Melampaui Pemusnahan Negara
“It’s a long walk to the gallows
It’s a small step to swing free
The crying in the tower
For my conspirators and me
Gunpowder and modem
And a dream of liberty”
– Chumbawamba
Di awal abad ke-20, Peter Kropotkin, salah seorang propagandis anarki(sme) yang paling berpengaruh, diminta untuk menulis definisi anarkisme untuk Ensiklopedia Britannica:
“[…] dimana masyarakat yang dicita-citakan adalah yang tanpa pemerintahan—keharmonisan dalam masyarakat dicapai bukan dengan mematuhi undang-undang, atau suatu otoritas, namun melalui kesepakatan bebas yang dicapai di antara berbagai kelompok, wilayah dan profesi, yang bergabung secara sukarela—untuk produksi dan konsumsi—dan juga untuk pemenuhan berbagai macam kebutuhan dan aspirasi mahluk yang beradab.”
Di sini anarkisme mengartikulasikan tatanan sosial di mana tidak seorang pun bisa menindas atau mengekspolitasi orang lain; sebuah tatanan di mana setiap orang mempunyai kesempatan yang setara untuk mencapai perkembangan material dan moralnya secara maksimal. Definisi tradisional tentang anarkisme seperti yang ditunjukkan di atas, harus dipahami sebagai sebuah titik tolak, suatu artikulasi untuk merespon secara positif konteks suatu tatanan masyarakat di mana minoritas masyarakat (yang memegang otoritas dalam institusi negara, institusi agama, institusi pendidikan, institusi ekonomi dan beragam institusi elitis lainnya) memiliki wewenang untuk mengontrol beragam aspek kehidupan mayoritas masyarakat.
Visi-visi anarki tersebut adalah ideal-ideal yang kemudian harus dijelaskan sebagai kemungkinan dan potensi eksistensi umat manusia. Pada perkembangan selanjutnya, melalui beragam reinterpretasi, kita menemui beragam artikulasi anarki yang menekankan pada kontinuitas perjuangan yang tanpa batas untuk memperluas lingkup kebebasan, yang secara konsiten didasari pada:
Pertama, penentangan terhadap otoritas. Pada umumnya penentangan anarkis terhadap otoritas dikaitkan pada penentangannya terhadap institusi negara dan institusi agama. Namun penentangan anarkis terhadap otoritas adalah suatu penolakan terhadap keterasingan manusia (yang diatur oleh otoritas tersebut) terhadap kemampuan, potensi dan hasrat/ kehendak manusia itu). Maka penolakan terhadap keterasingan ini juga mencakup penolakan terhadap segala bentuk otoritas yang tidak dapat dilegitimasikan dengan alasan rasional, termasuk bentuk-bentuk kepemimpinan dan perwakilan. Meskipun pada dasarnya anarki menentang otoritas, tentunya terjadi pengecualian-pengecualian dalam kondisi-kondisi kritis ketika kepemimpinan dan perwakilan yang bersifat temporer tidak dapat dihindari.
Kedua, pada konstruksi relasi-relasi manusia berdasarkan asosiasi bebas. Anarki bukan sekedar suatu proposisi negatif yang berkutat pada penolakan, tapi juga menggagas konstruksi relasi manusia yang lebih membebaskan. Elaborasi tentang konstruksi relasi sosial adalah perbedaan mendasar dalam praksis anarki dengan aliran-aliran politik lainnya. Proyek-proyek anarkis selalu menekankan pada relasi horisontal di antara para partisipannya, penekanan pada inisiatif individual dan pengembangan potensi individual. Anarki yang terbatas dalam ruang dan waktu, dipraktekan dalam proyek-proyek anarkis–di mana cara untuk mencapai tujuan anarki menjadi terintegrasi dalam konteks-konteks tersebut.
