Tarian Cinta dan Revolusi Emma Goldman

Ini Bukan Revolusiku (Kumpulan Esai Anarko-Feminisme)
Emma Goldman (Penerjemah: Bima Satria Putra)
Pustaka Catut, 2017

Cinta bebas? Seolah cinta adalah sesuatu yang tidak bebas! Manusia telah membeli otak, tetapi jutaan orang di dunia telah gagal membeli cinta. Manusia telah ditundukkan oleh tubuh, tetapi semua kekuatan di bumi belum mampu menaklukkan cinta. Manusia telah menaklukkan seluruh bangsa, tetapi semua pasukannya tidak bisa menaklukkan cinta. Manusia telah dirantai dan terbelenggu semangatnya, ia menjadi benar-benar tak berdaya sebelum cinta mendatanginya. Tinggi di atas takhta dengan semua kemegahan dan kemewahannya untuk dapat memerintah, manusia tetaplah miskin dan terpencil, kecuali jika cinta melewatinya. Dan jika cinta menetap, gubuk termiskin akan bersinar dengan kehangatan, kehidupan, dan warna. Dengan demikian, cinta memiliki kekuatan sihir yang membuat seorang raja menjadi pengemis. Ya, cinta itu bebas, ia dapat tinggal tidak di dalam atmosfer lainnya. Dalam kebebasan, cinta memberikan semuanya sendiri tanpa syarat, berlimpah, dan sungguh-sungguh![1]

 
BUKU INI MERUPAKAN KUMPULAN ESAI dengan berbagai tema dari sosok perempuan paling berbahaya di mata Pemerintah Amerika pada masa itu. Terdapat 12 esai Goldman yang dimuat di dalamnya, satu di antaranya adalah Anarkisme: Apa yang Benar-Benar Diperjuangkan. Pada bab awal ini, Goldman mengurai bagaimana ide-ide baru yang menawarkan fajar yang lebih cerah, kemudian menjadi serum ketakutan bagi tatanan yang sedang sakit. Berbagai upaya pencegahan dan penolakan dilakukan oleh tradisi tua untuk menghalau ide-ide baru ini, termasuk Anarkisme, tentunya. Goldman menyerang para oposan Anarkis, mulai dari massa yang disebutnya bodoh, hingga kalangan orang pintar yang menguasai wacana dan mereduksi terminologinya. “Elemen kekerasan dalam masyarakat adalah ketidaktahuan!”[2]. Kutipan ini menjadi peringatan bagi massa yang selama hidup mereka patuh pada otoritas (irasional) dan memilih tunduk pada ketidaktahuan dan kebodohan.
Namun, saya tidak akan mengurai dan membedah pandangan Goldman dalam esai pertama ini atau pun beberapa esai lainnya dalam buku tersebut. Saya akan berfokus pada tiga dari lima bab terakhir yang berhubungan dengan perjuangan pembebasan perempuan atau feminisme, yaitu Perdagangan Perempuan; Cinta dan Pernikahan; serta Cemburu: Penyebab dan Kemungkinan Sembuh. Saya mengagumi interpretasi Goldman atas cinta bebas yang terancam oleh pelembagaan cinta. Jika Anda penasaran dengan tulisannya yang lain, maka saya sarankan Anda untuk membeli dan membaca sendiri bukunya.
Semua Perempuan adalah Pelacur?
Secara historis, pelacuran—atau terminologi prostitusi yang kerap digunakan untuk memperhalus penyebutan atas praktik persetubuhan melalui transaksi jual-beli ini—merupakan salah satu institusi paling tua dalam peradaban manusia. Pertumbuhannya hampir bersamaan dengan kemunculan institusi keluarga di dalam masyarakat. Meski demikian, lembaga-lembaga politik struktural seperti negara, yang diwakili oleh trias politika-nya, seakan baru menyadari dan berupaya menghapusnya dengan melahirkan regulasi beserta penghukuman terhadap pelaku, tanpa mau mengetahui dan memangkas akar sebab kemunculan institusi tersebut.
