Bab IV

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab IV

Moskow

10 Februari, 1920.— Kesempatan untuk berkunjung ke ibukota datang tanpa terduga. Lansbury dan Barry dari London Daily Herald sudah ada di Petrograd, dan aku diajak untuk menemani mereka ke Moskow sebagai penerjemah. Walaupun aku belum pulih dari sakit, aku menerima tawaran langka itu. Melakukan perjalanan dari Petrograd ke Moskow sangat dibatasi kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak.

Jalan kereta antara dua ibukota (keduanya diakui sebagai ibukota) sangatlah buruk. Mesin keretanya sudah tua dan lemah, rel keretanya perlu untuk diperbaiki. Beberapa kali kereta kami kehabisan bahan bakar, dan mekanik kereta harus turun, pergi ke hutan untuk mencari pasokan kayu. Beberapa penumpang menemani kru kereta untuk membantu mengangkut kayu.

Gerbong-gerbong kereta itu dipenuhi oleh tentara dan pejabat Soviet. Saat malam, banyak penumpang yang memenuhi gerbong kami. Begitu banyak teriakan dan makian, dan juga tangisan anak kecil. Kemudian datang keheningan yang mendadak, serta perintah yang tak ramah, “Keluar kalian setan! Kalian tidak diizinkan untuk ada di sini!”

“Petugas pemeriksa kereta,” kata seorang provodnik (pembawa barang), yang datang ke ruangan kami untuk mengingatkan. “Siapkan surat-surat perjalannya, tovarishtchi.”

Lalu seorang lelaki yang tinggi besar dan gelap masuk. Mataku terpaku pada pistol Colt besar yang tersandang di sabuknya. Di belakang dia, berdiri dua tentara dengan senapan bayonet. “Surat-suratmu!” perintahnya.

“Penumpang Inggris,” kataku menjelaskan, sambil menyerahkan dokumen perjalanan kami.

“Oh, maafkan, tovarishtchi,” kata petugas itu.

Sikapnya mendadak berubah, saat dia melihat Lansbury, yang mengenakan mantel bulu yang besar, tinggi dan besar, tipikal borjuis Inggris.

“Maafkan saya,” kata petugas itu lagi, dan tanpa memeriksa dokumen kami, dia pergi menuju ruang berikutnya.

Kami duduk di gerbong khusus bagi para pejabat tinggi Bolshevik dan tamu-tamu asing. Gerbong itu diterangi cahaya lilin, memiliki sofa, dan bersih. Gerbong lainnya adalah gerbong kelas tiga, yang hanya dilengkapi bangku panjang dari kayu, dan beberapa bagasi, tanpa cahaya dan penghangat, benar-benar penuh sesak dan kotor.

Di setiap stasiun, kami terpaku oleh begitu banyaknya orang yang akan ikut menumpang kereta itu. “Tidak ada lagi ruang! Tidak ada lagi ruang!” teriak para milisi yang mengawal kereta, sambil mengacungkan senapan mereka.

Aku mengatakan kepada para petugas itu, bahwa masih ada ruang kosong di gerbong kami. Tetapi mereka mengabaikan perkataanku. “Ruang ini bukan untuk mereka,” kata para petugas itu.

Saat tiba di Stasiun Moskow, kami melihat peron dan ruang tunggu yang dipenuhi oleh manusia. Hampir setiap orang memanggul barang-barang berat di punggungnya, saling dorong dan berteriak. Sedangkan mereka yang berada di depan mencoba untuk melewati penjaga bersenjata di setiap gerbang. Orang-orang itu tampak kuyu dan kotor, sebagian besar telah melewati beberapa hari di stasiun itu, tidur pada malam hari di lantai, menunggu giliran untuk bisa berangkat.

Dengan susah payah kami mencapai jalan raya. Di sana terdapat beberapa kelompok perempuan dan anak-anak yang berebut barang-barang kami. Setiap orang mencoba membawanya, dan meyakinkan kami bahwa mereka akan membantu membawa barang kami ke mana pun, dengan bayaran yang murah.

“Sedikit roti, bapak,” anak-anak mengemis, “Hanya sedikit saja, demi Kristus.”

Saat itu benar-benar sangat dingin. Salju tebal menutupi tanah. Anak-anak berdiri menggigil, saling membenturkan kaki-kaki mereka demi sedikit kehangatan. Wajah-wajah meeka yang tirus berwarna kebiruan dan kuyu, sebagian anak laki-laki berdiri dengan telanjang kaki di jalan yang membeku.