Di sini pentingnya memaknai anarki, secara berbeda dengan isme-isme lainnya—bahwa anarki menolak doktrin absolut. Sekaligus ini adalah juga kritik terhadap anarki(sme) tradisional yang absolutis dengan cetak biru masa depannya. Bahkan kita dapat menemui artikulasi anarki sebagai kontinuitas perjuangan untuk memperluas lingkup kebebasan yang terus menerus tanpa suatu definisi akhir, dari sejarawan anarkis di awal abad ke-20, Rudolf Rocker:
“Saya adalah seorang anarkis bukan karena saya percaya dengan anarkisme, tapi karena saya percaya bahwa tidak ada suatu tujuan akhir”
Di awal awal abad keduapuluh satu ini, teori anarki telah mengalami perkembangan dan pembaruan, seiring dengan persinggungannya dengan teori-teori dari beragam displin ilmu sosial, di antaranya pengadopsian dan pengadaptasian pendekatan yang dikembangkan beragam wacana post-strukturalis. Gerakan dan teori anarki dalam beberapa dekade ini, menjadi cukup lentur untuk berbaur dengan beragam gerakan yang secara umum disebut sebagai gerakan anti-otoritarian dan gerakan sosial-politik baru (new social movement), yang secara fundamental didasari pada politik non-hirarkis, desentralis, otonom dan swakelola.
Genealogi Kekuasaan
Anggapan umum yang menyederhanakan anarki sebagai suatu aliran pemikiran yang hanya berurusan dengan pemusnahan negara adalah suatu bentuk pemiskinan terhadap kekayaan intelektual dan wawasan anarki. Anarki bukanlah semata-mata penentangan terhadap negara, tapi merupakan artikulasi tentang kekuasaan yang melandasi relasi manusia, tentang kritik terhadap hubungan-hubungan antara kekuasaan dan keterasingan manusia terhadap dirinya sendiri, tentang rekonstruksi kekuasaan dan relasi-relasi sosial.
Anarki bertitik tolak dari antagonisme antara kekuasaan/ dominasi pada satu sisi dan kooperasi dan subyektifitas manusia (kekuasaan positif) pada sisi lainnya.
Monarki-monarki merupakan bentuk kekuasaan absolut yang mendominasi rakyatnya pada zaman feodalisme; disusul oleh negara-bangsa—sebagai fenomena dominan dalam zaman modern—dalam bentuknya, oligarki dan totalitarian; sedangkan di sebagian besar wilayah di Asia dan Afrika terjadi dominasi oleh pemerintahan kolonial, sebelum wilayah-wilayah ini mencanangkan perjuangan-perjuangan kemerdekaan nasional, yang akhirnya juga membentuk negara-bangsa-negara-bangsa baru; saat ini, negara-bangsa dan neoliberal yang mengglobal, merupakan rezim-rezim yang mendominasi masyarakat secara simultan.
Anarkis awal di wilayah-wilayah di Eropa, melontarkan banyak kritiknya terhadap negara, karena memang negara merupakan mode dominasi yang dominan pada waktu itu. Meskipun sebenarnya anarki melontarkan kritik-kritiknya terhadap konsentrasi kekuasaan, pada segala bentuk hirarki yang dikonstruksi secara sosial—pada hirarki laki-laki atas perempuan, tua terhadap muda, atasan terhadap bawahan dalam dunia kerja, pemimpin dan institusi moral terhadap konstituennya dan lain sebagainya.
Negara menjadi tema sentral anarki karena negara memayungi beragam bentuk hirarki dan kekuasaan elitis, yang mempunyai dampak luas dan mendalam terhadap kehidupan sosial. Negara, dalam beragam bentuknya baik itu oligarki atau pun totalitarian, melalui birokrasi, menggunakan wewenangnya yang mengatur kehidupan mayoritas masyarakat, dan memonopoli kekerasan teroganisir (tentara dan polisi). Meskipun di tiap-tiap negara terdapat perbedaan-perbedaan spesifik pada derajat wewenang birokrat negara, partisipasi masyarakat, keragaman jenis institusi sektoral di tiap-tiap negara dan bentuk-bentuk monopoli kekerasan, pada dasarnya negara merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan oleh minoritas untuk mengatur kehidupan populasi mayoritas.
