[sc:afaq1]
C.8 Apakah kontrol negara terhadap uang merupakan penyebab lingkaran bisnis?
[toc]
Seperti yang dijelaskan dalam bagian terakhir, kapitalisme akan mengalami kesulitan akibat adanya lingkaran boom dan kehancuran, lingkaran yang disebabkan adanya tekanan obyektif pada keuntungan produksi, sekali pun kita mengabaikan revolusi subyektif kaum buruh melawan kekuasaan. Dua macam penekanan pada keuntungan inilah, subyektif dan obyektif, yang menyebabkan lingkaran bisnis dan masalah ekonomi seperti itu menjadi suatu “stagflasi”. Namun demikian, bagi para pendukung pasar bebas, konklusi ini tak dapat diterima sehingga biasanya mereka mencoba menjelaskan lingkaran bisnis dalam term pengaruh eksternal daripada yang dimunculkan dalam karya-karya kapitalisme. Sebagian besar kapitalis yang mendukung “pasar bebas” menyalahkan intervensi pemerintah dalam pasar, khususnya kontrol negara terhadap uang, sebagai sumber lingkaran bisnis. Analisis ini bersifat defektif, seperti yang akan diperlihatkan di bawah ini.
Perlu dicatat bahwa banyak pendukung kapitalisme mengabaikan tekanan-tekanan “subyektif” pada kapitalisme yang kita bahas dalam bagian C.7.1. Sebagai tambahan, masalah yang terkait dengan meningkatnya investasi modal (seperti yang disorot dalam bagian C.7.3) biasanya juga diabaikan, karena mereka biasa menganggap modal sebagai “produktif” sehingga tak dapat melihat bagaimana penggunaannya dapat mengakibatkan krisis. Hal ini meninggalkan mereka masalah-masalah yang dihubungakan dengan mekanisme harga, seperti yang dibahas dalam bagian C.7.2.
Pemikiran di balik teori “kontrol negara terhadap uang” mengenai krisis adalah bahwa suku bunga memberikan informasi kepada perusahaan dan individu mengenai bagaimana perubahan harga akan mempengaruhi trend produksi di masa depan. Khususnya, klaim bahwa perubahan dalam suku bunga (yaitu perubahan dalam permintaan dan penawaran kredit) secara langsung menginformasikan kepada perusahaan-perusahaan yang ada mengenai respon pesaing mereka. Contohnya, jika harga timah naik, maka akan timbul ekspansi dalam industri timah, sehingga terjadi kenaikan suku bunga (karena semakin bayak permintaan terhadap kredit). Kenaikan dalam angka suku bunga akan merendahkan keuntungan yang diantisipasi dan mengurangi investasi. Kontrol negara terhadap modal menghentikan proses ini (dengan mendistorsikan angka suku bunga) sehingga menghasilkan sistem kredit yang mampu menampilkan fungsi ekonominya. Hal ini mengakibatkan over produksi karena suku bunga tidak merefleksikan tabungan riil sehingga terjadi investasi yang berlebihan dalam modal yang baru, modal yang tampak menguntungkan karena tingkat suku bunganya secara artifisial rendah. Ketika secara tak terelakkan angka menyesuaikan naik mendekati nilai “riil”nya, modal yang diinvestasikan menjadi tak lagi menguntungkan sehingga terjadi investasi berlebih. Karena itu, sesuai argumen, dengan menghapus kontrol negara terhadap uang, efek negatif kapitalisme akan menghilang.
Sebelum membicarakan apakah kontrol negara terhadap uang merupakan penyebab lingkaran bisnis, kita harus menunjukkan bahwa argumen yang menekankan perhatian pada peran suku bunga, pada kenyataannya, tidak menjelaskan terjadinya investasi berlebih (dan juga lingkaran bisnis). Dengan kata lain, eksplanasi mengenai lingkaran bisnis seperti yang terletak pada segi sistem kredit cacat. Hal ini terjadi karena tidak jelas bahwa informasi yang relevan dikomunikasikan dengan mengubah suku bunga. Suku bunga merefleksikan jumlah permintaan kredit secara umum dalam perekonomian. Namun demikian, informasi yang dibutuhkan perusahaan tertentu adalah informasi mengenai ekspansi berlebihan dalam produksi barang tertentu yang mereka hasilkan dan juga tingkat permintaan untuk kredit di antara pesaing, bukan permintaan umum dalam perekonomian sebagai suatu keseluruhan. Suatu peningkatan dalam produksi beberapa barang yang telah direncanakan oleh sekelompok pesaing akan direfleksikan dalam perubahan suku bunga yang proporsional, hanya jika diasumsikan bahwa perubahan permintaan untuk kredit yang dilakukan oleh industri itu identik dengan apa yang ditemukan dalam perekonomian secara keseluruhan.
Tak ada alasan untuk membenarkan asumsi semacam itu, kaarena lingkaran produksi yang berbeda untuk industri berbeda dan perbedaan kebutuhan mereka dalam kredit (baik dalam term jumlah maupun intensitas). Karena itu, dengan mengasumsikan perubahan permintaan yang tak sama di antara industri yang merefleksikan perubahan yang tak sama dalam kebutuhan mereka, jelas memungkinkan terjadinya investasi berlebih (dan juga over produksi), bahkan jika sistem bekerja seperti yang seharusnya terjadi sesuai teori (yaitu suku bunga, pada kenyataannya, secara akurat merefleksikan tabungan riil yang ada). Karena itu sistem kredit tidak mengkomunikasikan informasi yang relevan, dan untuk alasan ini, penjelasan untuk lingkaran bisnis tak dapat dimulai dari sebuah “sistem yang ideal” (yaitu kapitalisme laissez faire)
Karena itu, tak dapat diklaim bahwa mengubah kontrol negara terhadap uang juga akan mengubah lingkaran bisnis. Namun demikian, argumen bahwa kontrol negara memang melakukan hal demikian memiliki sebuah elemen kebenaran di dalamnya. Ekspansi kredit di atas tingkat “normal”, yang menyamakannya dengan tabungan yang dapat mengikuti ekspansi modal dengan lebih cepat, sebaliknya akan mendorong investasi berlebih (yaitu di atas trend yang telah ada daripada menciptakan trend lagi). Meski dalam komentar kita di atas kita telah mengabaikan peran ekspansi kredit untuk menekankan bahwa kredit bukanlah sesuatu yang fundamental dalam lingkaran bisnis, akan bermanfaat bagi kita untuk membahasnya karena ekspansi bisnis merupakan suatu faktor esensial dalam keuntungan kapitalis. Tentu saja, tanpa hal itu, keuntungan kapitalis tidak akan tumbuh secepat ini. Dengan kata lain, kredit merupakan fundamental terhadap kapitalisme.
Ada dua macam pendekatan untuk masalah penghapusan kontrol negara terhadap uang dalam ekonomi kapitalis “pasar bebas”–monetarisme dan apa yang sering disebut dengan ”Perbankan bebas”. Kita akan membahasnya satu persatu (“solusi” ketiga yang mungkin adalah menentukan 100% batas cadangan emas untuk bank, namun karena solusi ini sangat intervensionis, dan juga tidak mencerminkan laissez faire, jelas tidak mungkin dilaksanakan, karena tak ada cukup emas untuk dibagikan dan memiliki banyak masalah yang berhubungan dengan rezim uang infleksibel yang akan kita bahas di bawah ini. Untuk solusi yang ketiga ini kita tidak akan membahasnya).
Monetarisme sangat terkenal di tahun 1970-an dan terkait dengan karya Milton Friedman. Pendekatan ini tidak seradikal aliran “perbankan bebas” dan berargumen bahwa daripada menghapus uang negara, lebih baik dilkukan pengontrolan. Seperti sebagian besar ekonom kapitalis lainnya, Friedman menekankan bahwa faktor moneter merupakan segi penting dalam menjelaskan masalah kapitalisme seperti lingkaran bisnis, inflasi dan lain-lain. Tidak mengejutkan, karena faktor moneter memiliki efek ideologis yang berguna dalam menjalankan pekerjaan pada bagian dalam kapitalisme mengenai segala keterlibatannya dalam masalah-masalah semacam itu. Contohnya, kemerosotan mungkin terjadi, namun merupakan kesalahan negara karena mencampuri perekonomian. Inilah, contohnya, cara Friedman menjelaskan Depresi Besar di AS pada tahun 1930-an (lihat tulisannya “The Role of Monetery Policy” dalam American Economic Review, Maret, 1968). Ia juga menjelaskan masalah inflasi dengan beragumen bahwa hal tersebut hanyalah fenomena moneter belaka yang disebabkan oleh banyaknya uang yang dicetak negara, melebihi jumlah yang dibutuhkan pertumbuhan aktivits ekonomi (contohnya, jika perekonomian tumbuh 2% dan persediaan uang meningkat 5%, inflasi akan naik sebesar 3%). Seperti yang akan kita lihat, analisa mengenai inflasi ini jelas salah.
