Nasionalisme Produk Lokal: Siapa yang Diuntungkan?
Nasionalisme telah menjadi sebuah ideologi yang kita jumpai dalam seluruh aspek kehidupan kita sebagai warga negara Indonesia. Pendidikan yang kita kenyam dari tingkat sekolah dasar, atau bahkan taman kanak-kanak, memberikan kita muatan-muatan yang menanamkan semangat nasionalisme ke dalam pikiran kita. Upacara bendera yang dilakukan tiap hari Senin dan hari Peringatan Kemerdekaan di sekolah-sekolah juga merupakan salah satu usaha para pendidik untuk menumbuhkan jiwa nasionalis para peserta didik. Tak pelak, menjadi seorang nasionalis dianggap sebuah keharusan sebagai seseorang yang hidup dalam batas teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasionalisme dilihat sebagai sesuatu yang baik secara inheren. Dicap sebagai seorang yang tidak nasionalis membuat kita merasa tidak nyaman sehingga kita berusaha untuk menunjukan bahwa kita adalah seseorang yang nasionalis melalui tindakan-tindakan kita.
Manifestasi-manifestasi nasionalisme kemudian muncul dalam berbagai bentuk. Dari bentuk dukungan terhadap tim nasional sepak bola Indonesia di ajang internasional, sampai bentuk yang agresif, seperti kebencian terhadap negeri tetangga. Manifestasi tersebut muncul juga dalam pola konsumsi kita. Kita diajak untuk mendukung produk-produk lokal. Jargon seperti “cintailah produk-produk Indonesia” diperdengungkan berulang-ulang di media publik. Kita pun percaya bahwa dengan membeli produk-produk lokal, maka kita telah membantu perekonomian nasional; bahwa membeli produk lokal adalah bentuk solidaritas kita terhadap sesama bangsa Indonesia. Terbentuk semacam pemahaman bahwa dengan terus membeli produk-produk lokal, maka kesejahteraan masyarakat Indonesia menjadi sebuah keniscayaan.
Label produk asli Indonesia pun menjadi semacam nilai jual bagi para pengusaha lokal. “Belilah produk kami, maka kamu telah berkontribusi mensejahterakan masyarakat Indonesia,” begitu kira-kira pesan yang ingin mereka sampaikan. Hal tersebut tentu mengusik jiwa nasionalis para calon pembeli. Penanaman nasionalisme yang sangat gencar dilakukan oleh pemerintah, para praktisi pendidikan, maupun masyarakat umum membuat taktik tersebut cukup efektif. Siapa pula yang tak ingin menunjukan nasionalisme mereka dalam hegemoni romantisisme nasionalisme yang ada di negeri ini?
Membeli produk-produk Indonesia kemudian menjadi sebuah tren tersendiri, namun tentu, produk-produk asing juga masih bertahan di pasaran. Mendukung produk-produk lokal tidak serta merta berarti harus berhenti membeli produk-produk asing. Lagipula, tidak semua kebutuhan kita dapat dipenuhi oleh produk-produk lokal. Yang penting, produk-produk hasil produksi lokal juga kita beli. Terutama produk-produk yang menunjukan ‘ke-Indonesia-an’ kita.
Batik menjadi salah satu contoh produk lokal yang digandrungi masyarakat Indonesia sejak beberapa tahun belakangan, apalagi semenjak batik dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Ditambah dengan isu Malaysia yang ingin mengklaim batik sebagai bagian dari budaya mereka. Membeli dan menggunakan batik yang merupakan produk lokal asli Indonesia dirasa sebagai salah satu bentuk cara kita dalam turut serta melestarikan kebudayaan Indonesia dan memajukan perekonomian Indonesia yang kemudian (diharapkan) akan membawa masyarakat Indonesia menuju kesejahteraan.
Sebenarnya, tidak sepenuhnya salah premis tersebut, karena memang pasti ada yang menjadi (semakin) sejahtera dari hasil penjualan produk-produk lokal tersebut. Hanya saja, mungkin karena kita sudah kepalang menelan propaganda nasionalis, kita jadi lupa mempertanyakan, “masyarakat Indonesia yang mana yang menjadi sejahtera jika kita membeli produk-produk lokal?”. Entah kita tidak tahu atau sengaja tidak peduli bahwa terdapat perbedaan kelas-kelas pada masyarakat di dalam satu bangsa. Nasionalisme menutupi perbedaan tersebut dengan mengajarkan bahwa semua masyarakat harus bersatu demi kepentingan bersama sebagai suatu bangsa. Padahal kenyataannya, mereka tidak memiliki kepentingan yang sama akibat adanya hierarki-hierarki dan kelas-kelas dalam masyarakat.
Dalam sebuah ulasan di Etnohistori pada tanggal 18 September 2013, terdapat sebuah kisah memilukan mengenai bagaimana komodifikasi batik oleh kaum kapitalis membuat buruh batik di Desa Mbayu Sumurip, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang semuanya perempuan menjadi terasing dari produk yang mereka buat sendiri. Usaha Kecil Menengah yang bergantung pada jaringan tradisional dan segelintir perantara atau pemesan tidak menjamin bahwa buruh pada akhirnya dapat mengelola alat produksinya sendiri secara mandiri (swakelola). Para perantara ini memanipulasi upah buruh dengan membeli batik garapan para buruh dengan harga murah lalu menjualnya kembali dengan harga lebih mahal.
