[sc:afaq1]
B.2 Mengapa kaum anarkis melawan negara?
[toc]
Seperti yang sebelumnya dituliskan (lihat bagian B.1), kaum anarkis melawan semua bentuk kekuasaan hierarki. Namun secara historis, mereka menghabiskan sebagian besar waktu dan energi untuk melawan dua bentuk utama secara khusus. Yaang satu kapitalisme, dan lainnya adalah negara. Dua bentuk kekuasaan ini memiliki hubungan simbiotik dan tak dapat dipisahkan dengan mudah. Dalam bagian ini, sama pentingnya dengan menjelaskan mengapa kaum anarkis melawan negara, kita perlu menganalisa hubungannya dengan kapitalisme.
Jadi apa itu negara? Seperti yang dikatakan Malatessta, kaum anarkis “telah menggunakan kata negara…untuk mengartikan jumlah total institusi politik, legislatif, yudisial, militer dan finansial, dan melaluinya, pengelolaan urusan, kontrol terhadap tingkah laku, dan tanggung jawab terhadap keamanan mereka sendiri, diambil dari orang-orang berwenang dan dipercayakan pada orang lain yang, dengan perebutan dan perwakilan, diberi kekuasaan untuk membuat hukum untuk segala hal dan untuk setiap orang, serta untuk mewajibkan orang-orang untuk mematuhinya, jika diperlukan, dengan menggunakan paksaan kolektif.”
Pemerintah (atau negara) “tersusun dari para gubernur…mereka yang memiliki kekuasaan membuat hukum yang mengatur hubungan antar manusia dan untuk melihat bahwa hukum-hukum tersebut dilaksanakan…(dan) mereka yang memiliki kekuasaan…untuk menggunakan kekuasaan sosial, yaitu kekuasaan fisik, intelektual dan ekonomi dari keseluruhan masyarakat, untuk mewajibkan setiap orang melaksanakan keinginan mereka.” (Anarchy, hal. 13, hal.15-16–lihat juga The State: It’s Historic Role, hal. 10 karya Kropotkin)
Artinya bahwa banyak, jika tidak sebagian besar, kaum anarki sepakat dengan karakterisasi Randolph Bourne mengenai negara sebagai dominasi politik-militer terhadap wilayah geografi teretntu oleh elit yang berkuasa (Lihat tulisannya “Unfinished Fragment on the State”, dalam Untimely Papers). Mengenai hal ini Murray bookchin menulis:
“(s)ecara minimal, negara merupakan seitem koersi sosial yang profesional…hanya terjadi ketika koersi diinstitusionalisasikan ke dalam bentuk kontrol sosial yang terorganisir, sistematik, dan profesional-…dengan dukungan monopoli kekerasan-bahwa kita dapat bicara dengan tepat mengenai negara.” (Remaking Society, hal. 66)
Karena itu, dapat kita katakan bahwa, bagi kaum anarkis, negara ditandai oleh tiga hal:
1) Suatu “monopoli” kekerasan dalam wilayah teritorial tertentu;
2) Kekerasan ini memiliki sifat institusional dan “profesional”; dan
3) Bersifat hierarkis, sentralisasi kekuasan dan insiatif ke dalam tangan beberapa orang.
Dari ketiga aspek ini, aspek yang terakhir (sifat hierarki dan sentralisasinya) merupakan hal yang paling penting karena konsentrasi kekuasaan dalam tangan beberapa orang saja memastikan pembagian masyarakat ke dalam pemerintah dan yang diperintah (yang membutuhkan pembuatan badan profesional untuk memperkuat pembagian tersebut). Tanpa pembagian senacam itu, kita tak perlu memonopoli kekerasan dan sehingga dengan mudahnya memiliki asosiasi yang setara, tak ditandai dengan kekuasaan dan hierarki (juga ada dalam banyak suku “primitif: tanpa negara)
Beberapa jenis negara, contohnya komunis dan sosial demokrat, secara langsung terlibat bukan hanya dalam dominasi politik-militer, melainkan juga dalam dominasi ekonomi melalui kepemilikan negara terhadap alat produksi; namun demikian dalam negara demokrasi liberal, mekanisme dominasi politik-militer dikendalikan oleh dan untuk suatu elit korporat, dan karenanya korporasi besar seringkali dianggap termasuk suatu “kompleks negara” yang lebih luas.
Karena negara merupaka penyerahan kekuasaan ke tangan beberapa orang, negara jelas didasarkan hierarki. Penyerahan kekuasaan ini mengakibatkan orang-orang yang terpilih terisolasi dari massa rakyat yang memilihnya dan berada di luar kontrol mereka. Sebagai tambahan, karena mereka yang dipilih diberi kekuasaan terhadap sekelompok masalah yang berbeda-beda dan diminta memberi keputusan, birokrasi segera muncul disekelilingnya untuk membantu membuat keputusan. Namun, birokrasi ini, sehubungan dengan kontrol terhadap informasi dan kondisi yang permanen, dengan segera memiliki kekuasaan lebih dari pejabat terpilih. Artinya bahwa mereka yang melayani pembantu rakyat memiliki kekuasaan lebih dari orang-orang yang mereka layani, seperti halnya politisi yang memiliki kekuasaan lebih dari orang-orang yang memilihnya. Semua bentuk organisasi yang menyerupai negara (yaitu hierarkis) tak dielakkan lagi menimbulkan birokrasi. Birokarsi ini dengan segera menjadi titik pusat secara de facto dari kekuasaan di dalam struktur, tanpa memperhatikan peraturan kantor.