Goldman mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah institusi yang hampir dikenal oleh setiap anak, bisa ditemukan secara tiba-tiba? Menurut Goldman, agar para politisi dan penyelenggara negara itu bisa tampak oleh masyarakat sebagai orang-orang yang peduli pada perempuan korban perdagangan dan pelacuran, mereka lalu menyelenggarakan ragam penelitian dan menciptakan lembaga-lembaga baru untuk menanggulangi praktik prostitusi. Inilah sebenar-benarnya parodi yang menghibur massa untuk sementara waktu. Parodi yang melahirkan lebih banyak lagi lapangan kerja politik, bermunculannya lembaga-lembaga baru yang dibangun dan dikelola dari pajak, hasil membajak massa—yang oleh Goldman disebut sebagai parasit yang menguntit dunia.
Lebih jauh, Goldman, sebagaimana para kritikus ekonomi, menegaskan bahwa penyebab utama pelacuran adalah setan kapitalisme yang tanpa ampun digemukkan oleh tenaga kerja yang tidak dibayar (atau dibayar murah). Hal inilah yang mendorong banyak perempuan ke dalam jurang prostitusi. Kita telah cukup tua mengenal pasar, bahkan jauh sebelum sistem kapitalisme ini eksis, termasuk pasar transaksi seks. Namun, Tormey menyebutkan bahwa salah satu tampilan khas kapitalisme adalah memiliki bentuk pasar khusus, yaitu pasar tenaga kerja.[3] Saya pribadi tidak melihat perbedaan yang signifikan, selain bagian tubuh mana yang diperjual-belikan, antara pasar yang memperdagangkan tangan dan kaki dengan yang menjajakan vagina (dan penis—dikenal dengan gigolo, laki-laki yang menjual tenaga untuk kepuasan seks pelanggannya).
Praktik jual-beli tenaga kerja (dalam pengertian konvensional) ini lahir akibat dari terkonsentrasinya kepemilikan alat produksi (dan properti) pada satu-dua orang yang dikenal sebagai kapitalis atau pemilik modal. Kepemilikan pribadi ini dimulai dengan melakukan perampasan tanah dan ruang hidup, serta penundukan dan penaklukan terhadap daerah-daerah koloni. Praktik kolonisasi itu disokong penuh oleh lembaga kekerasan seperti negara yang memiliki seperangkat serdadu lengkap dengan persenjataannya. Orang-orang pada daerah koloni yang telah kehilangan sumber penghidupan mereka pun, tidak lagi punya pilihan lain untuk dapat bertahan hidup, selain menjual tenaga kerjanya pada para kompeni, sekalipun dengan harga murah. Pada mulanya, kapitalis yang membutuhkan tenaga kerja untuk menjalankan roda produksinya. Namun, ketika praktik kolonisasi semakin mewabah, yang terjadi justru sebaliknya, para buruh dan calon buruh saling bersaing dalam pasar tenaga kerja untuk mendapatkan pembeli (kapitalis) yang bersedia membayar tenaga mereka.
Sistem pengupahan yang rendah dengan resiko kerja yang cukup tinggi di dalam pabrik, menurut Goldman, adalah salah satu penyebab utama dari maraknya perdagangan perempuan dan prostitusi. Para perempuan ini lebih memilih bekerja sebagai pelacur dengan upah yang ‘setimpal’, ketimbang di pabrik, sekalipun resiko mendapatkan tindak kekerasan yang  ekstrim juga kadang mereka alami. Goldman mempertegas pendapatnya ini dengan menggunakan hasil kerja jurnalistik Reginald Wright Kauffman, yang “membuktikan bahwa sistem industri kita membuat kebanyakan perempuan tidak punya alternatif lain selain prostitusi!”[4]. Entah diakui atau tidak oleh para reformis, bagi Goldman, keterbelakangan ekonomi dan sosial perempuan saat ini turut berkontribusi pada prostitusi yang kian menjamur.