“Mereka tampak kelaparan, dan betapa buruknya pakaian yang mereka kenakan,” kataku.

“Tidak lebih buruk dari yang Anda lihat di stasiun-stasiun di London,” kata Lansbury dengan tak acuh. “Anda terlalu berlebihan, Berkman.”

Dengan menggunakan sebuah mobil Kementerian Luar Negeri, kami dibawa menuju sebuah rumah besar, dengan pagar besi yang tinggi, dan penjaga di gerbangnya. Bangunan itu bekas rumah Y, raja gula Rusia, yang sekarang dikuasai oleh Karakhan.

Sebuah rumah yang besar, dengan karpet mahal, serta hiasan dinding dan lukisan yang langka. Seorang pria muda, yang menemui kami dan memperkenalkan diri sebagai sekretaris Tchicherin, membawa Lansbury dan Barry ke ruang tamu.

“Saya menyesal, kami tidak memiliki ruang lebih untuk Anda,” katanya kepadaku. “Kami tidak menunggu Anda. Tetapi aku akan membawa Anda ke Kharitonensky.”

Tempat yang disebutnya itu ternyata sebuah penginapan Soviet, terletak di jalan yang memiliki nama yang sama. Bangunan itu tadinya dimiliki oleh seorang pedagang Jerman, tetapi sekarang sudah dinasionalisasi, dan dijadikan tempat untuk menginap para delegasi atau tamu dari daerah-daerah lain di negeri ini.

Di Kharitonensky aku diberi tahu, komandan penginapan itu sedang absen, dan tidak ada satu pun yang bisa diputuskan tanpa izinnya. Aku menunggu dua jam, dan ketika akhirnya sang komandan datang, dia mengatakan, tidak seorang pun yang memberi tahunya tentang kedatanganku. Dia pun tidak menerima perintah untuk menyiapkan kamar untukku, dan karenanya tidak ada ruang yang tersedia.

Di sinilah dilemanya. Seorang asing di sebuah kota, tanpa hotel atau tempat menginap, dan tidak ada satu pun tempat yang bisa didapat kecuali melalui perintah seseorang atau institusi Soviet. Karena aku tidak diundang atau dikirim ke Moskow oleh lembaga pemerintah, maka aku tidak bisa berharap untuk mendapatkan kamar. Moskow benar-benar penuh sesak, dan departemen-departemen pemerintah yang terus bertambah, selalu membutuhkan penambahan kantor baru.

Sang komandan memberitahu, pengunjung yang tidak bisa menemukan tempat menginap, biasanya akan menghabiskan malam di stasiun kereta. Aku baru saja akan mengikuti saran itu, ketika kami dihampiri oleh seorang lelaki yang menggunakan topi bulu berwana putih, dengan penutup telinga yang panjangnya sampai ke lutut. Dari pakaiannya, aku berpikir pastilah dia orang Siberia.

“Kalau komandan tidak keberatan, mungkin Anda berbagi kamar dengan saya, sampai ada kamar yang tersedia,” kata dia dengan sopan, dalam bahasa Inggris yang baik.

Sang komandan, kemudian memeriksa surat-suratku, kemudian menyetujui permintaan itu, dan mempersilahkan aku untuk tinggal di kamar besar dan hangat milik teman yang datang itu.

Dia menatapku dengan hati-hati, lalu bertanya, “Apakah Anda dari San Fransisco?”

“Ya, saya pernah tinggal di sana. Kenapa Anda bertanya?”

“Apakah nama Anda Berkman?”

“Ya.”

“Alexander Berkman?”

“Ya.”

Dia memelukku. Lalu menciumku, seperti layaknya adat orang Rusia.

“Kenapa,” katanya, “Saya mengenal Anda. Saya pernah tinggal juga di San Fransisco. Saya sering melihat Anda, dalam berbagai pertemuan dan perkuliahan. Tidakkah Anda mengenal saya? Saya Sergei. Saya tinggal di Russian Hill. Tidak, tentu saja Anda tidak akan mengingat saya. Saya pulang ke Rusia saat pecah Revolusi Februari, dalam perjalanan ke Jepang. Saya pernah ke Siberia, ke Sakhalin dan wilayah Timur, dan sekarang sedang membawa laporan ke Partai.”

“Anda seorang komunis,” tanyaku penasaran.

“Seorang Bolshevik,” dia tersenyum, “Tapi bukan anggota Partai. Saya pernah menjadi Revolusionis Sosial Kiri, tapi sekarang saya dekat dengan komunis, dan bekerja dengan mereka sejak Revolusi.”

Sekali lagi dia memelukku.