Jadi, kaum moneter berpendapat agar dilakukan kontrol terhadap suplay uang, menempatkan uang dibawah suatu “konstitusi moneter” yang memastikan dibutuhkannya bank sentral secara hukum untuk meningkatkan kuantitas uang pada tingkat yang sama 3-5% setahun. Hal ini akan memberi jaminan bahwa inflasi berakhir, perekonomian akan menyesuaikan diri dengan ekulibrium naturalnya, jumlah lingkaran bisnis akan menjadi berkurang banyak (jika tidak menghilang) dan pada akhirnya kapitalisme akan bekerja sesuai dengan yang diprediksikan buku-buku ekonomi. Dengan adanya “konstitusi moneter”, uang akan mengalami “depolitisasi” serta terjadi penghapusan pengaruh negara dan kontrol terhadap uang. Uang akan kembali seperti bentuknya semula dalam teori neo klasik, yang secara esensial netral, suatu link antara produksi dan konsumsi serta tidak memiliki kesalahan apapun.
Sayangnya, analisis tersebut jelas salah. Yang lebih disayangkan lagi, baik teori maupun penganutnya, terbukti salah tak hanya secara teoretis, melainkan juga empiris. Moneterisme dipergunakan di AS dan Inggris pada awal 1980-an, dengan hasil yang penuh kekacauan. Karena pemerintahan Thatcher di tahun 1979 menerapkan dogma kaum moneteris sepenuhnya, kita akan memfokuskan pada rezim ini (hal yang sama juga terjadi bawah pemerintahan Reagan).
Pertama, usaha untuk mengkontrol suplai uang gagal, seperti yang diprediksikan di tahun 1970-an oleh seorang Keyenesian radikal, Nicholas Kaldor (lihat essaynya “The New Monetarism” dalam Further Essays on Applied Economics, untuk contoh). Hal ini terjadi karena suplay uang, lebih dari sekedar sesuatu yang dibuat oleh bank sentral atau negara, merupakan fungsi permintaan terhadap kredit, yang dengan sendirinya merupakan fungsi aktivitas ekonomi. Menggunakan terminologi ekonomi, Friedman berasumsi bahwa suplai uang bersifat “eksogenus” sehingga ditentukan di luar perekonomian oleh negara ketika, pada kenyataannya, bersifat “endogenus” (yaitu berasal dari dalam perekonomian). Artinya usaha apapun untuk mengkontrol suplai uang akan mengalami kegagalan. Charles P. Kindleburger berkomentar:
Karena suatu generalisasi historis, dapat dikatakan bahwa setiap saat penguasa menstabilkan atau mengkontrol kuantitas uang…dalam keadaan euforia akan lebih banyak lagi yang akan diproduksi. Atau jika definisi uang ditetapkan dalam term aset partikular, dan euforia terjadi untuk “memoneterkan” kredit dalam cara-cara baru yang tidak dimasukkan dalam definisi, maka jumlah uang yang didefinisikan dalam cara-cara lama tak akan berkembang, namun kecepatannya akan bertambah…menetapkan apapun (definisi uang) dan pasar akan membuat bentuk-bentuk uang yang baru dalam periode boom untuk memindahkan limit.” (Maniac, Panics, and Crashes, hal.48)
Pengalaman rezim Thatcher dan Reagan menunjukkan hal ini dengan baik. Pemerintahan Thatcher tak dapat melaksanakan kontrol uang yang dibuatnya–pertumbuhannya 74%, 37% dan 23% di atas daerah puncak yang telah ditetapkan (Ian Gilmore, Dancing With Dogma, hal 22). Hal itu terjadi hingga 1986 sebelum pemerintahan Tory berhenti mengumumkan target moneter, karena benar-benar yakin akan ketidakmampuan pendekatan moneter untuk menanganinya. Tambahan lagi, variasi dalam suplai uang juga menunjukkan bahwa argumen Milton Friedman mengenai penyebab inflasi keliru. Menurut teorinya, inflasi disebabkan oleh suplai uang yang meningkat lebih cepat daripada perekonomian, pada kenyataannya inflasi menurun karena peningkatan suplai uang. Seperti yang diperlihatkan Ian Gilmore, seorang konservatif moderat, “jika monetarisme Friedman… memang benar, inflasi akan mendekati sekitar 16% di tahun 1982-1983, 11% di tahun 1983-1984, dan 8% di tahun 1984-1985. Pada kenyataannya… dalam tahun-tahun itu inflasi tak pernah mendekati tingkat mutlak yang diprekdisikan oleh doktrin kaum moneter.” (op.cit., hal 52) Namun demikian, dari perspektif anarkis, menurunnya inflasi adalah hasil dari tingginya angka pengangguran pada periode tersebut yang melemahkan pekerja, sehingga keuntungan diperoleh dalam produksi bukan dalam sirkulasi (lihat bagian C.7.1) Karena kaum kapitalis menganggap tidak perlu meningkatkan harga dalam rangka mempertahankan keuntungan, inflasi akan menurun secara wajar karena posisi pekerja diperlemah akibat adanya pengangguran massal. Lebih dari sekedar fenomena moneter seperti yang diklaim Friedman, inflasi merupakan hasil dari adanya kebutuhan keuntungan modal dan perjuangan kelas.
Juga menarik untuk dicatat bahwa dalam tes yang dilakukan Friedman sendiri mengenai pernyataan dasarnya, Depresi Besar 1929-1933, ia menemukan kesalahan. Catatan Kaldor menunjukkan bahwa “sesuai dengan gambaran Friedman sendiri, jumlah “uang berkekuatan tinggi”…di AS meningkat, bukannya menurun, sepanjang Kontraksi Besar (the Great Contraction): pada Juli 1932, 10% lebih tinggi bulan Juli 1929…Kontraksi Besar dari suplai uang…terjadi meskipun meningkat dalam basis moneter.” (Op. Cit., hal.11-12) Ekonom lainnya juga menyelidiki klaim Friedman, dengan hasil yang sama–”Peter Temin melihat karya Friedman dan Schwartz dari sudut pandang Keynesian (dalam buku Did Monetary Forces Cause the Great Depression?). Ia mempertanyakan apakah deklinasi dalam pembiayaan memang dihasilkan dari deklinasi dalam suplay uang ataukah karena hal lain … (Ia dapati bahwa) suplay uang tak hanya tidak mengalammi deklinasi namun benar-benar mengalami peningkatan 5% dari Agustus 1929 hingga Agustus 1931…Temin menyimpulkan bahwa tak ada bukti uang menyebabkan depresi antara hancurnya pasar saham dan…September 1931.” (Charles P. Kindleburger, Op.Cit., hal.60)
Dengan kata lain, kausalitas berasal dari keuntungan riil uang, bukan sebaliknya, dan fluktuasi dalam suplay uang berasal dari fluktuasi dalam perekonomian. Jika suplai uang bersifat endogenus, dan memang demikian, maka hal inilah yang diharapkan. Usaha untuk mengontrol uang akan, terpaksa, mengalami kegagalan dan hanya menjadi alat yang akan meningkatkan suku bunga. Hal ini akan mengurangi inflasi, contohnya, dengan melakukan depresi dalam investasi, memunculkan pengangguran, dan juga (pada akhirnya) memperlambat peningkatan upah. Itulah yang terjadi pada tahun 1980. Mencoba “mengkontrol” suplai uang sama artinya dengan meningkatkan suku bunga hingga tingkat yang benar-benar tinggi, yang memiliki andil dalam munculnya depresi yang semakin buruk sejak berakhirnya perang (depresi yang khususnya gagal diprediksikan Friedman).
