D.9 Apa hubungan antara polarisasi kekayaan dan pemerintahan otoriter?
[toc]
Sebelumnya telah kita tuliskan peningkatan saat ini dalam tingkat polarisaasi kekayaan, dengan diiringi pengikisan standar hidup kelas pekerja. Proses ini telah dihubungkan oleh Noam Chomsky sebagai “pen-DuniaKetiga-an”. Hal tampak dalam bentuk yang halus di AS–negara industri terkaya yang jugamemiliki angka kemiskinan tertinggi, karena sebagian besar kekayaan terpolarisasi–namun proses tersebut dapat dilihat dalam negara-negara industri “maju” lainnya juga, khususnya di Inggris.
Pemerintah negara Dunia Ketiga secara khas bersifat otoriter, karena tindakan tegas diperlukan untuk menekan pemberontakan rakyat yang miskin dan tidak puas. Karena itu, “pen-DuniaKetiga-an” menunjukkan tidak hanya polarisasi ekonomi melainkan juga peningkatan pemerintah yang otoriter. Seperti yang dikatakan Philip Slater, “kelas menengah” (yaitu kelas yang menerima penghasilan rata-rata) yang peka, terdidik, dan besar, selalu menjadi tulang punggung demokrasi, dan apapun yang mengkonsentrasikan kekayaan cenderung melemahkan institusi demokrasi (A Dream Deffered, hal.68)
Jikaa hl ini memang benaar, maka sering dengan polarisasi kekayaan yang semakin meningkat, kita boleh berharap melihat tanda-tanda meningkatnya otoriterianisme. Hipotesis ini ditegaskan oleh sejumlah fakta, termasuk berikut ini: pertumbuhan yang terus menerus daari “kepresidenan imperial” (konsentrasi kekuasaan politik); operasi ekstralegal oleh badan eksekutif (contohnya skandal Kontra Iran, invasi Panama dan Grenada); membubungnya angka penahanan, penyensoran dan sifat kerahasiaan yang resmi; kebangkitan Kanan Jauh; semakin banyaknya penjara dan polisi; permintaan FBI untuk kapabilitas penyadapan massif; dll. Dukungan publik untuk tindakan tegas terhadap kejahatan merefleksikan meningkatnya hasrat otoriter warga negara yang mulai panik menghadapi kemerosotan sosial yang terus berlangsung, yang jelas disebabkan oleh ketamakan kelas berkuasa yang telah melebihi batas–suatu fakta yang dikaburkan oleh media dengan hati-hati.
Seseorang mungkin berpikir bahwa demokrasi perwakilan dan kebebasan yang dijamin secara konstitusional akan menyebabkan pemerintahan otoriter menjadi sesuatu yang tidak mungkin di AS dan negara-negara demokrasi liberal lainnya mengingat dalam negara-negara tersebut terdapat “perlindungan” konstitusional untuk hak sipil. Namun. pada kenyataannya, deklarasi “darurat nasional” akan memperbolehkan pemerintah pusat untuk mengabaikan jaminan konstitusional tanpa adanya hukuman dan membentuk apa yang disebut Hannah Arendt dengan “pemerintah tersembunyi–mekanisme yang memungkinkan pemerintah untuk menjalankan stuktur konstitusional meski hanya namanya saja, sesuai pada tempatnya (lihat bagian D.9.2).
Dalam hal ini, penting untuk diingat bahwa Nazi menciptakan suatu “pemerintah bayangan” di Jerman bahkan waktu konstitusi Weimar yang “demokratis” masih terus bekerja secara teori. Pertama Hitler mengimplementasikan program-programnya melalui konstitusi, dengan menggunakan departemen dan agen pemerintah. Kemudian ia membentuk biro-biro Partai Nazi sebagai duplikasi pemerintahan Weimar, yang pada akhirnya pemerintahan Weimar hanya tinggal namanya saja namun tanpa kekuatan, sementara biro-biro Nazi (khususnya SS, dan tentu saja Hitler sendiri) memegang kekuasaan yang sebenarnya. Partai Komunis di Rusia menciptakan pemerintahan tersembunyi yang serupa setelah revolusi Bolshevik, dengan meninggalkan konstitusi revolusioner dan juga birokrasi pemerintahan begitu saja sementara badan-badan Partai Komunis meluaskan kekuasaan riilnya (lihat Marilyn French, Beyond Power, hal. 349)
Jika perkembangan menuju kemerosotan sosial terus berlangsung dalam negara-negara industri “maju”, maka tidaklah sulit untuk memahami mengapa para pemilih memilih pemerintah sayap kanan yang jelas otoriter yang mengkampanyekan program partai “tata tertib dan hukum”. Di hadapan meluasnya kerusuhan, perampokan, dan penganiayaan (khususnya jika berawal gheto dan mengancam kaum sub urban), histeria reaksioner dapat mendorong pemerintah otoriter masuk ke dalam lembaga pemerintah baik eksekutif maupun legislatif. “Kelas menengah” (yaitu profesional, pengusaha kecil, dll) kemudian akan mendukung pemimpin karismatik yang siap berperang yang berjanji akan merestorasi hukum dan tata tertib, khususnya jika mereka adalah orang-orang yang memiliki mandat kepolisian atau militer yang impresif.
Setelah terpilih, dan dengan dukungan sukarela badan pembuat undang-undang dan mahkamah, pemerintah otoriter dapat dengan mudahnya menciptakan mekanisme yang jauh lebih ekstensif mengenai pemerintahan tersembunyi dari pemerintah yang telah ada, dengan memberi lembaga eksekutif kekuasaan diktatorial yang sebenarnya. Pemerintahan seperti itu juga dapat segera meningkatkan kontrol pemerintah terhadap media, pemberlakuan hukum perang, eskalasi militerisme asing, lebih lanjut lagi mengekspansikan pendanaan dan lingkup kepolisian, unit penjagaan nasional, polisi rahasia dan agen-agen intelijen luar negeri, dan membenarkan pengawasan terhadap warga negara danjuga infiltrasi terhadap kelompok politik yang tidak sepakat. Penggeledahan dan perampasan tanpa aturan, jam malam, kontrol pemerintah terhadap semua pertemuan yang terorganisir, penghambatan atau pelarangan kelompok-kelompok yang tidak sepakat dengan pemerintah atau yang berusaha menghalangi kebijakan pemerintah, dan penahanan terhadap orang-orang yang secara politis menentang pemerintahan, berikut pihak-pihak yang dianggap berbahaya bagi “keamanan nasional” kemudian menjadi suatu rutinitas.
Semua itu tidak terjadi begtu saja, melainkan bertahap, tidak terasa, dan masuk akal–sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan “hukum dan tata tertib”–sehingga sebagian besar orang bahkan tidak menyadari bahwa suatu pengambilalihan yang otoriter sedang berlangsung. Tentu saja, hal tersebut telah berlanghsung di AS (lihat Bertram Gros, Friendly Fascism, South End Press, 1989).
Dalam sub bagian berikut kita akan membahas beberapa gejala dalam pertumbuhan otoriterianisme yang tertulis di atas, dengan kembali menggunakan AS sebagai contoh. Kita memasukkan bagian-bagian ini dalam FAQ karena kecenderungan-kecenderungan yang mengganggu tersebut seperti yang dibicarakan di sini memberi kaum anarkis program rekontruksi yang lebih mendesak dari seharusnya. Karena jika kelompok-kelompok radikal yang menentang kecenderungan tersebut dilarang –seperti yang salalu terjadi di dalam pemerintahaan otoriter–program terseebut akan semakin sulilt untuk dijalankan.
D.9.1 Mengapa kekuasaan politik terkonsentrasi dalam kapitalisme?