Marjinalisasi dan pembodohan rakyat biasa (sehingga memperkuat birokrasi) merupakan alasan pokok bagi perlawanan kaum anarkis terhadap negara. Rangkaian semacam itu memastikan bahwa individu mengalami pembodohan, dan berada dalam kepatuhan terhadap birokrat, peraturan otoriter yang mereduksi pribadi menjadi suatu obyek atau angka, bukan sebagai individu unik yang memiliki harapan, impian, perasaan, dan pikiran. Seperti pendapat Proudhon:
“DIPERINTAH adalah tetap berada dalam pengawasan, inspeksi, dimata-matai, diatur, dikendalikan hukum, dijumlah, didaftarkan, diindoktrinasi, dinasehati, dikendalikan, dievaluasi, dinilai, dicela, diperintah, oleh mahkluk yang tak punya hak, ataupun kebijaksanaan, ataupun kebajikan untuk melakukan hal demikian… DIPERINTAH adalah berada dalam setiap ekspolitasi, transaksi, catatan, registrasi, pendaftaran, pajak, dicap, diukur, dijumlah, ditaksir, didaftar, dikuasai, ditegur, dilarang, diperbaiki, dibenarkan, dihukum. Hal tersebut berada di bawah dalih kepentingan publik dan atas nama kepentingan bersama, ditempatkan di bawah kontribusi, pelatihan, ditebus, dieksploitasi, dimonopoli, diperas, diperah, dirampok, dikacaukan; kemudian, pada resistensi yang paling kecil, kata komplain pertama, ditekan, dilarang, dipandang rendah, diusik, dihukum, dikasari, dipenjara, diadili, dikutuk, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati, dilucuti senjatanya, diburu, dan menganugerahkan semua itu dengan hinaan, ejekan, kekejaman, cemoohan. Itulah pemerintah; itulah keadilannya; itulah moralitasnya.” (General Idea of the Revolution, hal. 294)
Kaum anarkis melihat negara dengan skupnya yang luas dan kontrol kekuatan yang mematikan, sebagai struktur hierarkis yang “utama”, memberikan penderitaan dari semua karakteristik negatif yang dihubungkan dengan kekuasaan dan digambarkan dalam bagian terakhir. Karena sifatnya yang birokratik, hierarkis dan tersentralisasi, negara menjadi suatu beban yang besar bagi masyarakat, menghambat pertumbuhan dan perkembangnanya serta menjadikan kendali rakyat sebagai hal yang tidak mungkin. Seperti yang dikatakan Bakunin:
“Yang disebut kepentingan umum masyarakat menurut dugaan digambarkan oleh negara… dalam kenyataannya… pengingkaran yang permanen dan umum terhadap kepentingan positif wilayah, komune, dan asosiasi, serta sejumlah individu yang tersubordinasi dari negara… (dan di dalamnya) semua aspirasi terbaik, semua kekuatan hidup suatu negara, dengan berpura-pura suci, dikorbankan dan dikuburkan.” (The Political Philosophy of Bakunin, hal 267)
Dalam sisa bagian ini kita akan membicarakan negara, peranannya, pengaruhnya pada kebebasan masyarakat dan orang-orang yang mendapat keuntungan atas kehadirannya. Esay klasik Kropotkin yang berjudul The State: It’s History Role direkomendasikan sebagai bacaan lebih lanjut mengenai hal ini.
B.2.1 Apa fungsi utama negara?
Fungsi utama negara adalah memungkinkan elit berkuasa untuk mengeksploitasi strata sosial yang lebih rendah dari mereka, yaitu menngambil surplus ekonomi dari strata tersebut. Negara, menggunakan istilah Malatesta, pada dasarnya merupakan “polisi penjaga barang milik” (Anarchy, hal.19) (Bandingkan dengan pepatah para pelopor “demokrasi” Amerika–”rakyat yang memiliki negara patut memerintahnya” (John Jay)) Mereka yang berada di tingkat menengah ke atas dalam piramida sosial juga seringkali menggunakan negara untuk mendapatkan penghasilan tanpa bekerja, seperti halnya investasi, namun elitlah yang mendapatkan keuntungan ekonomi terbesar, sehingga dapat menjelaskan mengapa di AS lebih dari 40% total kekayaan dikuasai oleh hanya satu persen populasi. Karena itu, tidaklah berlebihan jika mengatakan bahwa negara merupakan alat baku para parasit masyarakat.
Negara menjamin hak istimewa eksploitatif para kaum elitnya yang berkuasa dengan melindungi monopoli ekonomi tertentu yang memberikan kekayaan bagi para anggotany (lihat bagiaan B.3.2). Sikap ini dihubungkan sebagai “melindungi hak kepemilikan pribadi” dan disebut sebagai salah satu dari dua fungsi negara, fungsi yang lainnya adalah memastikan bahwa individu “aman dalam keberadaannya”. Namun demikian, meski ada pengakuan terhadap tujuan kedua ini, pada kenyataannya sebagian besar hukum dan institusi negara lebih memperhatikan perlindungan barang milik (untuk definisi kaum anarkis mengenai “barang milik” lihat bagian B.3.1).
Dari kenyataan ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa referensi untuk “keamanan pribadi”, “pencegahan kriminalitas”, dll, sebagian besar merupakan rasionalisasi dari eksistensi dan penjelasan yang menutupi usaha-usaha untuk mengekalkan kekuasaan dan hak istimewa yang diperoleh kaum elit. Terlebih lagi, meski negara melaksanakan fungsinya dalam melindungi keamanan pribadi (khususnya kaum elit), sebagian besar kriminalitas yang menimpa seseorang dimotivasi oleh kemiskinan dan alienasi akibat dari dukungan negara terhadap eksploitasi, dan juga berkurangnya kepekaan terhadap kekerasan yang diakibatkan oleh metode kekerasan yang dilakukan negara untuk melindungi kepemilikan pribadi.