Dalam negara dengan demokrasi yang paling liberal sekali pun, sistem-sistem pemilihan wakil rakyat tetap tidak dapat mengubah wajah negara. Sejarah parlementarisme Amerika Serikat, negara yang dianggap demokratis, menyingkap fakta bahwa parlemen pada awalnya merupakan tidak lebih dari kumpulan para tuan tanah—yang pada waktu itu masih lengkap dengan budaknya. Dan mereka berbicara bagaimana sistem parlementarian merupakan sebuah sistem yang akan menjamin kebebasan tiap-tiap orang dan pada saat bersamaan dapat melanggengkan previlase-previlase politik dan ekonomi mereka.
Elitisme sistem parlementarian ditunjukkan pada abad ke-19 di Eropa. Di awal pembangunan sistem parlementarian, mayoritas anggota parlemen, adalah mereka yang ditunjuk oleh elit-elit yang berkekuasaan—anak-anak para tuan tanah, pengusaha, dan pengacara. Ini tentunya bukanlah demokrasi bagi ‘massa yang bodoh’.
Walter Lippmann seorang demokrat Amerika, ternyata juga seorang perintis apa yang dinamakan konsep mengenai rekayasa opini publik yang dia namakan order demokratis baru, yaitu demokrasi parlementer. Pertama ada peran yang diusung oleh mereka dari ‘kelas khusus’, ‘orang yang bertanggung jawab’, yang mempunyai akses terhadap informasi dan pemahaman—baginya orang-orang inilah yang ‘bertanggung jawab’ untuk membentuk ‘opini publik yang baik’. Mereka—yang tergabung dalam kelas khusus—berinisiatif, mengadministrasi dan menyelesaikan dan harus dilindungi dari orang luar yang tidak mempunyai kesadaran dan rusuh. Bagi Lippmann, bukanlah pada tempatnya untuk publik memberikan penilaian, tapi cukup untuk sekedar memberikan ‘kekuasaan’ pada ‘orang-orang yang bertanggung jawab’.
Pada tahap lanjut perkembangan negara-bangsa dan kapitalisme modern, praktek-praktek pengontrolan yang semakin sistematis diterapkan pada populasi. Melalui beragam teknik pengontrolan, terutama ditujukan pada pengontrolan populasi dan kehidupan manusia/ tubuh. Melalui statistik dan probabilitas, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat dan regulasi ancaman—resiko terhadap kehidupan populasi. Bentuk-bentuk pengontrolan yang termasuk pengelolaan keturunan (keluarga), pengumpulan dan pemetaan sistematis etnisitas dan agama masyarakat.
Negara, sebagai bentuk kekuasaan adalah relasi sosial—dari dirinya sendiri, negara tidak mempunyai kekuasaan. Seluruh kekuasaannya berasal dari akumulasi kekuasaan yang diberikan warga negaranya dan dari waktu ke waktu negara mengambilalih lebih banyak kekuasaan dari warganya. Hukum, undang-undang, ritual kenegaraan dan seluruh citra kenegaraan, hanya bisa menjadi bermakna ketika terjadi ‘konsensus’ (melalui pemaksaan, hegemoni dan secara subliminal) antara negara dan warganya. Seluruh asumsi tentang kekuasaan negara, terlepas dari kekuasaan yang diberikan oleh atau diambil alih dari masyarakat, berarti bahwa secara bersamaan warga negara atau masyarakat telah kehilangan kekuasaannya.
Negara–nasionalisme–menggunakan loyalitas pada kesamaan bahasa, etnisitas, kultural dan tradisi dan mengerucutkannya pada bentuk-bentuknya yang chauvinis untuk melegitimasikan eksistensi negara dalam landasan yang seolah-olah merupakan pijakan bersama. Bentuk chauvinis, loyalitas tanpa batas inilah, yang menjadi esensi dari patriotisme, suatu bentuk keterasingan manusia dari kesadarannya—kesadaran bahwa dia dan minoritas yang melanggengkan negara tidak mempunyai kepentingan-kepentingan umum. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam klaim-klaim negara-bangsa sebagai perluasan komunitas yang berpijak pada kesamaan biologis dan tradisi. Di sini kita dapat mengutip Benedict Anderson mendefinisikan bangsa (nasion) sebagai konstruksi sosial yang hanya berada pada tataran ‘dapat dibayangkan’ (imagined), bagi mereka yang merasa menjadi bagian dari sebuah nasion. Negara-bangsa bisa dikatakan sebagai sebuah artefak yang mewarisi sejarah sistem dominasi manusia oleh manusia, tapi yang sampai sekarang masih mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan belum dapat dilampaui.