Di bawah kapitalisme, kekuasaan politik cenderung terkonsenrasi dal;am lembaga eksekutif pemerintah, seiring dengan dekrinasi keefektifan institusi parlementer. Seperti yang dijelaskan Paul Sweezy, parlemen muncul sebagai akibat pertentangan kapitalis melawan kekuasaan monarki yang tersentralisasi selama awal periode modern, dan karenanya fungsi parlemen adalah memeriksa dan mengontrol penggunaan kekuasaan eksekutif. Karena alasan inilah, “parlemen semakin berkembang pesat dan mencapai puncak prestisenya pada periode kapitalisme modern ketiika fungsi-fungsi negara, khususnya dalam bidang ekonomi, direduksi hingga titik minimum.” (Theory of Capitalist Development, hal.310)
Seiring dengan perkembangan kapitalisme. kelas berkuasa harus melakukan ekspansi modal melalui invetasi ke luar negeri yang menyebabkan imperialisme, yang pada akhirnya mengetatkan batas-batas kelas dan semakin meningkatkan beberapa konflik sosial, seperti yang telah kita lihat sebelumnya (lihat bagian D.5.2). Jika hal ini terjadi, badan pembuat undang-undang menjadi medan pertempuran dari partai-partai yang saling berkonflik, terbagi ke dalam kelas-kelas yang berbeda dan kelompok-kelompok kepentingan, yang mereduksi kapasitas mereka untuk aksi positif. Dan pada saat yang sama, kelas berkuasa semakin membutuhkan negara tersentralisasi yang kuat yang dapat melindungi kepentingannya di luar negeri, seperti menyelesaikan masalah ekonomi yang kompleks dan sulit. “Dalam kedaan tersebut, parlemen dipaksa untuk menyerahkan satu per satu dari hak prerogatif kehormatan mereka serta melihat dengan mata sendiri semakin ditegaskannya kekuasaan yang tak terkendali dan tersentralisasi yang, dari para kaum muda, mendapat perlawanan sengit.” (Ibid., hal.319)
Proses ini dapat terlihat dengan jelas dalam sejarah AS. Sejak Perang Dunia Kedua, kekuasaan tersentralisasi di tangan para presiden hingga tingkat yang saat ini diihubungkan para ilmuwan dengan “presidensi imperial”, mengikuti buku karya Arthur Schlesinger di tahun 1973 dengan judul yang sama dengan istilah tersebut.
Pelimpahan kekuasaan konggresional kepada Presiden AS yang sifatnya sementara, khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan keamanan nasional, telah dihubungkan dengan kebangkitan AS sebagai kekuatan paling imperialistk dan terkuat dunia. Dalam dunia yang semakin berbahaya dan interdependen di abad 20, terasa adanya kebutuhan akan pemimpin yang dapat bertindak cepat dan membuat keputusan yang tepat, tanpa adanya gangguan kongres yang mungkin mengacaukan, telah memberikan dorongan untuk konsentrasi kekuasaan yang lebih besar di Gedung Putih.
Konsentrasi ini juga terjadi dalam kebijakan domestik maupun luar negeri, namun semuanya dikatalisasikan oleh serangkaian keputusan kebijakan luar negeri di mana dalam keputusan tersebut presiden AS telah menggunakan kekuasaan pemerintah yang paling vital, yaitu kekuasaan untuk menyatakan perang. Seperti halnya pengiriman pasukan secara terus menerus untuk berperang tanpa otoritas kongresional maupun debat publik, pembuatan kebijakan unilateral mereka juga mulai mengarah ke urusan domestik.
Dengan atmosfer krisis yang terjadi di mana-mana, yang berkembang di sekitar 1950-an, AS menunjuk dirinya sendiri sebagai penjaga “dunia bebas” melawan Bahaya Merah. Hal ini menempatkan kekuatan militer, yang tak pernah terjadi sebelumnya, di bawah kontrol presiden. Di saat yang sama, pemerintahan Eisenhower membuat sistem pakta pertahanan dengan bangsa-bangsa di seluruh dunia ini, yang semakin menyulitkan kongres untuk membatasi pengiriman pasukan oleh presiden sesuai dengan persyaratan dalam kewajiban pertahanan dan keamanan nasonal, di mana keduanya menjadi keputusaan presiden. CIA, agen rahasia yang bertanggung jawab kepada kongres, dijadikan instrumen utama intervensi AS dalam urusan internal negara lain dengan alasan keamanan nasional.
Dengan dikirimnya pasukan ke Vietnam oleh Presiden Johnson, wilayah kekuasaan presidensal memliki suatu kemajuan besar. Berbeda dengan keputusan Truman dalam pengiriman pasukan ke Korea, yang juga tanpa terlebih dahulu mendapatkan kesepakatan kongresional, dalam masalah Vietnam, PBB tidak mengeluarkan resolusi apapun untuk mensahkan keterlibatan AS di Vetnam. Dalam membenarkan keputusan presiden, Departemen Luar Negeri menjelaskan bahwa dalam dunia yang interdependen di abad 20 ini, peperangan yang terjadi di berbagai tempat di dunia ini dapat menjadi ancaman bagi AS dan membutuhkan respon sesegera mungkin, dan karenanya panglima tertinggi memiliki kuasa untuk mengambil tindakan perang “bertahan” tanpa persetujuan konggresionalatau otorisasi PBB.
Setelah Vietnam, kepresidenan semakin diperkuat dengan pembentukan militer sukarela, yang memiliki kecenderungan kecil untuk memberontak seiring dengan adanya penentangan rakyat tehadap perang luar negeri, dibandingkan dengan pasukan yang berasal dari wajib militer. Dengan kontrol terhadap angkatan bersenjata yang lebih kuat, para presiden sejak Nixon telah dibebaskan untuk berpetualang dengan lebih leluasa di luar negeri. Hilangnya ancaman militer Sovyet mempermudah presiden untuk menjalankan pilihan militerisme untuk mencapai tujuan kebijakan luar negerinya, seperti yang diperlihatkan dengan jelas dalam konflik Teluk Persia. Selama perang dingin, keterlibatan AS dalam masalah tersebut menemui banyak kesulitan karena adanya dukungan Uni Sovyet terhadap Irak.
Kadang-kadang diajukan argumen bahwa Water Gate secara fatal melemahkan kekuasaan kepresidenan AS, namun bukan ini masalah sebenarnya. Michael Lind mencatat beberapa alasannya (dalam “The Case for Congressional Power: The Out-of-Control Precidency”, The New Republic, 14 Agutus 1995). Pertama, presiden masih menyatakan perang seenaknya tanpa berkonsultasi dengan kongres. Kedua, terimakasih untuk teladan dari Bush dan Clinton, atas perjanjian ekonomi yang penting (seperti GATT dan NAFTA) yang dapat digolkan lewat Kongres sebagai ”jalur cepat” perundang-undangan, yang membatasi waktu untuk debat dan melarang amandemen. Ketiga, terima kasih kapada Jimmy Carter, yang membentuk Senior Executive Service untuk memberikan Gedung Putih kontrol yang lebih besar terhadap birokrat karir, dan Ronald Reagan, yang mempolitisasikan lembaga eksekutif tingkat atas hingga tingkat yang belum pernah ada, sehingga Presiden saat ini dapat menyusun pemerintahannya dengan orang-orang terdekatnya dan birokrat yang mendukungnya. Keempat, terimakasih kepada George Bush, sehingga presiden saat ini memiliki teknik berkuasa yang baru untuk meningkatkan hak prerogatif presidensial dan mengikis peran kongres lebih lanjut lagi–yaitu, menetapkan hukum sembari mempermaklumkan bahwa mereka tdak akan mematuhinya. Keempat, terima kasih juga kepada Bush, atas dibuatnya instrumen baru lainnya dalam kekuasan presidensial yang sewenang-wenang:”tsar”, orang yang diangkat secara presidensial untuk menangani banyak urusan yang tidak jelas yang setara dengan atau menggantikan kekuasaan pemimpin departemen.