Karena itu, kaum anarkis mempertahankana pendapat bahwa tanpa negara dan kondisi yang melahirkan kriminalitas, memungkinkan asosiasi-asosiasi sukarela yang terdesentralisasi memperlakukan beberapa orang jahat yang tak dapat diperbaiki, yang mungkin masih ada, atas dasar belaskasihan (dan bukan hukuman). (lihat bagian I.5.8)
Jelas bahwa negara menunjukkan mekanisme koersif esensial yang menghubungkan kapitalisme dan kekuasaan dalam kaitannya dengan dukungan terhadap kepemilikan pribadi. Ahli ekonomi, Paul Sweezy, menyatakan:
“Barang milik memberikan pemiliknya kebebasan atas pekerja dan pembagian kerja, dan hal ini merupakan esensi dari semua dominasi sosial apapun bentuknya yang mungkin terjadi. Hal tersebut adalah akibat dari keberadaan perlindungan barang milik yang merupakan jaminan dasar bagi dominasi sosial dari si pemilik terhadap orang yang tak memilikinya. Dan pada gilirannya, inilah yang disebut dengan dominasi kelas, dan fungsi utama negara adalah untuk menegakkannya.” (Teory of Capitalist Development, hal 243-244)
Dengan kata lain, melindungi kepemilikan pribadi dan menegakkan dominasi kelas merupakan hal yang sama. Bahkan fungsi utama negara seperti tersebut di atas disamarkan oleh alih-alih “demokratis” dari sistem pemilihan representatif, yang dengan melaluinya ditunjukkan bahwa rakyat memerintah sendiri. Sehingga Bakunin menulis bahwa negara modern “menyatukan di dalam dirinya dua kondisi yang diperlukan bagi kemakmuran ekonomi kapitalistis: sentralisasi negara dan kepatuhan aktual…rakyat…kepada minnoritas yang menurut orang bertugas mewakilinya namun sesungguhnya memerintah.” (op.cit. hal 210)
Sejarawan Charles Beard membuat pernyataan yang sama: “Karena sebagai tujuan utama suatu pemerintahan, di luar represi secara fisik, adalah membuat peraturan yang menentukan hubungan kepemilikan anggota masyarakat, maka kelas-kelas dominan yang haknya dilindungi terpaksa harus menciptakan pemerintahan yang kebijakannya sesuai dengan kepentingan-kepentingan lebih besar yang diperlukan bagi kelangsungan proses ekonomi mereka, atau mereka sendiri harus mengontrol lembaga-lembaga pemerintah” (An Economic Interpretation of the Constitution, dikutip oleh Howard Zinn, op.cit., hal. 89).
Peran negara ini– melindungi kapitalisme dan barang milik, kekuatan dan kekuasaan si pemilik– juga mendapat perhatian dari Adam Smith:
“Ketaksetaraan keberuntungan… memperkenalkan manusia tingkat kekuasaan dan sub-ordinasi yang mungkin tak ada sebelumnya. Dengan cara demikian, hal tersebut juga memperkenalkan beberapa tingkatan pemerintahan sipil yang sangat diperlukan bagi pemeliharanya… (dan) untuk mempertahankan serta menyelamatkan kekuasaan dan sub-ordinasi. Si kaya, khususnya, tertarik untuk mendukung tatanan yang dapat menyelamatkan kepemilikan keuntungan mereka. Orang-orang kaya inferior tersebut bergabung untuk membela orang-orang kaya superior dalam kepemilikan barang miliknya, dengan harapan bahwa orang-orang kaya superior juga bergabung untuk membela mereka dalam kepemilikan barang-barang miliknya… Pemeliharaan kekuasaan yang lebih kecil dari orang-orang kaya yang inferior tersebut tergantung pada kekuasaan yang lebih besar, dan bahwa sub-ordinasi orang-orang kaya inferior terhadap si kaya superior tergantung kepada kemampuan si kaya superior untuk menjaga orang-orang miskin tersebut tetap tersub-ordinasi kepadanya. Mereka semacam bangsawan kecil, yang merasa berkepentingan untuk mempertahankan barang milik dan mendukung penguasa dengan harapan bahwa si penguasa dapat mempertahankan barang milik bangsawan kecil tersebut dan dapat mendukung kekuasaan mereka. Pemerintahan sipil, selain dibentuk untuk keamanan barang milik, pada kenyataannya dibentuk untuk membela si kaya melawan si imiskin, atau mereka yang memiliki beberapa barang milik melawan mereka yang tak punya apa-apa.” (Adam Smith, The Wealth of Nation, buku 5)
Singkatnya, negara merupakan sarana yang digunakan kelas berkuasa untuk memerintah.
B.2.2 Apakah negara memiliki fungsi-fungsi tambahan?
Di samping fungsi utama melindungi kepemilikan pribadi, negara bekerja dalam cara lain sebagai suatu instrumen ekonomi kelas berkuasa. Pertama, negara ikut campur dalam perekonomian modern untuk memecahkan masalah yang muncul selama perkembangan kapitalis. Intervensi-intervensi ini mengambil wujud yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda pula, hal tersebut meliputi pendanaan negara untuk industri (contoh, pembiayaan militer); pembuatan infrastruktur sosial yang terlalu mahal jika dibiayai dengan modal pribadi (rel kereta api, jalan raya); tarif untuk melindungi industri berkembang dari kompetisi internasional yang lebih efisien (kunci bagi kesuksesan industrialisasi karena mengijinkan kapitalis mengambil banyak keuntungan dari konsumen, memperkaya mereka dan menambah dana yang diperlukan bagi investasi); usaha kaum imperialis untuk menciptakan kolooni-koloni (atau melindungi modal warga negara yang di investasikan di luar negeri) untuk menciptakan pasar atau mendapatkan akses terhadap bahan mentah dan buruh yang murah; pembiayaan pemerintah untuk merangsang permintaan konsumen terhadap situasi stagnan dan rendahnya tingkat konsumsi; mempertahankan tingkat “normal” pengangguran yang dapat digunakan untuk mendisiplinkan kelas pekerja, sehingga memastikan mereka berproduksi lebih banyak; memanipulasi suplay uang untuk mengurangi efek lingkaran bisnis dan merusak keuntungan yang diperoleh pekerja dalam perjuangan kelas.
Kedua, karena banyak sekali kekuatan politik yang berasal dari kekayaan (lihat bagian berikutnya), kaum kapitalis menggunakan negara secara langsung untuk menguntungkan kelas mereka, seperti dari subsidi, melanggar pajak, kontrak-kontrak pemerintah, tarif yang bersifat melindungi, pemberian jaminan terhadap korporasi-korporasi oleh birokrat negara dengan pertimbangan bahwa hal tersebut terlalu penting untuk dibiarkan gagal, dll. Ketiga, negara digunakan untuk memberikan konsesi bagi kelas pekerja jika tidak melakukan sesuatu yang mengancam integritas sistem sebagai satu kesatuan.
