Bab XII

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


BAB XII

Pelesiran

Aku melangkah menuju Hotel Savoy untuk bertemu dengan seorang kawan yang aku kira berasal dari Petrograd. Mendekat ke Okhotny Ryad aku terkejut melihat pasar yang sebelumnya diserang kini sudah sepenuhnya beroperasi lagi, Sepanjang hari para kaum perempuan dan anak-anak menjajakan barang-barang di sana, manusia berdesakkan, menjual dan menawar. Aku tidak dapat membedakan yang mana penjual dan yang mana pembeli. Semua orang terlihat memiliki sesuatu untuk dijual, dan semua orang menawar harga. Seorang Yahudi tua menawarkan barter celana bekas dengan roti; seorang tentara menukar sepasang bot tinggi untuk sebuah jam. Kerudung-kerudung serta tali-tali berwarna-warni, tempat lilin antik dari kuningan, peralatan dapur, kursi—semua barang yang dapat dibayangkan terkumpul di sana, menunggu pembeli. Di jendela toko daging, mentega, ikan, dan terigu, bahkan gandum, dipamerkan untuk dijual. Aku tahu para tentara dan pelaut menjual kelebihan jatah mereka, tetapi jumlah barang yang terlihat di Okhotny, di Sukharevka, dan pasar-pasar lain begitu banyak. Apakah rumor-rumor itu benar, bahwa sekereta penuh barang kebutuhan hidup sering menghilang? Aku telah mendengar bisikan tentang para komisar yang bertanggung jawab atas pasokan makanan bersekutu dengan para pedagang. Tetapi para komisar selalu dari kaum Bolshevik, anggota Partai. Apakah mungkin kaum komunis sendiri yang merampok warga: secara rahasia membantu perdagangan dan disaat yang sama secara resmi menghukumnya?

Melewati pojok di mana aku terjatuh saat penyerbuan pekan lalu, aku diseru oleh suara perempuan muda.

“Zdarasmuite, tovarishtch! Bukankah kau mengenal aku?” Dia perempuan muda dengan bibir merah yang ditangkap pekan lalu.

“Begitu cepat kau mengenaliku,” jawabku.

“Tidak perlu heran—kacamata besar dan berat yang kau kenakan—aku bisa mengenalmu di mana saja. Kau pasti orang Amerika, bukan?”

“Aku datang dari sana.”

“Oh, aku pikir begitu saat pertama kali bicara denganmu.”

“Mana anak perempuan yang kemari menjual rokok?”

“Oh, Masha? Dia sepupuku. Dia sedang sakit di rumah. Dia sakit sepulangnya dari camp.”

“Kamp apa?”

“Kamp kerja paksa. Hakim menghukumnya kerja paksa selama dua minggu karena berdagang.”

“Dan kau?”

“Aku memberikan semua uangku dan mereka membiarkanku pergi . Mereka mengambil rubel terakhirku.”

“Tidakkah kau takut ditangkap lagi?” aku melirik pada kotak rokok di tangannya.

“Aku bisa apa? Aku telah menjual semua hal yang kami punya. Aku harus membantu memberi makan anak-anak di rumah.”Tatapan matanya yang besar dan hitam tampak jujur.

“Aku pergi untuk bertemu seorang teman,” jawabku,” tapi aku akan kembali dalam dua jam. Maukah kau menungguku?”

“Tentu, tovarishtch!”

Di Savoy pengurusan ijin masuk ternyata sangat rumit. Aku menghabiskan setengah jam dalam antrean, dan ketika akhirnya aku sampai di jendela kecil tempat seorang petugas perempuan duduk, dia mulai bertanya tentang identitasku, pekerjaan, tempat tinggal, dan tujuan kunjunganku. Ternyata pertanyaan-pertanyaannya terus berlanjut, aku sudah tak sabar. “Apa hubungannya pertanyaan-pertanyaan itu dengan kenapa aku ingin bertemu orang itu?” jawabku, “dia temanku. Tidakkah itu cukup?”

“Kami hanya menjalankan perintah,” ujar perempuan itu ketus.

“Perintah yang bodoh,” balasku.

Dia menunjuk ke penjaga bersenjata di dekatnya. “Kau akan dikirim ke Tcheka jika bicara seperti itu,” ancamnya.

“Jangan membantah!” bentak milisi bersenjata itu.

Temanku K, turun dari tangga, membawa kopernya. Savoy sudah penuh, dan dia diminta untuk pergi, tetapi dia telah mendapatkan satu kamar di sebuah rumah pribadi, dan dia akan pergi ke sana.

Kami memasuki apartemen besar dan cantik berisi furnitur, keramik, dan lukisan-lukisan yang bagus. Satu orang telah menyewa lima kamar sekaligus, sedangkan kamar yang terkecil tapi nyaman didapatkan oleh temanku melalui sebuah rekomendasi. “Pedagang besar yang memiliki koneksi yang kuat,” jelas temanku.