Seperti yang juga dijelaskan Lind, staf Gedung Putih yang telah mealmbung sejak Perang Dunia Kedua tampak menyerupai “lembaga keempat” dalam pemerintahan di luar konstitusi. Pembentukan “tsar-tsar” presidensial yang memiliki kekuasaan yang setara dengan atau menggantikan kepala departermen merupakan warisan dari penciptaan pemerintah bayangan oleh Hitler dan Stalin (lihat juga bagian D.9.2–Apa itu “pemerintahan tersembunyi”)Di samping alasan-alasan yang dikemukakan di atas, penyebab lain dari meningkatnya sentralisasi politik di bawah kapitalisme adalah bahwa industralisasi memaksa massa rakyat ke dalam budak upahan yang teralienasi, merusak ikatan mereka dengan orang lain, dengan tanah, dengan tradisi, yang pada akhirnya mendorong pemerintah pusat yang kuat untuk mengasumsikan peran orang tua wali dan untuk menyediakan arahan bagi warga negaranya dalam bidang politik, iintelektual, moral dan bahkan spiritual (Lihat Hannah Arendt, The Origins of Totaliterianism, 1968). Dan seperti yang ditekankan Marilyn French (dalam Beyond Power), meningkatnya konsentrasi kekuasaan politik dalam negara-negara kapitalis juga dapat dihubungkan dengan bentuk korporasi, yang merupakan suatu mikrokosmis negara otoriter, karena berdasarkan pada kekuasaan yang tersentralisasi, hierarki birokratik, kontrol yang tidak demokratis, dan kurangnya otonomi dan insiatif individu. Jadi jutaan orang yang bekerja untuk korporasi besar cenderung untuk mengembangkan sikap psikologis yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan “berhasil” dalam pemerintah otoriter: khususnya, kepatuhan,penyesuaian diri, penghambaan, dan rasa takut untuk bertanggungjawab. Sistem politik cenderung untuk merefleksikan kondisi psikologis yang dibentuk dalam tempat kerja, di mana sebagian besar orang menghabiskan sebagian waktunya di tempat tersebut.
Dengan mengamati trend semacam itu, Ralph Miliband menyimpulkan bahwa “lengkingan apapun mengenai retorika demokrasi dan kedaulatan rakyat mungkin menjadi, dan meski nada tambahan “populis” yang saat ini harus dimasukkan ke dalam politik, trend tersebut tetaplah menuju penyerahan kekuasan yang lebih besar di puncak.” (Divided Societies, Oxford, 1989)
D.9.2 Apa itu “pemerintahan tersembunyi”?
Kita telah mencatat dengan singkat fenomena “pemerintahan tersembunyi” atau “pemerintahan bayangan (lihat bagian D.9), yang terjadi ketika sebuah pemerintahan dapat melangkahi maupun melemahkan institusi atau lembaga pemerintah resmi dalam mengimplementasikan kebijakan yang tidak diizinkan secara resmi. Di AS, skandal Kontra-Iran dalam pemerintahan Reagan adalah salah satu contoh. Selama masa tersebut Dewan Keamanan Nasional, alat lembaga eksekutif, secara rahasia mendanai kelompok Kontra, suatu pasukan anti pemberontak yang mata duitan di Amerika Tengah, yang merupakan pelanggaran langsung terhadap Amandemen Boland, yang ditetapkan Kongres untuk tujuan tertentu untuk melarang pendanaan seperti itu. Fakta bahwa para investigator tidak dapat membuktikan otorisasi presiden tersebut atau bahkan kekuasaan dari operasi tersebut merupakan suatu penghormatan bagi “kemampuan penyangkalan” presidensial sebagai perencana yangn bertanggungjawab terhadap operasi tersebut.
Kasus-kasus terbaru lainnya mengenai pemerintah tersembunyi di AS menyebabkan lemahnya lembaga pemeritah resmi hingga titik di mana mereka tak lagi dapat menjalankan mandat mereka secara efektif. Masa jabatan Reagan di Gedung Putih kembali memberikan sejumlah contoh. Lembaga Perlindungan Lingkungan, contohnya, dinetralkan demi semua tujuan praktis ketika dedikasi pekerja untuk perlindungan terhadap lingkungan yang sesungguhnya dihilangkan dan digantikan dengan kesetiaan terhadap korporat yang mencemarkan lingkungan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa Departemen Dalam Negeri di bawah James Watt yang merupakan orang pilihan Reagan juga dikooptasi. Penyimpangan hukum semacam itu merupakan alat kebijakan yang disengaja, yang membuat presiden dapat menggunakan kekuatan aktualnya lebih besar dari yang seharusnya.
Salah satu metode yang paling ampuh dalam pemerintahan tersembunyi di AS adalah otoritas presiden untuk menentukan kebijakan domestik dan luar negeri melalui Instruksi Keamanan Nasional (National Security Directives) yang dirahasiakan dari Kongres dan rakyat Amerika. NSD tersebut menutupi wilayah aksi yang tak terbatas, pembuatan kebijakan yang mungkin sangat berbeda dengan yang dinyatakan Gedung Putih di hadapan publik, dan menyebabkan beberapa hal seperti campur tangan dalam hak Amandemen Pertama, mengawali kegiatan yang dapat menyebabkan perang, eskalasi konflik militer, dan bahkan janji-janji yang menjamin adanya dana milyaran dolar untuk pinjaman– semuanya tanpa persetujuan kongresional atau bahkan sepengetahuan mereka.
Menurut peneliti dari Kongres, pemerintahan di masa lalu telah menggunakan perintah keamanan nasional untuk mengintensifkan perang Vietnam, mengirim komando-komando AS ke Afrika, dan menyuap pemerintah luar negeri. Pemerintahan Reagan mencatat adanya lebih dari 20 perintah rahasia di segala bidang, dari masa depan Mikronesia hingga cara pemerintah menanggulangi bahaya nuklir. Jeffrey Richelson, seorang ilmuwan dalam intelejen AS mengatakan bahwa pemerintahan Bush telah mengeluarkan lebih dari 100 NSD di awal 1992, dengan masalah-masalah yang membentang dari perang narkotik hingga persenjataan nuklir untuk mendukung gerilya Afganistan dan dukungan terhadap politisi di Panama. Meskipun masalah ini ditemukan oleh para peneliti dan reporter yang gigih, tak satupun teks yang berasal dari dokumen rahasia atau yang dikeluarkan untuk kongres. Malah, pemerintahan Bush terus menerus menolak untuk mengumumkan NSD yang bersifat tidak rahasia sekalipun!
Pada 31 Oktober 1989, sembilan bulan sebelum invasi Irak ke Kuwait, Presiden Bush menetapkan NSD-26, yang memerintahkan lembaga-lembaga AS untuk mengembangkan ikatan politik dan ekonomi dengan Irak melalui memberian akses kepada Irak untuk bantuan finansial AS yang meliputi jaminan pinjaman sebesar $1 milyar, teknologi militer, serta bahan makanan yang dijual secara tunai. Para anggota kongres, menyangkut ketetapan kebijakan mengenai komitmen untuk dana milyaran dolar yang seharusnya dibuat bersama-sama lembaga perundang-undangan, mengirimkan investigator untuk mendapatkan daftar instruksi-instruksi rahasia. Gedung Putih menolak untuk bekerja sama, dengan memerintahkan tetap dijaganya kerahasiaan instruksi-instruksi tersebut “karena mereka menyangkut keamanan nasional”. Kelalaian Irak dalam pembayaran yang dicantumkan dalam NSD-26 memiliki arti bahwa para pembayar pajak di Amerika kehilangan piutang sebesar milyaran dollar.