Namun demikian, Goldman juga tidak bersepakat jika faktor ekonomi dijadikan sebagai satu-satunya landasan kelahiran prostitusi. Setali-dua dengan de Beauvoir dan kalangan feminis radikal, Goldman juga beranggapan ada sebuah doktrin yang dikultuskan dan ditradisikan hingga hari ini, bahwa perempuan adalah manusia nomor dua (second sex) setelah laki-laki. Penempatan kelas berdasarkan gender inilah yang kemudian menciptakan perempuan-perempuan terlahir sebagai pemuas birahi laki-laki, diperdagangkan secara legal maupun ilegal guna memenuhi hasrat libido manusia pertama (laki-laki).
“Perempuan dipelihara sebagai komoditas seks, namun dia terus saja tidak tahu soal arti dan pentingnya seks”[5]. Goldman—yang juga seorang Nietzschean, menggunakan kritik Nietzsche terhadap nilai dan moralitas sebagai pijakan untuk menyerang kaum moralis dan lembaga pernikahan, yang menurutnya tidak lebih sebagai bentuk pelacuran yang dilegalkan oleh agama dan negara. Sebuah lembaga yang dibangun di atas pondasi paradoksal, pasangan memberikan sumpah di hadapan publik untuk mengubah sesuatu yang sebelumnya dianggap hina (seks), menjadi paling murni dan suci. Lalu pada saat yang bersamaan, kaum moralis yang mencibir dan menghakimi bentuk pelacuran ‘tidak sah’ ini serta turut mengutuk dan menolak bentuk relasi yang dibangun dengan cinta, namun tidak terdaftar di dalam pernikahan, yang memberikan ruang bagi perempuan untuk mengaktualisasi hasrat dan gairah seksnya, serta memuaskan sifat alami manusia. Apa yang oleh Nietzsche disebut Moralitas sebagai Anti-Alam.
“Semua monster-monster moral lama sepakat bahwa il faut tuer les pasions (nafsu-nafsu harus dimatikan)”[6]. Menurut Nietzsche—yang oleh Goldman diagungkan sebagai filsuf yang ‘melampaui kebaikan dan kejahatan’, julukan yang lahir dari salah satu bahasan Sang Filsuf, Beyond Good and Evil, moralitas yang ada justru mengingkari keinginan-keinginan hidup yang terdalam dan tertinggi, memasung hasrat-hasrat alami manusia, lalu menempatkannya sebagai kejahatan terhadap moralitas itu sendiri, tentu saja, dengan menjadikan Tuhan sebagai serum ketakutan yang memerankan sosok hakim absurd bagi para pelaku ‘amoral’ tersebut. Goldman menambahkan dengan tegas bahwa, bagi kaum moralis, prostitusi harus diperangi bukan karena perempuan menjual tubuhnya, melainkan karena ia menjualnya di luar pernikahan. Pada saat berikutnya, dengan mengutib Guyot dalam La Prostitution, Goldman memberi makna sesungguhnya dari pelacuran, yakni setiap orang yang melakukan hubungan seksual dengan menempatkan dirinya atau pasangannya sebagai obyek (penyubordinasian). Dalam masyarakat patriarki, sosok obyek seksualitas tidak lain adalah perempuan.
“Istri yang menikah untuk uang, dibandingkan dengan pelacur, adalah keropeng yang sesungguhnya. Dia dibayar sedikit, namun memberikan lebih banyak imbalan dalam persalinan dan perawatan, dan benar-benar terikat pada tuannya. Pelacur tidak pernah memberikan tanda-tanda untuk pergi dari dirinya sendiri, dia mempertahankan kebebasan dan hak-hak pribadinya, tidak juga dia selalu terdorong untuk pergi ke pelukan laki-laki!”
 
Dengan mengutib pernyataan Havelock Ellis di atas ke dalam esainya, disertai dengan sajian data yang sangat informatif terkait perdagangan budak dan perempuan pada masa itu di Amerika, Goldman ingin menegaskan bahwa hampir semua perempuan adalah pelacur. Entah dia melacur untuk kebutuhan ekonomi di dalam pasar prostitusi konvensional dengan puluhan penis yang menghujamnya setiap hari, ataukah ia yang melacurkan diri pada seorang laki-laki demi nama baik di dalam sebuah lembaga bernama pernikahan. Ini dikarenakan, mayoritas perempuan menempatkan dirinya sebagai budak (obyek) seks.
