Bab XIV

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab XIV

Di Perbatasan Latvia

Petrograd, 15 Maret.—Aku menerima pesan dari Tchicherin, yang mengabarkan seribu orang yang dideportasi dari Amerika telah tiba di Libau dan akan tiba di Rusia pada 22 Maret. Kepanitiaan sudah dibentuk dan sudah ada persiapan untuk upacara penerimaan.

Sejak lama aku mengusulkan pentingnya organisasi permanen untuk urusan ini, karena akan ada banyak orang yang diusir dari berbagai negara. Sejauh ini tidak ada organisasi yang dibentuk, tetapi sekarang ada perintah dari Moskow untuk mempercepat pembentukan organisasi itu.

Nyonya Ravitch, Komisar Keamanan Publik di Distrik Petrograd menggelar konferensi yang menghasilkan pembentukan Komisi untuk Orang-Orang Buangan. Aku ditunjuk sebagai Ketua Komite Penerimaan, dan pada 19 Maret kami berangkat dari Petrograd menuju perbatasan Latvia. Kereta Kesehatan No. 81, dengan peralatan lengkap, berada di bawah kewenanganku. Dua kereta lagi akan mengikuti, sebagai cadangan jika kelompok orang buangan itu lebih banyak dari yang diperkirakan.

Di ruang makan, pada hari pertama perjalanan kami, seorang asing memperkenalkan dirinya sebagai “Tovarishtch Karus dari Petrograd”, lelaki paruh baya dengan wajah kuning dan sorot mata yang ganjil. Lalu datang lagi seorang laki-laki, lebih muda dan akrab.

“Namaku Pashkevitch,” ucap lelaki muda. “Tovarishtch dari Amerika,” dia melanjutkan dengan nada resmi, “aku menyambutmu di misi ini atas nama Ispolkom. Aku perwakilan dari Komite Eksekutif Soviet Petrograd. Semoga misi kita berhasil, dan orang-orang buangan dari Amerika memberikan bantuan bagi revolusi.”

Dia menatapku, untuk melihat apakah ucapannya memberi kesan. Matanya terpaku padaku seakan-akan mengharapkan jawaban. Aku memperkenalkan anggota komite kami, Novikov dan Nona Ether Bernstein. Lelaki Ispolkom itu menyambut perkenalan tersebut dengan kegembiraan yang berlebihan, sedangkan Karus mengetuk-ngetuk tumitnya di bawah meja dengan gaya militer.

“Dan tovarishtch yang ini?” tanya Novikov, sambil menatap Karus.

“Hanya pengamat,” jawab Karus. Di belakangnya, dokter kereta menatap kami penuh arti.

“Akan sangat menarik mendengar kamerad Amerika kami bercerita tentang Amerika Serikat,” ucap Pashkevitch. “Aku pernah juga ke Amerika dan Inggris. Sudah lama sekali, tetapi aku masih berbicara bahasa Inggris. Kondisi di sana pasti telah banyak berubah. Apakah buruh Amerika akan segera bangkit dalam revolusi? Bagaimana pendapatmu, Kamerad Berkman?”

“Hari demi hari berlalu dengan lambat,” jawabku, “tetapi aku ditanya pertanyaan itu. Aku pikir revolusi tidak dapat segera terjadi di Amerika karena—”

“Tetapi di Inggris?” dia menyela.

“Juga tidak di Inggris, dengan berat hati kukatakan. Kondisi dan psikologi kaum proletar di sana tampaknya dipahami dengan salah oleh Rusia.”

“Kau pesimistik, tovarisgtch,” bantah Pashkevitch. “Perang dan revolusi kami pasti memberikan pengaruh sangat besar pada proletariat di luar negeri. Kami berharap revolusi akan terjadi di banyak tempar. Aku yakin itu, terutama di Amerika, tempat kapitalisme tumbuh ke titik ledak. Bukankah begitu, Kamerad Novikov?”

“Aku tidak setuju denganmu, Kamerad,” jawab Novikov, asistenku. “Aku khawatir harapanmu tidak akan cepat terwujud.”

“Lihat bagaimana kalian bicara!” bentak Pashkevitch. “Harapan! Ini sebuah kepastian. Kami menaruh kepercayaan kepada kaum buruh. Revolusi yang terjadi di berbagai negeri akan menjadi penyelamat bagi Rusia, dan kami sangat tergantung kepada mereka.”

“Rusia harus bergantung pada dirinya sendiri,” jawabku. “Dengan upaya kita sendiri kita harus mengalahkan musuh dan membawa lagi kesejahteraan kepada rakyat.”

“Untuk itu, kami melakukan semua hal yang tak mungkin,” sergah Pashkevitch. “Kami, kaum komunis, melakukan tugas yang maha berat dan sulit yang pernah dibebankan kepada sebuah partai politik, dan kami telah mendapatkan keajaiban. Tetapi Sekutu terkutuk itu tidak akan membiarkan kita hidup damai, dan blokade mereka membuat kita kelaparan. Saat aku bertemu kaum buruh aku selalu menunjukkan kepada mereka, saudara-saudara mereka di luar negeri akan datang untuk membantu Soviet Rusia dengan mengobarkan revolusi komunis di negeri-negeri mereka. Itu menumbuhkan keberanian baru dan menguatkan keyakinan akan keberhasilan kita.”

“Tetapi kalau janji-janjimu gagal terwujud, kekecewaan massa akan menciptakan efek buruk bagi revolusi,” jawabku.

“Itu akan terwujud. Akan terwujud,” Pashkevitch memaksa,

“Aku melihat kalian tidak akan setuju,” Karus berkata untuk pertama kalinya. “Mungkin tuan dari Amerika ini mau memberi tahu kami apa yang mereka pikir tentang revolusi kita.” Sikapnya diam, tetapi tatapannya menunjukkan pemaksaan. Belakangan aku tahu Karus adalah penyidik di Tcheka Petrograd.

“Kami baru sebentar tinggal di Rusia untuk bisa membuat opini,” jawabku.

“Tetapi kau pasti telah mendapatkan kesan,” desak Karus.

“kami telah mendapatkan banyak kesan. Tetapi kami belum punya waktu untuk mengolahnya, untuk menjelaskannya dalam pandangan yang tegas. Bukankah kau merasa seperti itu juga?” tanyaku, kepada anggota komite yang lain.