Dasar otoritarianisme para politisi disangkal dalam pidato mereka. Contohnya, bahkan ketika Reagan menyatakan pengurangan sentralisasi, saat itu ia sedang memerlukan adanya peningkatan kontrolnya dalam budget dan untuk memperluas aktivitas CIA di dalam negeri–dengan pengawasan kongresional yang kecil–yang keduanya berusaha untuk meningkatkan kekuasaan yang tersentralisasi (Tom Farrer, “The Making Reahanism”, New York Review of Books, 21 Januari 1982, disebutkan dalam Marilyn French, Beyond Power, hal.346). Penggunaan Perintah Eksekutif oleh Presiden Clinton untuk mengeluarkan Meksiko dari krisis hutang setelah kegagalan kongres untuk menyediakan uang merupakan kebiasaan tradisi otoriter dalam menjalankan negara dengan menggunakan perintah sang penguasa.
Barangkali pengungkapan rahasia yang paling mengganggu yang berasal dari skandal Kontra Iran adalah segala rencana yang memungkinkan bagi pemerintahan Reagan untuk memaksakan hukum yang berhubungan dengan perang. Alfonso Chardy, reporter Miami Herald, melaporkan bahwa di tahun 1987 Let.Kol Oliver North, sementara bekerja untuk staf Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) juga bekerja dengan Badan Manajemen Darurat Federal dalam sebuah rencana untuk menangguhkan Pernyataan Hak-hak Manusia dengan memaksakan hukum perang sekiranya “terjadi penentangan nasional terhadap invansi AS ke seberang”. Instruksi hukum perang ini masih berlaku hingga 1988 (Richard O. Curry, ed., Freedom at Risk: Secrecy, Censorship, and Repression in the 1980s, Temple University Press, 1988)
Mantan Jaksa Agung Edwin Meese mengumumkan bahwa satu-satunya faktor yang paling penting dalam mengimplementasikan hukum perang akan menjadi “kemajuan intelijen dalam mengumpulkan untuk memfasilitasi penawanan pemimpin kerusuhan sipil” (Ibid., hal.28). Seperti yang dibahas dalam B.16.5, selama 1980-an, FBI meningkatkan campour tangannya terhadap individu dan kelompok-kelompok yang secara potensial dinilai “subversif”, sehingga pemerintahan memiliki daftar orang-orang yang akan segera ditahan selama terjadinya kerusuhan sipil. Rencana undang-undang anti terorisme yang saat ini sedang diperdebatkan di Kongres AS akan memberi kekuasaan yang benar-benar dikatatorial kepada presiden, karena mengizinkannya untuk menahan dan menghancurkan pihak-pihak yang tidak sepakat dengannya dengan menyatakan kelompok tersebut sebagai “teroris”.
D.9.3 Mengapa angka penahanan meningkat?
Besarnya jumlah tahanan dalam penjara merupakan karakteristik lain dari rezim otoriter. Karena perkembangan angka penahanan AS selama dekade terakhir, mengalami penggandaaan sesuai dengan petumbuhan ynag cepat dalam “industri” penjara pasti dianggap sebagai bukti lebih lanjut mengenai penyimpangan pemerintahan otoriter, seperti yang diperkirakan ada dalam fenomena “pen-Dunia Ketigaa-an”.
Narapidana di penjara AS yang terutama berasal dari kaum miskin, dan hukuman yang diputuskan untuk orang tanpa prestise sosial atau sumber untuk membela diri mereka sendiri lebih keras dariyang diterima orang-orang yang memiliki pendapatan lebih tinggi dalam kejahatan yang sama. Biro Federal untuk Statistik Keadilan menunjukkan bahwa penerimaan rata-raata dari terdakwa pria sebelum dijatuhi hukuman adalah sepertiga daari jumlah keseluruhan Sedangkan jumlah narapidana dengan pendapatan rata-rata bahkan lebih kecil jika kriminal kerah putih yang relatif lebih kecil (dan leih kaya) tidak dimasukkan dalam kalkulasi ini.
Karena kaum miskin sebagian besar dari kaum minoritas, populasi penjara pun demikian. Di tahun 1992, pemerintahan Amerika memenjarakan pria kulit hitam lima kali lebih tinggi dari rezim apartheid lama yang telah dilakukan dengan sangat buruknya di Afrika Selatan, dan terdapat lebih banyak narapidana Meksiko di AS daripada di Meksiko sendiri (Phil Wilyto, “Prisons andd Capitalist Restructuring”, Woeker’s World, 15 Januari 1995).
Michael Specter melaporkan bahwa lebih dari 90% dari kejahatan yang didapati di penjara adalah kejahatan terhadap harta kekayaan (“Commnity Corrections,” The Nation, March 13, 1982). Pada era di mana orang terkaya yang hanya 1% penduduk memiliki property lebih besar dari 90% penduduk lainnya, bukan barang aneh jika orang-orang yang berada di posisi yang sangat bawah mencoba mendapatkan kembali, dengan cara yang melanggar hukum, sedikit kekayaan yang tidak didistribusikan dengan semestinya yang mana tak dapat mereka peroleh dengan legal.
Di tahun 1980-an, AS memerintahkan hukuman-hukuman untuk penyalahgunaan obat bius, memperluas ekspansi modal, dan meningkatkan secara besar-besaran kekuatan kepolisian dan kejaksaan. Hasilnya adalah naiknya jumlah penghuni penjara sebesar dua kali lipat dari 1985 hingga 1994, menurut laporan terbaru dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman. Angka kejahatan rata-rata di AS nyaris konstan selama 20 tahun terakhir, menurut laporan yang sama. Tentu saja, angka tersebut jatuh 15% dari 1980 hingga 1984, sementara jumlah narapidana meningkat 43% selama periode yang sama. Angka kejahatan kemudian naik 14% dari 1985 hingga 1989, sementara jumlah narapidana naik sebesar 52%.
Meski perkembangan penghuni penjara AS telah membengkak melebihi ukurannya hingga tingkat kejahatan oleh hukum-hukum yang mengatur hukuman obat bius, penggunaan obat bius tidaklah menurun. Tindakan represif jelas tidak berfungsi, seperti yang diketahui siapapun, meski masih ditopang oleh program-program sosial, yang terus menerus ditinjau ulang. Contohnya, hukum kriminalitas yang baru saja ditetapkan di AS mendanakan milyaran dollar untuk memperbanyak polisi dan penjara, sementara di saat yang sama Kongres Republik menghapuskan klinik-klinik KB, program-program makan siang sekolah, program kerja pemuda di musim panas, dll. Konstruksi penjara telah menjadi industri yang tumbuh pesat, salah satu dari beberapa noda “cemerlang” dalam perekonomian Amerika, yang menarik banyak investasi dari burung-burung Nazar Wall Street.
D.9.4 Mengapa kerahasiaan pemerintahan dan keingintahuannya terhadap rakyat mengalami peningkatan?
Pemerintah otoriter dikarakterisasikan oleh perkembangan kesatuan polisi rahasia, meluasnya rasa ingin tahu pemerintah tehadap warganya, tingkat kerahasiaan dan penyensoran resmi yang tinggi, dan sebuah sistem negara yang rumit untuk mengintimidasi dan membungkam pihak-pihak yang tidak sepakat dengannya. Semua fenomena ini telah ada di AS selama setidaknya 80 tahun terakhir, namun sejak Perang Dunia II, fenomena-fenomena tersebut mengambil bentuknya yang paling ekstrem, khususnya selama 1980-an. Dalam bagian ini kita akan membicarakan cara kerja polisi rahasia.