Upah yang diberikan kepada buruh batik ini beragam; tergantung pada media yang menjadi bahan dasar utama, ukuran, dan kerumitan. Bila media bahannya adalah kain mori dengan ukuran selendang biasa dihargai Rp 35.000. Untuk kain berukuan 2×1 meter dengan motif yang sederhana atau sedang dihargai Rp 75.000 – Rp 125.000. Adapun untuk motif yang sangat rumit dengan ukuran kain yang sama yang waktu pengerjaan bisa memakan waktu satu bulan dihargai Rp 200.000 – Rp 250.000 saja. Angka ini tentu tidak sebanding dengan harga batik ketika sudah masuk ke toko besar atau department store dimana harga selendang batik bisa dihargai hingga Rp 150.000. Bahkan untuk kain batik bermotif rumit harganya bisa mencapai Rp 600.000 hingga jutaan rupiah.
Beberapa peristiwa lain yang merugikan para buruh batik juga kerap terjadi. Salah satu buruh pernah hanya dibayar dengan baju yang berharga Rp 20.000 setelah mengerjakan batik dengan motif rumit selama dua minggu, karena dianggap kurang cepat oleh si pemesan.[1]
Sementara itu, para buruh batik di Kecamatan Pandak, Bantul, Yogyakarta hanya diupah Rp 20.000 – Rp 22.000 per hari. Di Imogiri, ada buruh batik yang diupah hanya Rp 150.000 per minggu.[2] Di Kabupaten Tuban malah lebih miris lagi, para buruh hanya diupah Rp 3.000 untuk selembar kain batik.[3] Sementara di di Desa Kemplong, Kepatihan, Mayangan dan Desa Waru, Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, para buruh batik yang diupah Rp 9.000 per hari juga harus mengalami PHK.[4]
Realitas di lapangan nyatanya tidak semanis retorika yang ditawarkan oleh nasionalisme. Membeli produk-produk lokal tidak serta merta membawa masyarat Indonesia menuju kesejahteraan. Setidaknya, bukan masyarakat kelas pekerja yang menjadi semakin sejahtera, melainkan kaum borjuis, khususnya kaum borjuis lokal. Nasionalisme memiliki peran yang penting dalam usaha kaum borjuis untuk menjaga sistem kelas yang ada. Nasionalisme menjadi kunci utama dalam usaha mereka mengaburkan realita keberadaan perbedaan kelas di masyarakat dan membuat mereka yang menentang hierarki menerimanya sebagai suatu hal yang alami.
Nasionalisme tidak pernah menjadi solusi permasalahan ekonomi yang sangat mendasar, yakni kesenjangan kelas. Nasionalisme tidak menjadi ancaman bagi kapitalisme dan sistem kelas yang menjadi akar dari kesenjangan tersebut. Sebaliknya, nasionalisme malah menjadi alat bagi kelas borjuis lokal untuk mempertahankan hak-hak istimewa yang mereka miliki. Seperti yang dikatakan Mikhail Bakunin mengenai kaum borjuis Perancis:
“Saya tidak mengatakan bahwa kaum borjuis itu tidak patriotik; sebaliknya, patriotisme, dalam bentuknya yang paling sempit, adalah kebajikan utama mereka. Akan tetapi, kaum borjuis mencintai negeri mereka hanya karena, bagi mereka, Negara mengamankan hak-hak istimewa ekonomi, politik, dan sosial mereka.”[5]
Himbauan pemerintah untuk mencintai produk-produk Indonesia merupakan bentuk perlindungan Negara terhadap hak-hak istimewa kaum borjuis lokal tersebut. Himbauan tersebut memberikan kaum kapitalis nasional keuntungan dalam bersaing melawan kaum kapitalis asing; sentimen nasionalisme dalam produk-produk yang mereka produksi dengan mengeksploitasi buruh lokal.
Masyarakat pun diyakinkan bahwa kepentingan kaum kapitalis lokal tersebut adalah kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa. Kita tidak bisa melihat permasalahan ekonomi dengan mentalitas Us vs. Them; nasional melawan asing. Penindasan yang kaum kapitalis nasional lakukan terhadap buruh lokal tidak menjadi lebih bisa dimaklumi dibanding eksploitasi yang dilakukan oleh kaum kapitalis asing. Sudah saatnya kita melihat permasalahan ekonomi yang ada dengan perspektif kelas dan melawan musuh kita sebenarnya, yakni sistem ekonomi kapitalisme yang mengeksploitasi kelas pekerja di seluruh dunia![]
Catatan akhir:
[4] http://www.radarsemarang.com/2015/07/02/lesu-buruh-batik-diberhentikan.html
[5] https://www.marxists.org/reference/archive/bakunin/works/1870/letter-frenchman.htm
Penulis adalah pegiat Lingkar Belajar Rakyat untuk Solidaritas (LIBERTAS)