Mereka sepakat denganku, dan Karus tidak mendesakku lagi.

Wilayah yang kami lewati datar dan berawa-rawa, dengan desa-desa yang tersebar di kejauhan, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Segerombolan burung gagak melayang di atas kereta kami, koaknya bergema menembus hutan. Kereta kami bergerak selambat siput, karena jalur keretanya sudah lama tidak dipelihara, dan mesin lokomotif kami tua dan lemah. Setiap beberapa kilometer kereta kami berhenti untuk mendapatkan suplai kayu dan air. Batang-batang kayu diteruskan dari tangan ke tangan rantai manusia, yang memanjang dari tempat penyimpanan di belakang lokomotif.

Di berbagai stasiun kami bertemu dengan para perempuan dan anak-anak yang menjual susu, keju, dan mentega dengan harga yang lebih murah dari yang dijual di Moskow dan Petrograd. Tetapi para penjual itu menolak bayaran dengan rubel Soviet atau kerenki (uang Kerensky).

“Seluruh rumah dilapisi uang itu,” ucap seorang perempuan tua dengan sinis, “hanya kertas berwarna—apa gunanya? Beri kami garam, Tuan, kami tidak dapat hidup tanpa garam.”

Kami menawarkan sabun—barang yang sangat mewah dan jarang di kota-kota—kepada seorang gadis penjual roti gandum, tetapi dia menolaknya dengan kasar. “Dapatkah aku memakannya?” dia mendesak.

“Kau dapat menggunakannya untuk membersihkan tubuhmu,” jawabku.

“Ada banyak salju untuk membersihkan tubuh.”

“Tetapi kalau di musim panas?”

“Aku dapat membersihkan kotoran dengan pasir. Sabun sama sekali tidak ada gunanya.”

Komunikasi antara Petrograd dengan wilayah perbatasan Barat sangat terbatas. Kami tidak berpapasan dengan kereta lain dalam tiga hari perjalanan sampai kami tiba di Novo-Sokolniki, wilayah yang pernah menjadi pusat jalur kereta api. Di sana ada dua perwakilan dari Departemen Tawanan Perang. Dua orang itu dikawal seorang pemuda yang mengenakan pakaian kulit hitam mengilap dari kepala sampai kaki, dengan senapan besar yang tersambung rantai ke sabuknya. Dia memperkenalkan diri sebagai “Tovarishtch Drozdov dari Veh-Tcheka.” Dia memberi tahu kami, dirinya yang akan memeriksa dan mengambil potret orang-orang buangan dari Amerika dan akan menahan siapa pun yang mencurigakan. Kru kereta api menyambut aparat Tcheka itu dengan tatapan tak ramah. “Orang pusat,” bisik mereka, dengan nada kebencian.

“Ijinkan aku untuk mengurus hal kecil tetapi penting darimu,” ucapku kepada Drozdov, “sebagai ketua komisi aku harus memenuhi beberapa hal resmi dan harus merepotkanmu dengan surat-suurat identifikasi.”

Aku menunjukkan kepadanya surat tugasku, dikeluarkan oleh Departemen Eksekutif Petro-Soviet, dan dia menunjukkan kepadaku dokumen-dokumennya. Surat-surat itu dicap dan ditandatangani oleh Komisi Seluruh Rusia dalam Mengobarkan Perang terhadap Kontra Revolusi dan

Perdagangan (Veh-Tcheka). Surat itu memberikan kekuasaan khusus kepada pemegangnya.

Selama perjalanan aku menjadi lebih akrab dengan pemuda Tcheka itu. Dia berubah sangat ramah, sangat mudah bergaul dan suka berbicara. Tetapi hubungan dia dengan Karus malah dingin. Karus juga menunjukkan ketidaksukaannya kepada dua laki-laki Yahudi yang menjadi perwakilan Departemen Tawanan Perang, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyindir departemen itu, bahkan sampai mengancam untuk menahan mereka dengan alasan sabotase.

Tetapi saat Karus tidak ada, ruang makan di gerbong kami akan dipenuhi oleh suara keras Drozdov. Sebagian besar ceritanya berkisar pada aktivitas-aktivitas Tcheka, penggerebekan, penahanan, dan eksekusi. Bagiku dia terkesan sebagai komunis yang taat dan tulus, siap untuk menyerahkan hidup demi revolusi. Tetapi revolusi bagi dia disederhanakan menjadi pemusnahan, bersama Tcheka sebagai pedangnya yang kejam.

Dia tidak memiliki konsep tentang etika-etika revolusioner dan nilai-nilai spiritualnya. Baginya kekuatan dan kekerasan adalah puncak revolusi, kekuatan dasar bagi kediktatoran proletar.

“Revolusi adalah pertarungan berhadiah,” ucapnya, “apakah kita menang atau kalah. Kita harus menghancurkan setiap musuh, menyeret setiap kontra revolusioner dari sarangnya. Sentimentalisme, bah! Upaya dan cara apa pun baik demi mencapai tujuan kita. Apa gunanya melakukan revolusi kecuali kau melakukan yang terbaik untuk membuatnya berhasil? Revolusi pasti sudah mati sejak lama jika bukan untuk kami. Tcheka adalah jiwa dari revolusi.”

Dia senang menceritakan metode-metode yang digunakan Tcheka untuk mengungkap rencana-rencana kontra revolusi, dan dia akan semakin lancar berbicara tentang kecerdikan beberapa agen dalam menjebak pedagang dan memaksa mereka untuk mengungkap tempat-tempat penyimpanan berlian dan emas, yaitu dengan menjanjikan kekebalan hukum jika membuat pengakuan, lalu membawa mereka untuk dieksekusi bersama istri atau saudara yang mereka khianati.

Dengan penuh kekaguman Drozdov berbicara tentang ide asli Tcheka dalam memerangkap kaum cendekiawan, menjebak mereka ke dalam percakapan yang menyuarakan sikap anti-Bolshevik, lalu membunuh mereka. Bagian favoritnya dalam setiap cerita adalah tentang razstreliat—menembak dengan tiba-tiba—bagian yang selalu dia ulang dalam setiap kisah dan menjadi refrain di setiap pengalamannya.