Perundang-perundangan negara untuk menetapkan lamanya hari kerja merupakan suatu contoh fungsi yang pertama dan ketiga yang telah disebutkan di atas. Pada periode awal perkembangan kapitalis, lemahnya kekuatan pekerja membuat negara mengabaikan lamanya hari kerja sehingga membuat kaum kapitalis mendapatkan nilai lebih dari pekerja dan menambah keuntungan tanpaa campur tangan negara. Namun kemudian, setelah para pekerja mulai mengorganisir, pengurangan hari kerja menjadi suatu tuntutan utama yang selalu dikembangkan dalam semangat sosialis revolusioner. Karena itu, untuk mengurangi ancaman bahaya ini (dan revolusi sosialis merupakan skenario kasus yang paling buruk bagi kaum kapitalis), negara mengesahkan perundang-undangan untuk mengurangi hari kerja (dan, ketika perjuangan pekerja mulai melemah, undang-undang tersebut diabaikan dan menjadi “hukum yang mati”). Pada awalnya, negara berfungsi semata-mata sebagai pelindung kelas kapitalis, dengan menggunakan kekuasaannya untuk memecahkan masalah yang muncul dalam perkembangan kapitalis (yaitu dengan menekan gerakan buruh untuk membiarkan kaum kapitalis melakukan apa yang disukainya). Pada fungsi kedua, negara memberikan konsesi kepada kelas pekerja untuk menghidari ancaman bagi integritas sistem sebagai satu kesatuan.
Perlu dicatat bahwa tak satupun dari ketiga fungsi tambahan tersebut yang menunjukkan bahwa kapitalisme dapat diubah melalui serangkaian perbaikan sedikit- demi sedikit ke dalam suatu sistem yang baik dan melayani kepentingan kelas pekerja. Kebalikannya, seperti yang dituliskan dengan baik oleh Sweezy, funsi-fungsi ini “tumbuh dan memberikan prinsip dasar bahwa negara ada pertama-tama untuk melindungi hubungan kepemilikan kaum kapitalis,” yang menjadi dasar bagi kelas berkuasa untuk mengeksploitasi. Oleh karena itu, “reformasi mungkin memodifikasi fungsi-fungsi dari kapitalisme, namun tak pernah mengancam dasarnya.” (Op. Cit., hal. 249) Akhirnya, apa yang diberikan negara, juga dapat diambil kembali (seperti masalah hukum yang membatasi hari kerja).
Dengan kata lain, negara melindungi kepentingan jangka panjang kelas kapitalis secara keseluruhan (dan menjamin kelangsungan hidupnya) dengan melindungi sistem. Peran ini dapat berbenturan dengan kepentingan kaum kapitalis tertentu atau malah seluruh bagian dari kelas berkuasa. Namun, konflik ini tidak mengubah peran negara sebagai polisi para pemilik barang modal. Malah, negara dapat dianggap sebagai sarana untuk menyelesaikan (dengan tata cara independen yang damai dan jelas) perselisihan kelas atas mengenai apa yang harus dilakukan untuk menjaga kelangsungan sistem.
B.2.3 Bagaimana kelas berkuasa mempertahankan kontrolnya terhadap negara?
Untuk singkatnya, marilah kita menilai negara kapitalis, yang tujuan utamanya adalah melindungi monopoli eksploitatif yang telah dijelaskan di atas. Karena monopoli ekonomi mereka dilindungi negara, kaum elit yang penghasilannya berasal dari hal tersebut– yaitu, kapitalis finansial, kapitalis industrial, dan tuan tanah– dapat mengakumulasikan banyak kekayaan dari mereka yang dieksploitasi. Hal ini emmbagi masyarakat ke dalam hierarki kelas-kelas ekonomi dengan kesenjangan kekayaan yang besar antara sejumlah kecil elit yang memiliki barang modal di puncak piramida dan mayoritas yang berada di dasar tanpa kepemilikan barang modal. Kemudian, karena untuk memenangkan pemilihan dan lobi atau menyuap pemilih, kaum elit yang memiliki barang modal mampu mengendalikan proses politik– dan tentu saja negara– melauli “kekuasaan dompet”. Contohnya, untuk mencalonkan diri sebagai presiden AS dibutuhkan biaya lebih dari 20 juta dolar. Dengan kata lain, kontrol kaum elit terhadap politik melalui kesenjangan kekayaan yang besar memastikan kelangsungan kesenjangan – kesenjangan semacam itu dan juga kelangsungan kontrol elit. Dengan cara ini, keputusan-keputusan politik yang penting dari orang -orang yang berada di atas terisolasi dari pengaruh signifikan orang-orang yang berada di bawah.