Transformasi
Anarkisme merupakan sebuah arus yang cukup besar dalam gerakan kiri internasional dari tahun 1880 sampai 1920-an (Revolusi Rusia). Revolusi Spanyol 1936 merupakan gerakan anarkis terbesar yang pernah terjadi di dunia. Anarkisme secara tiba-tiba ‘menghilang’ dari arus perlawanan terhadap kapital. Pasca-Perang Dunia II, masyarakat dunia hanya mengenal dua ideologi besar yaitu demokrasi representatif (kapitalisme pasar bebas) atau komunisme (yang secara esensi adalah kapitalisme negara, ketika representasi yang dikenal adalah Rusia, Cina dan berbagai negara komunis yang menjadi satelit-satelitnya).
Penemuan kembali anarkisme adalah salah satunya berkat jasa dari orang-orang kiri yang sedang melakukan pencarian alternatif-alternatif dari marxisme ortodoks.
Situationist International (SI) yang berkembang di tahun 1960-1970-an merupakan kelompok-kelompok intelektual dan seniman-seniman avant-garde yang mencoba menjelaskan kapitalisme yang sedang mengalami transformasi. Menurut SI, alienasi yang dicermati oleh Marx telah menyusup ke setiap celah dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak hanya terasing dari barang-barang yang diproduksinya, lebih jauh lagi masyarakat juga teralienasi dari kehidupannya dan hasratnya. Komoditas sebagai ciptaan yang mengalienasi, telah menguasai kehidupan sehari-hari. Kapitalisme modern menciptakan ‘masyarakat tontonan’ (spectacle society) atau masyarakat konsumen yang menjanjikan kepuasan, tapi yang tidak pernah dipenuhinya. Revolusi Paris 1968 merupakan momen bagi para Situasionis.
Di samping itu, adalah kritik SI terhadap anarkisme, pada kecenderungan beberapa pemikir anarkis yang bereksperimentasi dengan ide-ide melampaui realisasi praksis, sehingga seringkali teori anarkisme menjadi artikulasi teori yang tidak mempunyai koherensi.
Di Eropa, Autonomen Jerman Barat menciptakan militansi baru dalam resistensi urban. Para Autonomen adalah revolusioner antiotoritarian yang mengenyahkan seluruh label ideologis termasuk anarkis. Gerakan mereka diwarnai praksis aksi langsung (direct action), seperti pertarungan jalanan dengan elemen-elemen represif dan fasistik dalam masyarakat—seperti neo-nazi, pendudukan gedung-gedung kosong untuk dijadikan ruang-ruang otonom komunal. Di tahun 1988, dalam sebuah aksi merespon pertemuan IMF/ Bank Dunia, Autonomen menggunakan taktik bercadar dalam protes dan melakukan pengrusakkan properti—Black Bloc, pelopor yang kemudian menginspirasi anarkis.
Hakim Bey menerbitkan bukunya ‘Temporary Autonomous Zone: Ontological Anarchy, Poetic Terorism‘ di pertengahan tahun 80-an. Boleh dikatakan bahwa buku ini menjadi suatu tonggak dalam diskursus dan praktek antiotoritarian. “Berhentilah berpikir tentang revolusi sosial yang akan datang”. Setiap revolusioner bisa mengobral janji revolusi tanpa bisa memberikan kepastian kapan ia akan datang. Sedangakan Hakim Bey bisa ‘menjanjikan’ apa yang disebut uprising—yang bagi sejarawan adalah suatu revolusi cacat dan gagal. Uprising yang diartikan di sini bukan hanya sebatas even-even politik spektakular, tapi juga mencakup hal-hal seperti penciptaan komunitas-komunitas otonom dan ruang-ruang yang dibebaskan, di mana komunitas dan individu dapat menerapkan utopia temporer. Temporary autonomous zone (TAZ) atau zona otonom temporer menjadi suatu konsep di mana ideal bertemu dengan realita. Ketika konsep ‘revolusi yang akan datang’ menjadi suatu hal yang absurd yang deminya manusia kembali mereproduksi hirarki, elitisme dan dominasi—seperti dalam partai revolusioner, serikat buruh birokratis dan bahkan serikat buruh sindikalis). Mungkin juga tidak ada sesuatu yang benar-benar baru yang ditawarkan di sini ketika anarkis sejak lama telah menerapkan konsep tentang pentingnya praksis anarki dalam kehidupan sehari-hari. Bey hanya membahasakannya dengan lebih lugas, menawarakan sintesa-sintesa baru tentang konsep anarki dan kaitannya dengan sejarah dan revolusi, menemukan kosakata-kosakata yang lebih pas dan meluaskan penjelasannya dengan data-data yang lebih lengkap tentang contoh-contoh TAZ yang terjadi sepanjang sejarah.
