International Student Day: Kaum Pelajar, Bergeraklah!
International Student Day (selanjutnya disingkat ISD) adalah hari memperingati perlawanan dan perjuangan pelajar-mahasiswa di dunia melawan fasisme dan kapitalisme yang memengaruhi keadaan universitas dan sekolah. Pada awalnya ISD diperingati bersama oleh International Student Union demi menolak lupa tragedi penutupan massal universitas dan eksekusi beberapa mahasiswa di Cekoslovakia oleh Reichsprotektor Ceko (semacam perwakilan Nazi di Negara boneka Bohemia dan Moravia).
Hari itu juga adalah hari dimana mahasiswa-pelajar (kaum muda) melawan kekuasaan Uni Soviet yang telah “membusuk” di tanggal 17 November 1989 untuk menuntut hak atas demokrasi. Setelahnya ISD menjadi momentum untuk mewadahi dan mengumpulkan kekuatan pelajar-mahasiswa demi tujuan emansipasi pendidikan di berbagai negara, dari Jerman hingga Filipina. Mereka membawa tuntutan bermacam-macam mulai dari menolak komersialisasi pendidikan, demokratisasi sampai kasus-kasus korupsi yang ada dalam dunia pendidikan.
Mari kita kupas masalah-masalah pendidikan dalam ruang lingkup pelajar sebelum kita tekankan bahwa tanggal 17 November (International Student Day) sangat penting untuk diperingati pelajar.
Di Indonesia, keadaan pendidikannya tidak jauh lebih baik. Bahkan setelah naiknya Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mulai ada wacana Full Day School dan adanya pernyataan yang memberikan lampu hijau terhadap kekerasan dalam dunia pendidikan.
Tentu wacana ini mesti kita bedah dari berbagai macam pandangan, tapi yang sudah jelas wacana Full Day School akan mengurangi waktu bagi pelajar bebas di luar sekolah dan siswa akan kian terbiasa dengan keterasingan diri di dalam sekolah. Tentu jika wacana Full Day School diterapkan akan benar-benar mengubah sekolah menjadi bentuk industri baru, yakni industri sosial. Sekolah sebagai industri sosial yakni sekolah sebagai pabrik. Pabrik penghasil pekerja-pekerja yang taat, penakut namun terampil. Siapa pekerja-pekerja ini? Mereka adalah kawan-kawan pelajar di sekolah yang nantinya lulus.
Maka orientasi pendidikan hari ini tidaklah tentang memanusiakan manusia, tidaklah tentang menumbuhkan hasrat ingin tau, tetapi sekadar wahana penundukan dan penjinakan pelajar-pelajar menjadi pekerja yang tunduk dan siap bekerja (dieksploitasi) untuk tuan-tuan baru mereka setelah lulus sekolah yakni para pemodal di pabrik-pabrik dan kantor-kantor. Lalu, keterasingan di dalam sekolah artinya pelajar tidak lagi menjadi dirinya sendiri jika berada di sekolah karena banyak peraturan yang mengikat dirinya. Bahkan kawan-kawan pelajar sendiri tidak tau darimana peraturan itu ada, dikarenakan mereka sedikitpun tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan tersebut.
Sebenarnya keterasingan inilah yang memunculkan banyak masalah dalam kehidupan sosial pelajar. Mulai dari tawuran sampai penyalahgunaan obat-obatan adalah akibat dari keterasingan mereka (pelajar) dalam kehidupan hariannya di sekolah, yang lebih banyak membuat mereka jenuh dan akhirnya mencari-cari pelarian atas kejenuhan mereka dan berbuntut pada bentuk-bentuk kenakalan (tawuran sampai penyalahgunaan obat-obatan tadi).
Peraturan yang mengikat hidup pelajar ini tidak dirumuskan bersama pelajar, pelajar tidak punya andil atau peran dalam proses pembuatan peraturan dalam sekolah. Artinya tidak ada demokrasi dalam sekolah. Tidak ada demokrasi dalam sekolah berarti membiasakan pelajar hidup tanpa adanya proses politik sejak ia duduk dalam bangku sekolah, maka selanjutnya mereka akan menjadi pelajar-pelajar yang apatis (tidak peduli) terhadap permasalahan sosial di sekeliling mereka serta menjadi apolitis. Karena hidup tanpa demokrasi di tataran sekolah membuat mereka terbiasa patuh dan diam dengan segala kekangan peraturan yang bahkan mereka sendiri tidak tau dari mana datangnya.