Kaum cendekiawan nonkomunis adalah kelompok yang paling dia benci. “Semuanya tukang sabotase dan kontra revolusi,” tegasnya, “mereka adalah gangguan, dan percuma saja memberi makan mereka. Mereka harus ditembak.”

“Kau tidak sadar apa yang kau katakan,” aku protes. “Kisah-kisah yang kau ceritakan begitu hebat, tidak mungkin. Kau melebih-lebihkannya.”

“Temanku sayang,” jawabnya dengan nada menghina, “kau mungkin sudah lama berada dalam gerakan revolusioner, tetapi kau masih baru di Rusia. Kau berbicara tentang kekejaman, kebrutalan! Bung, kau tidak tahu jahatnya musuh yang kami hadapi. Kaum kontra revolusioner itu akan menyembelih kita, mereka akan membanjiri jalanan Moskow dengan darah kita, jika mereka mendapatkan kesempatan. Dan tentang ‘melebih-lebihkan’, ceritaku bahkan belum sampai setengahnya.”

“Mungkin saja ada orang-orang di Tcheka yang bersalah untuk tindakan-tindakan yang kau ceritakan. Tetapi aku harap metode seperti itu bukan bagian dari sistem.”

“Ada kelompok Kiri di antara kita yang bahkan melakukan metode yang lebih drastis,” Drozdov tertawa.

“Metode apa?”

“Menyiksa untuk mendapatkan pengakuan.”

“Kau pasti sudah gila, Drozdov.”

Dia tertawa kekanak-kanakan. “Itu benar,” dia mengulang-ulang ucapannya.

**

Di Sebezh kereta kami berhenti. Kami tidak dapat meneruskan perjalanan karena pihak berwenang memberi tahu ada aktivitas militer di perbatasan, pada jarak sekitar 26 kilometer.

Saat itu 22 Maret, hari di mana orang-orang buangan dari Amerika mencapai perbatasan. Untungnya kereta makanan akan berangkat menuju Rozanovskaia, kota perbatasan Rusia, dan beberapa anggota kelompok kami berhasil mencegat teplushka—kereta tua pengangkut sapi.

Kami sedang bersyukur untuk keberuntungan itu, ketika kereta kami melambat dan berhenti. Kondektur mengumumkan terlalu berbahaya untuk meneruskan perjalanan. Kereta tidak mungkin melaju lagi, tetapi dia “tidak keberatan untuk melanjutkan jika kami mau mengambil risiko” dan mau merayu masinis untuk membawa kami ke perbatasan dengan pelan-pelan.

Beberapa tentara yang ikut bersama kami dari Sebezh juga tidak sabar untuk bergabung dengan pasukannya, dan bersama mereka kami berhasil meyakinkan masinis untuk melaju sejauh 12 kilometer. Rokok Amerika dariku terbukti melancarkan percakapan.

“Yang harus kita lakukan pertama kali adalah memeriksa dan memotret orang-orang buangan itu,” kata Drozdov saat kereta kembali melaju.

Dia yakin ada mata-mata di antara mereka, tetapi mereka tidak dapat mengelabuinya. Dengan cara yang ramah aku menyarankan agar dia tidak terlalu kasar, karena tindakan kami akan menyinggung mereka. Mereka kaum revolusioner, mereka telah membela Rusia di Amerika, dan untuk itu mereka rela didakwa oleh pemerintah. Merupakan tindakan bodoh jika menghina mereka dengan pemeriksaan di saat mereka melangkahkan kaki di tanah Soviet. Tentu saja mereka berharap untuk diterima dengan cara yang lebih baik, oleh saudara dan kamerad mereka.

“Lihat, Drozdov,” ucapku meyakinkan, “di Petrograd kami telah menyiapkan segala hal untuk mengambil dokumen, foto, dan memeriksa mereka. Tidak ada gunanya melakukan pekerjaan itu di sini, lagi pula tidak ada fasilitas yang layak untuk melakukannya di sini. Aku pikir kau bisa memercayakan persoalan itu kepadaku, sebagai Ketua Komisi Penerimaan Petro-Soviet.

Drozdov ragu. “Tetapi aku diperintahkan,” ucapnya.

“Perintah itu akan dilaksanakan, tentu saja,” aku meyakinkan dia. “Tetapi itu akan dilakukan di Petrograd, bukan di perbatasan, dan di tempat terbuka. Kau pasti paham ini lebih praktis.”

“Apa yang kau katakan memang masuk akal,” jawabnya. ‘Aku setuju dengan satu syarat. Kau harus segera memberi Veh-Tcheka foto lengkap orang-orang itu.”

Dengan tubuh setengah membeku dalam perjalanan yang panjang dan lama, akhirnya kami sampai di Rozanovskaia. Kami melalui jalan yang tertutup salju tebal sampai tiba di Siniukha, sungai kecil yang memisahkan Latvia dan Soviet Rusia. Kelompok-kelompok tentara berdiri di dua sisi perbatasan, dan aku melihat sekelompok besar laki-laki yang mengenakan pakaian sipil menyeberangi es menuju kami. Aku bersyukur kami tiba tepat waktu untuk bertemu dengan orang-orang buangan.

“Halo, kamerad!” aku menyambut mereka dalam bahasa Inggris. “Selamat datang di Soviet Rusia.”

Tidak ada respon.

“Apa kabar, kamerad!” aku berteriak lebih keras. Orang-orang itu masih juga terdiam

Ternyata mereka bukan orang-orang buangan dari Amerika. Mereka tentara Rusia yang ditawan oleh Jerman di garis depan Polandia pada 1916. Mereka diperlakukan buruk dan kekurangan makanan, tetapi berhasil melarikan diri ke Denmark, di mana mereka ditahan sampai ada pengurusan untuk memulangkan mereka ke Rusia. Mereka mengirim kabar radio ke

Tchicherin, dan mungkin saja pesan mereka salah dibaca atau salah dimengerti.

Dua perwira tentara Inggris menyertai para tawanan perang itu sampai ke perbatasan, dan dari dua orang itu aku mendapat kabar Amerika tidak mendeportasi kelompok radikal lagi sejak Desember. Tetapi ada kelompok tawanan perang lagi yang sedang dalam perjalanan menuju Rusia, jadi aku memutuskan untuk menunggu mereka.