Karena adanya kegagalan absolut moneterisme, baik secara teori maupun praktek, saat ini pendekatan tersebut jarang dibicarakan. Namun demikian, dalam 1970-an pendekatan moneterisme menjadi dogma ekonomi utama bagi golongan kanan–golongan kanan biasanya suka menggambarkan dirinya sebagai kekuatan dalam perekonomian. Jadi perlu ditunjukkan bahwa bukan ini masalahnya. Tambahan lagi, kita membicarakan kegagalan moneterisme untuk menyoroti masalah yang berkaitan dengan solusi “perbankan bebas” untuk kontrol negara terhadap uang. Aliran pemikiran ini dihubungkan dengan ilmu ekonomi aliran “Austria” dan libertarian sayap kanan pada umumnya (kita juga membicarakan teori ini dalam bagian F.10.1) Aliran ini didasarkan pada privatisasi total sistem perbankan dan menciptakan sistem di mana dalam sistem itu bank dan perusahaan lain saling bersaing di pasar untuk mendapatkan uang mereka dalam bentuk receh dan kertas yang diterima oleh masyarakat umum. Bank ini tidak sama dengan perbankan mutual kaum anarkis karena tidak terlihat sebagai cara untuk mengurangi riba hingga mencapai titik nol dan bukan sebagai alat untuk memastikan bahwa suku bunga bekerja seperti yang diklaim dalam teori kapitalis.
Aliran “perbankan bebas” berpendapat bahwa di bawah tekanan kompetitif, bank akan mempertahankan100% perbandingan antara kredit yang disediakan dan uang yang dikeluarkan dengn cadangan yang dimiliki (yaitu kekuatan pasar akan menjamin berakhirnya cadangan fraksional perbankan). Mereka berpendapat bahwa di bawah sistem saat ini, bank dapat menciptakan lebih banyak kredit daripada dana/cadangn yang mereka miliki. Hal ini mendorong suku bunga di bawah “tingkat rata-ratanya” (yaitu tingkat yang menyamakan tabungan dengan investasi). Kaum kapitalis, karena terjadi salah informasi mengenai suku bunga yang rendah secara artifisial menginvestasikan lebih banyak dalam peralatan modal insentif dan hal ini, pada akhirnya menyebakan krisis, krisis yang disebabkan oleh invetasi berlebih (para ekonom “Austria” mengistilahkan hal ini dengan “mal-investasi”) Jika bank tunduk pada kekuatan pasar, diajukan argumen, maka bank tak akan mengeluarkan uang kredit, suku bunga akan meefleksikan angka riil dan juga investasi berlebih, sehingga krisis pun akan berlalu.
Namun demikian, analisis ini cacat. Kita telah mencatat satu cacat di atas, yaitu permasalahan bahwa suku bunga tidak memberikan informasi yang benar dan cukup bagi keputusan investasi. Jadi investasi berlebih yang relatif ini masih mungkin terjadi. Dalam pembahasan kita mengenai moneterisme, ada masalah lain yang mengiringinya, yaitu sifat endogenus dari uang dan tekanan-tekanan yang diterima bank. Seorang ekonom Keynesian terkemuka Hyman Minsky membuat suatu analisis yang memberikan suatu wawasan, mengapa merupakan suatu hal yang meragukan bahwa sistem “perbankan bebas” akan melawan godaan untuk menciptakan uang kredit (yaitu meminjamkan lebih banyak uang dari tabungan yang ada). Model ini seringkali disebut “Hipotesis Instabilitas Finansial”(The Financial Instability Hypothesis.)
Mari kita buat suatu asumsi bahwa ekonomi sedang bergerak menuju periode pemulihan setelah terjdai kehancuran. Pada awalnya firma akan bersikap konservatif dalam investasi mereka sementara bank akan meminjamkan dalam limit tabungan mereka dan memperendah resiko investasi. Dalaam cara ini, bank akan menjamin bahwa suku bunga merefleksikan angka yang normal. Namun demikian, kombinasi pertumbuhan ekonomi dan investasi finansial yang konservatif memiliki arti bahwa sebagian besar proyek sukses dan secara berangsur-angsur hal ini menjadi jelas bagi para manager/kapitalis dan bankir. Sebagai hasilnya, baik manager maupun bankir mulai menganggap premi resiko saat ini sebagai sesuatu yang berlebihan. Proyek investasi baru dinilai dengan menggunakan estimasi yang tidak terlalu konservatif untuk arus uang masa depan. Hal ini merupakan pondasi bagi boom baru dan kehancuran pada akhirnya. Dalam kata-kata Minsky, “stabilitas sedang mendestabiliasasikan”.
Karena ekonomi mulai tumbuh, perusahaan semakin membutuhkan finansial eksternal dan dana-dana ini akan datang karena sektor perbankan bersama-sama meningkatkan optimisme investor. Jangan lupa bahwa bank-bank merupakan perusahaan privat juga sehingga juga mencari keuntungan. Pemberian kredit merupakan cara kunci dalam melakukan hal ini sehingga bank mulai mengakomodasi pelanggan mereka dan mereka harus melakukan ini dengan ekspansi kredit. Jika tidak, boom akan segera berubah menjadi kemerosotan karena investor tidak memiliki dana dan suku bunga akan meningkat, sehingga memaksa firma membayar dalam pembayaran hutang, peningkatan yang tidak dapat dilakukan banyak firma atau dirasa sulit. Pada akhirnya, hal ini akan meneakn investasi dan juga produksi, menimbulkan pengangguran (karena perusahaan tak dapat “memecat” investasi semudah memecat pekerja), sehingga mengurangi permintaan konsumsi dan permintaan investasi sehingga memperparah kemerosotan.
Namun demikian, berkaitan dengan meningkatnya perekonomian, para bankir mengakomodasi para pelanggan serta memberikan kredit, dan bukannya meningkatkan suku bunga. Dengan cara ini, mereka menerima struktur hutang baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi para pelanggan “bahwa dalam suatu keadaan pengharapan yang lebih tenang, mereka telah ditolak.” (Minsky, Inflation, Recession, anf Economic Policy, hal 123). Bank melakukan inovasi produk finansial mereka, dengan kata lain, sejalan dengan permintaan. Firma menambah hutang-hutangnya dan bank lebih dari sekedar rela mengijinkannya berkaitaan dengan adanya tekanan-tekaanan finansial dalam perekonomian. Firma individual dan bank meningkatkan hutang finansial mereka, sehingga seluruh perekonomian meningkatkan struktru hutang mereka.
Namun demikin, pada akhirnya suku bunga meningkat (karena perluasan kredit yang ada tampak terlalu tinggi) dan hal ini mempengaruhi semua firma, dari yang paling konservatif hingga yang paling spekulatif, serta “mendorong” mereka ke struktur hutang yang lebih tinggi (firma-firm konservatif tak lagi mampu membayar hutang mereka dengan mudahnya, sedikit yang tak mampu membayaarnya, dan lain-lain). Batas kesalahan yang tipis ini, berikut bank dan firma, menjadi lebih rentan terhadap perkembangan yang tak diharapkan, seperti pesaing baru, pemogokan, investasi yng tidak memunculkan tingkat pengembalian yang diharapkan, meningkatnya suku bunga, dll. Pada akhirnya, boom berubah menjadi kemerosotan serta kejatuhan firma dan bank.
