Masih Perihal Primata: Menyelesaikan Apa yang Tidak Kita Mulai
SEBELUM benar-benar masuk ke dalam inti tulisan ini—yang merupakan tanggapan atas tulisan Terrik Matahari berjudul Primata, Revolusi, Anarki(sme)—yang juga merupakan tanggapan terhadap tulisan saya yang sebelumnya, Primata, Hierarki, Revolusi, saya merasa berkewajiban untuk meluruskan terlebih dahulu beberapa hal yang telah disalahpahami oleh Terrik.
Saya tidak sebegitu bodoh untuk mengklaim diri menjadi seorang darwinis sosial dalam sebuah tulisan yang saya tujukan untuk menyerang gagasan darwinis sosial. Hanya salah ketik yang memungkinkan hal tersebut. Tapi ini bukan salah ketik. Terrik lah yang terlanjur tergelincir karena gagal membedakan antara apa yang saya maksud dengan darwinis dan darwinis sosial. Ketika saya mendaku sebagai darwinis, saya merujuk kepada gagasan biologis Charles Darwin terkait pengakuan terhadap evolusi sebagai gerak perkembangan dari bentuk-bentuk organisme yang sederhana ke bentuk-bentuk yang semakin kompleks. Gagasan berdasarkan pada asas-asas kompleksifikasi dan diferensiasi, bukannya percaya pada gagasan bodoh keilahian bahwa manusia ujug-ujug diciptakan oleh sesuatu yang abstrak dan akhirnya setiap organisme yang ada saat ini memang ada begitu saja, hal yang mana sama sekali tidak memerlukan dan tidak dapat diuraikan melalui penjelasan saintifik.
Sementara itu, ketika saya menulis darwinis sosial, saya merujuk kepada gagasan sosial yang telah sembrono menarik prinsip-prinsip dasar Darwinisme ke bidang sosial secara mentah untuk kepentingan paham liberalisme klasik, sebagaimana telah saya jelaskan secara ringkas dalam tulisan Primata, Hierarki dan Revolusi. Mereka menganggap bahwa ‘survival of the fittest’ adalah sesuatu yang alamiah dan karenanya melegitimasi persaingan, pemilikan properti pribadi dan kewirausahaan sebagai jalan keluar terbaik dalam menjalani kehidupan sosial kita.
Saya perlu tekankan bahwa saya adalah darwinis, bukan darwinis sosial. Saya percaya bahwa hukum-hukum mendasar dari masyarakat itu seharusnya sejalan dengan hukum alam, namun untuk penyesuaian kedua jenis hukum ini kita tidak boleh melakukannya secara asal-asalan. Untuk posisi saya dalam menentang gagasan-gagasan darwinis sosial, saya berada dalam garis yang sama dengan Peter Kropotkin sebagaimana ia tuliskan dalam karyanya Mutual Aid: A Factor of Evolution.[1] Karya termasyhur ini sangat komprehensif untuk mendukung ide-ide anarkistiknya; bahwa terdapat sebuah pertarungan yang terjadi akibat keadaan-keadaan alami, namun bukannya antara hewan-hewan dalam satu spesies, seperti dipercayai darwinis sosial. Dari hasil penelitiannya itu, ia menarik kesimpulan bahwa justru dengan berkerjasama kita dapat bertahan hidup dengan baik, dengan demikian membuka peluang kemanusiaan yang lebih besar lagi. Sebagaimana telah saya kutip dari Darwin sendiri, ia telah gagal mengartikulasikannya. Darwin menjelaskan bahwa insting sosial dan simpati adalah penyebab mengapa hewan dalam satu spesies saling membantu demi keberlangsungan bertahan hidup. Dengan demikian, hingga batasan tertentu apa yang dimaksud dengan ‘survival of the fittest’ dari konsepsi Darwinian ini, sebenarnya tidak bersimpang jalan dengan hasil-hasil penelitian Kropotkin. Kerjasama sangat penting demi keberlangsungan individu dalam suatu spesies. Inilah letak kesembronoan darwinis sosial yang coba saya patahkan namun gagal, dan disalahpahami pula.