Pembentukan aparat “keamanan nasional” AS yang terperinci mengalami peningkatan bertahap sejak 1945 melalui perundang-undangan konggres, sejumlah perintah eksekutif dan instruksi keamanan nasional, serta serangkaian keputusan Mahkamah Agung yang telah mengikis hak-hak Amandemen Pertama. Namun demikian, kebijakan pemerintahan Reagan merefleksikan kebiasaan radikal dari dulu, seperti yang dinyatakan tak hanya oleh sekup komprehensif mereka melainkan institusionalisasi kerahasiaan, pennyensoran, dan represi dalam cara-cara yang akan sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk dihapuskan. Seperti yang ditunjukkan Richard Curry, Keberhasilan pemerintahan Reagan berakar “dari perubahan teknologis dan struktural yang telah terjadi dalam masyarakat Amerika selama abad dua puluh–khususnya kemunculan negara birokratik modern dan penemuan peralatan elektronik yang memungkinkan dipuaskannya keingintahuan pemerintah dalam cara-cara yang tersembunyi dan baru.” (Curry, OP.Cit., hal.4)
FBI telah menggunakan teknik keingintahuan yang “kontrasubversif” dan menyimpan data orang dan kelompok yang dinilai sebagai ancaman potensial kemanan nasional sejak saat-saat Kengerian Merah di tahun 1920-an. Kegiatan semacam itu diperluas di akhir 1930-an ketika Franklin Roosevelt menginstruksikan FBI untuk mengumpulkan informasi mengenai aktivitas fasis dan komunis di AS serta untuk mengadakan investigasi dalam sabotase dan spionase yang mungkin dilakukan. Direktur FBI J.Edgar Hoover meninterpretasikan instruksi ini sebagai kekuasaan untuk melakukan penyelidikan tidak terbatas dalam kategori yang sangat luas mengenai “subversif”; dan dengan berulangkali memberikan keterangan yang salah mengenai keberhasilan seorang presiden serta jaksa agung yang lalai atau yang biasa saja mengenai wilayah tepatnya instruksi-instruksi Roosevelt, Hoover mengelola lebih dari 30 tahun untuk memperoleh persetujuan eksekutif dengan diam-diam untuk kelangsungan investigasi FBI ke dalam kelas yang benyak memberikan ketidaksepakatan politik. (Geoffrey R. Stone, “The Reagan Administration, The First Amandment, and FBI Domestic Security Investigations,” dalam Curry, Ibid.).
Kemunculan perang dingin, konflik terus menerus dengan Uni Sovyet, dan ketakutan terhadp “konspirasi Komunis Internasional” memberikan justifikasi bukan hanya untuk menutupi operasi yang dilakukan CIA dan intervensi militer Amerika di negara-negara di seluruh penjuru dunia, melainkan juga memberi kontribusi bagi rasionalisasi FBI untuk memperluas keingintahuan domestiknya.
Jadi di tahun 1957, tanpa otorisasi dari Kongres atau pun presiden, Hoover melancarkan operasi yang sangat rahasia yang disebut COINTELPRO:
“Dari 1957 hingga 1974, biro membuka file-file investigasinya terhadap lebih dari setengah juta warga Amerika yang ‘subversif’. Selama investigasi tersebut, biro, atas nama ‘kemanan nasional’, melakukan penyadapan telepon, pemasangan alat penyadap dalam ruangan, pensensoran surat, dan penggeledahan. Bahkan yang lebih buruk lagi, biro menggunakan informan dan agen rahasia yang melakukan infiltrasi serta melaporkan aktivitas dan keanggotaan dari kelompok-kelompok ‘subversif’dari Partai Pekerja Sosialis, NAACP, Komite Media untuk HAM hingga Pasukan Pramuka Milwaukee”. (Stone, ibid, hal.274)
Namun COINTELPRO tidak hanya sekedar meliputi investigati dan pemata-mataan. COINTELPRO juga digunakan untuk mendiskreditkan, melemahkan dan akhirnya menghancurkan gerakan kiri baru dan kaum kulit hitam radikal di tahun 1970-an dan awal 1980-an, yaitu untuk membungkam sumber-sumber utama oposisi dan ketidaksepakatan politik.
FBI menggerakkan kekacauan dengan menggunakan agen-agen provokator dan menghancurkan kredibilitas pemimpin gerakan dengan menjebaknya, mendakwanya dengan tuduhan yang keliru, menyebarkan selebaran yang vulgar dengan menggunakan nama para pemimpin tersebut, menyebarkan rumor yang keliru, menyabotase peralatan, mencuri uang, dan trik-trik kotor lainnya. Dengan cara-cara itu, biro memperburuk friksi internal dalam gerakan, dengan mengadu domba anggotanya satu sama lain serta dengan kelompok lain.
Dokumen pemerintah menunjukkan bahwa FBI dan kepolisian terlibat dalam penciptaan pertikaian yang sengit yang pada akhirnya menghancurkan kelompok-kelompok seperti Pelajar untuk Masyarakat Demokratik, Partai Black Panther, dan Pelayanan Berita Pembebasan. Biro juga memainkan peran dalam kegagalan kelompok-kelompok tersebut membentuk aliansi lintas batas rasial, kelas dan regional. FBI terlibat dalam pembunuhan Malcolm X, yang terebunuh dalam suatu “pertikaian faksional” yang menurut FBI akan berusaha “membentuk” negara Islam, dan Martin Luther King, Jr., yang merupakan target dari rencana FBI untuk mendorongnya melakukan bunuh diri sebelum ia dibunuh dengan rapih oleh sniper. Kaum radikal lainnya digambarkan sebagai kriminal, pelacur, atau mata-mata pemerintah, sementara yang lainnya terbunuh dalam “baku tembak” palsu di mana penembakan hanya dilakukan oleh polisi.
Aktifitas tersebut akhirnya mendapat perhatian publik karena investigasi Watergate, forum dengar kongresional, dan informasi yang diperoleh dari Freedom of Information Act (FOIA). Menanggapi pembongkaran rahasia penyalahgunaan FBI, jaksa agung Edward Levi di tahun 1976 mengajukan garis pedoman publik yang menentukan inisiasi dan wilayah investigasi keamanan domestik yang dilakukan biro, yang sama sekali membatasi kemampuan biro untuk menyelidiki pihak-pihak yang tidak sepakat secara politik.
Namun demikian, garis pedoman Levi hanya membuktikan kekalahan sementara dalam kecenderungan tersebut. Meski sepanjang masa kepresidenannya, Ronald Reagan menyatakan melawan peningkatan kekuatan negara yang berhubungan dengan kebijakan domestik, pada kenyataannya ia memperluas kekuasaan birokrasi nasional demi kepentingan “keamanan nasional” dalam cara yang lebih sistematis dan tak pernah dibayangkan sebelumnya. Salah satu cara yang paling signifikan adalah usaha Reagan untuk segera memberangus segala usaha yang bertujuan mencegah penyimpangan FBI seperti yang dirancang dalam garis pedoman Levi. Usaha Reagan tersebut dilakukan melalui dua inisiatif cabang eksekutif: Executive Order 12333, dikeluarkan pada 1981, dan garis pedoman Jaksa Agung William French Smith, yang menggantikan garis pedoman Levi di tahun 1983.
Garis pedoman Smith menizinkan FBI untuk melancarkan investigasi keamanan domestik jika faktanya “jelas menunjukan” bahwa kelompok atau individu memang terlibat dalam tindak kejahatan. Namun, yang lebih penting lagi, garis pedoman yang baru tersebut juga memberikan kekuasaan kepada FBI untuk “melakukan antisipasi atau mencegah kejahatan”, Sebagai hasilnya, saat ini FBI dapatmelakukan investigasi kelompok atau iindividu yang pernyataannya “membela” tindak kriminal atau menunjukkan suatu maksud yang nyata untuk melakukan kejahatan, khususnya kriminalitas yang brutal.