Terlebih lagi, modal berpeluang untuk gagal diinvestasikan (larinya modal) dan akibatnya pengaruh ekonomi yang buruk menjadi senjata yang ampuh untuk terus membuat negara melayani kapitalis. Seperti pendapat Noam Chomsky:
“Dalam demokrasi kapitalis, kepentingan yang harus dipenuhi adalah kepentingan kapitalis; sebaliknya, tak ada investasi, produksi, kerja, sumber daya yang disediakan, sekecil apapun, bagi kebutuhan masyarakat umumnya” (Turning the Tide, hal.233)
Karena itu, negara-negara kapitalis yang menurut banyak orang bersifat ‘demokratis” sebenarnya merupakan kediktatoran propertariat. Hal ini diungkapkan Errico Malatesta:
“Bahkan dengan hak pilih universal — kita dapat mengatakan dengan lebih baik bahkan dengan adanya hak pilih universal– pemerintah tetap merupakan pelayan dan polisi kaum borjuis. Karena, jika pemerintah malah memberi isyarat sikap bermusuhan, atau bahwa demokrasi bukanlah suatu dalih untuk menipu rakyat, kaum borjuis yang merasa kepentingannya terancam akan segera kembali bereaksi, dan akan menggunakan semua pengaruh dan kekuatannya untuk menyelesaikannya, untuk me-recall pemerintah supaya kembali pada posisinya yang tepat sebagai polisi kaum borjuis.’ (Anarchy, hal. 20)
Kehadiran birokrasi merupakan ciri kunci dalam memastikan bahwa negara tetaplah “polisi” kelas berkuasa dan akan dibicarakan dalam dengan lebih detail dalam bagian B.2.5- Bagaimana sentralisasi negara mempengaruhi kebebasan? Sejauh kekuatan ekonomi berlangsung, kita mengetahui kekuatan tersebut tampak ketika berita-berita memberikan laporan bahwa perubahan-perubahan dalam pemerintahan, kebijakan, dan hukum telah “disambut oleh pasar.” Satu persen dari rumah tangga terkaya di Amerika (sekitar 2 juta orang dewasa) memiliki 35% saham dari yang dimiliki individu pada tahun 1992- dengan 10% orang-orang yang berada di atas memiliki lebih dari 81% – bisa kita lihat bahwa “pendapat” pasar secara aktual berarti kekuasaan orang-orang terkaya yang jumlahnya 1-5% populasi suatu negara (dan pakar-pakar keuangan mereka), kekuasaan didapatkan dari kontrol mereka terhadap investasi dan produksi. Dengan mengetahui bahwa 90% penduduk AS yang ada di bawah memiliki pembagian yang lebih kecil (23%) dari semua jenis modal yang dapat diinvestasikan oleh 0.5% orang terkaya (yang memiliki 29%), dengan kepemilikan saham yang menjadi lebih terkonsentrasi (5% orang-orang yang diatas memegang 95% dari semua pembagian), menjadi jelas mengapa Doug Henwood (jurnalis Wall Street) berpendapat bahwa pasar saham merupakan “suatu cara bagi orang-orang yang sangat kaya sebagai suatu kelas untuk memiliki modal saham produktif perekonomian secara keseluruhan” dan merupakan sumber “kekuasaan politik” dan suatu cara untuk memiliki pengaruh terhadap kebijakan pemerintah. (Wall Street: Class Racket)
Tentu saja, tidak berarti bahwa negara dengan kelas kapitalis selalu sepakat. Politisi terkenal, sebagai contoh, merupakan bagian dari elit berkuasa, namun mereka juga bersaing dengan bagian lain dari kaum elit. Tambahan lagi, bagian-bagian berbeda dari kelas kapitalis bersaing satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan, pengaruh politik, dan hak istimewa, dll. Jadi, negara sering kali mengalami konflik dengan bagian-bagian dalam kelas kapitalis, seperti halnya mereka menggunakan negara untuk memajukan kepentingan yang ada dalam kerangka kerja umum untuk melindungi sistem kapitalis ( yaitu kepentingan kelas berkuasa sebagai sebuah kelas). Konflik-konflik semacam itu seringkali memberi kesan bahwa negara merupakan badan yang “netral”, namun hal itu hanyalah suatu ilusi– negara ada untuk membela kekuasaan dan hak istimewa kelas, dan untuk menyelesaikan pertikaian dalam kelas tersebut secara damai melalui proses “demokratis” (di dalamnya kita mendapat kesempatan memilih wakil kaum elit yang pada akhirnya akan menindas kita)
Meski demikian, tanpa uang pajak dari pengusaha yang ebrhasil, megara akan menjadi lemah. Karenanya peran negara adalah menjaamin kondisi terbaik bagi modal secara keseluruhan, yang artinya bahwa, ketika diperlukan, negara dapat melakukan usaha melawan kepentingan bagian-bagian tertentu dari kelas kapitalis. Hal inilah yang memberikan negara penampilan independen dan dapat membodohi rakyat ke dalam pemikiran bahwa usaha tersebut menunjukkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. [Untuk lebih jelas mengenai elit berkuasa dan hubungannya dengan negara, lihat The Power Elite karya C. Wright Mills (Oxford, 1956); The State in Capitalist Society (Basic Books, 1969) dan Devided Societies (Oxford 1989) karya Ralp Miliband; Who Rules America? (Prentice Hall, 1967) karya G. William Domhoff; Who Rules America Now? A View for the ‘80s (Touchstone, 1983) dan Toxic Sludge is Good For You! Lies, Damn Lies and the Public Relations Industry karya John Stauber dan Sheldon Rampton (Common Courage Press, 1995)].
B.2.4 Bagaimana sentralisasi negara mempengaruhi kebebasan?
Gagasan ini merupakan hal yang biasa namun keliru, bahwa pemilihan setiap empat atau beberapa tahun untuk memilih wakil rakyat yang tersentralisasi dan mesin birokratik memiliki arti bahwa rakyat biasa mengontrol negara. Jelas, mengatakan bahwa gagasan ini keliru tidak menunjukkan bahwa tak ada perbedaan antara republik liberal dan negara monarki atau fasis. Sangat berbeda.
Hak pilih merupakan suatu kemenangan penting yang direbut dari kekuatan-kekuatan yang ada. Hal tersebut merupakan suatu langkah penting dalam perjalanan menuju sosialisme liberal. Meski demikian, semua bentuk hierarki, bahkan mereka yang terpilih menduduki jabatan puncak ditandai dengan otoritarianisme dan sentralisme. Kekuasaan terkonsentrasi di pusat (atau di “puncak”), yang artinya bahwa masyarakat menjadi “setumpuk debu yang digerakkan oleh sesuatu yang bukan bersifat pengabdian, hal tersebut adalah gagasan sentralis” (PJ Proudhon, dikutip oleh Martin Buber, Paths in Utopia, hal 29) Karena, setelah terpilih, para pejabat tinggi dapat bertindak sesuka hati mereka, dan dalam semua birokrasi politik, banyak keputusan-keputusan penting yang dibuat oleh staff yang tidak dipilih.
Sentralisme membuat demokrasi menjadi sesuatu yang tak berarti, karena pembuatan keputusan politik dilimpahkan kepada politisi-politisi profesional di tempat yang jauh dari masyarakat lokal. Dengan kurangnya otonomi lokal, rakyat terisolasi satu sama lain (terpisahkan) karena tak adanya forum politik tempat mereka berdiskusi, berdebat bersama, dan memutuskan masalah- masalah yang mereka anggap penting. Pemilihan tidak didasarkan pada kelompok-kelompok natural yang terdesentralisasi sehingga tidak relevan. Individu hanyalah “pemilih” dalam kumpulan massa, seorang “pemilih” politis, dan tak lebih dari itu. Dasar yang tak jelas dari pemilihan dalam negara modern “memiliki tujuan tak lebih dari sekedar menghapuskan kehidupan politik di desa, komune, dan divisi-divisi, serta melalui destruksi semua otonomi regional dan kota praja, pemilihan semacam itu juga bertujuan untuk menghambat perkembangan hak pilih universal”. (op.cit.) Jadi, rakyat mengalami pembodohan dalam struktur semacam itu yang menyatakan bahwa rakyat mengekspresikan diri di dalamnya.