Cinta, Nama Lain dari Kebebasan
“Perkawinan adalah sebuah perjanjian ekonomi, pakta asuransi.”
Goldman menguraikan bahwa cinta dan pernikahan tidaklah sama, bahkan saling berseberangan satu sama lain. Sekalipun terdapat pernikahan yang lahir dari cinta, bukan sebaliknya, namun cinta tidak dapat dinyatakan hanya melalui pernikahan. Jika ada anggapan bahwa ada cinta yang lahir setelah pernikahan, maka menurut Goldman itu hanya penyesuaian diri. Baginya, keintiman (sebagai keharusan) semacam ini sangatlah berbeda dengan spontanitas, intensitas, dan keindahan dalam cinta.
Sebagaimana kutipan pernyataannya di atas, bagi Goldman, perkawinan adalah asuransi yang lebih mengikat dan ribet, yang harus dibayar selama masa perjanjian masih berlaku dengan harga yang sangat tinggi, sebelum pada akhirnya mendapatkan jaminan tersebut. Perempuan akan membayar semua jaminan itu dengan kebebasan, privasi, harga diri, dan kehidupan, bahkan kematiannya. Sebuah penjara yang dibangun dengan dinding takhayul dan mitos teologis.
Secara historis, sejak kecil perempuan telah dididik untuk menjadi pekerja rumahan. Ia dipersiapkan untuk menjadi pelayan bagi laki-laki (ayah, suami dan anak) yang baik dan patuh. Ia diberikan mimpi tentang kehadiran seorang suami, ‘diwahyukan’ sebagai istri dan ibu. Dia didongengkan tentang seorang pangeran berkuda putih yang akan menjemput dan membawanya ke dalam istana besar nan megah. Namun kenyataannya, semewah apapun, yang namanya sangkar, tetaplah sangkar. Berdinding emas, beratap kaca, dan beralas marmer sekalipun. Seekor ‘burung’ tidak akan benar-benar menjadi burung tanpa bisa mengepakkan sayapnya, dan dengan leluasa terbang mengitari semesta, menemani mega mewarnai langit.
Doktrin pada perempuan ini, menurut Goldman, tidak diimbangi dengan pendidikan seksualitas. Ia bahkan tidak dibiarkan mengetahui lebih banyak tentang perannya sebagai istri dan ibu. Jika perempuan belum menikah (calon istri) mengetahui lebih banyak mengenai ketiga hal tersebut, maka dia bukanlah seorang perempuan terhormat. Goldman mengklaim bahwa akibat dari semua itu, perempuan yang telah menikah mendapati dirinya hanya sebagai pelayan seks dan sekaligus pelayan rumah tangga. Sampai di sini, saya teringat dengan seorang teman perempuan yang telah menikah selama lebih dari delapan tahun, menguak fakta bahwa jangankan mengalami orgasme, ia bahkan tidak tahu apa itu orgasme dan bagaimana mendapatkannya. Dia tidak paham area sensual yang menjadi titik rangsangan baginya. Dia tidak mengenali tubuhnya. Menurut Goldman, kenapa perempuan memilih tidak tahu dan berada dalam kebodohan mengenal tubuh dan seksualitasnya sendiri, adalah karena ia akan mendapatkan sanksi moral dan agama, ia akan dikutuk sebagai istri seorang ‘laki-laki yang baik’. Artinya, dia sendiri menjadi tidak baik.