Seperti catatan Curry, bahasa dalam garis pedoman Smith memberikan para pejabat FBI ruang geak yang cukup interpretatif untuk menyelidiki kelompok atauu individu yang terpilih menjadi sasaran, termasuk aktivis politik yang melawan kebijakan luar negeri pemerintah. Tidak mengherankan, di bawah garis pedoman yang baru tersebut, biro denagn segera memulai investigasinya terhadap beragam pihak yang secara politik tidak sepakat dengan pemerintah, dan segera memperbaiki kekalahannya sejak tahun 1976. Sumber kongresional menunjukkan bahwa di tahun 1985 saja, FBI mengadakan 96 investigasi terhadap kelompok atau individu yang menentang Kebijakan Amerika Pusat Pemerintahan Reagan, meliputi kelompok keagamaan yang menyatakan solidaritasnya terhadap pengungsi dari Amerika Tengah.
Garis pedoman Smith juga mengizinkan Biro melakukan investigasi terhadap pihak-pihak yang tidak sepakat dengan pemerintah. Namun demikian, saat ini terdapat ancaman yang jauh lebih besar terhadap Pernyataan Hak-Hak Asasi Manusia AS: yaitu yang disebut rancangan undang-undang anti terorisme. Jika undang-undang ini ditetapkan, maka presideen akan diizinkan, sesuai insiatif dan definisinya sendiri, untuk menyatakan seseorang atau suatu kelompok sebagai “teroris”.
Pasal 301(c)6 menyatakan bahwa kekuasaan presidensial akan dianggap menentukan dan tak dapat diajukan ke pengadilan. Jaksa Agung juga diberi kekuasaan baru untuk memaksa , contohnya, tersangka diangggap bersalah kecuali jika kesalahannya tidak terbukti, dan sumber atau bukti yang memberatkan tersangka tidak harus diungkapkan jika Departemen Kehakiman menyatakan suatu kepentingan “keamanan nasional” dalam penyembunyian fakta-fakta tersebut, tersangka juga akan ditahan tanpa jaminan dan dideportasi untuk alasan apapun jika mereka orang asing. Warga negara asing berhak untuk diperiksa, namun meski demikian, mereka tetap dideportasi walaupun tak ditemukan bukti kejahatan mereka! Warga negara AS dapat dijebloskan ke dalam penjara lebih dari 10 tahun dan membayar denda $250.000 jika dinyatakan bersalah.
Pasal yang sama mengerikan dengan undang-undang anti terorisme adalah pasal 603, yang menggolongkan semua kejahatan “teroris” di bawah undang-undang peyitaan aset rakyat atau RICO (Racketeer-Influenced Criminal Organisation). Jadi siapapun yang dituduh “mencampuri” atau “menghalangi” atau “mengancam” seorang mantan pegawai federal ataupun yang saat ini masih bekerja, kekayaan mereka dapat disita dibawah tuduhan “konspirasi untuk melakukan terorisme”. Saat ini beberapa orang di Kongres ingin menandai semua senjata lokal yang berhubungan dengan tuduhan kejahatan teroris federal. Jelas undang-undang anti terorisme akan menambahkan peyimpangan yang sebelumnya telah meluas dalam masalah obat bius di bawah undang-undang penyitaan dan perampasan. Tidaklah aneh, karena federal dan agen negara bagian serta kepolisisan lokal terdorong melakukan penyitaan agar dapat menggunakan harta tersebut untuk kepentingan mereka sendiri, dan juga karena informan yang tidak diketahui identitasnya berhak atas sebagian harta yang disita.
Jika undang-undang ini ditetapkan, tentu saja undang-undang tersebut akan digunakan untuk melawan kaum kiri, seperti halnya COINTELPRO di masa lalu. Selama undang-undang tersebut dapat memperbesar dan mendanai FBI serta memberinya kekuasaan untuk menjalankan aktifitas “anti teroris” di seluruh negara, tanpa kesalahan yudisial. Gagasan yang mendasari kemampuan undang-undang ini akan memberikan pemerintah kekuasaan untuk menekan pihak yang tidak sepakat atau mengkritik kapitalisme, yang secara historis menjadi target favorit penyimpangan FBI. Contohnya, jika seorang agen provokator membawa satu dinamit tak legal dalam pertemuan damai para anarkis philosofis, maka ia dapat melaporkan semua orang yang hadir dalam pertemuan tersebut kepada pemerintah dengan tuduhan konspirasi mengadakan aksi teroris. Agen tersebut juga dapat meledakkan sesuatu dengan dinamit dan mengklaim bahwa anggota lainnya mengetahui rencana tersebut. Setiap orang dalam kelompok itu kemudian disita harta miliknya dan dipenjarakan di atas sepuluh tahun!
Bahkan jika Undang-undang Anti Terorisme tidak ditetapkan dalam bentuknya yang sekarang ini, fakta bahwa tindakan brutal semacam itu dianggap mengungkapkan muatan pemimpin yang–dan juga implikasi negara kapitalis “maju” lainnya–mengepalai AS.
D.9.5 Tetapi tidakkah pemerintahan otoriter selalu menggunakan penyensoran?
Ya. Dan pemerintah pusat telah benar-benar meningkatkan kekuasaan mereka terhadap media selama beberapa dekade lalu. Kontrol monopolistik terhadap komunikasi massa mungkin tidak segera nampak secara teori dalam masyarakat demokratis, di mana tampaknya terdapat banyak sumber-sumber informasi yang berbeda. Namun jika kita amati dengan lebih dekat, akan tampak bahwa semua media besar–yang dibaca oleh sebagian besar orang–secara esensial menunjukkan sudut pandang dunia neo kapitalis. Hal ini terjadi karena yang disebut pers “bebas” dimiliki oleh sedikit konglomerat media kapitalistik. Keseragaman ini memastikan bahwa fakta, konsep, atau opini apapun yang bertentangan dengan, atau cenderung mendiskreditkan prinsip-prinsip fundamental sudut pandang dunia tesebut tak mungkin mencapai perhatian banyak pembaca (lihat bbagian D.3)
Terdapat sejumlah ikatan antara pemerintah, tabloid berita, dan koran. Korporat berkepentingan mendominasi televisi dan radio; dan untuk alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya, kepentingan korporasi besar tidak jauh berbeda dengan kepentingan pemerintah. Tendensi di tahun-tahun terakhir ini telah mengarah pada absorpsi media cetak kecil yang independen, khususnya koran, oleh konglomerat yang mendapatkan keuntungannya melalui industri-industri semacam baja, minyak, dan peralatan telepon. Seperti pendapat Marilyn French, efek dari kontrol konglomerat ini “menjauhkan media komunikasi dari apapun yang dapat menjadi penghalang, dan mengarahkannya pada sudut pandang dunia yang paling baik dari semua sudut pandang yang mungkin, dan lunak. Meski rakyat memiliki banyak pilihan dalam bacaan dan sudut pandang, sebagian besar bacaan tersebut menawarkan hal-hal menyenangkan yang dapat menghibur–mode dan pakaian, sisi yang penuh gemerlap–atau suatu penenang: semua masalah dapat dipecahkan, tak ada ketidakadilan atau kejahatan yang akan dibiarkan terus berlangsung.” (French, Op.Cit., hal.350). Dengan kata lain, orang diberi akses berlebih menuju jangkauan yang semakin menyempit dari gagasan “yang dapat diterima”.
Kecenderungan ini menunjukkan suatu bentuk penyensoran yang tidak resmi dan tidak sistematik. Namun demikian, di AS pemerintah federal juga telah memperluas bentuk penyensoran yang sistematik dan resmi. Sekali lagi, hal ini terjadi dengan sangat jelas dalam Pemerintahan Reagan. Di tahun 1983 saja, terdapat lebih dari 28.000 pidato, artikel, dan buku yang ditulis oleh pegawai pemerintah yang diajukan ke sensor pemerintah untuk mendapatkan izin. Pemerintahan Reagan bahkan juga menyiapkan preseden untuk membatasi informasi yang sifatnya bukan rahasia. Caranya dengan menetapkan hukum yang mensyaratkan semua pegawai pemerintah dengan alasan izin keamanan untuk menandatangani Standart Form 189, yang dapat menuntut mereka jika membocorkan bukan hanya informasi rahasia, melainkan juga informasi yang “bukan rahasia namun dapat dijadikan rahasia.” Yang disebut terakhir yaitu kategori Catch-22, merupakan sebuah ketidakpastian yang disengaja dan memiliki ruang gerak yang cukup interpretatif untuk memperhitungkan sebagian besar gangguan yang ada serta dapat menjadi penentu keabsahannya (Curry, Op.Cit.)