Aliran “perbankan bebas” menolak klaim ini dan berargumen bahwa bank swasta dalam persaingan tak akan melakukan hal ini karena akan membuat mereka tampak kurang kompetitif di pasar sehingga pelanggan akan lari ke bank lain (proses ini merupakan proses yang sama dengan proses yang digunakan sistem “perbankan bebas” untuk mengakhiri inflasi). Namun demikian, hal ini dapat terjadi karena bank-bank mempersaingkan apa yang mereka inovasi–jika tidak, bank atau perusahaan lain akan mengambil peluang itu untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Kita dapat melihatnya dari fakta bahwa “(s)urat hutang bank…dan surat obligasi…awalnya dikembangkan karena suplai uang yang tidak elastis” (Kindleburger, Op.Cit., hal.51) dan “kekurangan apapun pada jenis yang biasa digunakan (untuk uang) membatasi kemunculan jenis-jenis baru; tentu saja, secara historis, hal ini dapat menjelaskan bagaimana dapat terjadi kemunculan surat hutang bank yang pertama dan rekening cek” (Kaldor, Op.Cit., hal. 10)
Proses ini dapat dilihat pada karya adam Smith The Wealth of Nations. Scotlandia pada masa Adam Smith didasarkan pada sistem perbankan dan, seperti catatan Smith, mereka mengeluarkan uang lebih banyak dari yang ada dalam peti simpanan di bank:
“Meski beberapa surat hutang itu (yang dikeluarkan bank) secara terus menerus dilunasi, sebagian dari mereka terus disirkulasikan selama beberapa bulan atau tahun secara bersamaan. Karena itu, meski ia (bankir) pada umumnya, dalam sirkulasi, memiliki surat hutang untuk jumlah ratusan ribu pound, duapuluh ribu pound dalam bentuk emas dan perak seringkali menjadi persediaan yang cukup untuk memenuhi permintaan berkala.” (The Wealth of Nations, hal.257-8)
Dengan kata lain, sistem perbankan kompetitif, pada kenyataannya, tidak menghapus cadangan fraksional perbankan. Cukup ironis, Smith mencatat bahwa “bank Inggris sangat merugi, tak hanya karena kelalaiannya sendiri, namun karena kelalaian yang jauh lebih besar yang dilakukan hampir semua bank Skotlandia.” (Op.Cit., hal.269) Jadi bank sentral lebih konservatif dalam memberikan kredit daripada bank-bank yang berada di bawah tekanan kompetitif! Tentu saja, Smith berargumen bahwa perusahaan perbankan, pada kenyatannya, tidak bertindak sejalan dengan suku bunga yang diasumsikan oleh aliran “perbankan bebas”:
“Jika setiap perusahaan perbankan tertentu selalu memahami dan memberikan bunga khusus, sirkulasi tak akan pernah mengalami persediaan uang kertas yang berlebih. Namun setiap perusahaan perbankan tidak selalu memahami dan memberikan bunga khusus, dan sirkulasi seringkali mengalami persediaan uang kertas yang berlebih.” (Op.Cit., hal 267)
Jadi kita memiliki bank cadangan ditambah tindakan bankir dalam cara-cara yang berlawanan dengan “bunga khusus”nya (yaitu apa yang dianggap ilmu ekonomi sebagai bunga, yang berbeda dengan apa yang dipikirkan para bankir mengenainya!) dalam sistem perbankan kompetitif. Mengapa hal ini bisa terjadi? Smith menyebutkan, sambil lalu, sebuah alasan yang mungkin. Ia mencatat bahwa “keuntungan besar dalam perdagangan menyebabkan adanya godaan besar untuk melakukan perdagangan secara besar-besaran” (over trading) dan meski “multiplikasi perusahaan perbankan… meningkatkan keamanan publik” dengan memaksa mereka “untuk lebih berhati-hati dalam bertingkah laku” dan juga “mewajibkan semua bankir untuk lebih liberal dalam membuat kesepakatan dengan semua pelanggan, atau pesaing mereka akan merebutnya” (Op.Cit., hal.274, hal.294)
Jadi “perbankan bebas” mencapai dua tujuan pada saat yang bersamaan, untuk mengakomodasikan pelanggan mereka sembari berhati-hati dalam menjalankan aktivitasnya. Faktor berlakunya tergantung pada keadaan perekonomian, dengan kemajuan yang memicu peminjaman liberal (seperti yang digambarkan Minsky). Terlebih lagi, karena aliran “perbankan bebas” berargumen bahwa pemberian kredit menimbulkan lingkaran bisnis, dari kasus Scotlandia jelas bahwa perbankan kompetitif tidak, pada kenyataannya, menghentikan pemberian kredit (dan juga lingkaraan bisnis, menurut “teori” Austria). Kejadian ini juga terjadi di Amerika pada abad 19, yang tidak memiliki bank sentral dalam sebagian besar periode tersebut–”meningkatnya lingkaraan juga merupakan hal yang luar biasa (seperti sebuah ledakan), diperkuat oleh kredit longgar dan peredaran yang kacau (seperti surat hutang bank yang dikeluarkan swasta).” (Doug Henwood, Wall Street, hal.94)
Sebagian besar pendukung “perbankan bebas” juga berargumen nahwa sistem yang diregulasi tidak akan bebas mengakomodasi pelanggan mereka dengan memberikan kredit dan menghasilkan rezim uang infleksibel yang menciptakan masalah dengan meningkatkan suku bunga dan mengurangi jumlah uang yang ada, yang akan menghasilkan kemerosotan lebih cepat dari sebelumnya. Jadi suplay kredit yang berlebihan, lebih merupakan sebuah gejala daripada penyebab krisis. Investasi kompetitif juga mempengaruhi ekspansi kreedit, yang disebabkan dan didorong oleh adanya persaingan di antara bank dalam menyuplai kredit. Komplemen ekspansi semacam itu–sehingga menegaskan–kecenderungan obyektif menuju krisis, seperti investasi berlebih dan ketidak seimbangan.
Dengan kata lain, kapitalis “pasar bebas” murni akan tetap mempunyai lingkaran bisnis karena lingkaran ini disebabkan oleh sifat kapitalisme, bukan karena intervensi negara. Pada kenyataannya (yaitu dalam kapitalisme “yang sebenarnya”), manipulasi negara atas uang (melalui suku bunga) merupakan hal esensial bagi kelas kapitalis karena lebih berhubungan dengan aktivitas yang memberi keuntungan secara tidak langsung, seperti memastikan tingkat “normal” pengangguran utnuk terus meningkatkan keuntungan, tingkat inflasi yang dapat diterima untuk menjamin terjadinya peningkatan keuntungan, dll, seperti juga memberikan alat untuk melunakkan lingkaran bisnis, mengatur jaminan yang diberikan dan menyuntikan uang ke dalam perekonomian selama kekacauan. Jika manipulasi uang yang disebabkan oleh masalah kapitalisme, kita tidak akan menyaksikan keberhasilan ekonomi eksperimen Keynesian pasca perang atau lingkaran bisnis dalam masa-masa pra Keyenesian dan dalam negara-negara yang memiliki sistem perbankan yang lebih bebas (contohnya, hampir paruh abad terakhir dalam abad 19 di AS terjadi periode resesi dan depresi, dibandingkan dengan 1/5 abad sejak akhir perang dunia II).
Memang benar bahwa semua krisis telah didahului dengan peningktan ekpansi kredit dan produksi yang spekulatif. Namun demikian, tidak berarti bahwa krisis berasal daari spekulasi dan ekspansi kredit. Hubungannya tidak bersifat kausal dalam pasar lapitalisme. Ekspansi dan kontradiksi hnyalah sebuah gejala belaka dari perubahan periodik dalam lingkaran bisnis, karena deklinasi profitabilitas kontrak kredit hanya merupakan peningkatan yang memperbesarnya.
Paul Mattick memberikaan analisis yang tepat:
“(U)ang dan kebijakan kredit dengan sendirinya tak dapat mengubah apapun yang berkaitan dengan profitabilits atau tidak cukupnya keuntungan. Keuntungan hanya berasal dari produksi, dari nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja…Ekspansi kredit selalu dijadikan tanda datangnya krisis, dalam artian bahwa ekspansi tersebut merefleksikan usaha entitas modal individual untuk berekspansi sekalipun mempertajam persaingan, dan karenanya juga bertahan hidup dalam krisis…Meski ekspansi kredit telah mengelakkan kredit sementara, namun tak pernah dapat mencegahnya…karena pada akhirnya fktor yang menentukan adalah hubungan riil antara keuntungan dan kebutuhan akan modal sosil untuk berekspansi dalam nilai, dan tak dapat diubah oleh kredit.” (Economics, Politics and the Age of Inflation, hal.17-18)
Singkatnya, para pembela kapitalisme “pasar bebas” mengacaukan gejala terjadinya penyakit.