Seperti yang dimaksudkan, rakyat yang terisolasi bukanlah ancaman bagi kekuasaan yang ada. Proses marginalisasi ini dapat dilihaat dari sejarah Amerika, sebagai contoh, ketika pertemuan desa digantikan dengan badan-badan terpilih, dan warga negara berada dalam posisi yang pasif, penonton yang hanya berperan sebagai “pemilih” (lihat bagian B.5 “Apakah kapitalisme memberdayakan dan berdasarkan tindakan kemanusiaan?”). Keberadaan pemilih yang terisolasi bukanlah suatu gagasan ideal dari “kebebasan”, meskipun retorika para politisi selalu menyuarakan kebenaran “masyarakat yang bebas” dan “dunia bebas”– seolah-olah pemungutan suara yang dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali dapat dikategorikan sebagai “kebebasan” atau malah “demokrasi”.
Dengan cara demikian, perhatian dan kekuasaan sosial diambil dari rakyat biasa dan tersentralisasi di tangan beberapa orang. Marginalisasi rakyat merupakan mekanisme kontrol yang pokok dalam organisasi-organisasi otoriter dan negara secara umum. Dalam Masyarakat Eropa (EC), sebagai contoh, kita ketahui bahwa “mekanisme untuk pengambilan keputusan antara negara-negara anggotanya memberikan kekuasaan di tangan para pejabat (dari kementrian dalam negeri, polisi, imigrasi, jawatan keamanan dan bea cukai) melalui kelompok-kelompok kerja yang jumlahnya besar. Pejabat senior…memainkan peran yang kritis dalam menjamin kesepakatan antara pejabat negara yang berbeda. Pertemuan tingkat tinggi Masyarakat Eropa, yang dihadiri oleh 12 perdana menteri, menandatangani, sebagai formalitas, kesimpulan yang disepakati oleh mentri kehakiman dan dalam negeri. Baru kemudian, dalam proses antar pemerintahan, parlemen dan rakyat mendapat pemberitahuan (dan dengan disertai detail yang paling jelas).” (Tony Bunyon, Statewatching the New Europe, hal. 39)
Selain tekanan ekonomi dari kaum elite, pemerintah juga menhadapi tekanan-tekanan dalam negara sendiri yang terkait dengan birokrasi yang hadir bersamaan dengan sentralisme. Terdapat perbedaan antaar negara dan pemerintah. Negara adalah kumpulan istitusi-institusi permanen yang memiliki struktur kekuasaan dan kepentingan yang telah berurat akar. Pemerintahan terdiri dari bermacam-macam politisi. Negaralah yang memiliki kekuasaan dalam negara sehubungan dengan sifat permanen mereka, bukan para wakil yang datang dan pergi. Seperti yang ditunjukkan Clive Ponting (seorang mantan pegawai sipil), “fungsi sistem politik di negara manapun…adalah mengatur, namun bukan mengubah secara radikal, struktur ekonomi yang ada dan kaitan kekuasaannya. Ilusi politik yang besar adalah bahwa para politisi memiliki kemampuan membuat perubahan apapun yang mereka sukai…(dikutip dalam Alternatives, no.5, hal. 19).
Karena itu, seperti halnya memarginalisasikan rakyat, pada akhirnya negara juga memarginalisasikan wakil-wakil “kita”. Karena kekuasaan tidak berada dalam lembaga-lembaga yang dipilih, melainkan pada birokrasi, kontrol rakyat menjadi semakin tak berarti. Seperti yang dikatakan Bakunin, “kebebasan dapat valid hanya ketika…kontol (rakyat) tehadap (negara) juga valid. Sebaliknya, ketika kontrol semacam itu hanyalah bersifat fiktif, kebebasan rakyat ini juga menjadi semacam fiksi belaka” (The Political Philosophy of Bakunin, hal. 212)
Artinya, sentralisme negara dapat menjadi sumber bahaya yang serius bagi kebebasan dan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat yang ada di dalamnya. Namun demikian, beberapa orang mengambil keuntungan dari sentralisasi negara, yaitu orang-orang yang memiliki kekuasaan dan ingin menggunakannya “sendiri”: yaitu, dua kelompok dalam elit berkuasa, birokrat modal dan negara (seperti yang akan kita bicarakan dalam bagian berikutnya).
B.2.5 Siapa yang mendapat keuntungan dari adanya sentralisme?
Tak ada sistem sosial yang dapat berdiri tanpa memberi keuntungan pada seseorang atau beberapa kelompok. Sentralisasi, baik dalam negara maupun perusahaan, tidak memiliki perbedaan. Umumnya, sentralisasi secara langsung menguntungkan orang-orang yang berada di atas, karena memberi perlindungan terhadap mereka yang ada di bawah, serta membuat orang-orang yang ada di bawah dapat dikontrol dan diperintah dengan lebih efektif. Karena itu, para politisi dan birokrat memiliki kepentingan untuk mendukung sentralisme.
Namun di bawah kapitalisme, bermacam-macam bagian dari kelas pengusaha juga mendukung sentralisme negara. Hal ini merupakan hubungna simbiotik antara modal dan negara. Seperti yang akan dibicarakan nanti, (F.8) negara memainkan peran penting dalam “menasionalisasi” pasar, yaitu dengan memaksakan “pasar bebas” ke dalam masyarakat. Dengan mensentralisasikan kekuasaan ke dalam tangan para wakil sehingga menciptakan birokrasi negara, rakyat biasa mengalami pembodohan sehingga menjadi semakin tak mungkin untuk mengganggu kepentingan si kaya. “Dalam suatu republik,” tulis Bakunin, “yang disebut rakyat, rakyat secara hukum, yang menurut awam diwakili oleh negara, yang menindas dan terus menindas kehidupan rakyat” melalui “lingkungan birokratik” untuk “keuntungan lebih besar kelas-kelas yang memiliki hak istimewa seperti halnya kepentingan negara sendiri” (op.cit., hal 211).
