Mitos Bolshevik
(Diary 1920–1922)
Alexander Berkman
Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh
Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah:
Proofreading terakhir:
Bab XI
Aktivitas Bolshevik
1 Maret, 1920.—Konferensi Cossack Seluruh Rusia (All-Russian Conference of Cossacks) yang pertama sedang berlangsung di Kuil Buruh. Wajah-wajah yang menarik dan seragam-seragam yang menyolok ada di sana, pakaian Kaukasian lebih banyak terlihat; jubah dari bulu unta yang menjuntai sampai ke tanah, tali-tali logam melintang di dada, topi yang berat berbahan kulit kambing, puncaknya berwarna merah. Beberapa perempuan ada di antara delegasi-delegasi.
Para Cossack itu berasal dari beragam etnik, terlihat setengah liar dan siap berperang. Mereka berasal dari Don, Ural, dan Kuban, dulu digunakan oleh para Tsar sebagai pasukan polisi militer, dan dibuat loyal dengan hak-hak istimewa. Mereka lebih Asia ketimbang Rusia, hampir tidak tersentuh peradaban, dan tidak memiliki kesamaan apa pun dengan orang-orang dan minatnya. Mereka pendukung setia otokrasi, dulu mereka yang menghantam pemogokan buruh dan demonstrasi revolusioner, dengan aksi brutal dalam menekan setiap aksi massa. Mereka juga kejam tak terkira saat Revolusi 19058.
Sekarang, musuh tradisional kaum buruh dan petani itu duduk berdampingan dengan kaum Bolshevik. Perubahan besar apa yang terjadi pada kejiwaan mereka?
Delegasi-delagasi yang aku ajak bicara nampak sungkan dengan peran baru mereka; lingkungan baru yang membuat mereka ketakutan. Kuil besar itu—yang tadinya tempat suci kaum bangsawan—aula besar dengan tiang-tiang marmer, spanduk-spanduk besar dan poster-poster yang berkibar-kibar, potret-potret Lenin dan Trotsky9 menjulang besar di podium, lampu-lampu lilin yang menyala, semuanya membuat anak-anak padang rumput itu terkesima. Tampilan benda-benda itu nampak jelas membuat mereka ketakutan. Cahaya menyilaukan, warna dan gerakan orang-orang yang berkumpul, bagi mereka adalah simbol-simbol kekuatan besar kaum Bolshevik, yang meyakinkan dan mencolok.
Kamanev menjadi ketua konferensi, dan tampaknya dia sendiri yang memutuskan semua urusan, sementara kaum Cossack tidak melakukan apa-apa untuk keputusan-keputusan yang diambil. Mereka tetap diam, bahkan tidak berbicara dengan sesamanya, seperti yang menjadi kebiasaan dalam pertemuan-pertemuan di Rusia. Bagiku, suasana itu terlalu tertib. Sesekali seorang anggota delegasi pergi meninggalkan aula, untuk menyalakan rokok di koridor. Tak seorang pun yang berani merokok di tempat duduknya, sampai seseorang di podium menyalakan rokok. Dia adalah ketua konferensi. Lalu peserta pun mencontohnya, dan segera aula itu pengap dengan asap rokok.
Kalinin, Presiden RSFSR (Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia) memberikan sambutan di Konferensi itu atas nama Republik Soviet. Dia menyebut acara itu sebagai peristiwa sejarah yang hebat, dan meramalkan kaum Cossack yang memiliki kepentingan yang sama dengan kaum proletar dan petani, akan mempercepat kemenangan Revolusi. Tampilan Kalinin yang tidak mengesankan dan lemahnya kepribadian dia membuatnya gagal membangkitkan semangat. Tepuk tangan hadirin seperti keterpaksaan.
Kamenev tampil lebih efektif. Dia mengungkapkan keberanian bersejarah kaum Cossack dan semangat tempur mereka, mengingatkan mereka pada kejayaan pengabdian mereka di masa lalu dalam mempertahankan negeri dari serangan musuh, dan menunjukkan keyakinan dengan bergabungnya kaum Cossack Revolusi akan aman.