Muncul kesulitan saat penyerahan para tawanan perang itu, yang jumlahnya 1.043 orang, karena kami tidak bersiap untuk memberi tempat dan makanan bagi begitu banyak orang di Sebezh. Aku mengusulkan untuk langsung mengirim mereka ke Petrograd, dengan dua kereta yang tampaknya cukup untuk membawa mereka, dan aku akan menggunakan kereta yang ketiga untuk membawa kelompok yang datang berikutnya, yang mungkin saja orang-orang buangan dari Amerika.

Tetapi usulanku ditolak oleh pejabat setempat dan kaum Bolshevik yang menyatakan, “tanpa perintah dari pusat” tidak ada yang bisa dilakukan. Tchicherin sedang menunggu kedatangan rombongan dari Amerika, dan kereta dari Petrograd dikirim untuk membawa mereka. Karena itulah pejabat setempat menolak usulanku. Para tawanan perang akhirnya harus menunggu sampai ada perintah langsung dari Moskow.

Semua pendapatku ditanggapi dengan sikap orang Rusia yang keras, “Tidak dapat ditolong!”

“Tetapi kita tidak bisa membiarkan orang-orang ini mati kelaparan di perbatasan,” kataku kepada kepala stasiun.

“Perintah kepadaku adalah mengembalikan kereta-kereta ini ke Petrograd bersama orang-orang buangan dari Amerika,” jawabnya. “Bagaimana jika mereka datang dan keretanya sudah pergi? Aku akan ditembak dengan tuduhan sabotase. Tidak, mereka tidak bisa ditolong.”

Telegram darurat yang dikirim ke Tchicherin dan ke Petrograd tidak juga dijawab. Hubungan telepon jarak jauh terganggu dan gagal tersambung ke Kantor Urusan Luar Negeri.

Sore hari, satu detasemen tentara tiba di stasiun, orang-orang perbatasan berwajah sangar dengan senapan melintang dan pistol besar di dalam sarung kayu hasil kerajinan rumah yang menggantung di sabuk mereka. Pemimpin mereka memperkenalkan diri sebagai Prehde, Komandan Ossobiy Otdel ke-48 Divisi ke-15 Angkatan Darat—Tcheka militer yang sangat ditakuti di zona perang. Dia datang untuk menahan dua tawanan perang yang dituduh sebagai “mata-mata Sekutu”. Menurutnya, dia telah menerima informasi tentang dua orang itu.

Prehde, lelaki muda jangkung dan kurus, berwajah seperti mahasiswa, ternyata orang yang mudah akrab, dan segera saja kami bercakap-cakap dengan ramah. Dia seorang revolusioner Latvia, pernah divonis mati oleh Tsar, tetapi karena masih muda, hukumannya dikurangi menjadi dibuang ke Siberia seumur hidup. Revolusi Februari membebaskannya dan dia pulang.

“Betapa waktu berubah,” ucapnya, “hanya beberapa tahun lalu aku menentang hukuman mati, dan sekarang aku sendiri yang melaksanakan hukuman mati. Tidak dapat ditolong.”

Dia menghela napas, “Kita harus menjaga revolusi. Dua lelaki itu, misalnya.Mata-mata Sekutu, dan mereka harus ditembak.”

“Kau yakin mereka mata-mata?” tanyaku.

“Cukup yakin. Tentara Latvia yang baik hati di seberang sana melaporkannya kepadaku.” Dia berdecak pelan. “Aku memberi orang itu seribu rubel Tsarsky untuk sepucuk Browning baru,” lanjutnya. “Bisa saja aku mendapatkan senjata itu itu dengan harga lebih murah, tetapi kau tahu, aku harus membalas budi.”

“Apakah kau punya bukti mereka mata-mata?”

“Bukti?” dia mengulang dengan keras. “Mereka telah dilaporkan kepadaku. Kita ada di zona perang dan kita tidak dapat mengambil risiko.”

Dengan sikap yang sungkan dia menambahkan, ‘Tentu saja aku akan memeriksa dokumen mereka dulu.”

Dia sangat tertarik dengan Amerika, tempat saudara tinggal, dan dia begitu bersemangat mendengarkan penjelasanku tentang kondisi negera itu. Raut wajahnya khas orang Latvia, datar dan keras, tetapi sorot matanya yang menunjukkan kecerdasan menyala saat mendengar kisah pendakwaan orang-orang Rusia di Amerika sejak meletusnya revolusi Bolshevik. “Mereka akan segera belajar dengan cara yang berbeda,” dia mengulang-ulang kalimat itu.

Sebagai komandan Ossobiy Otdel, kekuasaan Prehde absolut di di distrik yang menjadi wilayahnya, meliputi area perbatasan sepanjang lebih dari 100 kilometer. Dia menggenggam hidup dan mati orang-orang, dan tidak ada yang bisa membantah keputusannya. Dengan bantuannya aku akhirnya bisa membujuk pihak berwenang kereta api untuk mengikuti saranku, dan para tahanan perang itu diberangkatkan ke Petrograd dengan dua gerbong.

Aku kemudian mengirim pesan ke Moskow tentang keputusan untuk memulangkan para tawanan perang itu, dan menambahkan aku akan tetap di perbatasan dan menyiapkan Kereta Kesehatan No. 81, untuk berjaga-jaga jika orang-orang buangan dari Amerika datang. Pesanku ternyata tidak sampai, tetapi 48 jam kemudian datang telegram dari Tchicherin, memerintahkan aku untuk “mengirim tahanan perang dalam dua gerbong ke Petrograd” dan “menunggu emigran dari Amerika.”

**

Seperti kebanyakan kota-kota kecil di pedalaman Rusia, Sebezh berdiri beberapa kilometer dari stasiun kereta.Kota ini pusat pemerintahan kabupaten, berdiri dengan cantik di sebuah lembah yang dikelilingi wilayah perbukitan— sebuah tempat yang mencolok, dengan beberapa bangunan setinggi dua lantai dari batu bata. Kota ini hidup dalam bayangan begitu banyak perjuangan, dan bukti-buktinya masih dapat dilihat di setiap tempat. Lubang-lubang perlindungan di bukit-bukit, dan ladang-ladang yang terpangkas oleh kawat berduri. Tetapi kota itu sendiri tidak mengalami banyak kerusakan.