Contoh-contoh dari sentralisasi politik yang meningkat juga seiring dengan meningkatnya kepentingan usaha si kaya yang dapat dilihat sepanjang sejarah kapitalisme. “Dalam revolusi Amerika, ‘permasalahan pemerintah kota menjadi topik diskusi yang memanas,’ lapor Merril Jensen… Dewan kota … ‘telah menjadi pokok bahasan aktivitas revolusioner.’ Reaksi anti demokratis yang muncul setelah revolusi Amerika ditandai dengan usaha-usaha untuk menghilangkan pemerintah dewan kota… Usaha-usaha elemen konservatif untuk mendirikan suatu ‘bentuk korporat (pemerintahan kota praja) sehingga kota akan diperintah oleh walikota dan dewan ‘terpilih dari daerah pemilihan kota’…Para saudagar ‘mem-backing penyatuan tersebut secara konsisten dalam usahanya menghilangkan dewan kota.’…” (Murray Bookchin, Towards an Ecological Society, hal. 182).
Di sini kita lihat pembuatan kebijakan lokal yang diambil dari tangan banyak orang dan disentralisasikan ke dalam tangan beberapa orang saja, dan selalu orang Prancis yang kaya. Contoh dari hal tersebut adalah: “Pemerintah mendapati… orang kebanyakan (semua rumah tangga) ‘terlalu banyak suara, tidak patuh, dan pada 1787, dewan terpilih– terdiri dari seorang walikota dan 3 -7 orang pengusaha, dipilih di antara para petani yang lebih kaya– malah diperkenalkan.” (Peter Kropotkin, Mutual Aid, hal 185-186)
Pada tingkat negara dan federal di AS setelah revolusi, sentralisasi kekuasaan didorong karena “sebagian besar pembuat Konstitusi memiliki beberapa kepentingan ekonomi dalam mendirikan pemerintah federal yang kuat… terdapat… suatu kebutuhan yang pasti akan adanya pemerintahan pusat yang kuat untuk melindungi kepentingan ekonomi yang besar.” (Howard Zinn, A People’s History of the United States, hal 90) Khususnya, sentralisasi negara sangat esensial untuk membentuk masyarakat AS ke dalam masyarakat yang didominasi oleh kapitalisme– “dalam 30 tahun perang sipil, hukum terus menerus diinterpretasikan dalam pengadilan untuk disesuaikan dengan perkembangan kapitalis. Mempelajari hal ini, Morton Horwitz (The Transformation of American Law) menunjukkan bahwa hukum-hukum adat di Inggris tidak lagi suci ketika ia berada dalam suasana pertumbuhan bisnis… Penghakiman bagi suatu perlawanan terhadap pengusaha diambil dari tangan para juri, yang tak dapat diprediksikan, lalu diberikan kepada hakim…Gagasan kuno mengenai harga yang sesuai untuk barang-barang memberi ide pada pengadilan mengenai suatu prinsip yang mengharuskan pembeli memeriksa barang sebelum dibelinya (sehingga membuat pembeli berhati-hati)… Hukum kontrak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan pekerja dan pekerjaannya… Kepura-puraan hukum adalah bahwa seorang pekerja dan suatu perusahaan kereta api membuat kontrak dengan kekuatan tawar yang setara… ‘lingkaran tersebut telah dilengkapi; hukum telah menjadi sekedar peratifikasian bentuk-bentuk ketidaksetaraan tersebut yang diproduksi oleh sistem pasar.’” (op.cit. hal 234)
Negara AS diciptakan atas dasar doktrin liberal elitis dan secara aktif bertujuan untuk mengurangi tendensi-tendensi demokratis (atas nama “kebebasan individu”). Dalam prakteknya, yang terjadi (tidak terlalu mengejutkan) adalah bahwa kaum elit yang kaya menggunakan negara untuk menghancurkan hak bersama dan budaya rakyat untuk melindungi dan memperluas kepentingan serta kekuasaan yang dimiliki. Dalam prosesnya, masyarakat AS telah diperbaharui dalam image mereka sendiri:
Pada pertengahan abad 19 undang-undang dibentuk kembali untuk keuntungan pengusaha dan industrialis dengan mengorbankan petani, pekerja, konsumen, dan kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan lebih kecil di dalam masyarakat… hal tersebut secara aktif meningkatkan distribusi kekayaan yang tidak menguntungkan kelompok-kelompok terlemah dalam masyarakat.” (Horwitz, dikutip oleh Zinn, op.cit., hal.235)
Dalam jaman yang lebih modern, ekspansi dan sentralisasi negara bekerja dalam hubungan yang tersamar dengan industrialisasi dan pertumbuhan bisnis yang cepat. Seperti pernyataan Edward Herman, “Untuk suatu bidang yang luas, pertumbuhan bisnis dan kekuasaan mengakibatkan munculnya serikat-serikat dan perkembangan pemerintah sebagai penyeimbang. Kebesaran di luar bisnis adalah suatu tingkat respon yang luas bagi kebesaran di dalam bisnis.” (Corporate Control, Corporate Power, hal. 188–lihat juga, Stephen Skowronek, Building A New American State: The Expansion of National Administrative Capacities, 1877-1920) Sentralisasi negara menjadi syarat untuk menghasilkan pasar yang lebih besar dan dirumuskan dengan lebih baik serta didukung oleh bisnis ketika negara bekerja untuk kepentingannya (yaitu ketika terjadi ekspansi pasar, negara melakukan hal yang sama untuk menstandardisasi dan melaksanakan undang-undang dan lain-lain.). Di sisi lain, perkembangan terhadap “pemerintahan besar” menciptakan lingkungan tempat perusahaan besar tumbuh di dalamnya (seringkali didorong oleh negara melalui subsidi dan proteksionisme– seperti yang diharapkan ketika negara dijalankan oleh si kaya) seperti halnya memindahkan kekuatan negara lebih jauh lagi dari pengaruh massa dan meletakkannya dengan lebih tegas ke dalam tangan si kaya, Tidak terlalu mengherankan jika kita melihat perkembangan semacam itu, karena “sruktur-struktur pemerintahan cenderung menyatukan di sekitar kekuatan domestik, dalam beberapa abad terakhir ini, kekuatan ekonomi.” (Noam Chomsky, World Orders, Old ang New, hal. 178)