Di dalam kehidupan sosio-kultural yang patriakis dan kapitalistik hari ini, perempuan tidak dididik untuk memimpikan laki-laki yang membuat cintanya bersemi, rembulan dan ciuman, canda dan tawa. Perempuan dipaksa untuk memimpikan daftar harga belanjaan untuk acara pernikahan dan kehidupan dia setelahnya. Pada masyarakat Bugis, dikenal dengan uang panai. Di Maluku Utara, dikenal dengan istilah ‘maso minta’ (perempuan ‘diminta’ atau dipinang oleh pihak laki-laki, yang sekaligus diwarnai dengan prosesi tawar-menawar harga perempuan tersebut) dan ‘antar belanja’ (prosesi mengantarkan uang dan barang yang telah disepakati oleh pihak laki-laki ke keluarga perempuan).
“Adakah yang lebih memalukan daripada gagasan seorang yang sehat, dewasa, dan penuh gairah akan kehidupan, harus menyangkal kebutuhan alami, harus menguasai keinginan yang menggebu, mengorbankan kesehatan dan memusnahkan semangat pribadi, melupakan segal visi, menjauhi kedalaman dan kenikmatan seks sampai seorang ‘laki-laki yang baik’ datang dan menjadikannya istri?”[7]
 
Pada akhirnya, lembaga pernikahan justru membuat perempuan menjadi parasit. Hidupnya bergantung secara ekonomi maupun seksual terhadap laki-laki (suami). Menurut Goldman, perempuan telah kehilangan spirit memperjuangkan hidup dan mimpinya, pernikahan telah melumpuhkan imajinasinya. Kebohongan paling keji yang ditanamkan pada perempuan adalah dengan menikah dia tetap bisa menjaga keanggunannya. Standar dan kampanye kecantikan pun digalakkan. Lalu perempuan menjadi demikian konsumtif demi menjaga sensualitasnya guna memberi kepuasan pada laki-laki (suami).
Mitos lain yang diciptakan untuk menundukkan perempuan dalam rumah tangga adalah cinta yang dimilikinya membutuhkan perlindungan dari tindakan amoral. Bertolak belakang dengan narasi besar tersebut, Goldman menegaskan bahwa cinta tidak membutuhkan perlindungan, sebab cinta adalah perlindungan itu sendiri.
Goldman juga menyerang pseudo moralitas, yang menganggap perempuan yang tidak menikah dan melahirkan keturunan sebagai penjahat bagi kehidupan. Bagi Goldman, kalangan moralis ini telah menyederhanakan spiritualitas seorang ibu dan mereduksi keperempuannya. Menurutnya, kepercayaan semacam ini justru melahirkan anak-anak yang dihancurkan oleh kurangnya kasih sayang. Anak-anak menjadi terlantar dan ditelantarkan, sebab kegagalan memahami payudara yang sudah membangunkan mereka dengan cinta. Keibuan dan keperempuanan yang dibatasi pada robeknya selangkangan pasca melahirkan, membuat jutaan anak-anak tak beribu-bapak justru ‘tak bisa’ dicintai dan mendapatkan kasih sayang yang setara dengan anak yang dikandung sendiri.
Cemburu adalah Obsesi Memiliki dan Balas Dendam
Bagi Goldman, sosok perempuan yang ditakuti dan senantiasa diawasi negara ini, perasaan cemburu adalah kebalikan dari pemahaman, simpati, dan perasaan murah hati. Cemburu bukanlah sebuah karakter individu. Hal itu tidak akan membuat individu menjadi baik dan bijak dalam percintaannya. Sebaliknya, cemburu membuat orang menjadi buta karena kemarahan, penuh kecurigaan, dan dipenuhi kedengkian.
Kecemburuan, menurut Goldman, adalah obsesi terhadap hasrat memiliki dan balas dendam. Rasa cemburu tidak mengajarkan kita untuk mengerti dan memahami orang lain, melainkan mendikte kita untuk menghukum dan menghukum sebanyak mungkin. Perasaan tersakiti akibat pasangan kita jatuh cinta dan membangun hubungan percintaan lagi dengan orang lain, mendorong kita untuk membalas rasa sakit itu kepadanya, atau kepada siapa saja di masa dan ruang yang berbeda. Perasaan tersakiti dan dendam itu sendiri, hadir oleh sebab kita merasa memiliki pasangan. Pada era digitasi dan media sosial ini, tak jarang, pasangan suami-istri atau pacar yang selalu mewanti-wanti alat komunikasi pasangannya agar terbebas dari ‘orang ketiga’. Sikap semacam itu irasional, sebab kodrat perasaan, termasuk cinta, itu sendiri sangatlah dinamis. Kita bisa mencintai seseorang pada hari ini, lalu perasaan itu beralih pada orang lain keesokan harinya. Bahkan, ada juga yang mencintai dua-tiga orang sekaligus pada waktu yang bersamaan.