Tadinya Lenin akan hadir di Konferensi, tetapi dia tidak jadi datang, dan orang-orang pun kecewa. Kaum komunis dari berbagai tempat di negeri ini—Turkestan, Azerbaizan, Georgia, dan Republik Timur Jauh—dan beberapa delagai luar negeri memberi selamat kepada kaum Cossack, dan mencoba membuat mereka terkesan dengan penyebaran Bolshevisme ke seluruh dunia dan kehebatan Partai Komunis di seluruh Republik Soviet. Semuanya berbicara dengan meyakinkan tentang semakin dekatnya revolusi dunia, dan peserta Internasional terpaku pada Band Merah setiap orang penting selesai berpidato.
Akhirnya seorang anggota delegasi Cossack diundang ke mimbar. Dia menyampaikan salam dari rakyatnya dan memberikan jaminan untuk “melakukan tugas yang diperintahkan Partai Komunis.” Pidato itu sudah diatur, hambar, dan tak bernyawa. Delegasi-delegasi lain ikut berpidato dengan beragam pujian kepada Lenin, yang terdengar seperti sambutan tradisional kepada Tsar Seluruh Rusia yang disampaikan oleh bawahan yang paling setia. Pembicara komunis di mimbar memimpin tepuk tangan.
6 Maret.- Di sesi pertama Soviet Moskow yang baru terpilih, Kamenev duduk sebagai ketua. Dia melaporkan situasi pangan dan bahan bakar yang kritis, menuding kaum Menshevik10 dan Revolusionis Sosial sebagai kontrarevolusioner yang membantu Sekutu, dan menutup pidatonya dengan keyakinannya akan revolusi sosial yang segera meledak di dunia.
Perwakilan Menshevik naik ke mimbar dan mencoba membantah tuduhan terhadap partainya, tetapi anggota-anggota Soviet lainnya menginterupsi dan mencerca dengan kasar, sehingga dia tidak dapat melanjutkan pembelaannya. Pembicara-pembicara komunis kemudian tampil, yang pada dasarnya mengulang-ulang kalimat yang sudah diucapkan Kamenev. Pertunjukan yang tanpa toleransi dan sangat tidak layak dalam sebuah pertemuan revolusioner itu membuatku tertekan. Aku merasa mereka begitu kasar melawan semangat dan tujuan agung dari Soviet Moskow, yang seharusnya menghargai pikiran dan ide terbaik dari semua anggotanya, dan mengkristalkannya dalam aksi yang efektif dan bijak.
Setelah sesi Soviet ditutup, dimulai pertemuan untuk memperingati ulang tahun pertama Internasional Ketiga di Teater Bolshoi. Acara itu dihadiri oleh peserta yang sama dengan sesi Soviet, dan Kamenev sekali lagi menjadi ketua sidang. Acara itu sangat penting bagiku, sebuah pertemuan proletariat dari semua negara, yang diwakili oleh delegasi-delegasi, di ibukota Revolusi. Di acara itu aku melihat simbol hari besar yang akan datang. Tetapi tidak adanya antusiasme membuatku sedih. Semua peserta nampak resmi dan kaku, seakan-akan sebuah parade; diskusinya terlalu mekanis, tidak spontan. Kamenev, Radek, dan komunis yang lain berpidato. Radek menyerang kejahatan yang terjadi di dunia borjuis, merendahkan patriot-patriot sosial di semua negeri, lalu pidatonya melebar pada kedatangan revolusi-revolusi.
Pidatonya yang panjang dan membosankan membuatku lelah.
**
Banyak kuliah yang diselenggarakan di kota, semuanya dihadiri banyak peserta. Kelas-kelas Lunacharsky11 sangat populer. Aku mengagumi kesederhanaan sikapnya dan penjelasannya yang jernih pada tema-tema kelas, misalnya tentang asal dan perkembangan agama, institusi-institusi sosial, seni, dan musik. Peserta kelasnya terdiri dari tentara dan buruh, yang nampak merasa nyaman belajar bersamanya, berdiskusi dengan santai, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Lunacharsky menjawab dengan sabar, dan ramah, dengan pemahaman yang apresiatif terhadap peserta yang haus ilmu pengetahuan, yang seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang konyol.
