Trilogi Penyerangan Forum Diskusi di Yogyakarta. Apa yang Harus Kita Lakukan?
Dalam kurun waktu satu pekan, telah terjadi tiga upaya penyerangan dan intimidasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian maupun kelompok reaksioner terhadap ruang demokrasi di Yogyakarta.
Kejadian pertama terjadi di diskusi MAP Corner pada tanggal 26 April 2016 yang membahas “Simposium Nasional 1965 dan Penyelesaian Pelanggaran HAM” mendapat intimidasi dari Pemuda Pancasila (PP).
Tepat sehari setelahnya, pada pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM, FKPPI hadir untuk mengintimidasi. Berdasarkan pernyataan Dekanan FH UGM, Pemuda Pancasila dan FPI juga mengintimidasi melalui telepon.
Kejadian terbaru adalah pembubaran oleh Polisi yang bekerja sama dengan FKPPI terhadap pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Pemutaran diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dalam rangka merayakan Hari Kebebasan Pers Internasional yang diperingati tiap 3 Mei.
Sebagai perjuangan mempertahankan demokrasi dan menghancurkan kekuatan fasis, rasis, dan reaksioner, maka penting untuk melihat kejadian-kejadian tersebut lebih detail, kemudian menarik pelajaran baik dari keberhasilan maupun kelemahannya.
(1) Penyikapan kawan-kawan MAP Corner terhadap intimidasi pada diskusi ‘Simposium Nasional 1965 dan Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu’ patut kita apresiasi. Dengan penuh keyakinan, kawan-kawan MAP Corner menyerukan solidaritas, mobilisasi massa, dan bersiap untuk melakukan perlawanan.
Kehadiran massa solidaritas untuk mendukung, serta sikap panitia yang kooperatif terhadap solidaritas massa pro demokrasi, terbukti dapat mempertahankan ruang demokrasi dan terus menyelenggarakan diskusi tersebut dengan lancar dan terbuka seperti rencana semula. MAP Corner bersama massa pro demokrasi menolak tunduk dan menolak membubarkan diri.
Pasca diskusi tersebut Pemuda Pancasila melontarkan ancaman kriminalisasi pada MAP Corner, dan mengumumkan klarifikasi yang menyatakan bahwa mereka (PP) tidak bermaksud melakukan melakukan intimidasi. Namun, yang perlu kita ingat adalah sejarah panjang keterlibatan Pemuda Pancasila dalam penyerangan ruang demokrasi. Spesifiknya lagi, mari kita ingat keterlibatan Pemuda Pancasila dalam pembantaian 1965 seperti yang dapat disaksikan dalam film “Jagal”. Dengan tidak adanya pengungkapan kebenaran serta keadilan terkait Malapetaka 1965, maka jelas bahwa kedatangan Pemuda Pancasila dalam diskusi MAP Corner adalah sebuah bentuk intimidasi. Solidaritas Perjuangan Demokrasi tentu akan tetap konsisten mempertahankan demokrasi termasuk bersolidaritas melawan upaya kriminalisasi yang mungkin akan dilakukan oleh Pemuda Pancasila.
(2) Dalam pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” oleh DEMA Justicia UGM, terlihat bahwa Dekanat Fakultas Hukum UGM menekan DEMA Justicia dengan dalih keamanan. Pihak Dekanat menyampaikan informasi kepada panitia penyelenggara bahwa ada telepon yang menyatakan Pemuda Pancasila dan FPI sudah on call siap menyerang. Tekanan tersebut membuat DEMA Justicia membatasi peserta pemutaran film. Dengan alasan bahwa acara ini adalah forum ‘ilmiah’, DEMA Justicia hanya memperbolehkan mahasiswa Fakultas Hukum UGM untuk menjadi peserta, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sebagai ‘tiket masuk’. Hal ini menunjukkan bahwa panitia terintimidasi sehingga tidak konsisten, terlebih publikasi DEMA Justicia sebelumnya menunjukkan bahwa acara ini terbuka untuk siapa saja. Pembatasan ini bahkan berlaku bagi jurnalis yang hendak meliput. Tentu saja ini tidak sesuai dengan salah satu prinsip demokrasi yakni kebebasan pers. Solidaritas Perjuangan Demokrasi sendiri berupaya melakukan negosiasi dengan pihak Dekanat FH UGM. Namun pihak Dekanat tidak bersedia menemui elemen pro demokrasi.