Dalam ulasannya tentang kecemburuan ini, Goldman, tampaknya, ingin sekali membongkar kecemburuan yang menurutnya bukan sebuah karakter, melainkan penyakit yang dihasilkan oleh konstruksi sosial-budaya. Dia menyajikan hasil penemuan dari sejarawan, Edmund Sears Morgan dan Elisee Reclus mengenai hubungan seks di antara orang-orang primitif yang bebas, tidak terikat pada satu lembaga dan status apapun. Lebih lanjut, Goldman menjelaskan bahwa hubungan monogami adalah relasi seks yang muncul jauh kemudian karena adanya domestikasi dan kepemilikan perempuan, yang pada akhirnya menciptakan monopoli seksual dan perasaan cemburu yang tak terelakkan.
Selain faktor hubungan monogami yang dibingkai dalam lembaga keluarga, Goldman juga beranggapan ada faktor lain dalam kecemburuan, yaitu kesombongan laki-laki dan rasa iri perempuan. Laki-laki melalui doktrin maskulinitasnya sebagai pejantan tangguh dan penakluk ulung akan merasa hina jika mendapati ‘hak milik’ (perempuan)-nya dikuasai oleh orang lain. Sementara bagi perempuan, yang sejak mula telah dikonstruk bergantung pada laki-laki, akan selalu merasa terancam dan menjadi iri pada kehadiran perempuan lain dalam kehidupan pasangannya. Menurut Goldman, kecemburuan ini semakin keras dan hina akibat semakin sedikitnya  kasih sayang yang diperoleh.
Goldman memberikan penawar yang cukup baik untuk menyembuhkan penyakit ini, yaitu dengan merubah pandangan kita tentang mitos sepasang kekasih, yakni dua orang dalam satu tubuh dan jiwa yang kita yakini selama ini. Menurutnya, kita harus rasional dan menerima dengan lapang, bahwa kita dan pasangan adalah dua manusia dengan temperamen, perasaan, dan emosi yang berbeda. “masing-masing adalah kosmos, alam semesta kecil dalam dirinya sendiri, tenggelam dalam pemikiran dan gagasannya sendiri”. Akhirnya, kita harus membiarkan pintu cinta terbuka dengan lebar, tanpa kunci dan gembok.
“Ketika cinta bisa datang dan pergi tanpa takut bertemu dengan anjing penjaga, kecemburuan akan jarang berakar, karena kita akan segera mengetahui bahwa di mana tidak ada kunci dan gembok, tidak ada tempat untuk saling curiga dan tidak percaya, dua elemen yang membuat kecemburuan tumbuh subur dan berkembang pesat!”[8]
 
Catatan akhir
[1] Emma Goldman, Ini Bukan Revolusiku, terjemah, Bima Satria Putra, Cetakan Pertama (Salatiga: Pustaka Catut, 188.
[2] Ibid., hlm 4.
[3] Simon Tormey, Anti-Kapitalisme: Panduan Bagi Pemula, terjemah, Wahyu, Cetakan Pertama (Makassar: Penerbit Angin, 2016), hlm 21.
[4] Emma Goldman, Ini Bukan… op.cit., hlm 133.
[5] Ibid., hlm 138.
[6] Friedrich Nietzsche, Senjakala Berhala dan Anti-Krist, terjemah, Hartono Hadikusumo, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm 57.
[7] Emma Goldman, Ini Bukan… op.cit., hlm 183.
[8] Emma Goldman,  Ini Bukan… op.cit., hlm 201.

You may also like...

Leave a Reply