Di pasar aku bertemu dengan beberapa anggota staf kesehatan kami dan kru kereta, juga Karus. Semuanya mencari bekal untuk perjalanan pulang ke Petrograd. Tetapi semua toko tutup dan pasar itu sepi. Perdagangan tampaknya benar-benar dilarang di kota kecil itu. Kami, orang-orang asing di kota itu berdiri mengelompok, dan mengundang perhatian warga setempat. Segera mereka mengelilingi kami—para lelaki dan perempuan tua, serta beberapa anak-anak kecil berkulit gelap. Mereka tetap menjaga jarak agak jauh, menatap kami dengan tatapan curiga: kedatangan begitu banyak “orang asing” bisa membawa hal buruk. Aku melirik Karus, dan aku merasa lega ketika tahu pistolnya tidak terlihat.

Kami mulai mengajukan pertanyaan: apakah ada roti yang bisa dibeli, mungkin terigu, mentega, telur, atau apa pun yang dapat dimasak?

Orang-orang itu menggelengkan kepala dengan senyum sedih. Para perempuan merentangkan tangan putus asa. “Tuan-tuan,” kata mereka, “kami tidak memiliki apa pun, dan perdagangan dilarang sejak lama.”

“Bagaimana kalian hidup di sini?” tanyaku.

“Bagaimana kami hidup? Ya hidup saja!” seorang petani muda menjawab dengan bingung.

“Apakah kau datang dari luar negeri?” tanya seorang lelaki kepadaku, dengan logat Yahudi.

“Aku datang dari Amerika.”

“Oh, dari Amerika!” suara terdengar takjub, sekaligus terasa sedih. “Dengar anak-anak,” dia berbalik ke orang-orang di belakangnya. “Lelaki ini datang jauh dari Amerika.”

Tatapan-tatapan penuh harap mengarah kepadaku. “Bagaimana di Amerika? Apakah mereka hidup sejahtera di sana? Mungkin kau kenal saudaraku?” semua pertanyaan diucapkan secara bersamaan, setiap orang berusaha mendapat perhatianku.

Dahaga mereka akan kabar dari Amerika begitu menyedihkan, konsepsi mereka tentang negara itu kekanak-kanakan. Mereja terkejut dan tidak percaya ketika mendengar aku tidak pernah bertemu dengan kerabat mereka di “Nai Ork” (New York). “Kau tidak pernah mendengar kabar tentang anakku Moishe,” seorang perempuan tua mendesak, “semua orang mengenal dia di sana.”

Hari semakin gelap dan aku akan kembali ke stasiun ketika seseorang menubrukku. “Ikut aku, aku tinggal dekat sini,” bisik petani muda itu.

Aku mengikutinya saat dia melintasi tanah lapang, bergegas ke jalan tanah yang gelap, dan segera menghilang di belakang gerbang sebuah halaman.

Aku mengikutinya, dan dia berhenti sejenak untuk memastikan kami tidak diikuti. Kami memasuki sebuah rumah kecil yang diterangi lampu minyak tanah.

“Aku tinggal di desa sebelah,” ucap petani itu, “tetapi saat aku berada di kota aku tinggal di sini. Moishe!” dia memanggil ke kamar sebelah, “kau di sana?”

Seorang Yahudi paruh baya dengan rambut dan janggut merah menyala melangkah ke hadapan kami. Di belakangnya seorang perempuan, dengan rambut palsu di kepalanya, dan dua anak kecil menggelayuti roknya.

Mereka menyambutku dengan ramah dan mengundangku untuk duduk di dapur, yang besar tetapi berantakan, di mana seluruh anggota keluarga berkumpul. Sebuah samovar (panci khas Rusia berbahan logam) di atas meja, dan aku ditawari segelas teh. Nyonya rumah meminta maaf karena tidak tersedia gula.

Kemudian mereka mulai menanyaiku. Awalnya diplomatis, dengan halus bertanya tentang orang-orang asing yang datang “dari pusat” ke kota kecil seperti Sebezh. Mereka berbicara dengan santai, seakan-akan tidak begitu tertarik, tetapi aku mereka mereka sedang memeriksaku. Akhirnya mereka tampak lega ketika tahu aku bukan orang komunis atau pejabat pemerintah, dan mereka mulai lebih akrab.

Nyonya rumah bersikap sangat kritis, menyebut kaum Bolshevik sebagai “orang-orang gila itu”. Dengan pedas dia mengeluhkan penempatan pasukan tentara di rumahnya. Anak sulungnya harus berbagi tempat tidur dengan seorang tentara. Para tentara itu membuat alat-alat makannya kotor, dan rumahnya dipenhi begitu banyak orang.

Lalu bagaimana dia hidup dan memberi makan keluarganya? Mereka secara nyata kelaparan: “orang-orang jahat” itu mengambil semuanya.

“Lihat ini,” ucapnya, menunjuk pada ruang kosong di dinding, “tadinya di sini ada cermin besar dan indah milkku, dan mereka bahkan merampas benda itu.”

Lelaki Yahudi berjanggut merah duduk dengan diam, dengan lembut meraih satu anaknya untuk tidur di pangkuannya. Si petani muda mengeluhkan penggerebekan, yang merampas segala sesuatu di desanya, dan kuda terakhirnya pun disita. Musim semi akan tiba, dan bagaimana dia akan membajak tanah atau menebar benih tanpa ada sapi di mana pun?

Tiga saudara kandungnya terkena wajib militer, dan dia ditinggal sendiri, sebagai duda, dengan dua anak kecil yang harus diberi makan. Tanpa kebaikan istri tetangganya, dua anaknya pasti sudah mati sejak lama.

“Banyak ketidakadilan di dunia,” dia menghela napas, “dan kaum tadi diperlakukan dengan buruk. Apa yang dapat mereka lakukan? Mereka tidak dapat mengatur Soviet pedesaan. Komite Kemiskinan pergi tanpa belas kasihan, dan orang biasa takut untuk mengeluarkan pendapat, karena dia akan dilaporkan oleh orang komunis dan diseret ke penjara.”