Dalam konteks ini, persaingan dalam rangka berebut sumber daya adalah sama alamiahnya dengan berkerjasama dengan tujuan yang sama. Walau di satu sisi juga banyak contoh-contoh mutualis antarspesies yang berkerjasama, pada umumnya antarspesies terjadi persaingan berebut sumber daya hidup (makanan, air, cahaya, dan tempat tinggal). Sementara dalam satu spesies ada beberapa spesies yang hidup individual, namun ada juga yang hidup secara sosial, yang mana dalam lapangan studi biososial disebut sebagai hewan sosial (social animal). Gajah, singa, dan simpanse adalah spesies yang masuk ke dalam kategori hewan sosial, begitu pula manusia. Kesalahan darwinisme sosial adalah menempatkan persaingan dalam upaya kita sebagai hewan sosial yang seharusnya (dan memang akan menjadi lebih baik) jika berkerjasama. Kita adalah makhluk yang berkerjasama, dan menempatkan ‘survival of the fittest’ sebagai prinsip utama sosial kita telah menempatkan orang-orang miskin dan tidak mampu menjadi lebih miskin dan tidak mampu lagi. Dengan begitu, dalam skala yang lebih luas, kita juga harus mengakui bahwa ketidakadilan dan penindasan adalah konsekuensi dari persaingan sumberdaya alam yang tidak alamiah.[2]
Saya juga sangat setuju dengan Terrik perihal studi perilaku antara simpanse dengan manusia telah saya lakukan dengan cocoklogi—atau meminjam penjelasan Terrik—dilakukan dengan reduksionisme. Tetapi ketika saya menulis “apa yang teramati pada perilaku simpanse, juga merupakan perilaku kita”, sebenarnya saya berbagi pandangan yang sama dengan Terrik yang menulis bahwa, “manusia dan semua spesies secara khusus primata memiliki keunikannya masing-masing dan pada saat tertentu sama-sama berbagi kemiripan perilaku.” Dan ketika Terrik menjabarkan bahwa studi perilaku hewan memang ada sebagai sebuah bidang ilmu, yang disebut sebagai etologi, hal ini paling tidak membuka peluang pembenaran bahwa hal tersebut memang dimungkinkan. Satu-satunya yang salah adalah seharusnya memang bukan saya yang melakukannya.
Saya sama sekali tidak bermaksud memukul rata keberagaman dan keunikan setiap spesies. Sepanjang saya perhatikan kembali, saya tidak menemukan kesalahan dengan menyamakan kera (ape) dan monyet (monkey) seperti Terrik maksud. Sebab, saya menggunakannya bukan dalam maksud terminologi biologis yang ketat, melainkan menggunakannya secara populer untuk menyebut “primata apapun yang bukan manusia”—yang mana kera dan monyet adalah salah satunya—yang kerap digunakan oleh mereka yang menolak teori Darwin bahwa manusia punya leluhur atau spesies yang sama dari percabangan evolusi kita mula-mula (saya harap Terrik tidak mempermasalahkan kembali secara literal penjelasan saya barusan, karena saya memandang bahwa Terrik sebenarnya mengerti apa yang sebenarnya saya maksud).
Dalam tulisan balasannya, Terrik menjelaskan bahwa dalam beberapa hal saya tampak seperti Marxis. Justru dalam hal ini Terrik malah terjebak dalam polarisasi bahwa ‘anarkis adalah anarkis’ dan ‘marxis adalah marxis’ belaka. Ini cenderung menutup kemungkinan akan adanya keberagaman sintetis antar keduanya, macam betapa mungkinnya tradisi yang disebut marxis-libertarian atau marxis-otonomis, misalnya. Sederhananya, sangat memungkinkan bahwa seorang anarkis menggunakan sebagian analisis Marxian tanpa harus menjadi marxis. Sama seperti Bakunin, saya memang menggunakan sebagian dari analisis Marxian bahwasannya ekonomi memang deterministik. Saya memandangnya sebagai sebuah keniscayaan. Kecurigaan Terrik sungguh benar, namun perkenankan saya untuk menjelaskan bahwa saya punya pandangan tersendiri terkait hal ini. Pertama, tidak hanya kerja-kerja produksi saja, melainkan juga pengorganisasian sosial merupakan basis dari kehidupan masyarakat. Politik adalah sama materialnya dengan ekonomi, dan karena itu keduanya berada dalam posisi yang kurang lebih setara sebagai basis yang memengaruhi segala superstruktur. Kedua, lebih dari Marx, sifat hubungan antara basis-superstruktur tidaklah deterministik amat, melainkan sangat dialektis.[3] Sekalipun demikian, tetap saja keduanya (ekonomi dan politik) tidak lain adalah faktor penentu bagaimana sifat saling memengaruhi itu terjadi. Ketiga, saya tidak menempatkan segala bidang kehidupan sesederhana Marx menaruhnya dalam dua kategori umum basis-superstruktur. Sebaliknya, saya membayangkan bahwa bidang-bidang kehidupan masyarakat kita—yang bagi Marx tidak ditempatkannya sebagai basis—sebagai suatu superstruktur yang berjenjang. Tingkatan antar bidang-bidang tersebut diposisikan sejauh mana ia memiliki signifikansi pengaruh terhadap bidang yang lain. Semakin ke atas, ia memiliki signifikansi semakin kecil dan vice versa.