Ketika tak ada keuntungan, kredit tak akan diberikan. Meski pengembangan sistem kredit “dapat menjadi faktor yang menangguhkan krisis, pecahnya krisis menjadikannya faktor yang mengganggu karena lebih besarnya jumlah modal yang pasti didevaluasi.” (Paul Mattick, Economic Crisis and Crisis Theory, hal.138) Namun hal ini juga merupakan suatu masalah yang dihadapi perusahaan swasta yang menggunakan standar emas, seperti yang dibela oleh kaum libertarian sayap kanan (yang merupakan pendukung perbankan dan kapitalisme “pasar bebas”). Suplay uang merefleksikan aktivitas ekonomi dalam sebuah negara dan jika suplay tersebut tidak menyesuaikan diri, suku bunga naik dan menimbulkan krisis. Jadi kebutuhan akan suplay uang fleksibel (seperti yang diinginkan, contohnya, oleh anarkis individualis AS). Seperti yang ditunjukkan Adam Smith, “kuantitas uang di setiap negara diregulasi oleh nilai komoditi yang disirkulasikan olehnya: meningkatkan nilai tersebut dan…kuantitas tambahan koin yang diperlukan untuk sirkulasi komoditi (akan didapatkan).” (Op.Cit., hal.385)
Mata uang ada karena terbentuknya komoditi uang terbukti terlalu infleksibel, karena “ekspansi produksi atau perdagangan yang tidak diiringi dengan peningkatan jumlah uang pasti menyebabkn kejatuhan pada tingkat harga…Mata uang berkembang sejak awal untuk melindungi perdagangan dari terjadinya deflasi yang mengiringi penggunaan mata uang ketika volume bisnis bertambah…Mata uang adalah uang yang tidak mencukupi hanya karena merupakan sebuah komoditi dan jumlahnya tak dapat ditambah seenaknya. Jumlah emas yang ada mungkin ditingkatkan beberapa persen setahun, namun tidak sebanyak lusinan dalam beberapa minggu, yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan ekspansi transaksi yang tiba-tiba. Tanpa mata uang, bisnis harus dibatasi atau memberikan harga yang sangat rendah, sehingga mengurangi kemerosotan dan menciptakan pengangguran.” (Karl Polyani, The Great Transformation, hal.193)
Kesimpulannya, “Yang memungkinkan peningkatan nilai lebih bukanlah kredit, melainkan peningkatan dalam produksi. Jadi tingkat eksploitasilah yang menentukan ekspansi kredit.” (Paul Mattick, Economic, Politics and the Age of Inflation, hal.18) Karena itu mata uang akan meningkat dan menurun seiring dengan profitabilitas kapitalis, seperti yang diprediksikan teori ekonomi kapitalis. Namun hal ini tidak mempengaruhi lingkaran bisnis, yang akarnya terletak pada produksi untuk modal (yaitu keuntungan) dn hubungan kekuasaan kapitalis, yang jelas membutuhkan suplay kredit, dan bukan sebaliknya.
C.8.1 Apakah ini berarti bahwa Keynesianisme berlaku?
Jika kontrol negara terhadap kredit tidak menyebabkan lingkaran bisnis, apakh ini sama artinya bahwa kapitalisme Keynesianisme dapat berlaku? Ilmu ekonomi Keynesian, karena bertentangan dengan kapitalisme pasar bebas, mempertahankan pandapat bahwa negara dapat, dan sebaiknya melakukan intervensi dalam perekonomian untuk menghentikan terjadinya krisis ekonomi. Boom pasca perang memberikan bukti yang yang jelas bahwa hal tersebut dapat menimbulkan efek yang lebih baik bagi lingkaran bisnis dengan mengurangi pengaruhnya dari perkembangan menuju depresi total.
Periode Keynesianisme sosial setelah perang ditandai oleh pengurangan ketidaksetaraan, peningkatan hak untuk kelas pekerja, mengurangi pengangguran, negara kesejahteraan (welfare state) yang benar-benar dapat kamu manfaatkan. Dibandingkan dengan kapitalisme saat ini, saat itu banyak mengarah ke sana. Namun demikiaan, kapitalisme Keynesian tetaplah kapitalisme dan juga masih ettap didasarkan pada penindasan dan eksplooitasi. Pada kenyataannya, kapitalisme merupakan bentuk yang lebih halus dari kapitalisme, dan di dalamnya intervensi negara digunakan untuk melindungi kapitalisme sembari memastikan bahwa perjuangan kelas pekerja melawannya diarahkan, melalui kesepakatan produktifitas, untuk menjaga kelangsungan sistem. Untuk penduduk yang jumlahnya besar, gagasan besarnya adalah bahwa negaar kesejahteraan (khususnya di Eropa) merupakan cara agar masyarakat menguasai diri dalam kapitalisme dengan meletakkan beberapa aspek kemanusiaan di dalamnya. Dalam cara yang dikacaukan ini, negara kesejahteraan didukung sebagai cara untuk menciptakan masyarakat yang di dalamnya peekonomian memang diperuntukkan bagi rakyat, bukan rakyat untuk perekonomian.
Meski negara selalu mendapat pembagian dalam nilai lebih total yang dihasilkan oleh kelas pekerja, hanya di bawah Keynesianismelah pembagian ini ditingkatkan dan digunakan secara aktif untuk mengatur perekonomian. Secara tradisional, dengan pemeriksaan terhadap perolehan nilai lebih yang didapat negara menjadi salah satu tujuan pemikiran kapitalis klasik (singkatnya, pemerintahan yang murah sama artinya dengan adanya nilai lebih yang lebih besar untuk dipersaingkan para kapitalis). Namun karena modal telah terakumulasi, maka negara meningkatkan pembagiannya dalam surplus sosial (karena kontrol terhadap musuh domestik harus diperluas dan masyarakat harus dilindungi dari destruksi yng disebabkan oleh kapitalisme pasar bebas).
Tentu saja, intervensi negara semacam itu tidak benar-benar baru karena “(d)ari asalnya, Amerika Serikat benar-benar mengandalkan intervensi negara dan proteksi untuk perkembangan industri dan pertanian, dari industri tekstil di awal abad ke-19, kemudian industri baja di akhir abad, hingga komputer, elektronik, dan bioteknologi dewasa ini. Lebih lanjut lagi, hal yang sama juga dibenarkan oleh setiap masyarkat industrial yang sukses lainnya.” (World Orders, Old and New, hal.101)
Akar kebijakan baru pada tingkat yang lebih tinggi dan bentuk-bentuk intervensi negara yang berbeda-beda berada di balik Depresi Besar di tahun 1930-an, dan realisasi yang berusaha memperkuat meluasnya reduksi pada upah dan ongkos (cara kaum tradisional untuk mengatasi depresi) tidak mungkin terjadi karena ongkos sosial dan ekonomi-nya terlalu mahal. Gelombang pemogokan militan yang melibatkan setengah juta pekerja terjadi pada tahun 1934, dengan menduduki pabrik dan bentuk-bentuk militan aksi langsung lainnya.
Daripada melayani pertikaian kelas (yang mungkin akan memiliki akibat yang revolusioner), pihak kelas kapitalis memikirkan pendekatan baru yang dibutuhkan. Pendekatan ini memerlukan negara untuk memanipulasi kredit demi meningkatkan dana yang ada untuk dijadikan modal dan untuk meningkatkan permintaan melalui kebijakan negara. Seperti yang dijelaskan Paul Mattick:
“Produksi tambahan yang dimungkinkan karena adanya defisit finansial benar-benar tampak sebagai permintaan tambahan, namun karena permintaan tidak diiringi dengan peningkatan dalam keuntungan total…(hal ini) dengan segera berfungsi sebagai suatu peningkatan permintaan yang merangsang perekonomian sebagai suatu keseluruhan dan dapat menjadi poin bagi kemakmuran baru” jika kondisi obyektif mengijinkan. (Economic Crisis and Crisis Theory, hal 143)
Dalam jangka pendek, intervensi negara dapat menangguhkan krisis dengan merangsang produksi. Hal ini dapat dilihat pada periode New Deal 1930-an di bawah Roosevelt, ketika perekonomian tumbuh dalam lima tahun dari tujuh tahun dibandingkan dengan kemunduran setiap tahunnya di bawah Presiden Herbert Hoover seorang Republikan pendukung lassez faire (di bawah Hoover, penyusutan rata-rata GNP 8,4% pertahun, di bawah Roosevelt, naik 6,4%). Kemerosotan 1993 setelah 3 tahun pertumbuhan di bawah Roosevelt dikarenakan menurunnya intervensi negara:
“Kekuatan untuk memulihkan yang dijalankan dalam keadaan depresi, dan juga penurunan angka pengangguran melalui pengeluaran negara, meningkatkan produksi hingga tingkat yang dihasilkan di tahun1929. Hal ini dinilai cukup oleh pemerintahan Roosevelt untuk mengurangi secara drastis karya publik…dalam usaha baru untuk menyeimbangkan budget untuk menanggapi permintaan dunia bisnis…Pemulihan tersebut terbukti tidak berumur panjang. Di akhir 1937, Indeks Bisnis jatuh dari 110 hingga 85, yang membawa kembali perekonomian ke tangan negara seperti yang dulu pernah terjadi tahun 1935…Jutaan pekerja sekali lagi kehilangan pekerjaan mereka.” (Paul Mattick, Economics, Politics and the Age of Inflation, hal.138)
Dengan keberhasilan intervensi negara selama perang dunia II, Keyenesianisme tampak sebagai satu cara yang menjamin kelangsungan hidup kapitalis.Boom yang dihasilkan terkenal, dengan intervensi negara yang tampak sebagai cara yang mematikan kemakmuran bagi semua golongan masyarakat. Sebelum Perang Dunia II, AS (untuk contoh) mengalami delapan depresi, sejak perang tak satupun depresi yang terjadi (meski terdapat periode resesi). Tak dapat disangkal bahwa untuk waktu lama, kapitalisme telah mampu mencegah terjadinya depresi yang begitu menganggu di masa pra perang dan bahwa hal ini dikerjakan melalui intervensi pemerintah.
