Menolak Nasionalisme dan Patriotisme
Saat petani-petani Tegaldowo, Rembang, menolak keberadaan PT Semen Indonesia (SI) di bukit-bukit yang menjadi sumber air ruang hidup mereka, buruh-buruh di Jakabeka mogok untuk menolak penetapan upah murah, dan masyarakat Malind di Merauke menolak eksploitasi PT Medco atas hutan mereka, tak sedikit publik yang menilai bahwa penyebab konflik adalah petani Rembang kurang bersatu dengan pemerintah dan perusahaan, bahwa petani yang menentang agenda Negara dan PT SI kurang memahami agenda besar ‘pembangunan’ yang bertujuan mendongkrak pendapatan nasional demi ‘kemakmuran rakyat’, bahwa buruh-buruh yang mogok adalah orang-orang yang kurang mau mengalah dan memahami posisinya, dan tak mau selaras dengan pemerintah dan perusahaan. Simpatisan PT SI sendiri menggunakan simbol nasionalis NKRI saat membela keberadaannya di Rembang: Padoeka Jang Moelia Panglima Besar Revolusi, Soekarno, yang pada tahun 1957 meresmikan korporasi semen itu dengan tangannya sendiri. Dalam kasus masyarakat Malind, penilaiannya ditambahi dengan label provokator atau separatis yang ingin memecah-belah bangsa. Petani, buruh, dan masyarakat adat ini dipandang cari gara-gara dan mengancam ‘kedamaian’ dan stabilitas yang lazimnya jadi syarat pembangunan nasional yang lancar.
Dengan kata lain, protes dan perlawanan kelompok-kelompok rakyat ini jauh dari nasionalisme: paham bahwa setiap individu melekat dengan identitas kolektif yang disebut bangsa, dan individu-individu di dalam identitas kolektif ini memiliki kepentingan yang relatif sama. Patriotisme berimplikasi lebih jauh: setiap individu dalam suatu bangsa sebaiknya bahu-membahu menyukseskan agenda negara-bangsanya yang tengah bersaing dengan negara-bangsa lain, karena tentu negara-bangsanya lebih penting daripada negara-bangsa lain.
Namun, sejauh apa nasionalisme dan patriotisme mampu memberikan pembacaan yang jujur atas konflik ruang hidup yang terjadi? Mengapa petani Rembang yang menolak tanahnya dirampas dan dijadikan area tambang karst dianggap kurang memiliki rasa persatuan-kesatuan? Mengapa menolak diupah murah dicap tidak mencintai bangsa? Mengapa masyarakat Malind yang melawan Medco dilabeli separatis dan pemecah-belah bangsa?
Nasionalisme dan patriotisme tidak memberi banyak pilihan selain mengukur konflik ruang hidup lewat derajat kecintaan pada negara-bangsa yang abstrak dan jauh dari dasar materiil penyebab tiap konflik ruang hidup. Semakin sedikit derajat kecintaannya pada agenda negara-bangsanya, semakin laknat lah seseorang. Di titik inilah, perspektif kelas menjadi penting.
Melihat konflik ruang hidup dalam perspektif kelas berarti menempatkan individu dalam konflik tersebut dalam relasinya dengan alat produksi: tanah, pabrik, laut, hutan, dan sebagainya. Siapakah petani-petani Tegaldowo dan PT SI dalam relasinya dengan tanah dan bukit-bukit yang digunakan sebagai lahan pertanian, namun di saat yang sama, mengandung karst yang menjadi komoditas utama PT SI? Siapakah buruh-buruh dan bos dalam relasinya dengan perusahaan? Siapakah masyarakat Malind dan Medco dalam relasinya dengan hutan yang di satu sisi merupakan ruang berburu, meramu, memanen sagu bagi masyarakat Malind secara turun-temurun, tapi di sisi lain ditumbuhi kayu yang merupakan komoditas utama Medco? Apakah kepentingan tiap kelompok ini atas alat produksi tersebut?
Individu-individu yang kepentingannya berlawanan dalam ekspansi dan akumulasi kapital bukanlah sebuah ‘bangsa’ yang satu, melainkan kondisi keberadaan di dalam kapitalisme yang tidak terelakkan dan melampaui batas-batas identifikasi kolektif seperti kebangsaan. Jadi, realita yang terjadi bukanlah sebuah pertarungan antar kelompok yang mencintai dan tidak mencintai bangsanya, namun pertarungan antara kelas-kelas dengan kepentingan berbeda atas alat produksi. Konsekuensinya adalah tidak ada ‘masyarakat Indonesia’ yang satu kepentingan di dalam ‘bangsa Indonesia’, tidak ada ‘kepentingan nasional’ bersama yang menyatukan kepentingan kelas yang berseberangan ini.