“Karena kau bukan seorang komunis, aku dapat mengatakan betapa menderitanya kami,” lanjutnya. “Hidup kaum tani sekarang lebih buruk dari sebelumnya. Mereka hidup senantiasa dalam ketakutan akan kedatangan kaum komunis dan merampas roti terakhir mereka. Orang-orang Tcheka dari Ossobiy Otdel masuk ke rumah dan memerintahkan para perempuan untuk menyimpan semuanya di atas meja, dan mereka akan pergi membawa semuanya. Mereka tidak peduli jika anak-anak kecil kelaparan. Apa yang akan kami tanam di bawah kekuasaan majikan seperti itu? Tetapi para petani telah belajar satu hal: dia harus mengubur di tanah apa yang dia ingin selamatkan dari perampok.”

Beberapa petni masuk. Mereka menatap Moishe tanpa bicara, dan dia memberikan anggukan untuk meyakinkan mereka. Dari potongan-potong pembicaraan yang aku dengar, aku mengetahui para petani itu memasuk si Yahudi dengan barang-barang, dan dia berperan sebagai calo dalam perdagangan. Setiap orang harus berhati-hati dalam berhubungan dengan orang asing, jelas Moishe. Dia mengatakan, beberapa orang yang dia lihat di pasar tampak mencurigakan. Tetapi dia mau menjual barang-barangnya kepadaku, dan memberikan harga jauh lebih murah dari yang dijual di pasar Moskow. Ikan herring, yang di Moskow seharga 1.000 rubel, dia menjualnya hanya 400 rubel. Setengah kilogram kacang 120 rubel. Terigu 250 rubel. Telur 60 rubel sebutir.

Para petani itu sepakat dengan Moishe bahwa “saat ini lebih buruk daripada masa kekuasaan Tsar.” Kaum komunis hanyalah perampok, dan tidak ada keadilan yang diperoleh di masa ini. Mereka lebih takut kepada para komisar dibanding para pejabat di masa Tsar. Mereka tampak tidak nyaman saat aku tanya apakah mereka lebih memilih sistem monarki. Tidak, mereka tidak menginginkan lagi para tuan tanah, tidak juga Tsar, tetapi mereka juga tidak menginginkan kaum Bolshevik.

“Kami diperlakukan seperti sapi di masa lalu,” ucap seorang petani berambut kuning pucat dan bermata biru, “dan itu dilakukan atas nama Tsar. Sekarang mereka berbicara dengan kami atas nama partai dan proletariat, tetapi kami masih diperlakukan seperti sapi, sama dengan sebelumnya.”

“Lenin itu orang baik,” seorang petani lain nimbrung.

“Kami tidak menentang dia,” petani yang lain lagi menegaskan, “tetapi pada komisarnya, mereka keras dan kejam.”

“Tuhan ada di atas dan Lenin jauh sekali,” ucap petani bermata biru. Dia mengubah pepatah lama, yang berbunyi “Tuhan di atas dan Tsar jauh sekali”, yang berarti pusat kekuasaan jauh dan tak bersentuhan dengan kepentingan rakyat kecil.

“Tetapi kaum Bolshevik memberi kalian lahan,” aku mendebat.

Perlahan dia menggaruk kepalanya dan tersenyum tipis. “Tidak, Tuan,” jawabnya, “kami mengambil lahan sendiri. Bukankah begitu, saudaraku?” dia berbalik ke kawan-kawannya.

“Dia berbicara benar,” jawab mereka.

“Apakah akan tetap seperti ini dalam waktu yang lama?” tanya mereka saat aku pergi. “Mungkin ada sesuatu yang akan berubah?”

Dalam perjalanan kembali ke stasiun aku bertemu dengan anggota kru kereta kami yang terpencar di atas bukit, terseok-seok membawa berkarung-karung bekal. Mahasiswa yang menjadi staf medis kami membawa seekor babi yang menguik. “Seorang ibu pasti akan bahagia,” ucapnya, “babi ini akan membuat keluarga tetap hidup untuk waktu lama.”

“Jika mereka menyembunyikannya dengan baik,” timpal seseorang.

Seorang tentara melintas dengan mobil, dan kami meminta untuk menumpang. Tanpa menjawab dia lewat begitu saja. Akhirnya ada gerobak yang mau membawa kami. Kami mengulang permintaan kami, untuk memastikan dia memang mau ditumpangi.

“Kenapa tidak?” petani muda itu menjawab dengan ceria, “naiklah, kalian semua.”

Dia pemuda yang riang dan senang bicara, kegelisahan jiwanya sebagai seorang pembelajar membentuk karakternya, percakapannya menghibur. Dia menyukai kaum Bolshevik, ujarnya, tetapi dia tidak berguna bagi kaum Komunis. Kaum Bolshevik adalah orang-orang baik, kawan masyarakat: mereka telah menuntut tanah bagi para petani dan seluruh kekuasaan untuk soviet-soviet.

Tetapi kaum komunis jahat: mereka merampok dan memukuli para petani, mereka menyusupkan rekan mereka sendiri ke dalam soviet-soviet, dan orang nonkomunis tidak memiliki suara di sana. Kombed penuh dengan orang-orang tak berguna, mereka menjadi bos di desa-desa, dan petani yang menolak untuk tunduk di hadapan mereka akan “bernasib buruk.”

Pemuda itu pernah bertempur di garis pertempuran melawan Denikin, dan situasinya sama saja dengan di desa: kaum komunis dan para komisar mengatur segalanya sesuka mereka dan menjadi tuan bagi orang-orang yang terkena wajib militer. Situasinya berbeda ketika para tentara dapat mengungkapkan pendapat mereka dan memutuskan segala hal di dalam Komite Kompi mereka. Di sana ada kebebasan dan semua orang merasa sebagai bagian dari revolusi.

Tetapi sekarang semua telah berubah. Orang takut untuk bicara jujur— karena selalu ada kaum komunis di sekitarnya, dan kau dalam situasi berbahaya untuk dituduh kontrarevolusi. Karena itu pemuda itu pernah menjadi desertir. Ya, dua kali menjadi desertir.