Harum yang membangkitkan selera dari sesuatu yang digoreng dan dipanggang menguasai rumah itu. Dari ruangan yang menghubungkan kamar-kamar terdengar suara, keras dan gembira. Aku mendengar denting dari piring dan gelas-gelas anggur.

“Untuk kesehatanmu, Piotr Ivanovitch!”

“Na zdorovie! Na zdorovief terdengar setengah lusin orang berteriak.

“Kau mendengarnya?” bisik temanku, saat terdengar letupan dari tutup botol yang lepas. “Sampanye!”

Terdengar lagi satu letupan, dan sekali lagi. Suara obrolan semakin keras, dan suara tawa semakin meledak, dan seseorang mulai membaca puisi dengan suara parau.

“Demian Bedni,” ucap K. “Aku mengenal suaranya.”

“Demian Bedni, penyair ternama yang dipuji-puji koran Komunis?”

“Ya. Mabuk di sebagian besar waktunya.”

Kami keluar menuju jalan.

Salju segar baru turun. Di trotoar yang licin orang-orang saling tubruk dan saling dorong, berjalan dengan tergesa untuk mengusir dingin yang menggigit. Di Lapangan Theatralnaia, dekat kantor tiket kereta api, bayangan-bayangan gelap berdiri di antrean panjang, beberapa bersandar pada dinding, seperti tertidur. Kantor itu tutup, tetapi orang-orang itu akan tetap berada di sana sepanjang malam, untuk mengamankan tempatnya di dalam antrean, demi kesempatan mendapatkan tiket.

Di pojok jalan seorang anak lelaki berdiri. “Siapa mau beli, siapa mau beli?” mulutnya bergerak secara mekanis, menawarkan rokok. Seorang lelaki tua dengan wajah yang dipenuhi cambang, tampak kesulitan menarik potongan kayu kecil yang diikat tali ke tangannya. Kayu itu tergelincir dari satu sisi ke sisi yang lain di jalan yang tak rata, sekarang menghantam trotoar, lalu terjebak pada sebuah lubang. Tali pengikatnya putus. Dengan jemarinya yang beku lelaki tua itu mencoba menyambung kembali talinya, tapi tali itu selalu lepas dari tangannya. Orang-orang lewat dengan bergegas, sesekali ada yang melirik tubuh tua yang hanya dibalut jas musim panas dan sedang membungkuk membereskan hartanya.

“Bolehkah aku membantumu?” tanyaku. Dia menatapku dengan curiga dan ketakutan, menjejakkan kakinya di kayu itu. “Tidak perlu takut,” aku meyakinkan dia, sambil menyambung tali itu dengan simpul, lalu melangkah mundur.

“Bagaimana aku harus berterima kasih, orang baik, bagaimana aku harus berterima kasih!” gumamnya.

Perempuan muda itu menungguku, dan aku menemaninya pulang ke satu sisi Sungai Moskva. Menaiki tangga yang gelap dan berderit keras saat diinjak, dia membawaku ke kamarnya. Dia menyalakan lilin yang mendesis, dengan perlahan aku mulai melihat benda-benda. Ruangan itu sempit, cukup dua tempat tidur kecil, ruang di antara dua tempat tidur dan dinding di seberangnya hanya cukup untuk dilewati satu orang. Karena tidak melihat kursi, aku duduk di kasur. Sesuatu bergerak di bawah selimut, dan aku melompat.

“Jangan khawatir,” kata perempuan muda itu, “itu ibu dan saudaraku yang masih bayi.”

Dari kasur satu lagi muncul kepala berambut keriting. “Lena, apa kau membawakan aku sesuatu?” terdengar suara anak laki-laki.

Perempuan itu mengambil sepotong roti hitam dari saku jubahnya, mencomot potongan kecil dan memberikannya ke anak lelaki itu. “Ibuku lumpuh,” Lena membalik tubuhnya menghadapku, “dan sekarang Masha pun sakit.” Dia menunjuk ke kasur kecil tempat anak lelaki itu berbaring. Ku melihat ada dua tubuh di sana.

“Apakah dia bersekolah?” tanyaku, tak tahu harus bertanya apa lagi.

“Tidak, Yasha tidak bisa pergi. Dia tidak punya sepatu. Semua sepatunya rusak.”

Aku memberi tahu dia tentang sekolah bagus yang aku kunjungi kemarin, juga tentang ayam untuk makan malam anak-anak. “Oh, ya,” jawab Lena dengan cemberut, “sekolah-sekolah itu hanya untuk dipamerkan saja. Apa kesempatan Yasha untuk bersekolah di sana? Ada beberapa sekolah seperti itu di kota, ruangannya hangat dan anak-anak diberi makan dengan baik. Tetapi sekolah-sekolah lain sungguh berbeda. Jari Yasha sampai membeku di sekolahnya. Lebih baik dia di rumah saja. Di sini juga tidak ada penghangat, kami tidak punya kayu sepanjang musim dingin. Tetapi dia dapat tinggal di tempat tidur karena cukup hangat.”

