Bangkitnya Militerisme Gaya Baru

dscn3896

Militerisme tidak hilang di Indonesia, malahan kembali unjuk gigi dengan lebih percaya diri!

Paska reformasi Mei 1998, militer Indonesia berupaya kembali menginvasi ruang-ruang sosial. Ditandai banyaknya bekas petinggi militer yang ikut bertarung dalam pemilihan umum atau pilkadal, dengan berjualan nasionalisme melalui jargon “asing” versus “pribumi”. Militer juga giat membubarkan kegiatan-kegiatan publik seperti diskusi, pemutaran film di beberapa kota, menangkapi orang-orang bertato di Makassar, dan merepresi perpustakaan jalanan di Bandung.

Pembentukan klub sepakbola tentara, Persatuan Sepakbola Tentara Nasional Indonesia (PS TNI), merupakan satu contoh lucu bagaimana militer telah masuk lebih jauh dalam ruang-ruang sosial masyarakat sipil. Beberapa bulan lalu suporter PS TNI, yang tidak lain adalah militer aktif, bentrok dengan pendukung Gresik United dalam laga Indonesia Soccer Championship A 2016, karena menganggap spanduk bertuliskan “Stop Arogansi Cops” serta yel yel “aparat keparat” dari suporter sebagai tindakan penghinaan dan rasis. Pihak militer Indonesia seperti lupa ingatan, bahwa pembantaian dan pelecehan orang-orang Papua yang mereka lakukanlah yang merupakan tindakan rasisme keji.

Di sektor pertanian, militer tak ketinggalan dengan turut serta melakukan penyuluhan kepada petani-petani di desa. Babinsa diturunkan ke sawah mengawasi petani. Tahun 2015 lalu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa tidak mungkin ketahanan nasional bisa tercapai tanpa ketahanan atau swasembada pangan. Pernyataan ini menegaskan bahwa urusan pangan dalam negeri adalah juga urusan TNI. Bagi militer dan Jokowi, swasembada pangan harus dicapai meskipun harus dengan menekan petani untuk menggenjot produksi.

Sementara di bidang pendidikan, wacana kurikulum bela negara dan hegemoni militerisme membayangi dunia pendidikan Indonesia. Bahkan di beberapa kampus, kuliah-kuliah umum diselenggarakan dengan mendapuk petinggi militer sebagai pembicara utama. Sebelumnya, Universitas Hasanuddin di Makassar pula telah bekerja sama dengan TNI menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata.

Situas-situasi tersebut menggambarkan bahwa militer Indonesia pelan tapi pasti merambah kembali ranah sosial, mengembalikan “fungsi sosial” sebagaimana yang pernah dikendalikannya melalui Dwi Fungsi ABRI di masa Orde Baru.

Musuh yang Diciptakan

Gatot Nurmantyo lewat pemberitaan di Kompas (26/08/2016) mengatakan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi perang tanpa bentuk. Salah satu di antaranya adalah perang melawan narkoba, katanya. Pernyataan Gatot tersebut diikuti dengan seruan untuk “mewaspadai tiap ancaman yang akan menghancurkan kesatuan negara”.

Jika diperhatikan secara seksama, ini seperti pernyataan siaga perang. Hanya saja, perang melawan musuh yang mana, Gatot sendiri menggambarkannya tidak jelas. Militer malah nampak hendak terlibat dalam urusan penegakan hukum lebih jauh, seperti penyitaan barang bukti, penindakan kerusuhan sipil, yang secara normatif bukan fungsinya. Dengan mengobarkan perang terhadap musuh yang tidak jelas, militer bisa seenaknya menghantam rata siapa saja yang dianggapnya musuh, yakni apapun yang mengancam NKRI dan Pancasila. Logika yang hendak dibangun adalah bila narkoba dianggap bisa membahayakan negara, militer merasa berhak ikut campur memberantas narkoba. Begitu pun terhadap terorisme atau bahkan sebuah pemikiran, bila hal-hal tersebut mengancam NKRI dan Pancasila, militer ingin mengambil peran lebih jauh.

Dengan kata lain, Gatot sebenarnya sedang menegaskan kembalinya militer ke dalam ranah-ranah sipil. Perang yang dinyatakan sebenarnya adalah perang melawan rakyat, khususnya kaum pekerja, dengan cara menciptakan musuh untuk mendapatkan legitimasi.