Saya tidak pernah menelan mentah-mentah semua pemikiran. Ketika saya mempelajari Marxisme, saya mengambil apa saja yang penting dan baik. Tesis-tesis di atas memang sangatlah tidak siap, dan saya bahkan tidak terlalu tertarik untuk benar-benar mengembangkannya secara komprehensif. Saya sebenarnya belum benar-benar siap untuk menuliskan tesis-tesis tersebut. Semuanya kerap terlintas sejenak. Walau demikian, pada titik tertentu saya kerap melihatnya tidak lain sebagai interpretasi omong kosong belaka dan karenanya layak ditinggalkan. Saya juga kerap berpikir bahwa tampaknya segala sesuatu yang kita perjuangkan memang seharusnya kita bangun dari ‘ketiadaan’, sebab saya menemukan kontradiksi Marx ketika ia mengatakan bahwa filsuf seharusnya tidak semata menafsirkan realitas dunia, namun juga mengubahnya.[4] Terlepas dari itu, melanjutkan ini juga hanya akan menjauhkan kita dari topik utama yang sedang kita bahas.
Kemudian, apakah pandangan determinisme ekonomi tersebut lalu mengarahkan saya pada kesimpulan Marx bahwa negara harus direbut dan digunakan sebagai alat revolusi oleh kelas proletar, sebagai tahap transisi menuju masyarakat tanpa kelas? Tidak, tidak begitu. Negara memang lahir dari perwujudan representasi kelas yang berkuasa, seperti telah dijelaskan dengan baik oleh Engels. Namun karakter represif dan eksploitatif bukanlah hasil dari perwujudan itu. Lebih dari itu, negara memang pada dasarnya seperti kotoran sapi! Saya bosan untuk mengulang argumentasi yang telah dikembangkan selama hampir 2.000 tahun (saya merujuk kepada sejumlah sejarawan yang melihat bahwa buddhisme dan taoisme mengandung sangat banyak unsur-unsur libertarian) dan merasa tidak perlu menjelaskannya kembali di sini. Hierarki adalah sesuatu yang terpisah dengan kelas, keduanya berada dalam dua axis yang walau kerap bersaling-silang, namun sebenarnya tetaplah berada dalam titik tolak yang berbeda.
Masih ada beberapa hal lagi untuk menjawab kecurigaan Terrik. Saya akan menjelaskannya secara singkat, dan akan mencoba menjabarkan secara komprehensif kelak. Saya setuju dengan kediktatoran proletariat. Tapi alih-alih menggunakannya dalam definisi Marx dengan karakternya yang otoritarian, diktator proletariat yang saya maksud bukanlah suatu pemerintahan atas proletariat atau pemerintahan segelintir intelektual atas nama proletariat. Saya merujuk dalam maknanya yang sangat harafiah: kediktatoran oleh proletariat, sebuah swa-pemerintahan ketika proletariat menindas dan membersihkan sisa-sisa ‘dunia’ yang lama dengan kekuatannya sendiri, dalam bentuknya yang bervariasi, entah itu dewan, komune, atau asosiasi bebas. Sebab, bukankah tidak mungkin ketika revolusi terjadi dalam satu wilayah, maka kontra-revolusi tidak bermunculan? Masa yang ‘tidak tenang’ inilah yang tidak lain adalah kediktatoran proletariat! Sebab kita tidak bisa menafikan aspek koersif (misalnya, Engels telah tergelincir untuk memaknai koersif dan otoritarian sebagai sebuah pengertian yang sama dalam kritiknya kepada anarkis) dari upaya pembebasan ini, penindasan atas pemilik modal, penindasan atas para tiran yang mencoba merebut kembali takhta dan posisinya.