Keputusan pembatasan tersebut justru menjadi bumerang yang melemahkan DEMA Justicia sendiri. Pertama, keputusan itu melemahkan solidaritas berbagai elemen pro demokrasi kepada DEMA Justicia. Kedua, ini justru membuat DEMA Justicia harus berhadapan dengan peserta diskusi yang berasal dari berbagai fakultas, universitas, jurnalis, maupun umum. Ironisnya lagi, Social Movement Institute yang merupakan bagian dari gerakan pro demokrasi dan saat itu menjadi rekanan penyelenggara kegiatan juga sebagai narasumber, justru tidak mengambil insiatif untuk mempertahankan ruang demokrasi yang terbuka pada kegiatan tersebut.
(3) Dalam pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” oleh AJI Yogyakarta, penyerangan dilakukan oleh polisi dan tentara, bekerjasama dengan FKPPI. Sejak sore polisi sudah datang dan ‘berdialog’ dengan panitia, meminta acara dihentikan dengan mempermasalahkan surat ijin. Tepat saat kegiatan dimulai, polisi secara kasar menghardik panitia untuk tujuan yang sama: meminta acara dihentikan. Kemudian sekitar 30 orang FKPPI datang. Kedatangan FKPPI dimanfaatkan oleh polisi untuk semakin menekan panitia. Seperti biasa, polisi menggunakan argumentasi bahwa mereka tidak mau bertanggung jawab ketika terjadi pembubaran dan konflik fisik oleh ormas yang sudah hadir. Penyelenggara, didukung massa solidaritas yang telah hadir, tidak mau tunduk dan terus melanjutkan acara. Sementara berjarak beberapa meter, di mulut jalan, dua kompi petugas dikerahkan lengkap dengan tentengan senjata. Suasana ini yang justru membuat masyarakat dirundung rasa tidak aman, karena ada senjata masuk pemukiman.
Tidak berhasil menggunakan tangan kelompok fasis FKPPI, polisi kemudian menggunakan politik adu domba dengan “warga sekitar”. Seseorang yang kemudian diketahui adalah Burhan Kampak (Jagal tahun 1965) mengaku sebagai camat setempat dan mengancam penyelenggara. Ini dimanfaatkan oleh polisi, khususnya Kabag Ops Polresta Yogyakarta, Kompol Sigit Haryadi, untuk semakin mengintimidasi peserta pemutaran film.
Mengetahui upaya adu domba tersebut, Solidaritas Perjuangan Demokrasi bersama massa solidaritas pro demokrasi lainnya berinisiatif untuk membentuk barisan pelopor dan menyiapkan diri terhadap kemungkinan penyerangan fisik. Polisi kembali menegaskan tidak mau bertanggung jawab atas apa yang mungkin terjadi setelahnya dan meminta tamu undangan meninggalkan tempat.
Massa solidaritas masih bertahan. FKPPI tampak meninggalkan lokasi. Setelah negosiasi terakhir dengan polisi di mana polisi menjanjikan pengamanan bagi massa solidaritas hingga keluar. Faktanya, Tidak seperti yang dijanjikan polisi, massa FKPPI serta pasukan polisi bersenjata masih berada di sepanjang jalur keluar massa solidaritas. Sayangnya, AJI Yogyakarta kemudian mempersilakan massa solidaritas untuk pulang. SPD sendiri memutuskan untuk tetap bertahan di sebuat tempat tidak jauh dari AJI Yogyakarta, hingga AJI Yogyakarta menyatakan diri aman.