Anarkisme tradisional merupakan doktrin sosial yang menyerap ide-ide Pencerahan. Penekanannya pada esensi tentang sifat alamiah manusia yang mulia dan rasional dan doktrinnya yang mencetuskan tujuan-tujuan yang positivis. Post-strukturalisme, sebagai wacana kritis menantang ide-ide tentang sifat alamiah, esensi dan positivisme. Anarkisme juga mengintegrasikan analisis-analisis post-strukturalis tentang simbol, representasi dan pemaknaan dalam pengelolaan komunikasi dan informasi oleh kekuasaan dominan. Pendekatan-pendekatan post-rukturalis menggagas pandangan kritis terhadap bahasa dalam konstruksi identitas, penyajian dan pendistorsian isu-isu.
Kekuatan Kontra dan Konstruksi Resistensi
Bagi kebanyakan orang, neo-anarkisme lahir dari rintik-rintik hujan dingin dan kabut beracun yang menyambut protes terhadap WTO, November 1999. Neo-anarkisme bukanlah anak haram dari gerakan sosial yang banyak bermunculan saat ini. Anarkisme sendiri telah bertransformasi selama beberapa abad. Aksi langsung di Seattle hanya merupakan sebuah momen yang memunculkan anarkisme kembali menjadi wacana publik. Anarkisme telah menyumbangkan praksis yang menarik perhatian banyak orang dalam momen historis Seattle. Sejak saat itu, anarkisme bukan saja turut membentuk gerakan anti-kapitalis saat ini; anarkisme juga telah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kebebasan berpotensi untuk menggantikan demokrasi representatif dan kapitalisme.
Lalu, kemanakah anarki setelah Seattle?
Ketidakpastian-ketidakpastian muncul ketika kita tidak lagi ingin berpretensi tentang harapan berdasarkan determinisme positif Pencerahan, dan juga ketika kita menolak segala bentuk pesimisme superior yang menihilkan seluruh kapasitas, potensi dan kemungkinan umat manusia mengonstruksi masa depan yang lebih baik. Namun tanpa bersikap terlalu optimistis, setidaknya cukup beralasan untuk mengatakan dinamika yang ada masih terus menerus menghadirkan peluang dan potensi.
Ketika kita menolak determinisme sejarah atau narasi megah, genealogi menyingkap sejarah sebagai antagonisme, diskontinuitas, ledakan-ledakan peristiwa, yang tidak memiliki logika universal. Di sini sejarah lepas dari segala bentuk determinisme, yang berarti bahwa masa depan berada dalam relung potensi dan kemungkinan, bahwa batas-batas tidak terdefinisikan. Kemudian memahami pembebasan sebagai suatu proses produksi dan reproduksi terus menerus yang berada dalam relung potensi untuk pengembangan dan artikulasi hasrat beragam subyektifitas. Narasi pembebasan ini harus menyediakan ruang-ruang yang berlimpah bagi eksperimentasi dan konstruksi, dekontruksi dan rekonstruksi, dalam teori dan praksis.