Pun adalah hal bodoh menolak kepeloporan (vanguardism). Permasalahannya adalah, kepeloporan macam apa? Ketika anarkisme masuk ke Indonesia pada akhir dekade 80’an melalui subkultur punk, sejak itu mereka melakukan pengorganisiran, menerjemahkan tulisan-tulisan dan buku anarkisme. Mereka adalah pelopor! Saya menyatakan salut kepada mereka sebab atas peran kepeloporan merekalah sehingga saya bisa terseret ke dalam sebuah gagasan pembebasan macam ini. Juga akan menjadi salah besar menganggap dan memukul rata bahwa setiap orang punya kemampuan yang setara. Ini menafikan kapasitas intelektual masing-masing orang yang berbeda-beda, sebagaimana saya mengakui bahwa Terrik punya kecerdasan relatif lebih banyak ketimbang saya. Dengan demikian, saya akan mengangguk setuju dalam beberapa hal macam orang-orang tunduk kepada yang memerintah. Tidak ada Rojava tanpa Ocalan, tidak ada Komune Paris tanpa Thiers, tidak ada pemberontakan Ukraina tanpa Makhno, dan seterusnya. Mereka adalah pelopor dan pemimpin massa. Saya tidak punya permasalahan untuk dipimpin oleh orang-orang yang saya anggap lebih mampu dan hebat. Tapi apakah lantas hal tersebut membuatnya punya hak-hak istimewa yang melebihi saya? Tidak. Apakah kepemimpinannya lantas terlembagakan dan ia berada dalam posisi yang secara hierarkis berada di atas saya? Tidak juga. Apakah lalu saya akan tunduk patuh begitu saja jika ada sanksi atas pembangkangan saya? Tidak, jangan sampai. Apakah itu akan melanggar otonomi saya? Tidak. Malah ketawa saya kalau ada yang berkata demikian. Apakah ini sama dengan konsepsi kepeloporan sebagaimana dipahami Marxisme-Leninisme? Tidak, tentu saja. Ia jauh berbeda. ‘Pemimpin-pemimpin’ ini hanya akan berkerja bersama saya dalam semangat persaudaran dan kesetaraan, dalam suasana egalitarian. Sejauh yang saya ketahui, istilah pelopor dan kepemimpinan sudah terdiskreditkan oleh orang-orang Kiri Baru paling tidak sejak 1960’an. Sangat ironis mengingat bahwa sebelum 1917, banyak pula publikasi anarkis yang menggunakan nama vanguard. Konsepsi vanguard akan saya comot, dan sisanya akan saya tinggalkan bilamana bertentangan dengan prinsip-prinsip antiotoritarian saya.
Saya juga setuju bahwa saya telah menegaskan oposisi biner yang satu dengan mengandaikan yang lain untuk eksistensinya masing-masing mengenai keberadaan anarkisme. Namun bukannya seperti Bakunin, saya membedakannya dalam bentuknya sebagai ide dan praksis; sebagai sebuah gagasan dan perwujudannya. Ketika tidak ada penindasan dan ketidakadilan, berarti saya telah mengandaikan keterciptaaan anarkisme sebagai sebuah praksis, ia tercipta. Ketika ada penindasan dan ketidakadilan, berarti saya mengandaikan keterciptaan anarkisme sebagai sebuah ide, ia terpikirkan. Jika tidak ada lagi penindasan dan ketidakadilan, maka pasti anarkisme sudah tercipta. Karena saya dengan mutlak menyatakan bahwa kebebasan dan keadilan hanya bisa terwujud praksis dengan kadarnya yang tinggi dan utuh di dalam anarkisme. Saya bermaksud untuk menyamakan antara ide sebagai pertanyaan, serta praksis sebagai jawaban sebagaimana Terrik maksud. Bagi saya, adalah tidak mungkin anarkisme lahir secara utuh sebagaimana kita pahami saat ini ketika penindasan dan ketidakadilan tidak memiliki titik realitasnya.