Penyebabnya adalah bahwa Keynesianisme dapat bekerja mengawali kemakmuran baru dan menangguhkan krisis dengan perluasan kredit. Hal ini dapat meredakan kondisi krisis, karena salah satu efek jangka pendeknya adalah bahwa Keynesianisme memberikan ruang gerak yang lebih luas pada modal swasta dan sebuah dasar perbaikan untuk usahanya sendiri untuk menaggulangi kurangnya keuntungan untuk akumulasi. Sebagai tambahan Keynesianisme dapat mendanai penelitian dan pengembangan dalam metode kerja (seperti otomatisasi) dan teknologi baru, menjamin pasar atas barang-barang yang ada da n juga mentransfer kekayaan dari kelas pekerja menuju modal melalui pajak dan inflasi.
Namun demikian, dalam jangka panjang “manajemen keynesian dalam perekonomian dengan menggunakan kebijakan kredit dan moneter dengan menggunakan produksi yang didorong negara pada kjhirnya harus berakhir dalam kontradiksinya mengenai proses akumulasi.” (Paul Mattick, Op.Cit., hal.18)
Jadi intervensi ini tidak benar-benar mengatasi penyebab dasar krisis sosial dan ekonomi. Modifikasi sistem kapitalis tidak dapat menghilangkan batasan-batasan subyektif dan obyektif dalam sistem yang didasarkan pada budak upahan dan hierarkis sosial. Hal ini tampak ketika gambaran optimis mengenai kemakmuran pasca perang berubah secara drastis di tahun 1970-an ketika krisis ekonomi kembali menimpa dengan dahsyatnya, dengan angka pengangguran yang tinggi dan dibarengi dengan meningkatnya inflasi.Jadi hal ini segera membawa perekonomiaan kembali ke kapitalisme yang lebih “pasar bebas”, dalam kata-kata Chomsky, “proteksi negara dan subsidi publik untuk orang kaya, disiplin pasar untuk orang miskin”. Proses ini, dan efeknya, akan dibahas dalam dua bagian selanjutnya.
C.8.2 Apa yang terjadi dalam Keynesianisme dalam tahun 1970-an?
Pada dasarnya, batasan obyektif dan subyektif untuk Keynesianisme yang kita bahas pada bagian terakhir, pada akhirnya tercapai di awal 1970-an. Krisis ekonomi kembali terjadi dengan diiringi pengangguran massal dan tingkat inflasi yang tinggi, juga dengan intervensi negara yang telah sekian lama menjaga keberlangsungan akapitalisme yang sehat, yang memperburuk kriisis. Dengan kata lain, kombinasi pertentangan sosial dan kurangnya nilai lebih yang akan dijadikan modal menghasilkan hancurnya konsensus kesuksesan pasca perang.
Akar dan jejak kehancuran di dalam Keynesianisme ini terletak pada analisa harga dan informasi. Periode pasca perang menandai perubahan yang nyata dalam kapitalisme, dengan tingkat intervensi negara yang baru dan lebih tinggi. Jadi, mengapa berubah? Sederhana, karena kapitalisme bukan sebuah sistem yang dapat terus berjalan. Kapitalisme belum dipulihkan dari depresi besar, dan boom ekonomi selama perang jelas sangat berbeda dengan stagnasi 1930-an. Di tambah lagi, tentu saja, kelas pekerja yang militan, yang bertahan pada tahun-tahun penolakan dalam perjuangan melawan kapitalisme fasis, tidak akan menerima begitu saja kembalinya pengangguran massa dan kemiskinan. Jadi secara politik dan ekonomi,suatu perubahan tidak dibutuhkan. Perubahan ini dibutuhkan oleh gagasan Keynes, perubahan yang terjadi di bawah tekanan kelas pekerja namun untuk kepentingan kelas berkuasa.
Percampuran intervensi jelsa berbeda dari satu negara ke negara lain, yang didasarkan pada kebutuhan dan ideologi partai berkuasa dan elit sosial. Di Eropa, nasionalisasimeluas karena modal yang tidak efisien diambil alih negara dan dihidupkan kembali melalui pendanaan negara dan pembiyaan sosial lebih penting karena partai Soial Demokrat berusaha memperkenalkan perbaikan-perbaikan. Chomsky mendeskripsikan proses di AS:
“Para pemimpin bisnis mengakui bahwa pembiayaan sosial dapat merangsang perekonomian, namun lebih menyukai alternatif militer Keynesian–karena alasan bahwa melakukan dengan disertai hak istimewa dan kekuasaan, bukanlah “rasionalitas ekonomi”. Pendekatan ini diadopsi satu kali, terjadinya Perang Dingin sebagai sebuah justifiikasi…Sistem Pentagon dianggap tepat untuk tujuan-tujuan ini. Pendekatan ini diperluas di balik perusahaan militer, bergabung dengan Departemen Energi…dan badan luar angkasa NASA, diubah oleh pemerintahan Kennedy menjadi komponen signifikan dari subsidi publik yang diatur negara untuk industri maju. Susunan ini memberikan publik beban yang lebih berat dari biaya industri (penelitian dan pengembangan, LitBang) dan memberikan jaminan pasar untuk kelebihan produksi, suatu bantalan untuk keputusan manjemen. Lebih lanjut lagi, bentuk kebijakan industrial ini tidak memiliki efek samping yang tidak diinginkan dalam pembiayaan sosial yang ditujukan pada kebutuhn manusia. Berbeda dari efek redistributif yang tidak dinginkan, kebijakan yang terakhir cenderung mencampuri prerogatif manajerial; produksi barang yang berguna dapat menyebbkan berkurngnya keuntungan yang diperoleh, sementara produksi barang-barang sampah yang disubsidi negara…merupakan sebuah pemberian bagi para pemilik dan manajer, pihak yang memproduksi barang apapun yang memiliki nilai pasar, yang jelas tidak diproduksi perusaahannya. Pembiayaan sosial mungkin juga menjadi sumber partisipasi dan kepentingan publik, sehingga meningkatkan ancaman terhdap demokrasi…Cacatnya pembiayaan sosial tidak mencemari alternatif militer Keynesin. Untuk alasan seperti ini, jelas Business Week, ‘terdapat perbedaan sosial dan ekonomi yang besar antara pemberian dana kesejahteraan dan pemberian dana militer,’ yang disebut terakhir jauh lebih disukai.” (World Orders, Old ang New, hal.100-101)
Semakin lama, Keynesianisme sosial semakin meningkat pengaruhnya di AS, sebagian dalam tanggapannya untuk perjuangan kelas pekerja, sebagian terkait dengan dukungan rakyat pada saat pemilihan dan sebagian lagi terkait dengan “oposisi rakyat terhdap parang Vietnam (yang) mencegah Washington untuk melakukan mobilisasi nasional…yang memungkinkan terjadinya penyelesaian penyerbuaan tanpa merugikan perekonomian domestik. Waashington terpaksa melakukan pertempuran “senjata dan mentega” untuk menentramkan penduduk pada biaya yang sangat ekonomis.” (Noam Chomsky, Op.Cit., hal.157-158)
Keynesinisme sosial memberikan sebagian dari nilai lebih total kepd pekerja dan penganggurna, sementara Kyenesianisme militer mentransfer nilai lebih dari penduduk ke modal dan dari modal untuk modal. Inilah yang membuat LitBang dan modal disubsidi oleh publik, modal yang juga esensial namun bukan modal produktif yang dapat bertahan hidup. Selama upah riil tidak melebihi kenaikan dalam produktifitas, Keyenesianisme akan terus berlangsung. Namun demikian, kedua fungsi memiliki batas obyektif karena transfer keuntungan dari modal yang berhasil ke modal yang esensial, namun kurang berhasil, atau karena investasi jangka panjang dapat menyebabkan sebuah krisis apabila tak ada keuntungan yang cukup untuk sistem secara keseluruhan. Nilai lebih yang memproduksi modal, akan dihalangi karena masalah transfer dan tidak dapat menanggapi masalah ekonomi dengan bebas seperti sebelumnya.