Aku membayangkan apartemen besar yang aku tinggalkan satu jam lalu, dengan aroma yang membuat lapar, letupan tutup botol sampanye yang terlepas, dan Demian Bedni yang membaca puisi dengan suara orang mabuk.

“Kenapa kau diam?” tanya Lena. “Ceritakan kepadaku, sesuatu tentang Amerika. Aku punya saudara laki-laki di sana, dan mungkin kau tahu cara agar aku bisa menemuinya. Kami hidup seperti ini sudah dua tahun. Aku tidak tahan lagi.”

Di duduk di sampingku, wajahnya putus asa. “Aku tidak dapat terus seperti ini. Aku tidak dapat mencuri. Haruskah aku menjual tubuhku untuk bertahan hidup?”

5 Maret.—Temanku Sergei diperintahkan untuk keluar dari Khaitonensky dan tinggal dua malam di jalan. Hari ini aku menemukan dia di kamar kecil tanpa pemanas ruangan, di loji Central Cooperative Union. Dia berbaring di kasur, gemetar karena demam, diselimuti selimut bulu Siberia.

“Malaria,” bisiknya, “tertular di rimba Siberia saat bersembunyi dari Tentara Putih. Aku sering kambuh seperti ini.” Dia tidak pernah mengunjungi dokter, atau mendapatkan perawatan medis.

Aku melihat dvornik (tukang angkut) dan beberapa perempuan sedang menghibur diri di dapur bawah tanah. Mereka sedang sibuk, kata mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan. Harus ada perintah khusus yang diurus untuk mendapatkan dokter, dan siapa yang akan mengurusnya? Itu bukan persoalan sederhana.

Ketidakpedulian mereka membuatku merasa ngeri. Orang Rusia, orang biasa yang menyediakan diri untuk masyarakat, yang selalu peduli terhadap penderitaan dan kesialan. Simpatinya selalu bersama mereka yang lemah dan diabaikan. Di mulut orang kebanyakan, para penjahat di sebut sebagai “yang tidak beruntung”, dan kaum tani selalu tanggap terhadap jerit meminta tolong. Di Siberia mereka biasa menyimpan makanan di luar gubuk, agar mereka yang melarikan diri dari penjara terhindar dari kelaparan.

Kelaparan dan penderitaan tampaknya telah membuat orang Rusia menjadi keras dan menghancurkan sikap murah hati itu. Air mata yang berderai sudah mengeringkan sumur simpati.

“Komite Rumah adalah satu-satunya yang bisa mengurus persoalan itu,” kata tukang angkut itu, “itu urusan mereka, dan mereka tidak suka orang biasa seperti kita ikut campur.”

Dia mencegahku menggunakan telefon. “Kau harus meminta ijin komisar rumah,” ucapnya.

“Di mana aku bisa menemuinya?”

“Dia akan kembali nanti malam.”

Tetapi rokok Ameriku miliku membuatnya tergoda. Aku menelefon Karakhan, yang berjanji akan mengirim dokter.

6 Maret.—Nyoya Harrison, tetanggaku di Kharitonensku, menemaniku ke kamar Sergei, sambil membawa makanan Amerika. Dia koresponden Associated Press, dan tampak sangat pintar. Kunjungannya ke Rusia penuh ppetualangan, dengan penangkapan dan beragam kesulitan berurusan dengan Tcheka.

Kami melihat Sergei masih sangat sakit, tidak dokter yang datang. Ny. Harrison berjanji akan mengirim seorang dokter perempuan yang berbagi kamar dengannya di ossobniak.

Di jalan pulang, kami melewati Lubianka, markas besar Tcheka. Sekelompok orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak, berdiri dekat gerbang besi besar. Beberapa tahanan dibawa untuk didistribusikan ke berbagai kamp, dan orang-orang berharap dapat melihat lirikan mata kawan atau kerabat mereka yang menjadi tahanan.

Tiba-tiba ada keributan, teriakan ketakutan memecah udara. Aku melihat para lelaki yang mengenakan jubah kulit memburu ke jalan, ke arah warga yang berkerumun. Mereka menggenggam pistol, mengancam para perempuan, memerintahkan mereka untuk “pergi dengan urusan kalian!”

Bersama Ny. Harrison aku melangkah menuju gang, tetapi orang-orang Tchekist mengikuti kami dengan pistol di tangan.

Rusia, Revolusi, terasa menghilang. Aku merasa di Amerika lagi, di tengah kaum buruh yang diserbu polisi. Ny. Harrison berbicara kepadaku, dan suara dalam bahasa Inggris itu semakin menguatkan ilusi ini.

Umpatan dalam bahasa Rusia menusuk telingaku. Apakah aku di Rusia yang lama? Aku bertanya-tanya. Rusia-nya kaum Cossack dan cambuk mereka?