Buruh-buruh pabrik mungkin bisa saja sangat mencintai bangsanya atau bisa saja sangat membenci bangsanya, tapi yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa buruh merupakan kelas yang harus menjual tenaga kerjanya pada bos untuk mendapatkan upah untuk bertahan hidup. Dalam relasinya dengan alat produksi, buruh tidak memiliki alat produksi sementara bos memilikinya. Karena penguasaan alat produksi ini, sang bos dapat mengeksploitasi buruh lewat profit yang dihisapnya untuk diakumulasikan menjadi kapital baru. Kepentingan buruh jelas, objektif dan materiil: mendapatkan upah lebih banyak dengan kerja yang lebih sedikit, serta kondisi hidup dan kerja yang layak. Sementara kepentingan kapital tentu berseberangan: membuat buruh bekerja lebih keras dengan biaya produksi lebih rendah (misalnya upah rendah) supaya profit lebih tinggi.
Petani-petani Tegaldowo mungkin ada yang hapal “Indonesia Raya” atau mungkin sama sekali lupa, tapi yang pasti para petani ini terancam kehilangan alat produksinya akibat kebutuhan ekspansi dan akumulasi kapital PT SI. Keturunan masyarakat Malind mungkin ada yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik atau malah tidak bisa sama sekali, tapi yang pasti alat produksi masyarakat Malind berbentuk hutan telah dirampas, dirusak dan dieksploitasi demi kebutuhan ekspansi dan akumulasi kapital Medco.
Perbedaan kepentingan kelas inilah yang menjadi basis materiil pecahnya konflik ruang hidup. Kepentingan kapital beroperasi lewat korporasi (swasta maupun milik negara) yang kebutuhan ekspansi dan akumulasi kapitalnya dijamin oleh negara. Inilah realitas dunia kapitalis yang kita tinggali, tempat pertentangan kelas menjadi hakekatnya. Kelas bukanlah derajat kecintaan pada bangsa, bukan kampung halaman, bahasa nasional, atau lagu kebangsaaan yang dinyanyikan setiap kali upacara bendera. Kelas adalah tolak ukur yang materiil dan nyata: kelas pekerja seperti buruh pabrik di Jakabeka yang diupah murah, kelas pemilik dan penggarap lahan seperti petani di Tegaldowo yang tanahnya terancam dirampas PT SI, masyarakat Malind yang hutannya dirusak PT Medco adalah kelas yang kepentingannya dilindas ekspansi dan akumulasi kapital.
Menganjurkan nasionalisme dan patriotisme sebagai cara membaca dan solusi atas konflik ruang hidup yang terjadi berarti menganjurkan kolaborasi kelas – menganjurkan ‘perdamaian’ di tengah pertentangan kelas yang terjadi. Nasionalisme menciptakan imajinasi akan adanya komunitas bangsa yang memiliki kepentingan bersama. Padahal, ini mengaburkan realitas akan kepentingan materiil yang nyata dan saling berlawanan antara kelas-kelas yang membentuk seluruh populasi.
Dalam imajinasi persatuan-kesatuan nasional yang agung, buruh yang nasionalis berarti buruh yang berdamai dengan bosnya walau sang bos menghisap profit hasil kerja kerasnya dan memberinya upah tak seberapa, petani Rembang yang nasionalis berarti petani yang merelakan tanahnya dirampas oleh PT Semen Indonesia dan diubah menjadi tambang (yang, di banyak kasus, berarti terciptanya sekumpulan orang tanpa tanah yang mayoritas kemudian menjadi buruh tambang atau pengungsi baru di daerah-daerah urban), dan masyarakat Malind yang nasionalis berarti mereka yang berdamai dengan Medco yang merampas hutan mereka.
Penulis adalah anggota LIBERTAS (Lingkar Belajar Rakyat untuk Solidaritas). LIBERTAS adalah organisasi sosialis libertarian yang berfokus pada perjuangan anti-kapitalis. LIBERTAS memperjuangkan kepemilikan dan kontrol kolektif kaum pekerja atas alat produksi dan tempat kerjanya secara demokratis, melawan patriarkisme dan seksisme, melawan homophobia dan transphobia, melawan hierarki dan eksploitasi manusia yang satu atas manusia yang lain, serta hierarki dan eksploitasi manusia atas alam.
Trus solusine opo? I would be interested to know…
Trus solusine opo? I would be interested to know…
Lalu tatanan sosial apa yang ditawarkan oleh sodara2 ini?
Lalu tatanan sosial apa yang ditawarkan oleh sodara2 ini?