Dinamika pembebasan ini menolak ketunggalan dalam gerak, arah dan tujuan; menolak seluruh komando sentral; menolak segala jenis subordinasi pada hirarki; menolak seluruh jenis politik representasi dan mediasi. Tujuannya adalah pluralitas maksimum. Secara fundamental, konstruksi resistensi ini terkait dengan pembebasan kehidupan kontemporer. Ia bukan cakrawala mesianistis yang memberi janji penebusan, bukan suatu mesin politik, yang demi mencapai tujuannya (nanti) akan mengorbankan yang sekarang. Ia adalah kendaraan kemanusiaan, yang ingin berpijak pada kondisi sekarang; yang ingin melampaui alienasi kehidupan sehari-hari manusia—hirarki, identitas representatif, separasi antara kehidupan sehari-hari dan hasrat-hasrat.
Setiap gerakan resistensi saat ini harus menjadikan dirinya sebagai proyek konstruksi komunitas-komunitas yang mampu menjadi wadah untuk mengelaborasi dan mengartikulasikan hasrat kemanusian. Bahwa segala jenis proyek resistensi ini harus mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang memang layak untuk dikembalikan dan mencipta nilai-nilai baru seiring dinamika dan konteks.
Zona otonom temporer merupakan penciptaan komunitas-komunitas otonom dan ruang-ruang yang dibebaskan. Self-valorization adalah konsep yang dipakai marxis-otonomis untuk merujuk pada penciptaan kesadaran, relasi sosial dan beragam swa-aktifitas yang merupakan alternatif dari yang berlaku dalam kapitalisme. Self-valorization merupakan hal-hal yang menyangkut konstruksi atau titik tolak penataan masyarakat pascakapitalis: “anarki bukanlah sesuatu yang dikonstruksikan nanti, tapi merupakan sesuatu yang berkali-kali tercetus dalam sejarah dan kehidupan kontemporer”.
Kita merujuk pada sejarah penerapan dan elaborasi tatanan berdasarkan relasi sosial non-hirarkis, pengorganisasian masyarakat secara desentralisasi dan penerapan swakelola dan otonomi. Mulai dari akhir abad ke-19 di Paris (1871), di Rusia (1917), Ukraina (1918-1921), Spanyol (1936), Hungaria (1956). Beberapa contoh kontemporer rekonstruksi masyarakat yang bersifat anarkis adalah Zapatista di Meksiko dan pemberontakan di Argentina (2001-2004).
Dunia dikejutakan pada tahun baru 1994. Tentara Pembebasan Nasional (EZLN) yang dikenal dengan Zapatista mengguncang dunia dengan gerakan bersenjata pascamodern, yang berhasil melampaui catatan-catatan sejarah perjuangan bersenjata yang berideologi Maois dan Leninis, yang pada kenyataannya adalah penerapan rezim penindas baru terhadap rakyat yang mereka klaim akan mereka selamatkan. Gerilya bersenjata Zapatista ini disandingkan dengan pembentukan zona-zona otonom di tiga puluh komunitas tradisional di Chiapas, Meksiko Selatan.
Disebut pascamodern karena gerakan ini mengembalikan otonomi dan kedaulatan pada masyarakat melalui demokrasi langsung dan konsensus dan bukan sentralisasi. Apa yang dilakukan Zapatista dari tahun 1994 adalah mengonstruksi sebuah sistem demokrasi langsung (direct democracy). Mereka membentuk organisasi-organisasi dan jaringan pembuatan keputusan, yang melibatkan ratusan ribu orang. Seluruhnya terdapat 32 komunitas setara dengan kecamatan (municipalities), di mana dalam setiap municipality terdapat sekitar 50-100 komunitas.
Di Argentina, apatisme terhadap sistem politik yang ada memang telah terjadi sejak lama, namun di lain sisi kebangkitan kesadaran politik terjadi dengan begitu cepat menyusul krisis neoliberalisme pada Desember 2001. Krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan dan perkembangan-perkembangan dari protes-protes sosial yang terjadi telah melahirkan perubahan karakter dalam politik kerakyatan: tumbuhnya kekuatan rakyat yang terorganisir secara spontan yang bebasiskan demokrasi langsung dan indipenden dari kekuatan politik tradisional (partai politik dan serikat buruh) dan penyatuan antara kelas pekerja bawahan dengan apa yang dianggap sebagai kelas menengah Argentina. Seperti dinyatakan oleh salah satu kelompok sosiologis dan aktivis dari Buenos Aires bahwa, bukanlah suatu kebetulan ketika organisasi-organisasi serikat dan politik menjadi termajinalkan selama protes-protes pada bulan Desember .