Saat di garis depan pertempuran, dia mendengar semua harta keluarganya dirampas, dan dia memutuskan pulang untuk membuktikan kabar itu. Kenyataannya, kabar itu benar, bahkan lebih buruk dari yang dia dengar. Bahkan adik bungsunya, yang baru melewati usia 16 tahun, terkena wajib militer. Tak ada seorang pun di rumah, kecuali ibu dan ayahnya, yang sudah terlalu tua untuk menggarap lahan mereka tanpa bantuan siapapun, dan semua sapi juga telah dirampas. Para komisar bahkan tidak meninggalkan seekor kuda pun di desa itu, dan hanya menyisakan seekor sapi untuk keluarga beranggota lima orang. Jika seorang petani hanya memiliki dua anak kecil, dia tidak akan mendapat seekor sapi pun.

Pemuda itu memutuskan untuk tinggal di rumah dan membantu orangtuanya—saat itu musim semi, dan penanaman benih harus diselesaikan. Tetapi dia tidak memiliki banyak keleluasaan tinggal di desanya. Suatu hari, desa itu dikepung oleh seorang komisar dan pasukannya. Pemuda itu kabur dari gubuknya dan lari ke hutan. Sial, saat itu dia masih mengenakkan seragam tentara, dan pasukan yang mengepung desanya menembakki dari segala penjuru.

Dia berhasil melemparkan diri ke semak-semak, tetapi dia sangat kelelahan, dan jatuh berguling menuruni bukit sampai masuk ke dalam lubang. Para pemburu pasti menyangka dia telah tertembak mati.

Pada malam hari, dia kembali ke desanya, tetapi tidak pulang ke rumah orangtuanya. Seorang tetangga yang baik menyembunyikannya di dalam rumah. Hari berikutnya, dia mengenakan pakaian petani, dan sepanjang musim semi sampai musim panas pemuda itu membantu orangtuanya menggarap lahan.

Lalu dia bergabung lagi dengan militer atas keinginan sendiri, karena dia ingin mengabdi pada revolusi selama orang tuanya di rumah baik-baik saja. Tetapi dia diperlakukan sangat buruk di militer, resimennya tidak memiliki banyak makanan, dan dia menjadi desertir lagi.

“Aku mau tinggal bersama pasukan,” dia menutup ceritanya, “tetapi aku tidak sanggup melihat para orang tua mati kelaparan.”

“Kau tidak takut berbicara sebebas ini?” aku mengingatkannya.

“Oh, siapa peduli!” dia tertawa. “Biarkan mereka menembakku. Apakah aku anjing yang harus mengenakan pengekang di sungutku?”

Tiga hari kemudian Prehde memberitahuku di Sebezh tentang kedatangan kelompok emigran baru. Berharap mereka adalah orang-orang buangan dari Amerika yang lama kami tunggu, aku bergegas ke perbatasan. Ternyata kabarnya mengecewakan, karena yang datang adalah para tawanan perang yang dipulangkan dari Inggris. Ada 108 orang tawanan, yang ditangkap pasukan Inggris tahun lalu di distrik Archangel dan masih mengenakkan seragam Tentara Merah.

Bersama mereka juga ada lima buruh Rusia, yang telah bertahun-tahun tinggal di Inggris dan sekarang dideportasi setelah terbit undang-undang baru di negara itu yang mengatur orang-orang asing. Lima orang itu mengenakan pakaian sipil dan Prehde segera menetapkan mereka sebagai “orang-orang mencurigakan” dan memerintahkan anak buahnya untuk menahan lima orang itu sebagai mata-mata Inggris. Para emigran menanggapi penahanan itu dengan santai, tidak menyadari jika penangkapan itu akan berujung pada pengadilan militer dan eksekusi dalam waktu singkat.

Aku menjadi akrab dengan Prehde, dan mulai menyukai kesederhanaan dan ketulusannya. Dengan segala ketidak-elokkan, dia tidak memiliki pertimbangan apa pun untuk mengamankan tugasnya pada revolusi; perlakuannya pada orang-orang yang dituduh kontrarevolusi tidak lebih keras dari cara hidupnya sendiri. Hilangnya nyawa manusia bagi dia adalah tragedi personal, kekejaman aturan yang tidak dapat dia hindari yang dibebankan revolusi kepadanya. “Sebuah pengkhianatan jika kita menghindarinya,” ucapnya kepadaku.

Aku memutuskan untuk mengajukan permohonan kepadanya atas nama orang-orang sipil yang ditahan. Seharusnya mereka diberitahu tentang kecurigaan terhadap mereka, desakku, dan diberi kesempatan untuk membela diri. Prehde mengijinkan aku berbicara dengan para tertuduh itu dan berjanji untuk bertindak sesuai saran-saranku.

“Berjalan-jalanlah dengan mereka sebentar dan periksa mereka,” perintahnya.

“Di tempat terbuka ini?” aku terkejut.

“Pasti. Jika mereka mencoba melarikan diri, artinya mereka bersalah. Aku akan menembak mati mereka.”

Setengah jam percakapan dengan para “tersangka” meyakinkan aku jika mereka tidak bersalah. Seorang dari mereka, pemuda yang tampak cerdas, dideportasi dari Inggris sebagai pengganggu masyarakat, orang kedua karena menolak membayar tunjangan cerai bagi mantan istrinya, orang ketiga karena dituduh menjalankan tempat judi, dua dua orang terakhir adalah kaum radikal yang ditangkap saat menghadiri pertemuan Bolshevik di Edinburgh. Prehde setuju agar aku yang mengurus mereka sampai aku kembali ke Petrograd, di mana mereka akan diperiksa lebih jauh dan ada penugasan yang layak bagi mereka.

Dari perwira Inggris yang mendampingi para tawanan perang, aku mengetahui tidak ada orang-orang yang dideportasi dari Amerika lagi sejak kelompok Buford. Tentara berpangkat mayor yang memimpin konvoi tawanan perang itu kelahiran Amerika, ajudannya, seorang letnan, adalah Yahudi Rusia dari Petrograd. Keduanya mengatakan Eropa lelah dengan perang, dan mereka mengatakan hal yang simpatik tentang Republik Soviet. “Seharusnya negeri ini diberi kesempatan yang adil,” kata sang mayor.