Dengan menulis bahwa anarkisme adalah sebuah pertanyaan belaka, di mata saya, Terrik justru tampak seperti cendekiawan muda yang melakukan petualangan intelektual, yang memposisikan anarkisme semata-semata sebagai seperangkat instrumen alternatif dalam membedah fenomena sosial. Hal macam ini, sangat tipikal mirip dengan orang-orang liberal progresif yang menggunakan analisis Marxian tanpa harus menjadi marxis. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa hal ini salah dan tidak boleh dilakukan, dan saya juga tidak bermaksud mengatakan bahwa Terrik memang berlaku demikian. Toh, saya yang justru telah mencomot setengah-setengah analisis Marxian.
Apa yang saya maksud ini adalah bahwa saya tidak demikian, saya menempatkan anarkisme sebagai sebuah ‘pertanyaan’ sebagaimana Terrik maksud, tapi saya memberikan penekanan lebih bahwa saya juga menempatkannya sekaligus sebagai ‘jawaban’. Saya tidak pernah tertarik untuk hanya menjadikan anarkisme sebagai bidang studi, untuk memperluas pemahaman dan belajar, atau sekedar menjadi panduan bersikap dalam kehidupan sehari-hari, apalagi untuk keren-kerenan belaka. Lebih dari itu, setelah berbagai pergulatan reflektif akhirnya saya juga telah memutuskan untuk menjadikan anarkisme (secara spesifik tradisi anarkisme yang saya maksud adalah anarkis-komunisme dan ragam tradisinya) sebagai ‘kunci jawaban’ dengan menempatkannya sebagai cita-cita perubahan sosial yang menyeluruh atas sebagian besar permasalahan saat ini. Ketika saya menjadikan anarkisme sebagai sebuah jawaban, maka saya punya sejenis tanggungjawab tertentu untuk menyebarkannya, untuk meyakinkan orang banyak bahwa “woy, ini anarkisme, dan ini jawaban atas banyak permasalahan ekonomi-politik kita selama ini!” Terlepas dari apakah anarkisme sebagai sebuah pertanyaan dan jawaban ia terus berkembang, itu masalah nanti. Dan jika Terrik menganggapnya sebagai sebuah ilusi massa, maka saya akan balas kembali dengan telunjuk ke muka Terrik dan menganggap Terrik telah terjebak kepada sebuah ilusi individu.
Hal ini pula yang mungkin dapat menjelaskan kenapa saya di mata Terrik tampak seolah-olah seperti nabi. Jikapun memang muncul citra diri yang mesianistik, saya sama sekali tidak bermaksud demikian (dan saya sangat benci dan ketakutan disebut demikian). Saya sangat jarang menemukan anarkis yang bersemangat, dan karena terlalu bersemangat saya kerap menyampaikan di depan publik gagasan-gagasan macam ini dan di satu sisi menjadi takut jika dianggap berlagak macam nabi. Tapi itu dulu. Perubahan sosial tidak akan terjadi melalui orang yang malu-malu, dan adalah memalukan bagi orang-orang yang memendam tujuan perubahan sosial itu, karenanya kemaluan itu harus dibuang jauh-jauh. Terrik harusnya paham bahwa retorika-retorika yang telah muncul dalam tulisan tersebut, yang mungkin bagi Terrik adalah sesuatu yang tidak pantas bagi sebuah tulisan yang dimaksudkan untuk berlagak ilmiah, adalah sebuah konsekuensi logis dari orang-orang yang meromantisir cita-citanya. Jikalau hal tersebut salah, sebutkan kesalahannya terletak dimana!