Kurangnya modal yang dapat mendatangkan keuntungan merupakan sebagian alasan terjadinya kolaps. Dalam laporan 1996 mereka yang penuh cacat, Monopoly Capital, Ahli ekonomi radikal Baraan dan Sweezy menunjukkan bahwa “(j)ika pembiayaan militer dikurangi sekali lagi hingga mencapau proporsi pra perang, perekonomian nasional akan kembali mengalami depresi yang parah” (hal.153)
Dengan kata lain, perekonomian AS masih tetap berada dalam keadaan depresi, yang dicegah oleh pembiayaan negara (untuk kritik Baaran dan Sweezy yang lebih baik, jika sedikit ekonomi, lihat “Monopoly Capital” karya Paul Mattick dalam Anti-Bolshevik Communism).
Tambahan lagi, dunia menjadi “tripolar” secara ekonomi, dengan revitalisasi Eropa dan wilayah Asia dengan basis Jepang yang muncul sebagai kekuatan ekonomi besar. Hal ini menempatkan AS di bawah tekanan yang meningkat, seperti perang Vietnam. Namun demikian, alasan utama untuk kehancurannya adalah pertentangan sosial kelas pekerja. Saatu-satunya batas untuk angka pertumbuhan yang disyaratkan agar Keynesianisme berfungsi adalah derajat hasil akhir yang terdiri dari barang konsumsi para pekerja saat ini sebagai ganti investasi. Dan investasi adalah sarana paling dasar untuk memaksakan kerja, yaitu dominasi kapitalis. Kapitalisme dan negara tak lagi dapat memastikan bahwa perjuangan kelas pekerja dapat ditahan dalam sistem.
Tekanan pada kapitalisme AS ini berpengaruh pada perekonomian dunia dan juga diiringi oleh pertentangan sosial di seluruh dunia. Pertentangan ini pada umumnya menentang hierarki, dengan pekerja, pelajar, perempuan, kelompok etnis, pemrotes yang anti perang, dan pengangguran, yang mengorganisir kesuksesan perjuangan melawan penguasa. Perjuangan ini menyerang inti hierarkis di dalam kapitalisme dan juga untuk meningkatkan jumlah pendapatan pekerja, yang mengakibatkan pereduksian keuntungan kapitalis(lihat bagian C.7) yang menciptakan krisis ekonomi.
Dengan kata lain Keynesianisme pasca perang gagal karena, dalam jangka panjang, tak mampu menghentikan tekanan subyektif dan obyektif yang selalu dihadapi kapitalisme.
C.8.3 Bagaimana kapitalisme menyesuaikan diri terhadap krisis di dalam Keynesianisme?
Pada dasarnya, dengan menggunakan, dan kemudian mengelola, krisis 1970-an untuk mendisiplinkan kelas pekerja, agar terjadi peningkatan keuntungan, dapat mengamankan dan memperluas kekuatan kelas berkuasa. Semua ini dilakukan dengan mengggunakan kombinasi krisis, pasar bebas, dan Keynesianisme yang disesuaikan, sebagai bagian dari perang kelas elit berkuasa melawan pekerja.
Di hadapan krisis 1970-an, pengalihan tujuan kaum Keynesian dalam hal keuntungan antara modal dan kelas telah menjadi beban bagi modal secara keseluruhan serta telah meningkatkan ekspetasi dan militansi kelas pekerja hingga tingkat yang membahayakan. Namun demikian, krisis ini telah membantu mengontrol kekuatan kelas pekerja dan kemudian digunaakn sebagai sarana menjaga kapitalisme.
Awalnya, krisis digunakan untuk membenarkan serangan terhadap kelas pekerja atas nama pasar bebas. Dan tentu saja, kapitalisme semakin lebih mendasarkan dirinya pada pasar, meskipun terdapat “jaringan keamanan” dan “negara kesejahteraan” untuk orang-orang kaya. Kita telah mengetahui keuntungan parsial yaitu “apa yang disebut ahli ekonomi dengan kebebasan industri dan perdagangan, namun yang sesungguhnya berarti pembebasan industrui dari gangguan dan pengawasan negara yang represif, dan memberi industri kebebasan penuh untuk mengeksploitasi pekerja yang kebebasannya masih tercerabut”. (Peter Kropotkin, The Great French Revolution, hal 28). “Krisis demokrasi” telah diatasi dan berganti dengan “kebebasan untuk mengeksploitasi kerja manusia tanpa usaha apapun untuk melindungi korban eksploitasi tersebut, dan kekuatan politik yang terorganisir untuk memberi jaminan eksploitasi kepada kelas menengah”. (op.cit., hal 30)
Kemudian di bawah retorika kapitalisme “pasar bebas”, Keynesianisme digunakan untuk menolak krisis sebagaimana dulu mengelola kemakmuran. Ilmu ekonomi “Sisi Penawaran” (Supply Side) (dikombinasikan dengan dogma neo-klasik) digunakan untuk menekan kelas pekerja dan konsumsi sehingga modal dapat memperoleh lebih banyak keuntungan dari kelas pekerja. Pengangguran digunakan untuk mendisiplinkan pekerja militan dan sebagai alat untuk meletakkan pekerja pada perjuangan untuk bekerja, bukan untuk melawan sistem pekerja upahan. Dengan adanya ketakutan kehilangan pekerjaan yang selalu membayang di depan mata, para pekerja menerima percepatan, jam kerja yang lebih panjang, kondisi buruk, perlindungan yang kurang aman, dan upah yang lebih rendah, sehingga semua ini dapat meningkatkan keuntungan yang dihisap secara langsung dari pekerja serta mengurangi biaya bisnis dengan memperbolehkan para majikan untuk menguranngi keamanan dan perlindungan kerja, dll. “Pasar” tenaga kerja terfrakmentasi hingga tingkat yang tinggi ke dalam unit-unit yang teratomisasi dan lemah, serta dengan kekalahan perjuangan serikat-serikat dalam keadaan yang didukung oleh resesi. Dalam cara ini kapitalisme berhasil merubah komposisi permintaan dari kelas pekerja menuju modal.
Pendisiplinan kelas pekerja mengakibatkan bagian pemasukan yang dijadikan modal mengalami peningkatan lebih dari dua kali jumlah bagian pemasukan yang digunakan untuk upah “pekerja”. Antara 1979-1989, pendapatan total pekerja naik sebesar 22,8%, pendapatan total modal naik sebesar 65,3% dan pertambahan modal mencapai 205,5%. Nilai riil dari standar paket keuntungan kesejahteraan juga mengalami deklinasi sebesar 26% sejak 1972. (Edward S. Herman, “Immiseraring Growth: The First World”, Z. Magazine) Dan ekonom Universitas Stanford, Victor Fuch, memperkirakan bahwa anak-anak AS telah kehilangan 10-12 jam dari waktu parental antara 1960-1986, yang mengakibatkan kerusakan dalam hubungan dan nilai-nilai keluarga. Pengangguran dan pekerjaan di bawah standar masih tetap meluas, dan yang paling baru, menciptakan pekerjaan paruh waktu.
Sebaiknya kita jelaskan bahwa peningkatan dalam pemasukan yang dijadikan upah kerja meliputi semua pendapatan “pekerja”, juga meliputi “upah” CEO serta manajer tingkat tinggi. Seperti yang telah kita catat “upah-upah” ini merupakan bagian dari nilai lebih yang dihisap dari pekerja sehingga seharusnya tidak dihitung sebagai pendapatan untuk “pekerja”. Kenyataan mengenai perang kelas yang dihadapi Reagan di tahun 1980-an adalah bahwa pendapatan top manajer telah meroket sedangkan upah pekerja tetap sama seperti biasanya atau mengalami penurunan secara absolut. Rata-rata upah per jam produksi pekerja AS telah jatuh sebesar 13% sejak 1973 (kita tidak menunjukkan bahwa hanya pekerja produksi yang menciptakan nilai lebih, atau “kelas pekerja”). Sebaliknya, manajemen AS saat ini menerima 150 kalinya dari penghasilan rata-rata pekerja. Tidak mengejutkan 70% dari keuntungan saat ini dalam pendapatan per kapita telah berpindah ke tangan orang-orang yang berada di puncak yang jumlahnya hanya 1%dari penerima penghasilan (sementaar orang-orang yang ada di bawah kehilangan dengan absolut). (Chomsky, Op.Cit., hal.41) Ketidaksetaraan pendapatan telah meningkat, dengan penurunan pendapat 1/5 dari penduduk AS yang berada di bawah sebesar 18%, semmentara 1/5 penduduk kaya AS mengalami peningkatan pendapatan sebesar 8%.