Aku mengirim telegram ke Tchicherin tentang kedatangan kelompok tawanan perang kedua, dan tentang kepastian tidak adanya orang-orang buangan dari Amerika yang akan datang ke sini. Di saat yang sama aku memberitahu dia, aku akan menggunakan kereta kesehatan 81, satu-satunya yang tersisa di perbatasan, untuk membawa orang-orang itu ke Petrograd.

Tchicherin menjawab dengan telepon jarak jauh dan telegram. Dia memerintahkan, “tunggu sampai Kantor Urusan Luar Negeri mencari tahu tanggal kedatangan emigran dari Amerika.” Kami telah menghabiskan waktu lebih dari sepekan di perbatasan, dan perbekalan kami semakin menipis, karena Petrograd hanya memberi bekal untuk tiga hari.

Apa yang harus kami lakukan untuk memberi makan lebih dari seratus orang, dan beberapa di antaranya sakit? Merasa yakin bahwa Tchicherin mendapat informasi yang salah tentang emigran dari Amerika, aku memutuskan untuk mengabaikan perintah dari “pusat” dan kembali ke Petrograd.

Tetapi para pejabat lokal menolak sikap pembangkangan itu dan tidak mau mengambil tindakan, dan mereka memutuskan untuk tetap di sana. Dua hari berlalu, para tawanan perang itu terancam mati kelaparan, dan akhirnya para pejabat lokal mengijinkan kereta kami untuk berangkat.

Kembali bersama Karus dan Ethel malam itu dari desa untuk persiapan terakhir sebelum berangkat, kami terkejut karena tidak menemukan kereta kami di stasiun. Selama berjam-jam kami mencari ke berbagai arah sampai seorang tentara yang lewat memberitahu kami tentang pertempuran di perbatasan, dan demi keamanan, kereta kami yang berwarna putih dipindahkan untuk menjauhi pertempuran.

Malam gelap gulita. Aku meninggalkan Ethel di peron stasiun, lalu melangkah menyusuri rel sampai aku menubruk gerbong. Seseorang memanggilku dan aku mengenali suara Karus. Dia menyalakan lampu jinjing dan kami mencoba masuk ke sebuah gerbong, tetapi pintunya terkunci. Tiba-tiba kami mendengar udara mendesis, dan siraman peluru mengarah ke kami. “Mereka menembaki lampuku!” teriak Karus, melemparkan lampunya.

Lalu dengan perlahan kami mengikuti rel sampai tiba di sebuah gerbong yang ramai dengan suara dengkuran, lalu kami masuk.

Bau tubuh-tubuh kotor manusia begitu pekat, membuat kami tersedak. Kami meraba-raba jalan di kegelapan, di sepanjang lorong di antara dua baris kaki-kaki bersepatu bot saat terdengar teriakan parau:

“Penjaga, siapa di sana?”

Dari salah satu bangku seorang tentara bangkit, berpakaian perang lengkap dan pistol di tangan.

“Siapa di sana?” dia menantang walau mengantuk.

“Beraninya kau membiarkan orang lain masuk ke gerbong ini, kau pengkhianat!”

“Mereka baru saja masuk, tovarishtch.”

“Kau pembohong, kau tidur dalam tugas.” Segala makian diarahkan ke tentara itu, termasuk sumpah serapah tentang ibunya dan kekasih gelapnya, semua yang ada di dalam kamus sumpah serapah bahasa Rusia.

Suara makian itu terdengar dekat. Aku melihat bintang meras besar, berujung lima, dengan palu dan arit di tengahnya, menempel di dada lelaki itu.

“Keluar dari sini, kau iblis!” teriak lelaki itu, “atau aku akan memenuhimu dengan peluru!”

“Tenang, tovarishtch,” Karus menenangkannya, “dan sopanlah sedikit.”

“Keluar!” teriak komisar itu. “Kau tidak tahu dengan siapa kau bicara. Kami Tcheka petempur.”

“Ada orang lain yang sepertimu,” jawab Karus tegas. “Kami tidak dapat menemukan gerbong kami dan bermaksud bermalam di sini.”

“Tetapi kau tidak bisa berada di sini,” tentara itu menjawab dengan nada yang lebih halus, “kami bisa saja dipanggil untuk bertempur kapan pun.”

“Temanku ini dari Petro-Soviet,” terang Karus, merujuk kepadaku, “kami tidak bisa tinggal di udara terbuka.”

“Baiklah, silakan tinggal,” komisar itu menguap dan meregangkan tubuhnya di bangku.

Aku memanggil Ethel untuk masuk ke gerbong. Dia terlihat kedinginan dan lelah. Dalam kegelapan aku mencari ruang yang kosong, tetapi di mana-mana tanganku menyentuh tubuh manusia. Para tentara itu mendengkur dalam berbagai suara, beberapa bahkan memaki dalam tidurnya.

Aku mendengar Karus naik ke lapisan atas dan terdengar suara perempuan yang marah, “Berhenti mendorong, iblis!”

“Beri aku ruang, kau sapi!” balas Karus, “para petempur yang baik, dengan gerbong penuh pelacur!”

Di sebuah pojok kami menemukan bangku yang penuh dengan tumpukan senapan, alas makanan, dan pakaian kotor. Segera saja kami tersadar tentang risiko terpapar penyakit. “Aku harap kita tidak tertular tipus,” bisik Ethel ketakutan.

Di kejauhan terdengar tembakan-tembakan senapan; terkadang suara tembakan itu terdengar begitu dekat. Di rel dua lelaki sedang bersitegang.

“Tinggalkan perempuanku,” suara yang mabuk mengancam.

“Perempuanmu!” bentak lawannya. “Kenapa bukan perempuanku?!”

“Akan kutunjukkan kenapa, kau anak haram pacar gelap ibumu!”

Terdengar baku hantam, lalu semua hening kembali.

Ethel menggigil. “Andai saja sekarang siang hari,” gumamnya.

Kepalanya terjatuh di bahuku dan dia tertidur.

**

27 Maret.- Kami tiba di Petrograd hari ini. Aku kaget saat mengetahui para tawanan perang yang dipulangkan itu masih dibiarkan di stasiun. Tidak ada langkah apa pun untuk menempatkan atau memberi makan mereka, karena mereka “tidak diharapkan” dan tidak ada “perintah” yang dikeluarkan Moskow.