pengelola lembaga itu terbukti terlibat dalam birokrasi dan korupsi. Jenis hukuman yang menjadi favorit di lembaga itu adalah tidak memberi makan anak-anak, dan makanan jatah anak-anak itu kemudian diambil oleh para pengelola lembaga. Dengan metode yang korup, para komisar tersebut menulis daftar kebutuhan makanan kepada negara, dan ketika mendapatkan pasokan mereka menjualnya. Nepotisme juga terungkap, jumlah pekerja di lembaga itu seringkali sama dengan jumlah anak-anak itu.

Sudah lama aku mempertimbangkan untuk bekerja sebagai pendidik, dan aku menggunakan kesempatan untuk membicarakannya dengan Zorin. Dia sangat kecewa dengan pengungkapan pelanggaran di lembaga rehabilitasi itu dan menganggap situasinya dibesar-besarkan oleh para investigator yang masih muda. Dia bersikukuh kejahatan itu terjadi karena kurangnya guru dari kaum Bolshevik. “Hanya kaum komunis yang bisa dipercaya untuk bertanggung jawab di posisi itu,” tambahnya.

Dia mengatakan, di tempat mana orang nonpartisan menjadi pejabat, maka harus ada komisar politik sebagai kepala institusi untuk menjaga agar tidak terjadi sabotase. Sistem ini, walau tidak bersifat ekonomi, sangat penting mengingat kurangnya pekerja dan pengelola organisasi yang komunis. Kejahatan dan pelanggaran di lembaga-lembaga Soviet hampir semuanya akibat situasi ini, ujar Zorin.

“Kebanyakan adalah lelaki yang tidak memiliki pengetahuan, yang hanya memiliki satu pikiran, yaitu untuk mengeksploitasi setiap kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar untuk dirinya, keluarganya, dan teman-temannya. Itu sifat alami kaum borjuis. Memang benar, tentu saja, sebagian besar buruh Soviet mencuri dan berdagang. Tetapi pemerintah memerangi para penjahat itu tanpa ampun. Orang-orang seperti itu seringkali ditembak sebagai hukuman untuk kejahatannya terhadap revolusi. Tetapi kelaparan ini begitu hebat, bahkan kaum komunis, mereka yang tidak cukup memahami ide dan disiplin partai, sering menjadi korban dari godaan. Beberapa dari mereka seringkali menerima hukuman yang lebih berat dari yang lain. Kepada mereka pemerintah lebih kejam dan mengatakan: komunis adalah pengawal revolusi—mereka harus menjadi contoh pengabdian, kejujuran, dan pengorbanan diri,” ucap Zorin.

Kami mendiskusikan upaya-upaya untuk memusnahkan kejahatan di lembaga-lembaga untuk anak-anak, dan Zorin menyambut saran-saran praktis dariku, yang berdasar pada pengalaman mengajar di Amerika. Aku menawarkan diri untuk mengabdi di bidang pendidikan, tapi aku merasa harus mengajukan syarat bahwa aku dibebaskan dari pengawasan komisar politik dan diberi kesempatan untuk menjalankan ideku sendiri dalam merawat anak-anak terbelakang dan yang disebut rusak moral. Zorin menyuruhku ke Lilina, istri Zinoviev, yang menjadi kepala lembaga pendidikan Petrograd. Dia juga memintaku untuk tidak mengulang kesalahan saat aku pertama kali bertemu perempuan itu.

Kesalahpahaman itu terjadi saat aku mendatangi kamar Zorin di Astoria. Seorang perempuan muda membuka pintu. “Apakah Anda Nyonya Zinoviev?” tanyaku, tidak sadar aku baru saja mengucapkan istilah tak termaafkan dalam etika Bolshevik. Sejujurnya, aku melakukan kesalahan ganda, karena menyebut kata terlarang “Nyonya” dan tidak memanggil perempuan itu dengan namanya sendiri, karena saat itu aku tidak ingat namanya.

“Aku dipanggil kamerad Lilina,” ucapnya mengoreksi, dan selanjutnya aku berhadapan dengan perempuan setengah baya yang tersinggung dan berwajah masam. Jelas dia mendengar pertanyaanku, dan dia tidak dapat menerimanya.

“Kamerad Zinoviev tidak ada di sini. Pergi ke Smolny,” ucapnya, tanpa mempersilakan aku masuk.

“Aku bermaksud menggunakan saluran telepon langsung ke Kantor Urusan Luar Negeri, ada urusan dengan Tchicherin,” jelasku.

“Anda tidak dapat melakukannya, dan aku tidak kenal siapa Anda,” jawabnya pedas, sambil menutup pintu.

Tetapi kali ini Lilina lebih ramah. Kami berbincang tentang kondisi lembaga rehabilitasi dan dia mengakui ada kejahatan-kejahatan yang terjadi di sana, tetapi dia membantah laporan di koran yang disebutnya secara kasar dilebih-lebihkan. Kami juga mendiskusikan metode-metode pendidikan modern dan aku menjelaskan sistem yang diikuti oleh Ferrer School di New York. Dia setuju dengan teori itu.

“Tetapi kita harus menyesuaikan pemuda kita untuk melanjutkan kerja revolusi,” tegasnya.

“Tentu saja,” jawabku, “tetapi apakah pendidikan harus dijalankan dengan metode-metode konvensional yang membodohi dan melumpuhkan pikiran muda dengan memaksakan pandangan-pandangan yang dangkal dan dogma-dogma?”

Aku menekankan, tujuan utama pendidikan adalah membantu perkembangan yang harmonis antara fisik dan kualitas mental anak-anak, untuk mendorong kemerdekaan berpikir dan menginspirasi upaya kreatif.

Lilina menganggap pandanganku terlalu anarkistik.