Sarana tak langsung dari pembagian peningkatan modal dalam pendapatan sosial juga digunakan, seperti mengurangi regulasi lingkungan, juga menyerahkan biaya polusi kepada generasi mendatang dan saat ini. Di Inggris, monopoli negara diprivatisasi pada harga yang memukul dan juga memperbolehkan modal swasta untuk meningkatkan sumbernay pada fraksi biaya riil. Tentu saja, beberapa industri yang dinasionalisasikan juga mengalami privatisasi karena monopoli menyebabkan terjadinya monopoli keuntungan yang dihisap dari konsumen selama beberapa tahun sebelum negara mengizinkan adanya persaingan dalam pasar. Pajak tak langsung juga ditingkatkan, digunakan untuk mengurangi konsumsi kelas pekerja dengan memerintahkan kita membiayai Keynesianisme gaya Pentagon.
Eksploitasi bangsa terbelakang meningkat seiring dengan ditransfernya $418 milyar ke nagara-negara maju antara tahun 1982 hingga 1990 (Chomsky, Op.Cit., hal.130) Modal juga meningkat dalam sekup internasional, seperti hanya penggunaan teknologi untuk memindahkan modal ke negara-negara dunia ketiga di mana represi negara menjamin sedikitnya kelas pekerja yang militan. Transfer ini juga mendatangkan keuntungan di nagara maju karena meningkatkan pengangguran, sehingga semakin menekan perlawanan kelas pekerja.
Kebijakan modal ini menyebabkan terjadinya perang kelas, sebuah respon terhadap keberhasilan kelas pekerja di tahun 1960-an dan 1970-an, jelas mendatangkan keuntungan yang diinginkan modal. Pemasukan yang dijadikan modal telah meningkat dan bagian yang akan dijadikan upah pekerja menurun dan “pasar tenaga kerja” telah didisiplinkan hingga tingkat tinggi, dari partisipan hingga penonton, seperti yang dibutuhkan sistem hierarkis manapun. Pengaruh manusiawi dari kebijakan-kebijakan ini tak dapat dikalkulasi. Maka tak heran, utilitas dogma neo klasik bagi kaum elit– yang digunakan orang-orang kaya dan berkuasa sebagai pembenaran dari fakta bahwa mereka mengusahakan kebijakan sosial yang menciptakan kemiskinan dan menyebabkan kematian anak-anak.
Seperti pendapat Chomsky, “satu aspek dari internasionalisasi perekonomian adalah peningkatan dua tahap model Dunia Ketiga menuju negara-negara inti. Jadi, doktrin pasar juga menjadi senjata ideologis yang esensial di dalam negeri, aplikasinya yang sangat selektif dikaburkan oleh sistem doktrinal. Kekayaan dan kekuasaan semakin terkonsentrasi. Pelayanan untuk publik–pendidikan, kesehatan, transportasi, perpustakaan, dll– dianggap tidak berguna, dan karenanya dihilangkan secara keseluruhan.” (Year 501, hal 109).
Negara telah berhasil mengelola resesi. Keuntungan perusahaan meningkat karena “ongkos kompetitif” pekerja telah direduksi yang disebabkan ketakutan kehilangan pekerjaan. Head line Laporan Wall Street Journal mengenai keadaan perekonomian selama triwulan keempat di tahun 1995 adalah “Keuntungan Perusahaan Mengalami Peningkatan 61% pada Harga yang Lebih Tinggi dengan Pemotongan Biaya.” Keuntungan setelah dipotong pajak naik 62% dari 1993, naik dari 34% selama triwulan ketiga. Meski pekerja Amerika mengahdapi kekuatan pasar, Korporat Amerika mencatat rekor keuntungan di tahun 1994. Business Week memperkirakan keuntungan 1994 naik “41% dari keuntungan (1993)” meskipun jelas hanya terjadi peningkatan sebesar 9% dalam penjualan, sebuah “kesuksesan kolosal”, mengakibatkan sejumlah besar dari sebuah “penipuan” diambil dari “bagian yang dijadikan upah pekerja’” meski “para ahli ekonomi mengatakan pekerja akan mendapat keuntungan–pada akhirnya.” (disebutkan oleh Noam Chomsky, “Rollback III”, Z.Magazine, April 1995)
Terlebih lagi, karena modal, Keynesianisme masih terus berlaku seperti sebelumnya, dengan digabungkan (seperti biasanya) dengan pujian untuk keajaiban pasar. Contohnya, Michael Borrus, wakil direktur Berkeley Roundtable pada Perekonomian Internasional (sebuah korporat yang mendanai perdagangan dan institut penelitian), menyebutkan penelitian Departemen Perdagangan 1998 yang menyatakan bahwa “lima dari 6 industri AS yang tumbuh paling cepat dari 1972-1978 disponsori atau ditopang secara langsung atau tidak langsung, oleh investasi federal.” Ia kemudian meneruskan bahwa “para pemenang (di tahun-tahun awal adalah) komputer, bioteknologi, mesin jet, dan pesawat udara” semua “dibiayai oleh publik.” (disebutkan oleh Chomsky, World Orders, Old and New, hal. 109)
Seperti penjelasan James Midgley, “keseluruhan jumlah sektor publik tidak mengalami penurunan selama tahun 1980-an dan sebaliknya, kebijakan budget mengakibatkan terjadinya pergeseran signifikan dalam meletakkan alokasi dari sosial ke pengadaan hukum dan militer.” [“The radical right, politics and society”, The Radical Right and the Welfare State, Howard Glennerster dan James Midgley (ed.), hal.11]
Tentu saja, AS mendanai sepertiga dari semua proyek litbang sipil, dan Inggris memberikan subsidi serupa. (Chomsky, Op.Cit., hal.107) Dan setelah meluasnya kolaps Asosiasi Simpan Pinjam dalam korupsi dan spekulasi yang dideregulasi, pemerintahan kaum Republik yang mendukung “pasar bebas” di tahun 1980-an dengan gembira menendang keluar asosiasi tersebut, dengan menunjukkan bahwa kekuatan pasar hanya diperuntunkan bagi satu kelas saja.
Media yang dimiliki korporat menyerang sosialisme Keynesianisme, sementara tetap tenang atau membenarkan intervensi negara yang mendukung bisnis. Dikombinasikan dengan pendanaan korporat ekstensif dalam “think tanks” sayap kanan yang menjelaskan mengapa (jenis kekeliruan) program-program sosial bersifat kontra produktif., sistem negara korporat mencoba membodohi penduduk ke dalam pemikiran bahwa tak ada alternatif untuk peraturan pasar sementara kaum elit memperkaya dirinya sendiri dengan mengorbankan publik.
Jadi, Keyenesianisme sosial digantikan oleh Keynesianisme Pentagon di bawah lindungan retorika dogma “pasar bebas”. Digabungkan dengan percampuran yang aneh dari pasar bebas (bagi banyak orang) dan intervensi negara (bagi beberapa orang yang terpilih), negara menjadi semakin kuat dan tersentralisasi, dan ”penjara juga menawarkan stimulus Keynesian dalam perekonomian, baik untuk bisnis konstruksi mupun pekerja kerah putih; profesi yang paling cepat pertumbuhannya adalah petugas keamanan“ (Chomsky, Year 501, hal.110)
Meski perlawanan kelas pekerja terus berlangsung, lebih bersifat defensif, namun, seperti di waktu-waktu lampau, hal ini dapat dan akan berubah. Bahkan malam yang paling gelap pun akan berakhir dengan terbitnya matahari, dan cahaya perjuangan kelas pekerja dapat dilihat di seluruh penjuru dunia. Contohnya, perjuangan anti pajak untuk memilih yang berlangsung di Inggris melawan pemerintahan Thatcher berhasil seperti juga perjuangan anti pemotongan upah yang terjadi di sepanjang AS dan Eropa Barat, pemberontakan Zapatista di Meksiko, yang menginspirasi berlangsungnya pemogokan dan protes yang terus menerus di seluruh dunia. Bahkan di hadapan represi negara dan resesi ekonomi yang direkayasa, kelas pekerja masih terus melawan. Tugas kaum anarkis adalaah untuk mendorong letupan-letupan kemerdekaan dan membantu memenangkan perjuangan.