Asambleas Popular (dewan rakyat) dan Piqueteros (kelompok pekerja menganggur) merupakan dua jenis bentuk pengorganisiran kerakyatan yang paling signifikan perkembangannya selama krisis di Argentina. Kedua jenis gerakan tersebut, meskipun mempunyai banyak perbedaan, namun keduanya merupakan pengorganisiran yang dilakukan secara otonom oleh para pesertanya dan mampu menjalankan kegiatannya dalam jangka waktu yang cukup panjang, tanpa membangun sebuah struktur birokrasi-hirarkis di dalamnya.
Piqueteros dan dewan-dewan rakyat yang terbangun menjadi tulang punggung radikalisme. Mereka yang terlibat di dalamnya sangat berhati-hati untuk terus-menerus mempertahankan sistem pengorganisasian horisontal. Evan Henshaw-Plath, aktivis media dari New York yang telah beberapa bulan membantu Indymedia Argetina menjelaskan:
“Orang-orang tidak menemukan demokrasi langsung melalui kritik intelektual terhadap hakikat pemaksaan dalam sistem representasi, tetapi karena mereka menginginkan dan membutuhkan perubahan nyata dan mereka hanya melihat bahwa inilah—demokrasi langsung—satu-satunya jalan keluar.”
Agenda-agenda dewan rakyat di antaranya adalah perencanaan anggaran partisipatif dan pengaktifan kembali sentra-sentra produksi lokal. Di beberapa wilayah lain, suatu sistem ‘politik-mikro’ nampaknya telah merubah wajah perlawanan tradisional:
Piqueteros di beberapa wilayah telah mengakibatkan ketidakberdayaan pejabat pemerintah lokal. Di bagian barat laut kota General Mosconi, para pekerja yang menganggur telah menjalankan sejumlah 300 proyek, yang termasuk, perkebunan sayur organik, sentra proses air dan klinik P3K. Sebagian dari proyek tersebut telah menunjukkan keberhasilannya.
Kebun-kebun sayur organik bermunculan di taman-taman publik dan di lahan-lahan terlantar. Sebagai suatu tanggapan terhadap kelaparan yang berlangsung, dapur-dapur umum diadakan di bekas bangunan bar-bar dan rumah makan-rumah makan. Gerakan Piqueteros telah menciptakan sistem ekonominya sendiri. Misalnya, Serikat Pekerja Menganggur (MTD) memproduksi batu bata sendiri untuk digunakan membangun rumah-rumah pada lahan-lahan yang telah mereka duduki .
Serikat Pekerja Menganggur di Solano (MTD de Solano), merupakan salah satu fenomena tentang konstruksi horisontal dan kekuatan kontra yang paling signifikan. Serikat ini mengartikulasikan politik radikal dengan cakupan lebih dari 800 keluarga—dengan pengembangan beragam proyek ekonomi, politik dan kultural, untuk mengatasi pengangguran, kelaparan dan pendidikan.
Tantangannya adalah untuk melanjutkan narasi insureksi yang memungkinkan, yang mungkin akan berkembang dari beragam ledakan temporer (uprising) dan ruang-ruang di mana praksis-praksis kontra kekuasaan dibangun. Saat ini kita menunggu suatu momen ketika intensitas resistensi temporer dan pembangunan kekuatan kontra mendorong proses menuju titik tolak-titik tolak selanjutnya. Seluruh proses ini hanya akan terdefinisikan oleh eksperimentasi-eksperimentasi para militan dalam artikulasi dan elaborasi desentralisasi, otonomi dan swakelola.[]
Penyunting: Ferdhi F. Putra
Ada bbrp yang gak tepat di artikel ini. Sa kasih dua poin saja:
Pertama, oligarki itu bukan bntuk negara. Oligarki itu ada di bentuk negara sprti apapun, mau otoritarian ataupun republik (kita harus ingat istilah tersebit bahkan sudah dicetuskan oleh para pemikir Yunani). Di Indonesia, kapitalisme justru tumbuh dengan topangan oligarki (patron-klien Soharto dan antek2nya, yang benihnya sudah ada di jaman sukarno).