Pada bagian penutupnya, penguatan masyarakat tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang anarkistik, bagaimana mungkin? Saya sama sekali tidak menemukan ada penguatan masyarakat dalam konsepsi Marxis-Leninisme. Bukannya memperkuat, dengan diusungnya statisme, Marxis-Leninisme justru memperlemah masyarakat. Ia menjadikan masyarakat sebagai pion-pion catur yang harus berada jika tidak dalam barisan hitam, maka ia dalam barisan putih. Orang-orang yang mempermainkan catur tersebut duduk dengan tenangnya mengatur segala hal, mengabaikan otonomi individu yang eksis serta bagaimana masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri. Ketika saya menjelaskan anarkisme sebagai bentuk penguatan masyarakat, ia berada dalam lajur anarkisme. Ia berjuang untuk membangkitkan gairah kehidupan sipil yang telah hilang dengan begitu cepat karena keberadaan struktur yang mengontrol mereka. Etos konsumsi di satu sisi telah membuat seseorang dan komunitas tidak sekedar menjadi konstituen yang pasif, tapi bersusah payah menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari penghidupan sehingga nyaris tidak menyisakan waktu bagi kehidupan keluarga, apalagi dalam urusan-urusan komunitas. Dengan mengabaikan hal ini, Terrik tampak seperti anarkis klasik yang egoistik dan punya kecenderungan anti-masyarakat. Saya tidak mempermasalahkan seberapa besar seseorang dapat dan boleh menjadi egois, tapi saya tidak dapat mentolerir bagaimana mungkin anarkisme diseret untuk punya sikap yang cenderung anti-masyarakat, apapun alasannya. Sebab bagi saya, khususnya berdasarkan pemikiran Bookchin, anarkisme juga membuat masyarakat kembali ke akar politiknya. Dengan demokrasi langsung, masarakat harus melembagakan kekuatannya dalam institusi sosial pada tingkatan akar rumput. Inilah penguatan masyarakat.
Saya sudah memandang bintang-bintang dan berjalan-jalan di hutan. Apa yang saya temui adalah kita berada di bawah kolong langit yang sama, Terrik. Kita mendapati keindahan yang sama, ketidakteraturan yang sama. Panjang lebar sudah saya jelaskan mengenai pandangan-pandangan saya atas anarkisme. Begitulah saya memaknai anarkisme, itulah anarkisme saya, ‘anarkismenya Bima’. Jika Terrik tidak menyebutnya sebagai anarkisme, karena pada beberapa hal fundamentalnya ia bertentangan dengan pokok pemikiran anarkisme klasik (banyak dari mereka menolak demokrasi langsung), saya sudah tidak tahu lagi harus menyebutnya apa. Tai-isme mungkin? Mengabaikan perspektif yang baru saja saya sampaikan berarti, secara ironis, telah menutup kemungkinan mengenai bagaimana anarkisme terus berkembang.
Sekarang saya masuk pada bagian yang paling penting yang menjadi inti dari tulisan ini. Memang harus saya akui, saya tidak menarik kesimpulan yang lebih jelas dan tegas dalam tulisan sebelumnya yang gagal tersebut. Sekalipun ada beberapa hal yang mana saya telah berubah pikiran, perkenankan saya mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan ulang apa yang saya maksud dari tulisan tersebut sesuai dengan apa yang saya pikirkan ketika pertama kali menuliskannya. Karena akan tidak adil bagi Terrik jika saya menuliskan ulang gagasan yang tidak seperti saya tuliskan sebelumnya, dengan melakukan pembaharuan dan penambahan setelah Terrik menuliskan tanggapannya. Ini curang. Sederhananya, ini yang saya maksud dalam tulisan tersebut:
Pertama, kompetisi untuk mendapatkan sumber daya (atau yang bisa kita rentangkan dalam pengertian yang lebih luas) adalah hal yang alamiah antarspesies dalam konsepsi darwinian, namun telah secara sembrono diseret ke bidang sosial oleh darwinis sosial sebagai alat legitimasi persaingan dalam kehidupan. Saya mencoba membantahnya (dan gagal) namun akhirnya telah dilengkapi dengan baik oleh Terrik (dan saya yakin ini akan dilengkap lagi oleh Terrik dalam bagian kedua dari tulisannya yang belum terbit). Kedua, hierarki juga adalah sesuatu yang alamiah sebagaimana dapat kita saksikan dalam simpanse, namun saya tidak menjelaskan dengan baik apa itu hierarki dan apa yang seharusnya anarkisme perjuangkan terkait gagasan-gagasan anti-hierarkisnya yang justru bertentangan dengan laporan temuan tersebut. Ketiga, dan ini hal yang paling konyol dan juga sebenarnya paling tidak penting, saya terlalu bersemangat dengan laporan pembunuhan Foudouko, sang simpanse ‘tiran’, yang telah direbahkan dan bahkan kemudian dibunuh. Hal yang mana sebenarnya tentu saja bisa kita lakukan terhadap siapapun manusia yang mendominasi kita dengan seenak jidatnya, sehingga secara eksplisit tulisan tersebut merupakan sebuah seruan untuk melakukan hal serupa. Ini tentu terlalu mengada-ada, dan saya sependapat dengan Terrik bahwa menganalogikan pembunuhan anggota kelompok oleh sesama simpanse, seperti telah saya ulas, sebagai tindakan pembebasan atas tiran adalah keliru.