Kemudian aku mengunjungi Lunacharsky di kantornya di Kremlin. Dia berbicara antusias tentang kesuksesannya memberantas buta huruf, dan menjelaskan kepadaku sistem pendidikan yang dapat diakses siapa pun dalam masyarakat proletar. Di desa-desa juga banyak pekerjaan yang telah dilakukan, ucapnya; tetapi kekurangan guru yang mampu dan diandalkan menjadi hambatan untuk upayanya itu. Awalnya mayoritas orang-orang berpendidikan dengan pahit menentang rejim baru, dan menyabotase pekerjaan. Mereka berharap komunis tidak bertahan lama. Sekarang sedikit demi sedikit pada guru itu kembali ke profesinya, tetapi bahkan di institusi-institusi pendidikan pada komisar politik harus diperkenalkan, seperti halnya di berbagai organisasi Soviet lainnya. Mereka harus menghalangi upaya sabotase dan sikap-sikap kontrarevolusi.
Sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang baru mendidik guru-guru komunis untuk menggantikan guru-guru lama. Sebagian besar kelompok yang terakhir itu tidak bersimpati pada rejim Bolshevik dan teguh mempertahankan metode pendidikan lama. Lunacharsky juga harus berupaya keras melawan kelompok guru yang mendukung sistem yang reaksioner dan menghukum siswa yang terbelakang.
Dia mengenalkan aku kepada Mine Lucharskaya, lalu aku aku menghabiskan sebagian besra hariku bersama perempuan itu, mengunjungi sekolah-sekolah dan koloni-koloni yang berada di bawah tanggung jawabnya. Perempuan itu separuh baya, dan enerjik, mencintai pekerjaannya, dan memiliki ide pendidikan yang modern. “Anak-anak harus mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dengan bebas,” dia menekankan, “dan tentu saja kami memberi mereka yang terbaik yang kami miliki.”
Beberapa sekolah yang kami kunjungi, bersih dan hangat, walau aku melihat hanya sedikit anak-anak di sekolah-sekolah itu, sebagian besar laki-laki dan perempuan berusia di bawah 12 tahun. Mereka menari dan bernyanyi untuk kami, dan menunjukkan sketsa-sketsa yang mereka buat dengan pulpen dan tinta, sebagian di antaranya sangat bagus. Anak-anak itu berpakaian dengan layak dan nampak bersih serta mendapat cukup makanan.
“Kekurangan utama bagi kami adalah guru yang tepat,” ucap Lunacharskaya. “Kami juga sangat kekurangan kertas, pensil, dan alat-alat belajar lainnya. Blokade telah mencegah kami mendapatkan buku-buku dan material-material dari luar negeri.”
Di satu sekolah kami melihat selusin anak saat makan malam, dan kami diundang untuk ikut makan. Sajiannya, sedikit sekali kasha—sejenis bubur—dan ayam.
“Di sekolah lain makannya jauh lebih buruk,” ucap Lunacharskaya, memergoki keterkejutanku atas makanan yang disediakan. “Mereka kekurangan bahan bakar dan makanan. Sekolah kami lebih baik dalam hal itu. Tetapi sebenarnya itu sangat tergantung pada manajemen. Ada ekonomi yang buruk dan pencurian-pencurian di beberapa institusi lain.”
“Aku telah melihat anak-anak yang mengemis dan berjualan,” kataku sambil mengamati dia.
“Situasi yang sangat tidak menguntungkan, dan sangat sulit. Banyak anak muda yang menolak pergi ke sekolah atau kabur dari sekolah.”
“Aku tidak dapat membayangkan ada anak yang kabur dari sekolahmu untuk mengemis di cuaca yang dingin ini,” kataku.
“Tentu saja tidak,” dia tersenyum, “tetapi tidak semua sekolah seperti sekolahku. Lagipula, anak-anak Rusia hari ini berbeda dengan anak-anak lainnya. Mereka tidak normal—produk dari perang yang berkepanjangan, revolusi, dan kelaparan. Faktanya, kami memiliki banyak anak yang terbelakang dan banyak prostitusi remaja. Warisan kami yang sangat buruk,” dia menambahkan, dengan raut sedih.
Anak-anak laki-laki dan perempuan mengerumuni Lunatcharskaya, dan nampak bahagia dipeluk olehnya. Saat membungkuk untuk mencium salah satu dari mereka, dia melihat ada salib dengan kalung perak yang menggantung pada leher seorang anak. “Apa yang kau kenakan? Coba aku lihat, sayang,” dia meminta dengan lembut. Anak perempuan itu terlihat malu dan menyembunyikan salibnya. Lunatcharskaya tidak memaksa.