Kedua, baik anarkisme ataupum marxisme, kedua duanya mencpitakan tatanan masyarakat komunis, yaitu masyarakat tanpa kelas, atau di artikel ini disebut sebagai asosiasi bebas. Yang membedakan di antaranya adalah caranya. Jadi, gak ada itu yang namanya negara komunis, sebab komunis adalah –sekali lagi– bentuk tatanan masyarakat tanpa kelas. Sovyet, Cina, itu adalah negara sosialis, yang dlm marxisme klasik adalah tahap sebelum komunisme.
Sepengetahuan saya justru bung rio lah yang keliru, kalr marx mengatakan bahwa komunisme merupakan bentuk kapitelisme negara sebelum kemudian digantikan tatanan masyarakat dunia yang sosialis (tanpa struktur atau kelas sosial).
Ada bbrp yang gak tepat di artikel ini. Sa kasih dua poin saja:
Pertama, oligarki itu bukan bntuk negara. Oligarki itu ada di bentuk negara sprti apapun, mau otoritarian ataupun republik (kita harus ingat istilah tersebit bahkan sudah dicetuskan oleh para pemikir Yunani). Di Indonesia, kapitalisme justru tumbuh dengan topangan oligarki (patron-klien Soharto dan antek2nya, yang benihnya sudah ada di jaman sukarno).
Kedua, baik anarkisme ataupum marxisme, kedua duanya mencpitakan tatanan masyarakat komunis, yaitu masyarakat tanpa kelas, atau di artikel ini disebut sebagai asosiasi bebas. Yang membedakan di antaranya adalah caranya. Jadi, gak ada itu yang namanya negara komunis, sebab komunis adalah –sekali lagi– bentuk tatanan masyarakat tanpa kelas. Sovyet, Cina, itu adalah negara sosialis, yang dlm marxisme klasik adalah tahap sebelum komunisme.
Sepengetahuan saya justru bung rio lah yang keliru, kalr marx mengatakan bahwa komunisme merupakan bentuk kapitelisme negara sebelum kemudian digantikan tatanan masyarakat dunia yang sosialis (tanpa struktur atau kelas sosial).
– Salah satu bentuk negara adalah oligarki (noun
: a country, business, etc., that is controlled by a small group of people,http://i.word.com/idictionary/oligarchy)
– anarki adalah tatanan masyarakar yg bisa jd adalah komunis; bentuk2nya dinamis krn anarki bukan dogma srperti komunisme dgn berbagai variannya, leninis, maois, yg plaing sakit di Korea Utara, dll.), yg dalam sejarah telah melahirkan tatanan totalitarian. Anarki bukan suatu kondisi statis dgn cetak biru universal; tapi dinamis & kontekstual. Anarki terapan memiliki karakter yg berbeda; lihat contoh2 dlm tulisan ini.
– neo anarki, post anarki, menggugat teori2 anarki klasik dgn kemiripan landasan filsafat dgn varian2 marxisme. Lihat tulisan “membangkitkan suara2 sejarah & fantasi firdaus” di situs ini.
Regards, EK
– Salah satu bentuk negara adalah oligarki (noun
: a country, business, etc., that is controlled by a small group of people,http://i.word.com/idictionary/oligarchy)
– anarki adalah tatanan masyarakar yg bisa jd adalah komunis; bentuk2nya dinamis krn anarki bukan dogma srperti komunisme dgn berbagai variannya, leninis, maois, yg plaing sakit di Korea Utara, dll.), yg dalam sejarah telah melahirkan tatanan totalitarian. Anarki bukan suatu kondisi statis dgn cetak biru universal; tapi dinamis & kontekstual. Anarki terapan memiliki karakter yg berbeda; lihat contoh2 dlm tulisan ini.
– neo anarki, post anarki, menggugat teori2 anarki klasik dgn kemiripan landasan filsafat dgn varian2 marxisme. Lihat tulisan “membangkitkan suara2 sejarah & fantasi firdaus” di situs ini.
Regards, EK