Sentralisasi negara membuat bisnis lebih mudah mengendalikan pemerintah, dengan memastikan bahwa negara tetaplah boneka mereka dan untuk mempengaruhi proses politik. Sebagai contoh, Meja Bundar Eropa (ERT) “suatu kelompok loby..para pemimpin atau eksekutif kepala multinasional-multinasional besar yang sebagian besar didasarkan pada EU…(dengan) 11 dari 20 perusahaan Eropa terbesar (dengan) kombinasi penjualan (pada 1991)…melebihi $ 500 milyar,…kira-kira 60% dari produksi industri,” membuat banyak keuntungan EU. Seperti yang ditulis dua peneliti yang telah mempelajari lembaga ini mencatat, ERT “merupakan ahli saat melobi…sehingga banyak usulan-usulan dan ‘visi’ ERT dikeluarkan secara misterius dalam dokumen-dokumen pertemuan tingkat tinggi Komisi. “ERT” menyatakan bahwa pasar pekerja telah lebih ‘fleksibel’, dengan pendapat untuk jam-jam yang lebih fleksibel, kontrak musiman, pembagian kerja dan kerja paruh waktu. Pada bulan Desember 1993, tujuh tahun setelah ERT menyampaikan sarannya (dan setelah sebagian besar negara menyetujuai Kesepakatan Maastricth dan “bab sosial”nya), Komisi Eropa menerbitkan suatu laporan resmi…(yang mengusulkan) pembuatan pasar perkeja di Eropa lebih fleksibel.” (Doherty and Hoederman, “Knights of the Road,” New Statesman, 4/11/94, hal. 27)
Perbincangan saat ini mengenai globalisasi, NAFTA, dan Pasar Tunggal Eropa menunjukkan suatu transformasi yang pokok dan di dalamnya negara mengikuti jalan kecil yang dipotong oleh perkembangan ekonomi. Dapat dikatakan, dengan perkembangan korporasi-korporasi transnasional dan pasar-pasar finansial global, ikatan negara bangsa telah diciptakan berlebihan secara ekonomi. Karena perusahaan-perusahaan telah berkembang menjadi perusahaan multinasional, maka tekanan ditingkatkan agar negara menyesuaikan diri dan merasionalisasikan pasar mereka lintas “bangsa” dengan menciptakan kesepakatan multi negara dan serikat.
Seperti pendapat Noam Chomsky, G 7, IMF, Bank Dunia, dll, merupakan suatu “pemerintahan dunia secara de facto”, dan “institusi-institusi negara transnasional yang secara luas melayani majikan lain ( bukan rakyat), seperti halnya kekuasaan khas suatu negara ; dalam kasus ini kemunculan korporasi transnasional dalam daerah kewenangan finansial dan bentuk pelayanan lain, manufaktur, media dan komunikasi” (op.cit. hal 79)
Seiring dengan tumbuh kembangnya multinasional melewati batas-batas negara, dibutuhkan suatu pertumbuhan yang sesuai dengannya di dalam negara. Terlebih lagi, suatu “ciri khusus yang bernilai dari kemunculan institusi-institusi yang memerintah secara de facto adalah kekebalannya terhadap pengaruh umum, termasuk kesadaran. Mereka bekerja secara rahasia, menciptakan suatu dunia yang patuh pada kebutuhan investor, dengan publik yang ‘berada pada tempat yang sebenarnya’, dan mengurangi ancaman terhadap demokrasi” (Chomsky, op.cit., hal.178).
Hal ini bukan berarti bahwa kaum kapitalis sangat menginginkan sentralisasi negara. Seringkali, khususnya untuk isu-isu sosial, desentralisasi yang relatif lebih disukai (yaitu memberikan kekuasaan kepada birokrat lokal) untuk meningkatkan kontrol bisnis terhadapnya. Dengan memindahkan kontrol ke daerah lokal, kekuasaan terhadap pemerintahan lokal yang dimiliki oleh korporasi besar, firma investasi, dan yang serupa dengannya, meningkat secara proposional. Sebagai tambahan, perusahaan berukuran sedang sekalipun dapat bergabung dan memberi pengaruh, memaksa atau mengontrol secara langsung kebijakan -kebijakan lokal dan membuat seorang pekerja berselisih dengan pekerja lainnya. Kekuasaan pribadi dapat menjamin keamanan “kebebasan”, kebebasan mereka sendiri.
Tanpa memperdulikan birokrat mana yang terpilih, kebutuhan untuk mensentralisasikan kekuasaan sosial, untuk memarjinalkan penduduk, merupakan kepentingan utama kelas pengusaha. Juga penting untuk diingat bahwa perlawanan kaum kapitalis kepada “pemerintahan besar” sering kali disebabkan masalah finansial, karena negara hidup dari surplus sosial yang ada maka negara banyak mengurangi jatah yang akan didistribusikan pasar sebagai macam-macam modal dalam kompetisi.
Dalam kenyataannya, apayang menjadi keberatan kaum kaitalis terhadap “pemerintahan besar” adalah pembiayaan program-program sosial yang dirancang untuk menguntungkan kaum miskin dan kelas pekerja, sebuah fungsi “tidak sah” yang “membuang” bagian-bagian surplus yang akan dijadikan modal (dan juga membuat rakyat sedikit bersemangat sehingga tidak terlalu membutuhkan pekerjaan dengan upah rendah). Karenanya terus menerus mendorong penempatan negara pada peran “klasik”nya sebagai pelindung kepemilikan pribadi dan sistem, dan sebagainya. Selain dari perselisihan mereka dengan welfare state yang tampak menarik tersebut, kaum kapitalis merupakan pendukung utama pemerintah (dan bentuk yang “tepat” dari intervensi negara, seperti pembiayaan di bidang pertahanan). yang dibuktikan oleh kenyataan bahwa dana dapat selalu didapatkan untuk membangun negara dan mengirim pasukan ke luar negeri untuk memenuhi kepentingan kelas berkuasa, bahkan sewaktu para politisi mengeluh karena tak ada “uang” dalam badan keuangan untuk pendidikan, perawatan kesehatan nasional, atau kesejahteraan untuk kaum miskin.