Bab II

Mitos Bolshevik

(Diary 1920–1922)

Alexander Berkman


Terbit: Sebagai pamplet oleh
Teks asli: oleh
Proofed: oleh

Terbit dalam bahasa Indonesia:
Terjemah: 
Proofreading terakhir: 


Bab II

Di Tanah Soviet

20 Januari 1920.- Menjelang malam, kami menjejakan kaki di tanah Soviet Rusia. Terusir dari Amerika Serikat seperti para kriminal, di sini, di Belo-Ostrov, kami diterima dengan tangan terbuka. Himne revolusioner dimainkan oleh kelompok musik militer Band Merah, menyambut kami saat kaki kami melangkah melewati perbatasan.

Terdengat teriakan riang gembira dari para tentara yang bertopi merah, bercampur dengan teriakan bernada sama dari para deportan, menggaung di tengah hutan, berputar hingga kejauhan, layaknya sebuah tantangan akan kebahagiaan dan rintangan. Dengan kepala tanpa penutup, aku terpaku di depan simbol-simbol Kemenangan Revolusi.

Aku tenggelam dalam rasa yang khidmat. Mungkin rasa ini pula yang dirasakan oleh nenek moyangku yang saleh, saat mereka memasuki Yang Suci di antara Yang Tersuci. Tiba-tiba muncul dorongan kuat yang memaksaku untuk berlutut dan mencium tanah ini -tanah tempat bersemayamnya darah kehidupan generasi-generasi yang tertindas dan para pejuang, yang kini dibasuh dan dihidupi para revolusioner dari generasiku.

Belum pernah terjadi, bahkan tidak terjadi saat pelukan pertama yang merayakan kejayaan May Day 1906 -setelah empat belas tahun dipenjara di Penjara Pennsylvania—aku merasakan kegalauan yang demikian hebat. Sejak lama aku ingin merasakan pelukan kemanusiaan, untuk merebahkan hatiku di kakinya, untuk memberikan hidupku ribuan kali untuk melayani revolusi sosial.

Hari itu adalah hari yang paling indah dalam hidupku.

***

Di Belo-Ostrov, sebuah pertemuan massa digelar untuk menyambut kami. Sebuah aula besar dipenuhi tentara dan petani yang datang untuk menyambut kami, kamerad mereka yang baru datang dari Amerika. Mereka menatap kami dengan mata membelalak dan penuh kekaguman. Banyak yang menanyakan pertanyaan aneh. “Apakah kaum buruh juga kelaparan di Amerika? Apakah akan juga terjadi revolusi di sana? Berapa lama lagi kami akan mendapat pertolongan untuk Rusia?”

Tempat yang sesak itu semakin pengap oleh bau tubuh manusia dan asap tembakau. Orang-orang saling dorong dan teriakan-teriakan keras terdengar dalam bahasa perbatasan yang kasar.

Kegelapan turun, dan aula ini tidak juga diterangi. Aku merasakan sensasi yang unik, berada di sini, terombang-ambing di tengah-tengah lautan manusia, tanpa sedikit pun bisa membedakan wajah yang satu dari yang lainnya.

Tiba-tiba saja semuanya menjadi hening. Pandanganku tertuju ke podium yang diterangi cahaya lilin yang temaram. Dalam keremangan itu, aku bisa melihat beberapa perempuan yang berpakaian hitam. Mereka tampak seperti biarawati yang baru keluar dari biara. Wajah mereka bersahaja dan agung. Kemudian, salah satu perempuan itu melangkah menuju ujung podium.

“Tovarishtchi,” katanya, dengan suara yang tegas dan bersemangat, menggetarkan seluruh jiwa ragaku.

Dia berbicara dengan penuh gairah, berapi-api, dengan nada kegetiran terhadap dunia yang antagonis. Dia membicarakan heroisme masyarakat revolusioner, tentang pengorbanan dan perjuangan mereka, tentang pekerjaan hebat yang masih harus terus dilakukan di Rusia. Dia mengecam kejahatan orang-orang kontra-revolusi, invasi pasukan Sekutu, dan blokade yang mematikan.