Dengan demikian, tulisan ini berupaya menyelesaikan ‘diskusi’ yang tidak benar-benar kita mulai (saya beri tanda petik, untuk menyesuaikan diri dengan pemahaman Terrik, karena Terrik seperti tampak dalam tulisannya, kerap terperangkap untuk memahami makna dengan sangat literal, dan telah saya upayakan untuk menjelaskannya ulang di atas). Terrik telah menghasilkan tulisan panjang yang memaparkan dengan terperinci serangkaian kritik terhadap berbagai kesalahan kecil yang sifatnya terlalu definitif (sekalipun bukan berarti bahwa hal tersebut tidak perlu), juga sekaligus membantah beberapa argumentasi dasar tulisan tersebut, dan saya pada sebagian besar hal sebenarnya setuju. Semuanya disajikan utuh dengan ditaburi sedikit sentimen negatif yang menjatuhkan dan sedap rasanya. Saya ucapkan terima kasih kembali, karena Terrik justru berhasil meluruskan apa yang melenceng, menambahkan apa yang kurang, mengisi apa yang kosong dari tulisan saya tersebut. Pada banyak bagian, saya dengan malu-malu telah mengangguk setuju, sementara dalam bagian lainnya saya justru dalam hati mengatakan, “ini yang saya maksud!”
Jika mau menanggapi, sila tanggapi tiga asumsi di atas. Walau demikian, seperti saya jelaskan kepada Terrik, ini bukan kesalahannya dan jangan berharap banyak akan benar-benar mendapatkan tanggapan balik yang memuaskan. Saya mengakui telah bertindak nekat dengan menuliskan sesuatu dalam disiplin ilmu yang tidak saya kuasai dan telah berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak mengulanginya. Tulisan saya tersebut juga sangat buruk dan tidak matang. Tapi yang paling saya tidak sukai adalah karena tidak jelas dan terlalu luas cakupannya. Saya telah mencampuradukan pembahasan mengenai interaksi sosial dalam bentuk kompetisi dan kooperasi di satu sisi, dan pembahasan mengenai keberadaan hierarki di sisi lainnya, dalam dua spesies primata yang berbeda yaitu simpanse dan manusia. Hal ini menjadi semakin luas lagi manakala saya justru membahas mengenai evolusi yang walau sebenarnya perlu pula disinggung sedikit, tetapi telah semakin mengaburkan apa yang hendak saya bahas. Semuanya terangkum sangat padat dalam sebuah tulisan yang dapat dibaca dalam durasi sekitar 5 menit! Hal yang mana saya yakin sekali, bahwa seorang Darwin dan Kropotkin sekalipun tidak dapat melakukannya. Saya menghasilkan tulisan yang bahkan saya sesalkan telah saya tulis tidak lama setelah ia terbit. Sebuah tulisan yang sebenarnya layak masuk ke dalam keranjang sampah. Terrik memanfaatkan kesempatan yang baik ini dengan menggebu-gebu ketika saya telah menginjakkan kakinya di lapangan yang salah namun mempersenjatai dirinya dengan benar, namun tidak siap.