Agen Informasi AS (USIA), yang mengirimkan para pelajarnya ke seberang lautan sebagai bagian dari program pertukaran kebudayaan dan pendidikan AMPARTS, telah berusaha untuk melindungi opini para pelajar yang terpilih selama berpidato di luar negeri. Pada tahun 1983, House Foreign Affairs Subcommitte on International Operations mengkritisi para pejabat USIA karena”melanggar perjanjian dan jiwa pedoman dasarnya” dalam memilih pembicara AMPARTS berdasarkan “partisan ideologi politik”.
Pada awal 1984, kebijakan USIA menjadi skandal nasional ketika Washington Post mengungkapkan bahwa sejak akhir 1981 USIA telah menyusun daftar hitam yang bukan hanya berisikan nama-nama tokoh-tokoh akademi terkemuka melainkan juga tokoh-tokoh nasional seperti Coretta Scot King, anggota kongres Jack Brooks, dan bekas senator Gary Hart. Di bawah Undang-undang Nasionalitas, Naturalisasi, dan Imigrasi (dikenal dengan “Undang-undang McCarran”) warga asing dilarang masuk ke AS karena keyakinan ideologis dan politik mereka. Di antara ribuan orang yang terkena pelarangan tersebut, terdapat beberapa orang terkemuka seperti penulis penerima hadiah Nobel Gabriel Gracia Marquez dan Czelaw Milosz, penulis Carlos Fuentes, dramawan Dario Fo, aktris Franca Rame, novelis Doris Lessing, Wakil Komandan Tertinggi NATO Nino Pasti, penulis Kanada terkenal Farley Mowat, penulis feminis kelahiran Amerika Margareth Randall, serta Hortensia Allende, janda mantan presiden sosialis Chili, Salvador Allende.
Pada perkembangan penyensoran yang mungkin paling mengganggu di tahun-tahun sekarang ini, pemerintahan Reagan menggunakan kekuasaan Perdagangan dengan Undang-undang Musuh untuk mengadakan embargo pada majalah dan koran dari Kuba, Vietnam Utara, dan Albania (bukan hanya China atau bekas Uni Sovyet), dan menyita buku-buku Iran yang dibeli oleh wartawan televisi. Barang-barang tersebut diembargo bukan karena berisikan rahasia Amerika, melainkan karena dianggap berisi informasi yang tidak diinginkan pemerintah AS untuk diketahui warganya (French, Op.Cit., hal.443)
Penyensoran resmi juga tampak dengan sangat jelas ketika terjadi pembunuhan massal Teluk Persia. Pada satu sisi dalam konflik ini, pemerintah tidak hanya sangat membatasi akses pers untuk informasi mengenai perang, dengan membatasi reporter sebagai “kelompok pers” yang mendapat pengawalan, namun pada suatu tingkat yang luas menjadikan media berita yang besar sebagai alat propaganda pemerintahan yang selalu patuh. Hal ini dilakukan dengan menciptakan kompetisi antar jaringan televisi dan jawatan berita untuk sejumlah tempat dalam kelompok tersebut, sehingga membuat bagian berita tergantung pada kehendak baik pemerintah dan mengendalikan berita sebagai pendukung pembunuhan massal yang dipimpin oleh AS.
Laporan mengenai Perang Teluk juga disensor secara langsung oleh militer, oleh berita dan agen foto, atau keduanya. Contohnya, ketika pemenang penghargaan jurnalis Jon Alpert, seorang wartawan NBC kawakan, “kembali dari Irak dengan rekaman video yang spektakuler mengenai Basra (kota terbesar kedua dengan jumlah penduduk sebesar800.000) dan wilayah Irak lainnya yang hancur karena pemboman yang dilakukan AS, direktur NBC Michael Gartner tidak hanya memerintahkan untuk tidak mengudarakan hasil rekaman tersebut, melainkan juga memecat Alpert.” (Fairness and Accuracy in Reporting, Extra, Special Issue on the Gulf War, 1991, hal.15)
Seperti yang telah dibuktikan oleh John R. Macarthur, kesepakatan kongresional mengenai perang mungkin tidak akan diberikan tanpa adanya kampanye yang berisikan informasi keliru dan propaganda awal yang dirancang untuk menunjukkan kejahatan Saddam Husein dan pasukannya. Tujuan dari kampanye ini–cerita keji saat ini mengenai tentara Irak yang katanya mengambil bayi-bayi prematur Kuwait dari inkubator dan menggeletakkan mereka begitu saja di lantai rumah sakit yang dingin hingga mati– merupakan suatu pemalsuan cerita yang didalangi oleh perusahaan humas Amerika yang didanai pemerintah Kuwait di pengasingan, dan disebarluaskan oleh pemerintah melalui pembuatan berita yang tak kritis dan seolah -olah dapat dipercaya. (John R. Macarthur, Second Front : Censorship and Propaganda in the Gulf War, Hill and Wang, 1992; juga John Stauber dan Sheldon Rampton, Toxic Sludge is Good for You! Lies, Damn Lies and the Public Relation Industry, Common Courage Press, 1995).
Kecenderungan terjadinya sistem penyensoran resmi maupun tak resmi bukanlah pertanda yang baik untuk masa depan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Mereka membuat preseden untuk memberangus, mengintimidasi, dan mengkooptasi sumber-suber utama informasi publik–preseden yang dapat dibuat kapan saja bila dirasa tepat oleh sebuah pemerintahan. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa kapitalisme, tanpa dapat dielakkan lagi, pada akhirnya mengarah pada pemerintahan otoriter.
D.9.6 Apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang kanan?
Dalam bukunya yang berjudul Post Concervative America, Kevin Phillips, salah satu ideolog konservatif yang berpengetahuan sangat luas dan hebat, membahas kemungkinan mengenai perubahan fundamental yang ia anggap sangat diperlukan dalam pemerintahan AS. Usul yang diajukannya tidak meninggalkan keraguan apapun mengenai arah yang ingin diwujudkan kaum kanan. “Kekuatan pemerintah terlalu terdifusi sehingga mempersulit pembuatan keputusan-keputusan teknis dan ekonomi yang diperukan”, menurut Phillips. “Karena itu, sifat kekuasaan tersebut harus dipikirkan kembali. Kekuasaan pada tingkat federal harus ditambah dan sebagian besar diletakkan dalam lembaga eksekutf” (hal. 218).
Dalam model negara-negara yang dideskripsikan Phillips, kongres akan direduksi hingga menjadi sebuah alat belaka dari perkembangan presidensial yang semakin “imperial” dari sebelumnya, dengan pemimpin kongresional yang menjalankan kabinet dan sistem dua partai yang digabungkan ke dalam sebuah sebuah koalisi partai tunggal. Sebelum kita menolak gagasan ini karena tidak mungkin diwujudkan, perlu diingat bahwa pembedaan antara dua partai besar yang sebenarnya telah dilenyapkan, karena masing-masing dikontrol oleh elit korporat, sekalipun oleh faksi-faksi berbeda di dalamnya.