Secara umum terdapat evaluasi-evaluasi sebagai berikut:
1. Masih terdapat kepercayaan di antara kelompok pro demokrasi bahwa demokrasi bisa dipercayakan pada elit politik dan aparat negara
Dalam pemutaran film oleh AJI Yogyakarta, masih terdapat anggapan bahwa dengan mengundang Kapolda DIY serta Kapolresta Yogyakarta, maka penyelenggara dapat mengingatkan aparat akan kewajibannya menjaga kebebasan berkumpul dan berpendapat, dan kemudian aparat akan melindungi pemutaran film dan demokrasi.
Solidaritas Perjuangan Demokrasi sendiri menolak menyebarkan seruan untuk mengingatkan Kapolda DIY dan Kapolresta Yogyakarta. Solidaritas Perjuangan Demokrasi menegaskan komitmennya bahwa hanya solidaritas, persatuan, dan mobilisasi dari rakyat sendirilah yang akan mampu mempertahankan demokrasi. Sikap ini jelas bukan keputusan spontan, sikap SPD lahir dari banyak pengalaman bagaimana ruang demokrasi dan banyak kelompok tertindas belum mendapatkan keadilan hingga hari ini.
Dari waktu ke waktu, kita telah dan akan terus mendengar pernyataan seperti yang dilontarkan Presiden Jokowi atau Kapolda DIY, bahwa kelompok intoleran harus ditindak tegas. Namun pentungan, intimidasi, dan represi terus menunjukkan kebohongan mereka. Kerja sama antara Polisi dan FKPPI pada penyerangan di AJI Yogyakarta adalah bukti kesekian kali atas adanya hubungan erat antara aparat dengan kelompok-kelompok reaksioner. Mereka saling bekerjasama melindungi satu sama lain.
Negara borjuis ini akan terus memelihara kelompok-kelompok reaksioner untuk menjadi garda depan penindasan, demi mempertahankan kekuasaan, jabatan dan kepentingan aparatur negara dan pemerintahan, elit politik, serta pemilik modal. Maka, makin jelas bagi semua orang bahwa keyakinan untuk menyerahkan penyelesaian persoalan kekerasan dan penyerangan terhadap ruang demokrasi pada aparat atau elit-elit politik, adalah sesuatu yang absurd.
2. Iman demokrasi lemah, tidak percaya pada kekuatan rakyat
Dalam tiga kejadian ini, barisan Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) tetap konsisten menyerukan “solidaritas, mobilisasi, dan lawan” untuk mempertahankan ruang demokrasi. Puluhan orang menyambut seruan yang dibuat oleh SPD dan berbagai kelompok pro demokrasi lainnya. Jumlah ini sebenarnya lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah kelompok reaksioner yang terlibat dalam upaya pembubaran ataupun intimidasi. Namun, kita masih belum juga menyadari dan mempercayai kekuatan rakyat yang bersatu melalui solidaritas dan mobilisasi.
Dekanat FH UGM mengatakan bahwa mereka mendapatkan telepon yang menyatakan FPI dan Pemuda Pancasila sudah bersiap menyerang jika film “Pulau Buru Tanah Air Beta” dilakukan secara terbuka, kemudian menggunakannya untuk menekan DEMA Justicia. Padahal, informasi tersebut tidak dapat diverifikasi kebenarannya, sementara yang sudah nyata ada di depan mata adalah massa solidaritas yang berdatangan. Sekali lagi, solidaritas rakyat.
Kejadian seperti ini juga bukan pertama kali. Lemahnya iman demokrasi dan ketakutan yang berlebihan kemudian berujung pada mensensor diri sendiri. Contoh lain adalah saat Diskusi International People’s Tribunal, yang dibatalkan dua kali oleh panitianya (LPM Pijar Fakultas Filsafat UGM, kemudian pihak Toga Mas), diduga karena adanya ancaman dari kelompok reaksioner. Diskusi lalu diambil alih oleh Front Perjuangan Demokrasi (FPD) dan diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Februari 2016.
Ancaman pembubaran sama sekali tidak terbukti. Satu-satunya bagian dari kelompok reaksioner yang datang adalah Burhan Kampak (Jagal tahun 1965), sendirian dan tidak bisa berbuat apapun. Tim keamanan FPD sendiri sudah siap mengusirnya, namun hanya beberapa menit dia menengok tempat diskusi kemudian pergi begitu saja.