Dengan berapi-api dia meramalkan akan datangnya revolusi besar dunia, untuk menghancurkan kapitalisme dan kaum borjuis di seluruh Eropa dan Amerika, seperti yang telah dilakukan di Rusia, dan akan menyerahkan dunia dan seluruh isinya ke genggaman proletariat internasional.

Hadirin tak henti bertepuk tangan. Aku merasakan atmosfir yang dipenuhi oleh semangat perjuangan revolusi, simbol dari perang besar antara dua dunia -jejak kekerasan baru untuk dirinya di tengah kebingungan dan kekacauan dari semangat yang saling berbenturan. Aku tersadar akan dunia yang sedang diciptakan, dengan revolusi sosial yang menumbangkan segalanya, dan aku ada di sana, di tengah-tengah semua itu.

Zorin mengikuti perempuan berbaju hitam itu, yang menyambut para deportan atas nama Soviet Rusia, dan mengatasnamakan kerjasama mereka untuk tugas revolusi. Kemudian, beberapa deportan naik ke atas podium. Mereka mengatakan, betapa mereka terkesan dengan penerimaan yang begitu baik dari masyarakat Rusia. Mereka juga menyatakan kekagumannya atas kehebatan orang-orang Rusia, yang untuk pertama kalinya berhasil menumbangkan dan mempermalukan kapitalisme dan memapankan kebebasan dan persaudaraan di muka bumi.

Aku begitu terhanyut dengan keberadaanku di tempat ini, dan terlalu gamang untuk berbicara. Tiba-tiba saja aku tersadar akan orang-orang yang mendorongku untuk berbicara. “Bicaralah Berkman, bicaralah! Jawablah dia!”

Aku larut bersama emosiku dan tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang bicara di podium. Aku menatap ke atas. Bianki sedang berbicara, anak muda Rusia keturunan Italia. Aku terpaku saat dia berbicara dengan lambat dan menohok pikiranku.

“Kami para anarkis,” kata Bianki, “mau bekerja untuk kaum Bolshevik, hanya jika mereka memperlakukan kami dengan baik. Tapi aku mengingatkan kalian bahwa kami tidak akan mau ditekan. Kalau Anda mencobanya, itu berarti akan ada perang di antara kita.”

Aku terkejut dengan kata-katanya dan melompat naik ke podium. “Janganlah kita rusak waktu ini dengan pemikiran yang tak bernilai,” kataku. “Sejak saat ini kita adalah satu -satu dalam tugas suci untuk revolusi, satu dalam pertahanan, satu dalam mencapai tujuan bersama untuk kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat. Sosialis atau anarkis -perbedaan teoritis kita akan ditinggalkan di belakang. Kita semua adalah para revolusioner sekarang, dan bahu membahu kita akan berdiri, bersama berjuang dan bekerja untuk para kamerad revolusi yang membebaskan, para pahlawan perjuangan Revolusi Rusia. Atas nama deportan Amerika, aku menghaturkan salam kepada Anda semua. Atas nama mereka aku katakan kepada Anda, kami datang untuk belajar, bukan menggurui. Untuk belajar dan menolong!”

Para deportan bertepuk tangan, pidato-pidato lain datang menyusul, segera saja insiden ketidaksopanan Bianki terlupakan. Di tengah antusiasme yang luar biasa, pertemuan itu akhirnya diakhiri menjelang tengah malam dan seluruh hadirin menyanyikan lalu “Internationale.”

Dalam perjalanan menuju stasiun, di mana kereta yang akan membawa kami ke Petrograd telah menunggu, sebuah kotak besar berisi biskuit Amerika terjatuh dari kereta dorong. Tentara yang menemani kami, dengan tatapan yang lapar, segera mengambilnya. Aku memberitahu mereka bahwa makanan itu untuk anak-anak di Petrograd.

“Betul juga,” kata mereka, “Anak-anak lebih membutuhkan makanan ini.”

Ada sambutan lagi yang menunggu kami di Petrograd, diikuti oleh demonstrasi ke Istana Tauride, dan digelarnya sebuah pertemuan besar. Kemudian kami berpawai ke Smolny, di mana para deportan diinapkan untuk semalam.