Ini juga yang selanjutnya, setelah pelajar-pelajar keluar dari sekolahnya mereka akan dengan wajarnya menerima begitu saja sistem oligarki (monopoli kekuasaan oleh segelintir orang) dalam sistem sosial masyarakat kita. Tentu sikap pasrah dan tunduk sejak dalam pikiran itu telah ditanamkan sejak mereka menjadi pelajar di sekolah, dimulai dengan tidak adanya pembiasaan kritis dalam sekolah melalui demokrasi sekolah itu sendiri.
Sedangkan pernyataan Muhadjir Effendy yang seperti memberikan izin penggunaan kekerasan dalam pendidikan di sekolah membuktikan dan memperkuat argumentasi bahwa pendidikan hanya menjadi tempat penjinakan dan pabrik pencetak robot-robot manusia yang taat, takut dan tunduk lantaran terbiasa hidup dengan pola-pola represi pendidikan, mulai dari peraturan yang tidak pernah pelajar terlibat dalam proses pembentukannya sampai kekerasan yang dilegitimasi penggunaannya oleh Menteri Pendidikan.
Belum lagi soal masalah finansia, seperti transparansi anggaran dan pelibatan pelajar dalam pengalokasiannya. Selama ini pelajar sama sekali tidak tau bahwa sangat mungkin terjadi korupsi dalam institusi pendidikan yang ada, lantaran tidak adanya transparansi dana. Seringkali dana tersebut dipakai dengan tidak tepat sasaran karena memang tidak sesuai dan tidak berangkat dari kebutuhan pelajar itu sendiri. Misalnya pihak sekolah lebih mementingkan pengadaan AC dibanding pengadaan bahan-bahan praktek belajar di sekolah. Penyebab lainnya adalah karena tidak ada pelibatan pelajar. Pelajar tidak dapat tahu dan tidak dapat mengontrol mau dibawa kemana anggaran dana pendidikan yang terkumpul di masing-masing sekolah.
Maka, menjelang ISD tanggal 17 November 2016, kita sebagai pelajar harusnya mengumpulkan kekuatan kita bersama dan membicarakan lebih dalam mengenai masalah-masalah pendidikan. Kita bangun demokrasi dalam dunia pendidikan, dalam sekolah sekolah kita, serta mari kita bangun kontrol ekonomi kita di masing-masing sekolah. Memang penulis di sini tidak cukup mampu berbicara mengenai kurikulum, tapi kawan-kawan, mari kita mulai dari pembangunan demokrasi dan kontrol ekonomi sekolah. Lalu setelahnya, ketika ada ruang-ruang demokrasi bagi pelajar di sekolah dan pendapat atau suara kita didengar oleh institusi pendidikan yang ada bahkan punya pengaruh dalam sistem, barulah target perjuangan kita naikkan ke arah perbaikan dan otonomi kurikulum.
Tanggal 17 November nanti mari kita jadikan awal bagi terbangunnya kekuatan pelajar yang menuntut emansipasi pendidikan. Tanggal 17 November nanti menjadi momentum bagi pelajar untuk bersatu menuntut pendidikan yang lebih baik dengan demokratisasi sekolah dan kontrol ekonomi sekolah. Jangan jadi pelajar yang menjijikan dengan hanya mengandalkan kemampuan ekonomi keluarganya tanpa mau memperjuangkan nasibnya.
Tidak ada lagi alasan bagi pelajar untuk tetap diam, karena baik secara politis dan ekonomis pelajar mengalami penindasan secara sistematis dan penindasan itu dilakukan demi kepentingan kapitalis semata. Peraturan sekolah yang tidak demokratis dan alokasi uang yang tidak dapat terkontrol oleh pelajar itu sendiri adalah senyata-nyatanya masalah dalam dunia pendidikan kita bersama.
Jika masalah pendidikan tidak penting bagi pelajar, maka artinya mereka memang tidak penting untuk lagi berpendidikan.
Maka, untuk semua pelajar, bergeraklah!
Penulis adalah anggota Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga aktif di Pemuda Merdeka Jakarta.