Saya sangat menyayangkan Terrik menghabiskan waktunya yang berharga, di tengah kesibukannya untuk pergi ke pulau paling utara di Sulawesi untuk menanggapi secara serius tulisan yang bahkan oleh Terrik sendiri pandang, “telah ditulis dengan tidak serius”. Apalagi penyebabnya jika bukan Terrik telah kehilangan atau tidak memiliki lawan debat yang sesuai dengan bidang ilmunya, sehingga dia bahkan berterima kasih kepada saya karena “telah memberikan ruang untuk diskusi?” Tapi tak apa, ini menjadi pelajaran baik bagi saya, juga memberikan kesempatan kepada Terrik yang ‘haus diskusi’, juga menampilkan kesan kepada publik bahwa telah terjadi proses perdebatan yang menarik di sini dan ini sebuah tradisi bagus yang harus dirawat (seperti beberapa orang telah menganggapnya demikian).
Jika saya diberikan kesempatan, saya memilih untuk menuliskan tulisan tersebut sekarang ketimbang delapan bulan yang lalu. Namun jika benar-benar diberikan kesempatan, saya akan memilih untuk tidak menuliskan dan mengulas laporan pengamatan jenis simpanse tertentu di Senegal. Tapi yang berlalu biarlah berlalu, dan saya tidak malu mengakui kesalahan saya. Dengan demikian, sekali lagi, tulisan ini adalah untuk mengakhiri apa yang tidak pernah kita mulai, yaitu ‘diskusi’. Sebab, bagaimana mungkin tercipta “diskusi” yang baik dari seorang yang tahu banyak (Terrik) dengan orang yang hanya tahu sedikit (saya)? Adalah hal bodoh jika seorang mempertahankan gagasannya di saat ia mengetahui kesalahan dan kekurangannya, dan karena saya tidak sebodoh itu, saya tidak akan melakukannya. Apa yang bisa saya lakukan adalah berusaha menjelaskan sebaik mungkin apa yang telah disalahpahami oleh Terrik dan mencoba menjawab beberapa pertanyaan dari rasa heran dan penasarannya yang muncul akibat tulisan saya sebelumnya, juga sebagai bentuk pertanggungjawaban bahwa saya tidak akan lari meninggalkan tulisan saya begitu saja dan tidak memberikan balasan apapun terhadap tulisan tanggapan Terrik. Saya dengan ini undur diri terlebih dahulu sebelum kita dapat benar-benar memulainya, dan menyediakan podium yang kosong supaya orang lain mengisinya, khususnya orang-orang yang terpengaruh gagasan darwinisme sosial, yang mana dengan jelas sekali bukanlah saya.
Catatan akhir
[1] Kropotkin, Peter. Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial: Tumbangnya Darwinisme Sosial (2006). Buku ini merupakan terjemahan dari Mutual Aid. Saya sudah mengetahui secara mendasar bahwa karya tersebut sedikit banyak diarahkan untuk membantah argumentasi mendasar darwinisme sosial, dengan penekanannya terhadap kehidupan ‘sosial’ yang kooperatif ketimbang kompetitif. Namun saya baru punya kesempatan untuk membacanya kurang lebih lima bulan yang lalu, dua bulan setelah menulis Primata, Hierarki dan Revolusi atau beberapa bulan sebelum Terrik menulis balasannya. Jika saya mendapatkan bukunya lebih awal, saya pasti akan langsung menggunakannya sebagai dasar tulisan tersebut untuk menghantam Darwinis Sosial.
[2] Merubah secara keseluruhan ‘tatanan sosial’ dengan prinsip kooperatif tidak lantas membuat kita menghilangkan bentuk-bentuk kompetisi yang lebih sehat, misalnya memperebutkan pasangan bagi kita yang percaya kepada monogami, atau berusaha menciptakan karya-karya seni yang lebih baik.
[3] Silahkan gugat apa yang saya maksud dengan dialektis dengan kosakata lain yang dianggap lebih baik. Hubungan, sifat saling mempengaruhi, korelasi positif, apapun sebutannya. Saya tidak pernah menginginkan diri saya terjebak dalam satu definitif dangkal yang menjebak.
[4] Saya tidak bermaksud berlagak mengatakan bahwa saya adalah filsuf. Tapi untuk tataran pembahasan ini, dapatkah saya disebut sebagai filsuf?