Meskipun terdapat banyak ketidaksepakatan taktis, semua anggota elit ini berbagi seperangkat prinsip, tingkah laku, cita-cita dan nilai-nilai dasar. Baik kaum demokrat maupun republikan, sebagian besar dari mereka adalah lulusan dari universitas-universitas yang memiliki Ivy League, yang dimiliki kelompok-kelompok ekslusif sosial, melayani dewan direksi yang saling memiliki keterkaitan (lihat G. William Domhoff, Who Rules America Now? 1983; C. Wright Mills, The Power Elite, 1956). Barangkali yang paling penting, mereka memiliki psikologis yang sama, yang artinya bahwa mereka memiliki prioritas dan kepentingan yang sama: yaitu, korporat Amerika.
Karenanya hanya terdapat satu partai–partai pengusaha–yang mengenakan dua topeng berbeda untuk menyembunyikan wajah sesungguhnya dari publik. Tanda-tanda yang serupa juga ditemukan dalam rezim-rezim demokrat liberal di sebgian negara-negara maju. Ketiadaan partai yang benar-benar memberikan perlawanan, yang dengan sendirinya merupakan karakteristik utama dari rezim-rezim otoriter, merupakan sebuah fakta yang telah terjadi, dantelah berlangsung selama beberapa tahun.
Di samping penggabungan partai-partai politik besar, kekuatan-kekuatan lainnya tanpa dapat ditawar lagi mengarah pada skenario yang dideskripsikan Phillips. Contohnya, kekuasaan lembaga eksekutif terus tumbuh karena otoritas kongres telah secara progresif dilemahkan oleh skandal, percekcokan para partisan, gridlock, pembongkaran korupsi legislatif yang terus menerus. Tentu saja, menerima suap, unjuk pengaruh, cek kosong, konflik kepentingan, transaksi curang, skandal seks, dan ketidakmampuan umum saat ini menjadi hal-hal yang nyaris dapat ditemui di Capitol Hill. Keculai dilakukan sesuatu untuk memperbeiki kehormatan kongresional, iklim tersebut akan tetap kondusif untuk konsolidasi kekuasaan lebih lanjut dalam kepresidenan.
Phillpis meyakinkan kita bahwa semua perubahan yang ia impikan dapat dilakukan tanpa mengubah Konstitusi. Keajaiban semacam itu sungguh mmungkin terjadi. Kaisar Augustus mensentralisasikan semua kekuasaan dalam tangannya sendiri tanpa memmbubarkan Senat Romawi ataupun Republik Romawi; Hittler mengimplementasikan program Nazinya tanpa meninggalkan konstitusi Weimar; Stalin berkuasa dibawah konstitusi revolusioner yang secara teoretis demokratis.
Fakta-fakta yang disebutkan di sini sebagai bukti otoriterianisasi bertahap di AS telah diselidiki sebelumnya oleh orang lain, kadang-kadang diiringi dengan peringatan akan kediktatoran di masa mendatang. Sejauh iniperingatan tersebutterbukti sangatprematur. Namumn demikian apa yang khususnyamenjadi peringatan sast ini adalah bahwa banyak tanda-tanda dari tumbuhnya otoritarianisme yang disebutkan di atas saat ini bertepatan dengan gejala terjadinya kemerosotan sosial–sebuah “ketepatan” yang di masa lalu telah menggembar-gemborkan pendekatan tirani.
Rezim yang sangat otoriter di AS dan negara-negara Dunia Pertama akan menunjukkan lebih dari sekedar ancaman terhadap kebebasan sipil warga negara dan harapan mereka akan terciptanya masyarakat yang lebih baik. Rezim otoriter cenderung untuk dihubungkan dengan petualangan militer yang sembarangan yang dipimpin oleh pemimpin otokaratik negara. Jadi dalam sebuah dunia nuklir di mana didalamnya Eropa dan Jepang yang mengikuti AS menuju pemerintahan otoriter, kemungkinan terjadinya agresi militer yang dilancarkan oleh politisi-politisi yang tak bertanggungjawab tetap terus ada. Dalam hal tersebut, kecemasan terdahulu ketika Perang Dingin terjadi tampak masih lebih baik dibandingkan saat ini. Karena itu kedaruratan dalam program kaum anarkis yang antiotoirtarianisme, desentralisasi politik, dan demokrasi rumput laut–satu-satunya pencegah yang riil terhadap kecenderungan membahayakan yang telah dideskripsikan di atas.
Sebagai tambahan sebaiknya dicatat bahwa banyak pihak-pihak yangtidak setuju dan para pembela kelas berkuasa seringkali menyangkal tumbuhnya otoritarianisme sebagai “paranoia” atau “teori konspirasi”. Sangkalan lazimnya adalah “jika semuanya memang seburuk yang kalian katakan, bagaimana mungkin pemerintah akan membiarkan kalian menulis hasutan FAQ ini?”
Alasan kami dapat menulis karya ini tanpa adanya gangguan adalah kesaksian atas tiadanya kekuasaan yang dimiliki rakyat secara umum, dalam budaya politik yang ada–yaitu, gerakan kontra kultural tak perlu menjadi perhatian bagi pemerintah hingga mereka menjadi dasar yang meluas dan mampu mengubah tatanan ekonomi yang telah ada–baru kemudian dirasa “perlu” bagi kekuatan otoriter dan represif untuk mulai bekerja menghancurkan gerakan tersebut.
Selama tidak ada pengorganisiran yang efektif dan ancaman terhadap kepentingan elit berkuasa, rakyat diizinkan untuk mengatakan apapun yang mereka inginkan. Hal ini menciptakan ilusi bahwa semua masyarakat terbuka untuk semua pemikiran, ketika pada kenyataannya hal tersebut tidaklah benar. Namun seperti yang digambarkan pembunuhan Wobblies dan gerakan anarkis setelah Perang Dunia I, pemerintah akan berusaha untuk memberangus gerakan apapun yang memunculkan ancaman.
Aplikasi yang tepat dalam perputaran ideologi dapat memberikan kesan bahwa alternatif apapun untuk sistem sekarang “tidak dapat berlangsung” atau “utopis”, bahkan ketika alternatif semacam itu merupakan kepentingan penduduk secara keseluruhan. Pemangkasan idelogis ini menyebabkan kesalahan persepsi dalam pikiran rakyat bahwa teori-teori radikal tdak akan berhasl diimplementasikan, karena secara inhern mereka cacat– dan sewajarnya, ideologi otoritarian saat ini di gambarkan sebagai satu-satunya langkah “bijak”untuk diikuti rakyat.
Contohnya, sebagian besar orang Amerika sama sekali menolak sosialisme , tanpa pemahaman apapun atau malah kerelaan untuk memahami apa itu sosialisme. Hal ini terjadi bukan karena sosialisme (libertarian) salah, melainkan sebagai akibat langsung dari propaganda kaum kapitalis selama 70 tahun terakhir (dan pernyataan bahwa “sosialisme” sama artinya dengan Stalinisme).
Untuk meluaskan sikap ini kepada rakyat, kaum otoriter (dengan bantuan pers korporat) melukiskan pihak-pihak yang tidak yang tidak sepakat sebagai seorang “gila” dan “ekstrimis”, sembari menunjukkan dirinya sebagai sebagai “moderat” yang normal, dengan mengabaikan kondisi relatif yang ia bela. Dengan cara ini, komunitas yang melawan pembakaran sampah beracun dalam wilayah mereka dapat dicerca pers sebagai anak nakal, ketika apa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa komunitas lokal sedang menjalankan demokrasi, dan berani melawan keotoriterianan pemerintah/korporat!
Dalam negara-negara dunia ketiga, para pembakang dibunuh dengan kejam dan dikubur dalam kuburan massal tanpa tanda; di sini, di negara-negara dunia pertama, gerakan subversi dilakukan dengan lebih halus.”Tangan tersembunyi” dalam masyarakat otoriter kapitalis maju lebih efektif; hasil akhirnya sama, meskipun metodologinya berbeda–penghapusan alternatif tatanan sosial ekonomi saat ini.