Beberapa bulan lalu, publik di Indonesia dihebohkan berita kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia. Wacana ini dikembangkan sedemikian rupa hingga berubah menjadi teror, terutama bagi masyarakat yang tidak mengetahui sejarah, korban pembantaian peristiwa 65, hingga gerakan-gerakan progresif. Dan dengan segala prosesnya, “PKI sebagai musuh” berhasil memenangkan pengaruh militer ke dalam beberapa situasi sosial. Gelombang pembubaran diskusi dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta”, penanganan diskriminatif terhadap protes sosial, pelarangan buku-buku bertema komunis, hingga penangkapan terhadap seorang aktivis di Maluku Utara hanya karena memakai baju berakronim PKI (pencinta kopi Indonesia), menggambarkan bagaimana musuh-musuh yang dibentuk tersebut berhasil menjalankan fungsinya mendapat legitimasi dari masyarakat.

Musuh-musuh tersebut dibentuk dalam sebuah kerangka konspirasi. Untuk tetap menguatkan pengaruh, musuh-musuh tersebut dipelihara dalam sebuah budaya ketakutan. Dengan begitu, aktifnya militer dalam kehidupan sosial masyarakat nampak wajar dan diperlukan.

Militerisasi Sipil

Sebagai antisipasi terhadap ancaman musuh, dibuatlah program-program yang berbau militeristik. Program Bela Negara misalnya, yang diresmikan Presiden Jokowi akhir 2014 lalu, bahkan telah disosialisasikan dan dijalankkan hingga ke kampus-kampus. Ini kemudian diikuti aturan-aturan terkait semisal larangan aktifitas malam dan demonstrasi bagi mahasiswa. Ormas-ormas sipil juga direkrut dan disokong sebagai pemukul yang bergerak tanpa seragam. Untuk memamerkan kekuatan ini, digelar Apel Bela Negara di Jakarta, sebagai bentuk perang psikologis.

Dalam bentuk harian, hak-hak normatif masyarakat sipil seperti berkumpul, berdiskusi, menyuarakan kritik sosial dan membaca buku dengan sistematis dipangkas. Melalui represi fisik maupun non-fisik, aparat negara mengatur apa yang boleh dibaca, jam berapa kita bebas berkumpul dan berdiskusi, pakaian apa saja yang bisa dipakai, film apa yang bisa kita tonton dan hal apa saja yang bisa kita sampaikan di muka umum. Bahkan dalam beberapa peristiwa, alasan-alasan moral seringkali dipakai untuk membelenggu kebebasan sosial, misalnya pembubaran aktifitas dan agenda LGBT sebagai ekspresi penyeragaman orientasi seksual.

Otoritarian Negara dan Kapitalisme yang Totaliter

Bangkitnya militerisme dan makin kuatnya keterlibatan tentara dalam kehidupan sosial menunjukkan gejala otoritarianisme yang menguat. Sebagai perangkat kekerasan negara, militer berfungsi untuk memastikan kekuasaan negara, dengan mengikut ke dalam kepentingannya. Tujuannya untuk tetap menjaga rakyat tetap tunduk pada sentralisme kekuasaan. Gejala-gejala ini semakin menunjukkan karakter dasar negara: menindas dan otoritarian. Ruang-ruang sosial sebagai wadah aktifitas dan solidaritas, hubungan sosial dan kemasyarakatan diisi dan dikacaukan oleh kekuatan represif.

Meskipun konsolidasi modal sudah menghapuskan batas-batas negara, demi memastikan kelancaran perpindahan modal dari satu wilayah ke wilayah lain, namun peranan dan keterlibatan aparatus negara justru lebih kencang menekan ke bawah. Semakin banyak perjuangan dan gerakan rakyat yang dihantam oleh popor senapan, dan kebebasan sipil yang dikekang oleh sepatu lars. Hal tersebut merupakan respon negara dan kapitalis terhadap gerakan dan perjuangan rakyat.

Bila negara semakin totaliter, kapitalisme makin otoritarian, bukankah ini tanda-tanda fasisme?


Penulis adalah anggota Perhimpunan Merdeka.

*) Artikel ini telah dipublikasikan di Koran Bersyarekat #3

You may also like...

Leave a Reply