Demikian juga DEMA Justicia, mereka tidak melihat besarnya solidaritas yang dibangun untuk mendukung mereka. Mereka malah mengikuti kemauan Dekanat FH UGM. Padahal telah terbukti juga bahwa birokrasi kampus justru menjadi pelaku utama pemberangusan demokrasi di kampus. Dari periode Desember 2014 hingga Desember 2015, terjadi dua puluhan kasus pemberangusan ruang demokrasi di dalam kampus dengan pelaku utama birokrasi kampus itu sendiri. Secara khusus di UGM, terjadi 4 kasus, termasuk satu kasus di FH UGM yaitu pelarangan pemutaran film “Senyap”.
3. Keberagaman strategi dan taktik tanpa mendahulukan kekuatan rakyat: kelemahan dalam memperjuangkan demokrasi
Dibandingkan setengah, satu, atau dua tahun yang lalu, memang terdapat kemajuan dalam gerakan pro demokrasi, walau masih minoritas. Berturut-turut adalah keberhasilan Front Perjuangan Demokrasi (FPD) dalam menyelenggarakan pemutaran “Senyap”, Maret 2015. Diikuti keberhasilan menggagalkan upaya pembubaran nonton bareng IPT 1965 yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI). Selanjutnya, solidaritas untuk aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang mendapatkan ancaman penyerangan dari FJAS, juga intervensi anti rasisme terhadap diskusi yang mengundang FJAS sebagai pembicara. Lalu, keberhasilan menyelenggarakan diskusi IPT 1965 di UIN.
Kemajuan tersebut kemudian berkembang menjadi kemajuan lainnya, yakni lahirnya Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD). SPD mempelopori strategi “solidaritas, mobilisasi, dan lawan” terhadap setiap upaya penyerangan ruang demokrasi. SPD juga menjadi pionir yang mengorganisir sebuah aksi untuk menandingi aksi kelompok reaksioner.
KERAGUAN vs KEKUATAN RAKYAT
Saat ini masih terdapat keraguan, bahkan juga perspektif yang melemahkan di banyak gerakan pro demokrasi. Salah satunya adalah perspektif bahwa kita harus menjunjung tinggi dan mendukung keberagamaan strategi dan taktik dari berbagai macam organisasi atau individu, termasuk jika ada yang mempercayakan penyelesaian masalah pemberangusan ruang demokrasi pada negara dan aparatnya. Yang tidak menyetujui keberagaman taktik dan/atau strategi itu akan dikatakan sebagai otoriter atau tidak demokratis.
Untuk menjawab hal ini, kita perlu lebih dahulu memahami dan mengakui bahwa aparat dan kelompok fasis reaksioner memiliki simbiosis saling melindungi. Berikutnya, kita juga harus mengenal siapa musuh kita dan bagaimana mereka bekerja. Musuh kita adalah kekuatan reaksioner yang terorganisir. Mereka mendapatkan latihan semi militer ataupun latihan militer dari aparat Negara, termasuk juga latihan bela diri dan keterampilan persenjataan, seperti memanah.
Dengan kenyataan demikian, apa lagi yang dapat diharapkan selain percaya sepenuhnya pada kekuatan kita sendiri, kekuatan rakyat? Kekuatan rakyat harus dinomersatukan. Dan oleh karenanya, segala taktik dan strategi perlawanan lain dari kelompok pro demokrasi pada kelompok reaksioner, harus diletakkan tersubordinasi terhadap strategi “Solidaritas, Mobilisasi, Lawan”, prinsip, serta nilai ‘Percaya pada Kekuatan Rakyat’. Menolak untuk mendahulukan taktik atau strategi lainnya bukanlah sesuatu yang tidak demokratis atau otoriter, melainkan wujud nyata dari mempercayai kekuatan rakyat di atas apapun.
Kekuatan pro demokrasi dalam melawan kelompok reaksioner saat ini masih terpecah-pecah. Terdapat mereka yang masih memilih untuk terus sembunyi-sembunyi. Atau, mereka yang dengan teori-teorinya mengabaikan persoalan ini dan menyatakan bahwa transisi demokrasi Indonesia berjalan dengan baik. Ini adalah masalah bagi gerakan pro demokrasi, yang mengakibatkan belum adanya kesatuan dalam mobilisasi massa untuk menjaga ruang demokrasi dan melawan kelompok reaksioner. Padahal, di saat yang sama, kelompok reaksioner justru semakin kuat dalam satu mobilisasi menyerang ruang demokrasi.
***
ALIANSI SAJA BELUM CUKUP
Bentuk perlawanan pertama kita adalah: perlawanan di jalanan terhadap segala upaya dari kelompok fasis, seksis, rasis, dan reaksioner ini untuk menyerang demokrasi.
Belajar dari sejarah dan pengalaman perjuangan, sebuah aliansi saja belumlah cukup untuk menghadapi serangan kelompok fasis, seksis, rasis, dan reaksioner. Solidaritas dan mobilisasi massa yang pro demokrasi perlu terus dibangun dan diorganisir. Dalam tiga kali kesempatan di MAP, FH UGM maupun AJI; individu maupun berbagai organisasi pro demokrasi telah hadir memberikan solidaritas. Akan tetapi, untuk menghadapi kelompok reaksioner yang terlatih dan didukung aparat Negara dan semakin bersatu, diperlukan solidaritas massa yang lebih besar dan kuat lagi.
Kedua, perlawanan terhadap penyebarluasan ide-ide rasis, seksis, rasis, dan reaksioner melalui propaganda ide-ide solidaritas, demokrasi, kemanusiaan, dan internasionalisme.
Kelompok fasis, seksis, rasis, dan reaksioner akan terus-menerus menggerogoti demokrasi. Walau sekarang mereka belum mampu menutup sepenuhnya ruang demokrasi, namun mereka akan memperkuat serangannya. Jika dibiarkan, ini akan membuat orang semakin tertarik pada ide-ide reaksioner mereka dan bergabung dalam barisan mereka. Di sisi yang lain, hal ini dapat membuat mereka yang pro demokrasi menjadi kecewa dan terdemoralisasi.
Jika saat ini juga kita tidak mempersiapkan diri dan memanfaatkan setiap ruang terbuka maupun tertutup untuk melancarkan perlawanan; maka tidak akan ada lagi demokrasi bagi kelas buruh dan rakyat ke depannya. Sebagai upaya untuk tetap mengobarkan gerakan perlawanan terhadap ancaman, penyerangan dan pemberangusan atas ruang demokrasi, Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) menyerukan untuk:
1. Lawan dengan solidaritas dan aksi langsung!
Keberanian dan kejelasan sikap terhadap demokrasi menjadi bara yang akan mengobarkan nyala demokrasi. Kita tidak boleh takut dengan intimidasi karena ruang demokrasi harus dibuka seluas-luasnya.
2. Menyerukan kepada semua elemen yang bergabung dengan Solidaritas Perjuangan Demokrasi untuk konsisten menjalankan prinsip dan nilai dalam praktik-praktik perjuangan.
3. Kesolidan perjuangan dan barisan pro demokrasi dalam persatuan kekuatan rakyat adalah hal utama.
Bahkan dimulai dari persoalan mengkritisi keragu-raguan dari gerakan pro demokrasi ketika berhadapan dengan kelompok reaksioner dan moderasi pelemahan pejuangan. Tidak ada perubahan dari hasil sebuah keberpihakan dan sikap perjuangan yang masih mengambang dalam keragu-raguan. Artinya, kita perlu belajar dari sejarah dan mengakui strategi kemenangan perjuangan rakyat.
SPD bersama rakyat tidak akan mundur dan menyerukan kepada semua rakyat:
Solidaritas, Mobilisasi, Lawan!!!
Tulisan ini dimuat juga di situs web Solidaritas Perjuangan Demokrasi, solidaritasperjuangandemokrasi.net